Diajak ke Pesta

1311 Words
"Masih berani membantah kamu?!" Nyonya Widya berkata dengan mata melotot. "Tapi ini nggak adil buat aku, Bu. Bukankah masih ada pelayan lain yang mendapat tugas di ruang laundry? Mengapa mereka juga tidak Ibu tanyai satu persatu?" Vira membulatkan kedua matanya, dia terkejut sendiri. Tidak menyangka kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-tiba saja ia memiliki keberanian untuk kembali berbicara. "Kamu!" Nyonya Widya menunjuk wajah Vira dengan mata berkilat marah. Wajahnya telah berubah mengerikan saat ini. "Nggak tahu diri kamu! Berani-beraninya kamu berkata seperti itu di hadapan saya!" "Aargh! Sakit Bu!" Tanpa ampun Nyonya Widya menjambak rambut Vira dengan kuat. Entah berapa banyak helai rambut yang tercabut paksa dari kulit kepala wanita itu. Tubuhnya kemudian di tarik paksa ke arah meja setrika. Tidak lama kemudian suara jerit kesakitan memenuhi ruangan tersebut. Suara yang begitu memilukan. Kepala pelayan datang tergopoh-gopoh, lalu berusaha merebut setrika panas dari tangan Nyonya Widya. "Nyonya! Kendalikan diri Anda! Nona Vira bisa kehilangan nyawanya kalau begini!" "Dia itu anak yang nggak tahu diri! Sudah sepantasnya dia aku hukum seperti ini!" "Ibu!" Suara bariton itu membuat Nyonya Widya dan kepala pelayan sama-sama menoleh. "Hentikan! Sudah cukup!" Yudha berdiri di sana, melihat mereka dengan wajah lelah. Dia lalu membawa pandangannya ke arah Vira yang tergeletak di lantai dengan luka bakar di punggungnya. Dalam ketidak berdayaannya Vira berdo'a semoga kali ini Yudha peduli padanya. Sayang, semesta belum mendengarkan do'anya. Pria itu pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa mengatakan apa-apa. *** Wanita itu menggigit bibirnya. Dia meringis menahan sakit saat kepala pelayan mengoleskan obat pada lukanya. Vira menderita luka bakar di punggungnya. Seandainya kepala pelayan tidak keburu datang, dapat dipastikan jika luka bakar itu tidak hanya pada satu tempat. Bersyukur juga hari ini dia memakai pakaian yang sedikit tebal juga dalaman kaos. Jika tidak punggung mulusnya sudah tentu memiliki cap berbentuk setrika utuh. Nyonya Widya sungguh keji, dia menghukum Vira dengan menyetrika punggung wanita itu menggunakan setrika panas. Vira sangat syok mengingat kejadian itu. Dia sangat menderita dan ketakutan. "Apa Nona punya cita-cita ingin mati di rumah ini?" Vira mengerutkan alisnya kemudian memutar leher, melirik kepala pelayan yang berdiri di belakangnya. "Aku nggak ngerti maksud pertanyaan kamu." Kepala pelayan segera menyelesaikan pekerjaannya lalu menyimpan obat ke dalam laci. Dia kemudian menatap Vira dengan rasa kasihan. "Mau sampai kapan Anda mengorbankan tubuh dan harga diri Anda untuk sesuatu yang tidak mungkin diraih? Suami dan ibu mertua Anda, mereka berdua tidak pernah menginginkan Nona." Vira tertegun. Dia barulah paham dengan maksud perkataan kepala pelayan tadi. Iya, mau sampai kapan? Sampai nyawa melayang dari tubuhnya? Dulu, saat ia dibawa keluar dari kediaman Wiryawan menuju kediaman Pratama, dirinya adalah sekuntum bunga yang segar dan menawan. Dia teramat cantik dan sangat mempesona. Kulitnya putih mulus bak porselen. Matanya bulat dan jernih seperti mata bayi. Alisnya tebal dan indah terukir alami, bibirnya ranum dengan hidung yang mancung. Sungguh, ciptaan Tuhan yang sangat sempurna. Tapi sekarang keadaannya berbanding terbalik. Tubuhnya kurus kering dengan mata cekung. Banyak bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Dia tidak lagi bersinar dan menarik. Bahkan dia terlihat lebih tua beberapa tahun dari umur yang sebenarnya. "Aku hanya sedang berjuang untuk mendapatkan cintanya." Vira berkata lirih. Kepala pelayan menghela nafas sebelum berkata. "Dari awal kita sudah tahu kalau Tuan Yudha nggak pernah mencintai Nona dan nggak pernah menginginkan Nona untuk menjadi istrinya. Ini hanya pernikahan bisnis. Apa saya juga harus berbicara kurang ajar dengan berkata, bahwa Anda adalah wanita yang tidak tahu malu dan tidak punya harga diri, karena terus mengejar sesuatu yang nggak akan pernah bisa Anda miliki?" "Bukankah kamu baru saja mengatakannya?" Vira menatap kepala pelayan yang langsung menunduk. "Tapi kamu benar." Wanita itu mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Setidaknya carilah tempat di mana Nona dihargai, bukan di rendahkan. Dengan begitu barulah bisa hidup bahagia." Kepala pelayan itu kemudian mendekat, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya. Suaranya terdengar begitu pelan saat ia mengatakan sesuatu ke telinga Vira. "Ada sebuah rahasia yang belum Anda ketahui, jika Nona sudah mengetahuinya, saya yakin Nona Vira pasti akan dengan senang hati meminta cerai dari tuan Yudha." Rahasia? "Kalian sedang membicarakan apa?" Yudha tiba-tiba muncul dari balik pintu. Kepala pelayan segera membungkuk kemudian dia berkata, "Saya baru saja selesai mengobati luka Nona Vira, jika tidak dibutuhkan lagi saya akan keluar." Dia perlahan mundur lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yudha yang tadi berdiri di dekat pintu kemudian mendekat, pandangannya tertuju pada luka bakar di punggung istrinya. Vira sengaja membiarkan punggungnya tetap terbuka. Dia yang begitu bodoh masih berharap jika Yudha memberi sedikit perhatian kepadanya karena luka itu. Pria itu berdiri di belakangnya, berdehem kecil kemudian berkata, "Lain kali kamu harus berpikir dulu sebelum membuka suara di hadapan Ibu. Ingat kamu itu siapa? Jangan karena ada nama Wiryawan di belakang kamu, kamu jadi melewati batasanmu." Vira yang masih duduk membelakangi Yudha memejamkan matanya. Tangannya meremas ujung baju sampai kusut. Dia ingin menangis, tapi sepertinya sudah tidak bisa. Bukannya bertanya bagaimana keadaan istrinya, Yudha dengan tidak berperasaan justru melontarkan kata-kata yang menusuk hati. "Lain kali aku nggak akan berbicara lagi." Vira berbicara dengan suara parau. "Bagus." Setelah mengucapkan satu patah kata, Yudha berbalik lalu berjalan menuju keluar. Sebelum tubuhnya benar-benar hilang di balik pintu, pria itu berkata, "Itu hanya luka kecil, seharusnya tidak masalah." *** Sejak hari itu Vira tidak lagi bersuara. Dia akan menjawab jika ditanya, dan hanya akan diam jika dimarah ibu mertuanya. Benar salah dia akan tetap diam. Bukan hanya itu, kepala pelayan juga tidak lagi terlihat batang hidungnya. Menurut desas-desus yang ia dengar dari pelayan lain, kepala pelayan itu terpaksa pulang kampung karena orang tuanya sakit keras. Sekarang Vira jadi bingung sendiri. Dia terus kepikiran dengan rahasia yang disebutkan kepala pelayan waktu itu, belum sempat dia bertanya kepala pelayan malah sudah tidak ada. Jadi kemana dia harus mencari informasi soal itu? "Nona Vira! Nanti malam tuan Yudha akan mengajak Anda ke sebuah pesta dansa. Tuan menyuruh saya mengantarkan gaun ini, gaun yang akan Anda pakai nanti malam." Vira mendengar suara Martha. Dia terkejut. Vira melihat gaun yang diletakkan pelayan di atas ranjang lalu bertanya ragu kepada pelayan itu, "Kamu nggak bercanda'kan?" Pelayan menggeleng cepat sambil berkata, "Saya tidak mungkin berani, Nona. Ini sungguh atas perintah tuan Yudha." Bukan tidak senang, hanya saja Vira merasa ada yang aneh. "Bukankah biasanya dia mengajak Jeslyn? Lalu mengapa sekarang dia ingin mengajakku?" Setelah pelayan itu pergi dia segera memeriksa gaun tersebut. Begitu di buka, Vira langsung menganga dibuatnya. "Haruskah aku memakai gaun seperti ini?" Kedua alisnya terangkat ke atas melihat gaun berwarna merah menyala dengan model kelewat seksi itu. Dia membayangkan bagaimana jadinya jika tubuhnya yang kurus kering itu memakai gaun seperti ini? Pasti akan terlihat sangat memalukan. Ting! Bunyi pesan masuk membuat Vira melirik ponsel yang ada di dekatnya. Dia segera meraih benda pipih tersebut lalu memeriksanya. Pesan dari Yudha! Mata bulat itu membola sempurna. Setengah tidak percaya dia segera membukanya. "Berhiaslah secantik mungkin, malam ini akan ada kejutan buat kamu. Aku ingin menebus semuanya." Alis Vira bertaut. "Kejutan? Kejutan apa yang akan diberikan mas Yudha kepadaku?" Dia yang tadi merasa ragu, sekarang barulah yakin jika Yudha memang ingin mengajaknya ke pesta. Vira berharap jika ini adalah awal yang baik untuk perubahan hubungannya dengan pria itu. Masalah gaun itu pantas atau tidak buat dia pakai, itu urusan belakang. Yang penting nanti malam dia punya kesempatan untuk berdua dengan Yudha, dengan begitu dia punya kesempatan untuk mencurahkan seluruh isi hatinya. *** "Nona sangat cantik sekali!" Vira tersenyum kecil mendengar pujian yang di lontarkan Marta, pelayan yang membantunya berhias malam ini. Dia kembali mengamati penampilannya di depan cermin. Apakah benar sangat cantik? Dia ragu. Penampilannya justru terlihat seperti wanita malam. Vira merasa dandananya terlalu menor dan mencolok, di tambah lagi gaun yang ia kenakan begitu seksi. "Mungkin sebaiknya aku nggak memakai gaun ini atau nggak usah pergi saja." Vira berkata ragu, sepertinya dia mulai goyah. Wajah Marta tiba-tiba berubah aneh. "Ja-jangan, Nona!" Dia spontan berseru sambil melambaikan tangan di depan d**a.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD