Wanita Itu

2529 Words
Kaifa beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk menunaikan ritual bersih-bersihnya di pagi hari. Setelah itu Kaifa keluar dari kamar untuk membangunkan sang Ibu. Namun, baru saja berjalan menuju kamarnya, ia sudah menemukan Tami sedang memasak di dapur. “Ibu, kenapa memasak?" "Loh, memangnya setiap hari Ibu yang memasak 'kan?" balas Tami yang heran pada pertanyaan anaknya seperti baru pertama kali melihat ia memasak di pagi hari. "Maksud Kaifa, Ibu sekarang sedang kurang sehat, biar Kaifa yang memasak. Ibu istirahat saja di kamar!” jelas Kaifa. “Ibu sudah tidak apa-apa, Fa. Ibu sudah sehat lagi.” Kaifa langsung merebut alat masak yang dipegang Tami lalu menuntunnya untuk duduk di meja makan. “Ibu di sini aja, biar Kaifa yang masak, ya. Pak Darus bilang Ibu harus banyak istirahat dan jangan terlalu lelah dulu. Urusan rumah biar nanti Kaifa yang kerjakan," atur Kaifa. “Tapi nanti kamu terlambat kerja!” “Tidak, Bu, sekarang waktunya masih cukup untuk beres-beres sampai Kaifa berangkat nanti.” Tami akhirnya menurut dengan perintah anak gadisnya dan duduk di kursi tempat biasa keluarganya menghabiskan makan. Sejak Tami sadar dari pingsan sore kemarin, Kaifa selalu melihat ibunya melamun, seperti ada beban berat yang sangat mengganggu pikiran. Begitu pun saat ini. Sambil memasak ia beberapa kali memperhatikan ibunya masih saja melamun hingga ia tidak tega melihatnya. Setelah selesai memasak, Kaifa langsung menghidangkan makanan di depan Tami yang masih setia melamun lalu kemudian duduk di depannya setelah semua makanan selesai dihidangkan. “Ayo, kita makan sekarang, Bu!” ajak Kaifa. Tami sedikit kaget mendengar ajakan Kaifa karena tersadar dari lamunannya dan langsung menatap makanan yang dihidangkan. “Cepat sekali, Fa," ujar Tami sambil mencium aroma masakan "Hmm ... wanginya juga enak sekali, Ibu jadi makin lapar, ” puji Tami. “Tentu saja enak, 'kan, Kaifa yang buat," balas Kaifa, sombong. Tami menggeleng sembari tersenyum lalu mulai menyantap makanan bersama anaknya. Saat keduanya makan, sebenarnya Kaifa ingin bertanya, tapi ragu karena takut ibunya tidak mau menjawab. Namun, ia penasaran jika tidak bertanya hingga akhirnya memberanikan diri menyampaikan rasa penasarannya. “Bu, apa ada yang sedang mengganggu pikiran Ibu?" "Tidak." Tami langsung menggeleng diiringi tatapan heran pada pertanyaan anaknya. "Kenapa memangnya?" "Dari semalam Kaifa lihat Ibu melamun terus." Tami diam sejenak mengingat penyebab ia melamun, lalu tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran anaknya dan kembali mengunyah. “Tidak ada apa-apa, Sayang,” bohongnya. “Kalau tidak ada apa-apa, kenapa Ibu melamun terus?” tanya Kaifa lagi karena tidak percaya pada jawaban Tami. "Ibu hanya sedang ingin banyak melamun." Kaifa memutuskan untuk menghentikan makannya karena ingin pembicaraan mereka lebih serius agar ibunya tidak berbohong. “Bu, jujur sama Kaifa, Ibu kemarin kenapa sampai pingsan? Kenapa dari semalam melamun terus? Tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa Ibu murung. Kaifa yakin pasti ada pikiran yang membebani Ibu," desaknya. Tami hanya bisa menghela nafas berat lalu ikut menghentikan makan, karena kalau sudah begini, putrinya tidak akan puas dengan jawaban tidak apa-apa dan akan terus bertanya sampai dia menemukan jawabannya, hingga mau tidak mau ia harus jujur. “Kemarin pihak Bank ke rumah menagih, karena bulan kemarin kita tidak membayar cicilan pinjamannya.“ Tami menjawab dengan ekspresi bersalah karena takut putrinya itu merasa terbebani dengan hutang yang begitu banyak. "Dan pihak Bank memberi waktu satu bulan lagi untuk kita melunasi cicilan dua bulan. Jika kita tidak melunasi maka, rumah dan tanah ini akan diambil oleh pihak Bank,” lanjutnya dibarengi dengan air mata yang mulai menutupi pandangan. Kaifa menggenggam tangan Tami untuk sedikit menguatkan. “Bu, Ibu tenang saja, ya, biar Kaifa yang cari jalan keluarnya. Ibu tidak perlu memikirkan apa pun karena Ibu tidak boleh banyak pikiran. Doakan saja semoga Kaifa bisa mengatasi masalah kita ini, Bu!” Tami membalas dengan senyum bersalah. Sungguh dari lubuk hati ia tidak ingin membebani anaknya sedikit pun dengan masalah keuangan keluarga, cukup Kaifa merasakan lelahnya mencari uang, tidak perlu ikut memikirkan hutang-piutang, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah sendirian. “Maafkan Ibu sama Ayah, ya, karena hanya bisa jadi beban buat kamu terus,” ucapnya. “Tidak apa-apa, Bu. Justru Kaifa merasa terbebani kalau Ibu tidak mau cerita dan hanya memendam masalah sendirian,” ucap Kaifa tulus. "Sekarang Ibu harus banyak makan agar tidak menggangu kesehatan Ibu, karena kalau Ibu sakit, Kaifa tidak hanya sedih, tapi juga khawatir. Kaifa sudah kehilangan Ayah, Kaifa tidak mau kehilangan Ibu juga dan Kaifa belum siap sendirian." "Kamu tidak akan kehilangan Ibu karena Ibu akan selalu menjagamu sampai anak cucu nanti." Tami langsung mengusap setetes air mata haru yang mengalir begitu saja. "Iya, Ibu harus berumur panjang agar bisa melihat kebahagiaan keluarga Kaifa." "Kamu benar, Ibu harus berumur panjang." Tami kembali menyendok makanan dengan lebih semangat sebagai bukti pada anaknya ia tidak akan murung lagi. Setelah selesai makan, Kaifa membereskan sebagian ruangan di rumah untuk sedikit meringankan pekerjaan Tami lalu pamit dan tidak lupa mengingatkan untuk tidak beraktivitas dulu. Di tengah jalan, Kaifa terus berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi cicilan karena tidak mau satu-satunya harta keluarga, diambil oleh Bank jika ia tidak bisa membayar. “Tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang banyak selain memeras omah!" ujar Kaifa mantap saat ide buruk melintas di kepalanya. "Omah, maafkan aku, kali ini aku menyalahgunakan pekerjaanku,” lanjutnya lalu, mempercepat langkahnya karena ingin sesegera mungkin merealisasikan idenya. Jika kalian membayangkan Kaifa pergi bekerja memakai celana jins dan kemeja atau rok span sebatas lutut, dengan pakaian formal layaknya seorang pekerja kantoran atau buruh pabrik, kalian salah! Dia hanya memakai rok payung sebatas betis juga kaos seharga 15 ribu yang dibeli di pasar yang ada tiap malam Senin di ujung gang rumahnya. Karena Kaifa hanya seorang ART atau lebih tepatnya hanya perawat Omah Dewi. Pekerjaannya pun hanya mengurus semua keperluan Dewi dan tidak melakukan pekerjaan rumah sama sekali, jadi penampilannya pun tidak perlu menarik apalagi anggun, meskipun ada pria pujaan yang harus ia cari perhatiannya. Kenapa Kaifa memanggil Dewi dengan sebutan omah? Selain karena usia yang sudah hampir 70 tahun dan memiliki satu cucu dari anak pertamanya, Dewi juga memerintahkan Kaifa untuk memanggilnya omah di pertemuan pertama mereka, jadi sebagai pekerja Kaifa harus patuh meskipun di awal-awal bekerja ia meras seperti cucunya. “Mang Didin, buka pagar!” teriak Kaifa ketika sudah sampai di rumah Dewi, padahal di sisi kiri pagar tersedia bel yang juga berfungsi sebagai panggilan. “Iya, Neng!” sahut Didin sambil membuka pagar. “Neng Kaifa, sudah datang?” sapa Didin. “Iya, Mang. Apa kedatangan Kaifa terlalu pagi? Apa Tuan sudah bangun, Mang?” cecar Kaifa. “Sabar atuh, Neng. Satu-satu tanyanya, biar Amang tidak bingung jawab yang mana dulu," balad Didin dengan logat sundanya. Kaifa menunjukkan senyum kuda karena malu sendiri dengan semangatnya “Kaifa sudah tidak sabar mau lihat Tuan, Mang.” “Monggo atuh ke dalam. Amang belum ke dalam, jadi tidak tahu Tuan Rizki sudah bangun atau belum.” “Ya sudah, Kaifa ke dalam dulu, ya, Mang. Kaifa juga mau siapin keperluan mandi Omah," pamit Kaifa lalu pergi meninggalkan Didin. Didin dan Iyam adalah dua dari belasan pekerja di rumah ini yang sudah tahu kalau Kaifa mengagumi anak majikan mereka. Itu sebabnya Kaifa sudah tidak malu lagi bertanya tentang tuan mudanya. Menurut mereka, wajar-wajar saja seorang gadis muda mengagumi seorang pria singgle, apalagi pria itu tampan dan mapan. Hanya Dewi saja yang belum tahu tentang kekaguman Kaifa pada anaknya, karena Kaifa takut dianggap lancang seorang pelayan mengagumi majikannya. Ketika sampai di dalam, Kaifa melihat Iyam sedang memasak untuk sarapan pagi ini dan ia langsung menuju kamar Iyam untuk menaruh tas di kamarnya tanpa menyapa terlebih dahulu, karena takut mengganggu konsentrasi Iyam, baru setelah itu menuju kamar Dewi untuk menyiapkan keperluannya. Dari mulai mandi, memakaikan baju, sampai sarapan, semua Kaifa yang urus. Sebenarnya Iyam dan ART lain bisa mengurus dan menyiapkan keperluan Dewi, tapi Dewi tidak mau, dan hanya mau dengan Kaifa saja. Entah apa pesona Kaifa di mata Dewi, hingga dia begitu sayang padanya sejak pertama kali bertemu dua tahun yang lalu Flashback On Seorang gadis yang sudah lelah dan putus asa mencari pekerjaan, sedang beristirahat di bangku taman sambil mengibas-ngibaskan kertas yang ia pegang untuk mengurangi kucuran keringat di wajahnya. “Huuuuuh ... mau cari kerja ke mana lagi? Semua sudah aku datangi, tapi tidak ada yang menerimaku. Padahal umurku belum terlalu tua. Kenapa sulit sekali mencari pekerjaan?" keluh Kaifa putus asa. ketika Kaifa sibuk dengan keluhannya, ia melihat seorang wanita tua jatuh dari kursi roda karena ingin menolong anak kecil yang lepas dari pengawasan orang tua sampai hampir tertabrak motor hingga ia refleks berlari untuk menolong anak itu. “Kamu tidak k apa-apa, Dek?” tanya Kaifa ketika anak kecil itu sudah ada di gendongannya. Sedangkan sang Pengendara motor hanya berhenti sesaat untuk memastikan si anak baik-baik saja, setelah itu dia kembali melajukan motornya. Kaifa langsung menghampiri wanita yang terjatuh dari kursi roda lalu menaruh anak kecil di dekatnya sambil berjongkok untuk membatu wanita tua itu kembali duduk di kursi roda. “Nenek, tidak apa-apa?” tanya Kaifa pada wanita tua yang ternyata adalah Dewi. “Aku tidak apa-apa,” jawab Dewi. “Nenek, sendiri di sini?” “Aku bersama ART-ku, tapi sekarang dia sedang pergi membeli minuman.” Kaifa langsung mengedarkan pandangan mencari ART yang dimaksud meskipun ia tidak tahu rupa ART itu. “Kamu—“ ucapan Dewi terhenti ketika tiba-tiba orang tua si anak datang menghampiri mereka. “Ade, jangan kabur terus!” omel si Ibu pada anaknya. Si anak hanya menanggapi datar omelan ibunya, bahkan terkesan tidak menanggapi karena usia yang masih sangat kecil membuat dia tidak sadar jika sedang dimarahi. “Nek, Neng, maaf, ya, merepotkan, dan terima kasih sudah menolong anak saya.” “Iya, Bu. sama-sama.” Dewi dan Kaifa serempak menjawab permintaan maaf si Ibu. Setelah itu si Ibu pergi membawa anaknya meninggalkan dua wanita beda generasi itu. “Kamu sedang apa di sini? Kamu sedang menunggu seseorang?” tanya Dewi, memulai kembali pembicaraan yang tadi terhenti. “Tidak, aku tidak menunggu siapa pun di sini. Aku hanya sedang istirahat saja.” “Apa kamu sedang mencari pekerjaan?” tanya Dewi, penasaran ketika melihat pakaian Kaifa. Pakaian khas orang mencari pekerjaan dengan kemeja putih dan celana hitam “Iya, Nek” “Sudah dapat?” “Belum, Nek.” Dewi merasa kasihan melihat wajah lelah Kaifa dan merasa wanita yang baru ia temui ini adalah orang baik hingga ia memutuskan untuk sedikit menolong kesusahannya. “Apa kamu mau kerja padaku?” Kaifa menunjukkan wajah bingungnya saat mendengar tawaran Dewi, karena ia merasa wanita tua yang baru saja ia tolong bukanlah seorang bos. Dewi paham ekspresi Kaifa yang ia yakini bingung dengan pekerjaan apa yang akan ia berikan atau mungkin berpikir buruk akan diberi pekerjaan yang tidak-tidak. “Cukup menemani aku jalan-jalan saja setiap hari. Nanti setelah dapat pekerjaan, kamu boleh berhenti bekerja padaku,” jelas Dewi. Kaifa tidak langsung memberi jawaban malah menimbang tawaran Dewi terlebih dahulu. “Dari pada menganggur, lebih baik aku terima tawarannya. Lagi pula sepertinya nenek ini bukan orang jahat, jadi tidak mungkin dia menipuku. Kalaupun nanti dia jahat padaku, aku dorong saja kursi rodanya ke jalan raya!” pikirannya lalu dengan semangat mengangguk. “Iya, Nek, aku mau kerja dengan Nenek!" “Ya sudah, panggil aku Omah saja karena aku tidak biasa dipanggil nenek. Orang-orang juga biasa memanggilku dengan sebutan Omah Dewi, jadi aku merasa asing dengan sebutan nenek.” “Baik, Omah!” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. “Aduh! Maaf, Nyah, lama. Tadi tokonya banyak yang belanja, jadi harus ngantri untuk bayar!” ucap Iyam merasa tidak enak. Flashback Off Setelah memastikan handuk, air hangat, dan baju yang akan Dewi pakai sudah siap, Kaifa bergegas membangunkan Dewi, tapi baru saja keluar dari kamar mandi ternyata Dewi sudah bangun. Padahal, saat masuk ke kamarnya tadi dia masih tidur pulas. Dewi langsung menunjukkan senyumnya saat melihat Kaifa keluar dari kamar mandi. “Pagi, Omah,” sapa Kaifa. “Pagi juga” balas Dewi. Kaifa langsung menurunkan kedua kaki Dewi perlahan dan ia dudukkan di tepi kasur lalu memasukkan kedua tangan ke ketiak untuk mempermudah memindahkannya ke kursi roda setelah itu mendorong menuju kamar mandi. Kaifa dengan telaten melakukan pekerjaannya merapikan Dewi, dari mulai mandi, memakaikan baju sampai kembali ke kamar lalu menyisir rambutnya. “Ok, Omah sudah cantik sekarang!” canda Kaifa. “Memang sebelumnya Omah jelek?” balas Dewi bergurau hingga membuat keduanya tertawa. Kemudian Kaifa mendorong kursi roda keluar kamar. “Yuk, kita sarapan, Omah” ajaknya. “Iya!” Kaifa ingin segera keluar kamar bukan hanya untuk mengajak Dewi sarapan, tapi juga ingin melihat Rizki yang juga ikut sarapan bersama Dewi. “Apa dia sudah bangun?” batin Kaifa saat menuju ruang makan. Namun, saat mereka tiba di meja makan, Kaifa tidak melihat siapa pun selain Iyam yang sedang menyiapkan dan menata makanan di meja. “Mbok, apa Rizki Belum bangun?” tanya Dewi pada Iyam. “Sudah, Nyah, tadi Tuan sudah duduk di sini, tapi tiba-tiba ada yang telepon lalu Tuan pergi ke kamarnya,” jawab Iyam. “Telepon dari siapa, Mbok?” tanya Dewi lagi. “Si Mbok kurang tahu Nyonya. Kalau tidak salah tadi Tuan sempat menyebut nama Be...?” jawab Iyam sambil berpikir. “Bella?“ sela Dewi yang melihat Iyam kesulitan menjawab. “Ah, iya, Nyah. Itu namanya!” Iyam terlihat kegirangan karena jawabannya sudah dibantu Dewi. Dewi hanya mengangguk tanpa bertanya lagi karena tidak terlalu senang mendengar siapa yang sedang menelepon anaknya. Setelah itu Iyam membungkukkan badan tanda meminta izin untuk kembali ke dapur. “Kenapa aku merasa kecewa mendengar Tuan mendapat telepon dari kekasihnya? Bukankah itu hal yang wajar?” batin Kaifa. Pikiran Kaifa terhenti saat sapaan lembut terdengar di telinga hingga ia langsung menampilkan senyum terbaiknya, meskipun senyum itu belum tentu dilihat. “ Pagi, Mah. Pagi, Kaifa,” sapa Rizki ramah. “Pagi juga, Sayang,” balas Dewi. “Pagi juga, Tuan,“ balas Kaifa. Bagi Kaifa, ini adalah sarapan ke dua setelah sarapan pertama bersama Tami tadi. Namun, menurutnya ini sarapan paling spesial karena ada Rizki. “Ayo, kita sarapan, Mah, Fa,” ajak Rizki sambil mengisi piring yang ada di depannya dengan nasi dan lauk pauk. “Tidak, Tuan, terima kasih. Saya sudah makan tadi di rumah,” tolak Kaifa lembut. “Oh, ya sudah,“ balas Rizki singkat, cenderung tidak peduli. Dewi dan Rizki langsung sarapan tanpa bicara dan Kaifa harus tetap di meja makan untuk melayani Dewi yang mungkin ingin diambilkan sesuatu. Saat Dewi dan Rizki asyik menyantap makanan, Kaifa beberapa kali memandang pujaannya yang tetap tampan saat makan. Walau terkadang Rizki terlalu besar membuka mulut hanya untuk memasukkan sendok yang berisi nasi ke dalam mulutnya. Mungkin, kalau orang lain yang melihatnya akan bilang Rizki seperti buaya, tapi di mata Kaifa, dia seperti pangeran tampan yang sedang makan. "Dia menggemaskan sekali dengan mulut selebar itu," puji Kaifa membatin. Ketika hampir selesai makan, tiba-tiba Dewi memulai pembicaraan dengan pertanyaan. “Apa tadi wanita itu yang meneleponmu?” Uhuk ... uhuk .... Rizki tersedak mendengar pertanyaan ibunya saat Dewi menyebut kekasihnya dengan sebutan wanita itu yang membuat ia kaget, padahal tahu namanya. Dan dari sebutan itu ia merasa Dewi sedang menunjukkan ketidaksukaannya hingga membuat ia tersedak. secara refleks, Kaifa langsung mengambilkan minum untuk Rizki karena panik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD