"A—apa kata lu?" Elang sampai tergagap saat Liana mengatakan akan membuka baju.
Bagi seorang pria normal, ini adalah pelanggaran. Jika sampai Liana melakukan itu, keresahan kembali melanda.
"Panas. Lagian lampu mati. Lo juga gak bisa lihat." Izin hanya sebagai formalitas. Tau-taunya Liana malah membuka satu layer gaun tidur hingga menyisakan baju tidur lengan tali.
Lantas pikiran Elang sudah tak karuan. Sudah tak bisa melihat, malah membayangkan yang tidak-tidak.
"Lu gak boleh lakuin itu!" Dia melarang keras sampai gugup.
"Udah," jawab Liana santai. Kembali merebahkan tubuhnya.
"Hah, udah?" Elang memekik. Dia benar-benar terkejut dengan jawaban Liana.
'Duh, malah pikiran traveling lagi. Mom, help me!' Berteriak di dalam hati.
"Gak usah sok kaget gitu. Lampu mati, siapa yang mau lihat? ... ini adem loh. Lo gak ada rencana buka baju gitu?" Liana malah mengajak Elang.
Bagi Liana, buka baju di kala kegelapan tak masalah karena mau dilihat pakai apa? Mata batin? Itu pun beda hasilnya dengan yang ditangkap dengan kedua mata t*lanjang.
Elang mencoba menelaah kembali apa yang dikatakan Liana. Sejurus kemudian tangannya tergerak untuk melepaskan baju kaos yang dipakai hingga menampilkan badan kekarnya.
Dalam kegelapan, dia kembali merebahkan tubuhnya. Seranjang dengan Liana.
"Lumayan juga."
"Udah buka baju?" tanya Liana membuka mata.
"Hmm."
Tak ada pembicaraan yang serius lagi di antara mereka, karena kantuk telah datang, malam semakin larut, mereka harus segera menutup mata untuk menyambut pagi yang cerah.
Itu keinginan tubuh alami manusia. Tapi siapa sangka suara nyamuk bagaikan paduan suara yang terus memekik di telinga. Dan suara tepuk tangan menghiasi keheningan.
"Ini nyamuk napa sih ganggu orang tidur aja?" Elang mengamuk. Menggaruk lengan dan mengibas-kibas daun telinga.
"Lo gak bakar obat nyamuk apa?"
Liana membalikkan tubuh, perlahan dia bangkit, duduk melipatkan kaki.
"Golongan darah lo apa?"
"Kenapa jadi tanya golongan darah? Gua tanya lu kenapa gak bakar obat nyamuk?"
"Justru nyamuk gak datang ke gue makanya gue tanya lo golongan darah apa?"
"O ... tapi masa sih lu gak digigit nyamuk?" Elang penasaran dengan Liana yang mengaku tak didekati nyamuk.
"Menurut artikel yang gue baca, golongan darah O, 83% paling disukai nyamuk. Sedangkan golongan darah gue A, golongan darah yang paling gak disukai nyamuk. Maybe, kalau gak ada makanan lain baru isap darah gue." Liana menjelaskan sesuai dengan apa yang dibaca.
"Wah, ternyata gua gak cuma disukai perempuan, nyamuk juga," kelakar Elang membawa suasana lebih santai. Biar Liana tak kantuk, meninggalkan dirinya yang berperang dengan serangga penghisap.
"Maksudnya nyamuk perempuan?"
"Gak gitu juga. Maksud gua, orang tu yang perempuan, bukan nyamuk." Elang meralat ucapannya biar tak dikira tak laku.
"Tapi nyamuk yang gigit lo itu jenis kelamin perempuan." Ucapan Liana terdengar sangat serius di telinga Elang.
"Tau dari mana? Emang elu dokter hewan?" Jelas terdengar remehan dari Elang. Tapi bukan Liana namanya yang tak bisa menangkis.
"Gak perlu jadi dokter hewan untuk tau jenis kelamin nyamuk. Orang lain udah mengecek, jadi gue yang awam tinggal baca aja."
"Udah ah, gue mau tidur."
"Jangan dulu!" Spontan tangan Elang memegang bagian d**a Liana.
"Anjir lo pegang itu lagi." Liana memekik, melayangkan tangan pada bagian tubuh Elang. Dan bagian wajahnya yang dikena. Maklum dalam kegelapan. Asal-asalan saja.
"Gua gak sengaja. Gelap." Elang membela diri. Detik kemudian lampu menyala sangat terang. Matanya langsung tertuju pada bagian d**a Liana. Merasa di tatap, Liana segera menarik selimut, menutupi sekujur tubuhnya.
Napas terasa sesak, Elang meneguk keras salivanya.
"Apa lo?" ketus Liana menatap tajam. Tangannya mengeratkan selimut, menutupi bagian tubuh yang terbuka.
"Biasa aja kali. Kecil pun." Sengaja Elang berkata seperti itu untuk menghindari kegugupan dan tatapan tajam Liana yang sangat mengerikan itu.
Lantas Liana tersentak, memasukkan tangan ke dalam selimut, mengecek dadanya sendiri.
"Astagfirullah." Tersadar, Liana segera memasang wajah ketus.
"Biar kecil, emang lo punya?"
Sama seperti Liana tadi, Elang pun juga mengecek.
"Udah ah, ngapain juga kita bahas beginian." Langsung saja Elang bangkit, mengambil bajunya di lantai kemudian pergi ke kamar tamu.
Mereka sudah sepakat untuk tidur pisah kamar sampai orangtua Liana maupun Elang datang.
Di kamar yang berbeda, baik Elang maupun Liana sudah merebahkan tubuhnya, menatap langit dengan tatapan kosong karena pikiran mereka masih tertuju pada kejadian tadi.
"Ya ampun, ngapain juga gua mikirin itu? ... gak bener ni" Elang mengusap gusar wajahnya, lalu menggeleng kepala.
*
Setelah masa cuti pernikahan selama seminggu, kini lurah muda itu sudah kembali beraktivitas.
Meninggalkan dendam pada Rafan karena belum menemukan ide yang tepat untuk membalas atas apa yang telah dilakukan oleh laki-laki yang sudah bergelar ayah tiga orang anak itu.
Beraktivitas kembali artinya Elang harus melakukan segala pekerjaannya sebagai lurah. Kang Beni, selaku sekretaris kelurahan langsung mendatangi, menyerahkan agenda.
"Opening ceremony sepak bola kelurahan Cibobrok. Oh, jadi besok ni?" Elang menatap buku agenda harian, lalu menoleh pada Kang Beni.
"Iya, Pak Lurah. Bapak harus datang bersama dengan istri. Sesuai dengan peraturan yang telah berlaku secara turun termurun, Bapak dan istri harus pakai baju adat." Kang Beni menjelaskan peraturan pakaian ketika menghadiri acara yang cukup penting. Baik tingkat kelurahan, kecamatan sampai provinsi.
"Apa gak terlalu ribet ya?"
"Enggak atuh, Pak. Nanti istri teh pakai baju kebaya, kalau bapak pakai totopong dengan kain wiron."
Elang bergeming. "Apa Liana mau pakai begituan ya?"
Elang masih memikirkan istrinya di saat seperti ini. Takut tak nyaman hingga berakhir protes. Tapi karena Liana sudah berkecimpung di dunia politik kelurahan, harusnya menuruti semua peraturan di sana.
Elang pun menyampaikannya pada Liana melalui panggilan suara.
"What? Kebaya? Yang benar aja? Enggah ah, gue gak mau." Sesuai dengan apa yang dipikirkan Elang, Liana menolak keras.
"Lu sekarang ibu PPK, bini gua. Harus ikuti peraturan di sini." Elang memberi penekanan pada status yang disandang Liana saat ini. Biar tak lupa.
"Udah mau aja," bisik Luna yang ada di samping.
Liana memijat pelipisnya. "Ok."
Elang tentu senang dengan keputusan Liana. Dia pun menutup telepon dan kembali pada pekerjaannya.
Sedangkan Liana kembali menatap Luna.
"Lo ada disuruh begituan gak sih?"
"Ada. Untuk acara penting aja."
Liana membuang napas kasar. "Tapi gue gak punya baju. Temani gue beli baju yuk!"
"Terus anak gue mau di bawa ke mana?" Luna melihat ketiga bayinya.
"Kan ada mbok Nana, tante Sabila juga."
Luna memikir sejenak lalu mengangguk kepala. Dia setuju untuk pergi ke pasar menemani Liana belanja.
Di sebuah toko baju yang menjual segala jenis pakaian adat Sunda, Liana memilih baju yang cocok untuk dipakainya—kebaya warna cream.
"Lo beli juga?" tanya Liana melihat Luna ikutan memilih baju.
"Iya. Gue juga ikut temani Fanfan di opening ceremony sepak bola kelurahan."
Merasa ada teman, Liana tambah semangat untuk ikut menemani sang suami.
Keesokan hari, dia sudah siap dengan setelan kebaya rok batik. Sedikit dandanan tipis dan kerudung segi tiga yang menutupi seluruh rambutnya.
Lantas, Elang yang sedari tadi menunggu istrinya keluar dari kamar malah terpukau.
Cantik, itu satu kata yang tak bisa diucapkan karena gengsi tapi diakui oleh hati, mata dan logikanya.
"Ayo!"
Elang tersentak, mengangguk kepala—gugup. Lengan kirinya ditekukkan, isyarat agar dirangkul oleh Liana.
"Biar orang lihat kita ini sebagai pasangan paling manis dan romantis."
"Walaupun bohong ya?" Liana merangkul lengan sang suami. Dia rela melakukan itu karena tujuannya untuk menutupi pernikahan konyol ini.
"Eh, ada pengantin baru." Rafan bersama dengan istri sengaja menyapa Elang dan Liana.
"Hmmm." Elang melihat Luna, tampak biasa saja. Tak ada getaran sama sekali, sampai dia bingung dan memegang dadanya untuk mengecek.
"Yang mesra dong kalau diboncengin. Lihat ni gua." Rafan pamer, Luna duduk di belakangnya, terus memeluk dengan penuh kemesraan.
Liana tak mengubris. Dia tetap duduk dengan santai, tangan memegang bahu.
"Itu mah kayak diboncengi kang ojek," sahut Luma membuat Rafan terkekeh.
Elang pun segera memindahkan tangan yang memegang bahu itu ke pinggang.
"Jangan bilang lo terprovokasi?" Liana mendelik.
"Nanti kita bahas lagi. Sekarang gini aja dulu."
"Hmm, pura-pura nolak, giliran udah tau nikmat pasti ketagihan," celetuk Rafan.
Elang tak ingin mendengar ocehannya lagi, segera memacukan motornya menuju lapangan kelurahan Cibobrok. Disusul oleh Rafan dan Luna di belakang.
Sesampai di sana, pasangan pengantin baru itu langsung berubah menjadi mesra. Tangan Liana selalu merangkul lengan suaminya, tersenyum saat orang-orang menyapanya, serta mendoakan supaya mereka menjadi keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Lalu terlihat tercengang dengan ucapan semoga cepat dapat momongan.
"Gua punya tips, sering-sering menyemai," celetuk Rafan sontak membuat Elang dan Liana terperanjat.
"Astagfirullah, lu kayak setan aja. Tiba-tiba muncul," omel Elang memegang dadanya.
Lantas Rafan menyeringai. "Makanya jangan kebanyakan melamun!"
*
Opening ceremony sepak bola kelurahan Cibobrok telah dilaksanakan. Kini mereka hendak pulang, tapi malah terhalang oleh Rafan dan Luna yang memamerkan keromantisan. Dengan mencium kening istri, pipi dan berakhir di bibir. Segera Elang dan Liana pura-pura muntah.
"Kalian gak bisa kan? Rugi bayar mahar gede-gede kalau gak bisa gini." Rafan meledek Elang yang telah mengeluarkan 246 gram emas untuk menikahi Liana. Sesuai tanggal lahir, 24 juni.
"Belum," jawab Liana spontan menarik tangan Elang menjauh.
"Maksud ucapan lu tadi apa? Lu mau kita lakuin begitu?" Elang menatap lekat wajah sang istri yang menyeretnya sampai parkiran motor.
"I—iya."
"Hah?" Elang tercengang dengan ucapan Liana. Benarkah Liana sudah terprovokasi oleh Rafan dan Luna?