Takut Kehilangan Ibu

1957 Words
Kaifa pov “Coba kamu ke rumah pak Darus, suruh dia datang ke sini. Mungkin saja dia sudah selesai praktik di kliniknya!” perintah Mang Edi untuk memanggil dokter yang ada di kampung ini. “Iya, Mang!” jawabku lalu berlari meninggalkan mang Edi, tetapi baru beberapa langkah berlari, mang Edi memanggilku lagi hingga aku menghentikan langkah dan membalikkan badan menghadapnya. “Fa, kamu ke rumah Pak Darus mau lari?” “Iya, Mang,” anggukku. “Kalau kamu lari, selain lelah kamu juga pasti akan lama." “Benar juga. Rumah Pak Darus lumayan jauh dari sini,” batinku membenarkan lalu bertanya, "Apa Kaifa harus naik ojek, Mang?" “Kamu ke rumah Amang ,terus pinjam sepeda Dedi untuk ke rumah Pak Darus,” usul Mang Edi untuk meminjam sepeda anaknya yang biasa dipakai sekolah. “Iya, Mang,” sahutku patuh lalu melanjutkan lariku yang tadi terhenti. Mang Edi adalah adik kelas dari ibuku. Mereka berasal dari kampung yang sama dan sama-sama merantau ke Jakarta, itu sebabnya keluargaku cukup dekat dengan keluarganya, bahkan seperti saudara. Begitu tiba di rumah Mang Edi, aku langsung menaiki sepeda yang berada di teras depan sambil berteriak meminta izin pada pemilik sepeda yang sedang menonton televisi di dalam rumah lalu mengayuh sepedaku sekuat tenaga. Ah, ralat sepeda Dedi lebih tepatnya. Entah kenapa kali ini ke rumah Pak Darus terasa jauh sekali seperti mendaki belasan gunung dan melewati puluhan lembah, padahal aku sering melewati jalan ini. Setibanya di rumah Pak Darus, aku langsung berjalan cepat memasuki rumah tanpa mengucapkan salam karena terlalu panik yang langsung disambut istri Pak Darus. “Fa, ada apa kamu lari-lari?” tanya Bu Tini yang juga ikutan panik karena melihat wajah cemas juga mata sembabku. “Itu, Ibu Kaifa pingsan. Bapak ada, Bu?” jawabku tanpa basa-basi lalu menanyakan keberadaan suaminya. “Ada! Bapaaaak ... Paak!” teriak bu Tini setelah menjawabku. “Iya!” sahut suara di bagian lain di dalam rumah. Tidak lama Pak Darus muncul dan angsung melirik ke arahku. “Kaifa, ada apa?” tanyanya. “Ibu Kaifa pingsan, Pak. Bapak bisa ke rumah sekarang?” “Oh, bisa, bisa. Sebentar, Bapak ambil tas dulu,” jawab Pak Darus sambil bergegas masuk ke bagian lain dalam rumahnya. Aku dan Bu Tini kompak saling tatap dengan wajah sama-sama panik dan cemas. "Kamu tenang, ya, ibumu pasti baik-baik saja," hibur Bu Tini yang memang sedikit tahu tentang kesehatan ibuku sebelum-sebelumnya. "Semoga saja, Bu," balasku dengan suara hampir menangis. Dua menit kemudian Pak Darus keluar dari kamarnya. “Ayo, Fa!” Ajaknya sambil menganggukkan kepala pada Bu Tini tanda berpamitan. “Hati-hati, ya, Pak!“ ujar Bu Tini. "Iya, Bu." Pak Darus membalas dengan sedikit berteriak karena sudah keluar rumah. Pak Darus langsung melaju dengan motornya dan aku mengikuti di belakang dengan mengayuh sepeda secepat mungkin agar bisa menyamai kecepatan motornya meskipun aku sadar itu hal mustahil. Setibanya di rumahku, Pak Darus langsung memeriksa ibu yang masih dalam keadaan pingsan dan Mang Edi masih setia menjaga ibuku. Tatapanku dan Mang Edi tidak terlalih sedikit pun dari setiap gerakan Pak Darus. Mulai dari mengeluarkan dan menempelkan stetoskop ke beberapa bagian di d**a ibuku, lalu membuka mata yang terpejam, mengecek denyut jantung, sampai menggantungkan stetoskopnya di leher lalu menghadap kami. “Tenang saja, Fa. Ibumu hanya dehidrasi dan kelelahan, ditambah lagi anemia yang dimiliki ibumu kambuh. Ibumu butuh istirahat lebih, banyak makan dan minum juga jangan lupa obat penambah darahnya harus diminum," papar Pak Darus. “Iya, Pak,” jawabku lega karena kondisi Ibu tidak terlalu parah. “Ya sudah, Fa, Bapak pulang dulu. Nanti setelah ibumu sadar, jangan lupa nasihati dia agar jangan terlalu banyak beraktivitas dulu, ya! tenaga dan pikirannya juga jangan terlalu di forsir agar tidak terjadi seperti ini lagi." “Terima kasih, Pak dokter. Sudah mau dipanggil kesini,” ucap Mang Edi sambil tersenyum dan berjabat tangan. “Sama-sama. Kamu juga jangan lupa mengingatkan Tami agar jangan terlalu lelah." “Siap, Pak Dokter!” canda Mang Edi dengan terus memanggil teman akrabnya menggunakan sebutan Pak Dokter, padahal setiap kali bertemu keduanya selalu memanggil nama atau kadang panggilan ejekan. “Ya sudah, saya pulang dulu," pamit Pak Darus kedua kalinya. Aku dan Mang Edi sama-sama tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda berterima kasih. Setelah Pak Darus pergi, Mang Edi pun pamit kembali ke rumahnya, meninggalkan aku yang hanya bisa menatap sedih ibuku. Semenjak kepergian ayahku, Ibu jadi sering murung, melamun, dan jarang makan. Penyakit anemia yang dulu pernah diderita pun, sekarang mulai kambuh lagi. Tepat dua bulan yang lalu ayahku meninggal karena Gagal ginjal. meninggalkan aku dan ibuku di rumah ini. Sebenarnya aku punya satu kakak laki-laki, tapi semenjak umur dua puluh dua tahun dia merantau ke Kalimantan, ke tempat asal ayahku dan belum kembali sampai sekarang. Sudah enam tahun lamanya kakakku pergi dan sampai detik ini dia tidak tahu bahwa ayah sudah tidak ada, karena aku dan Ibu juga tidak tahu ke mana harus memberi kabar padanya. Aku sudah sangat merindukan kakak satu-satunya yang aku miliki, sehingga setiap saat aku selalu berharap dia pulang untuk kembali tinggal di rumah ini dan sama-sama mencari uang di kota ini. Penderitaanku tidak hanya tentang kondisi Ibu, kepergian ayah, dan kabar Kak Akbar, tapi juga lilitan hutang di Bank yang semua uang hasil peminjamannya Ibu gunakan untuk keperluan cuci darah ayah setiap minggu karena memerlukan biaya yang lumayan untuk ukuran keuangan keluargaku yang pas-pasan bahkan terkadang kurang. Tanah dan rumah yang aku tempati ini pun bukan murni milik kami berdua, bahkan terancam bukan lagi milik aku dan ibuku. “Heeeh ...." Aku menghela nafas berat tanpa mengalihkan tatapanku dari wajah Ibu. “Bu, kalau Ibu seperti ini terus nanti Ibu akan cepat menyusul ayah dan aku akan sendirian di sini. Aku belum siap kehilangan Ibu. Aku juga belum siap hidup sendiri, ” lirihku diiringi buliran air mata yang kembali menetes. ***** Tiiiit ... tiiii ... Bunyi klakson mobil terus menggema di depan sebuah rumah megah yang menjadi perintah agar pagar yang menjulang tinggi segera dibuka. Satpam yang ada di dalam pos di balik pagar langsung bergerak cepat membuka pagar agar suara klakson segera berhenti lalu tersenyum sambil membungkuk hormat ketika mobil melaju masuk menuju garasi. Rizki mematikan mesin mobilnya lalu keluar dari mobil menuju ke dalam rumah yang langsung disambut dengan senyum hangat dari sang Ibu. Rizki berlutut di hadapan Dewi untuk mensejajarkan tingginya dengan sang Ibu yang sudah dua tahun lebih menghabiskan tujuh puluh persen hari-harinya di kursi roda setelah mengalami kecelakaan yang merenggut suami juga membuat kakinya lumpuh. Dewi membelai lembut wajah anaknya yang terlihat sangat lelah setelah seharian beraktivitas. “Mamah kenapa belum tidur? Ini sudah malam,” tanya Rizki. “Mamah menunggumu pulang karena Mamah merindukanmu,” jawab Dewi pada anak yang akhir-akhir ini sering pulang larut malam hingga mereka jarang bertemu. “Maafkan aku karena terlalu sering pulang malam, Mah. Akhir-akhir ini kantor memang sedang sibuk-sibuknya karena ada cabang yang akan dibangun dan banyaknya pertemuan dengan investor yang ingin menanam modal." “Kamu sudah makan?” tanya Dewi lagi. “Sudah.” Dewi menghela nafas panjang karena merasa keinginannya malam ini tidak bisa terwujud. Rizki mengerutkan kening saat melihat perubahan ekspresi ibunya yang menunjukkan jelas kekecewaan. “Kenapa? Mamah belum makan?” tanyanya penasaran. “Malam ini mamah ingin makan bersamamu, tapi kamu sudah makan, jadi lebih kamu Istirahat saja, karena kamu terlihat sangat lelah." "Ya sudah." Rizki langsung beranjak dari posisi berlututnya lalu memutar kursi roda. Dewi sempat kebingungan saat Rizki malah mendorong ke arah meja makan bukan ke kamar. "Kenapa tidak ke kamar Mamah?" Namun Rizki tidak menjawab pertanyaan ibunya dan terus mendorong sampai ia menghentikan laju kursi roda di samping kursi meja makan. “Biar Rizki suapi Mamah, ya," ucap Rizki lalu mengambil salah satu piring yang ada di tengah meja laku mengisinya dengan nasi dan lauk-pauk. “Tidak usah, Sayang, kamu pasti lelah. Istirahat saja,“ tolak Dewi. “Rizki juga merindukan Mamah," balas Rizki sambil menyendok makanan yang ada di piring. "Ayo, buka mulut Mamah pesawat siap meluncur,” godanya sembari meliuk-liukkan sendok di genggamannya, seolah sendok itu adalah pesawat yang siap mendarat. Dewi tersenyum lalu membuka mulut untuk menerima suapan dari anaknya yang mengingatkan ia pada momen menyuapi Rizki kecil persis seperti ini ketika anak lelakinya itu sedang sulit atau tidak mau makan. Baru beberapa kunyahan Dewi memperlambat gerakan mulutnya karena ingin bertanya hal yang sudah sering ia tanyakan. “Rizki, apa sampai saat ini kamu tidak ingin menikah juga? Jika kamu sudah menikah pasti anak-anak dan istrimu lah yang menyambutmu ketika kamu lelah bekerja dan mereka akan setiap malam menemani makan malammu." Rizki tersenyum karena kali ini ia tidak akan menghindari pertanyaan itu lagi, sebab kini ia sudah memiliki kepastian kapan dan dengan siapa akan menikah. Tidak seperti kemarin-kemari yang masih belum dapat keputusan jelas dari pujaan hatinya hingga ia bingung untuk menjawab. “Aku usahakan kurang dari enam bulan sudah menikah, Mah," balas Rizki yakin. Dewi langsung mengerutkan kedua alisnya heran. “Kenapa menunggu enam bulan Kalau sudah ada calonnya sekarang?” “Bella sekarang sedang sekolah memasak di Paris, Mah. Nanti setelah dia menyelesaikan sekolahnya, aku akan langsung melamar lalu mempersiapkan pernikahan kami secepatnya. Doakan aku semoga keinginanku berjalan lancar,” jawab Rizki kemudian memasukkan kembali makanan ke mulut Dewi. “Mamah akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” balas Dewi sambil mengunyah. Sebenarnya ada rasa kecewa mendengar Rizki akan segera menikahi Bella, mengingat Rizki tidak pernah memperkenalkan atau membawa Bella ke rumah hingga ia tidak tahu bagaimana sosok Bella. Selain itu, sebenarnya ia mempunyai kandidat lain untuk anaknya dan benar-benar berharap Rizki mau menikah dengan wanita yang ia yakini sangat cocok dijadikan istri. Setelah mendapat jawaban pasti dari Rizki, Dewi malah memilih diam karena perasaan kecewanya. Padahal, sebelum-sebelumnya ia akan terus mencecar anaknya itu dengan pertanyaan-pertanyaan selidiki sampai anaknya mau menjawab dan mengatakan, "Iya, Mah, aku pasti akan menikah." Begitu makanan untuk Dewi habis, Rizki langsung mendorong kursi roda menuju kamar agar Dewi bisa istirahat atau tidur karena malam makin larut. Ia juga membantu Dewi pindah ke tempat tidur lalu menyelimuti tubuh ibunya sebatas d**a. “Mimpi indah, ya, Mah. Aku sayang Mamah,” ucap Rizki sebelum meninggalkan kamar ibunya. Dewi hanya membalas dengan anggukan diiringi senyum dan terus menatap kepergian anaknya dari kamar. Setelah sampai di kamar, Rizki langsung merebahkan tubuhnya di kasur dengan menjadikan kedua tangan sebagai alas kepala yang ia letakan di belakang kepala sembari melepas lelah juga segala kepenatan hari ini. “Heeh ...,” Rizki menghela nafas meluapkan rasa lelah. “Belum ada satu hari aku berjauhan denganmu, tapi rasanya aku sudah sangat rindu. Bagaimana aku menjalankan tiga bulan ke depan? Entah sebesar apa rinduku nanti,” ujarnya yang kawatir akan tersiksa rindu pada sang Kekasih. Mata Rizki menatap langit-langit kamar tetapi pikirannya terus mengingat-ingat segala keindahan dan kesempurnaan yang ada pada Bella juga segala momen indah yang pernah ia lewati. Satelah merasa cukup melepas lelah sambil berkhayal di tempat tidur, Rizki bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera tidur, agar esok pagi tubuhnya kembali segar. ***** Bunyi ayam saling bersahutan pertanda tidak lama lagi matahari akan terbit hingga membuat seorang gadis terbangun dari tidurnya lalu menggeliat dari karena masih enggan untuk meninggalkan mimpi indah bersama tuan pujaan hatinya. Apalagi dalam mimpi itu ia merasakan lembutnya genggam seorang Tuan Rizki dan hangatnya pelukan dari pria yang ia rasa paling sempurna. Namun, meskipun enggan ia tetap harus mengakhiri mimpi indah itu karena sudah waktunya kembali ke dunia nyata untuk menjadi seorang pelayan dari seorang wanita tua juga menjadi tulang punggung keluarga yang tidak boleh libur mencari uang. Kaifa bangun dari tidurnya lalu duduk di tepi kasur untuk menatap foto yang ia tempelkan di kaca meja riasnya. “Untuk sementara ini, kita berpisah dulu, ya, nanti beberapa jam kemudian kita akan bertemu," ucap Kaifa seolah benda mati itu adalah Rizki sungguhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD