Bab 10

1776 Words
Lega sekali rasanya dapat kembali menghirup udara bebas setelah dikurung hampir seharian penuh. Masuk kamar ketika langit masih cerah dan keluar ketika langit sudah senja. Terdengar petir yang menggelegar dari langit, membuat Liana menunda untuk pergi mengunjungi ketiga baby boys-nya Luna. Ditutup pintu rapat-rapat, serta ditarik tirai agar kilat tak menyambar. “Ini bukannya musim kawin ya? Kenapa tiba-tiba turun hujan?” Itu Elang. Dia datang dari dapur dengan segelas s**u panas di tangannya. Liana mengedik bahu. Duduk di sofa menanti hujan reda. “Lo minum s**u?” Belum saling mengenal satu sama lain, kecuali nama. Liana merasa aneh melihat laki-laki di depannya minum s**u putih panas di sore hari. “Hmm, lu mau?” Liana menggeleng. “Gue gak suka s**u putih.” “Enak loh, minum s**u putih biar cepat putih.” Layaknya sedang iklan, Elang menyeruput sedikit s**u putih dengan asap yang masih mengepul. “Oh, pantesan camat Fikar hitam ya. Ternyata suka minum kopi.” Elang yang sedang asik minum s**u mendadak tersedak hingga terbatuk-batuk. “Eng—gak gitu juga konsepnya.” “Tadi kata lo minum s**u biar putih. Jadi minum kopi biar hitam kan?” Pura-pura bodoh, Liana sengaja meladeni suami bocahnya itu. “Au ah, terserah lu.” Tak ingin berdebat, Elang menikmati setiap mili air s**u yang masuk ke dalam mulutnya itu. Nikmat. Di luar, hujan bukan malah berhenti, tapi semakin deras. Dan biasanya bawaan lapar. Liana pun pergi ke dapur untuk melihat makanan apa yang bisa dimakan. Meja makan kosong. Dia membuka lemari dan mendapati mie instan. Segera dia ambil, dipersiapkan segala macam bumbu untuk memasak mie instan berkuah. “Liana, pesan satu.” “Bikin aja sendiri.” “Kata om Zayyan, derajat suami itu lebih tinggi dari istri, meskipun lu lebih tua dari gua. Ucapan adalah perintah, jadi gua minta lu masakin gua mie.” Elang menyungging bibirnya. Sekarang dia sudah pandai berbicara karena dekat dengan abinya Rafan. “Hmm.” Liana mengambil satu bungkus mie instan lagi, lalu dicampur dengan punyanya. Tak butuh waktu lama, mie instan berkuah sudah disajikan di dalam mangkuk. Satu untuk Elang dan satu lagi untuk dirinya. Sementara itu, Elang sendiri menuangkan dua gelas air putih, dibawa ke ruang TV karena mereka akan makan sambil menonton TV. “Gimana rasanya?” tanya Liana di sela makan. “Hmm, lumayan,” jawab Elang sambil mengunyah. Mie instan itu rasanya enak, hanya saja kata lumayan sudah cukup menggambarkan cita rasa dari masakan Liana. Gengsi dong jika dia bilang enak sekali, yang ada Liana tambah besar kepala. Terus menikmati sampai mangkuk kosong, barulah menegukan air mineral. “Lang, menurut lo, tujuan pernikahan kita ini apa?” Liana masih bingung tentang pernikahan yang baru digelar kemarin. Hati hampa tak tau arah. Apakah Elang merasakan apa yang dirasakannya saat ini? “Entah. Gua juga bingung.” Yang mengajak nikah sendiri bingung akan tujuan mereka menikah yang sebenarnya selain melindungi nama baik Lurah yang hampir tercemar. “Terus kita ngapain nikah ya?” Jadinya sama-sama bingung. Seperti sedang bermain di dalam kehampaan. “Demi jaga nama baiklah. Iya kali, nama kita tercoreng gara-gara dianggap mesum.” Liana bergeming. Otaknya mulai aktif setelah sebulan yang lalu buntu. “Lang, kok gue merasa ada yang janggal ya? Kayak ada orang yang sengaja menjerat kita untuk menikah?” “Maksud lo si Rafan?” “Yap. Sebenarnya Kang Deni itu menyebarkan gosip apa enggak ya? Kenapa orang-orang pada anteng aja? Biasanya kalau disebar foto kita yang terciduk itu, harusnya semua orang pada ngegosipin kita. Tapi ini buktinya enggak.” Elang membisu. Mendadak dia jadi menggunakan akal sehatnya dalam berpikir. Dulu saat ditangkap warga, dia tak dapat menggunakan kecerdasannya secara penuh, baru sekarang dia dapat berpikir tenang, apalagi ada teman diskusi. “Apa jangan-jangan kita dijebak Rafan?” Saling menatap dengan bola mata yang membulat sempurna. “Bisa jadi.” “Anjir. Gua harus balas dendam.” Elang mengepal tangan. Bisa-bisanya dia malah dijebak oleh kebohongan Rafan sendiri. Di saat semua orang sudah percaya dengan klarifikasinya, tapi malah terpengaruh oleh ocehan Rafan yang meminta Elang dan Liana menikah. “Sebelum balas dendam, sebaiknya cari dulu kejadian pastinya.” Liana menatap manik mata Elang. “Kang Deni.” Liana mengangguk mantap. Karena ini konspirasi antara Rafan dan Kang Deni, tentunya mereka harus menangkap Kang Deni dulu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah pepatah mengatakan. Begitu hujan berhenti, Elang pergi keluar untuk membeli lilin, takut mendadak mati lampu. Maklum saja, ini bukanlah kota besar dengan suplay listrik terpenuhi secara merata. Dia tak sengaja melihat Kang Deni sedang tertawa di warung kopi bersama dengan warga sambil menikmati gorengan dan kopi pahit. “Kang.” Elang menyapa Kang Deni yang segera menoleh. Tersenyum menyambut kedatangannya, seakan dia lupa atas apa yang telah terjadi. “Bening banget atuh, Pak Lurah,” goda salah satu warganya. “Pengantin baru atuh,” celetuk penjaga warung terkekeh. Elang membalas dengan senyuman, lalu mempusatkan perhatian pada Kang Deni. “Kang Deni, bisa kita bicara berdua?” “Sok atuh.” Kang Deni segera bangkit, mengikuti Elang yang memilih menepi. Ini pembicaraan serius sehingga orang lain diharapkan tak mendengar. “Saya dengar Kang Deni ini berbohong mengenai foto saya dan Liana yang disebar ke grup warga?” Tanpa basa-basi, Elang blak-blakan berbicara dengan Kang Dani yang mendadak gagap. “Ta—tau dari mana?” “Katakan saja, iya atau tidak? Kalau Kang Deni berani bohong lagi, saya akan laporkan pada warga untuk tak mempercayai Kang Deni.” Elang tak segan mengancam warganya itu. “Kalau tidak salah, Kang Deni kemari apel teh Nia kan?” Kang Deni mendadak ketar-ketir. Itu rahasia yang tak boleh diketahui. Laki-laki kurus dengan rambut cepak itu berusaha menjadi playboy—seakan laku keras sehingga hampir semua perempuan yang menjadi targetnya digoda. “Duh, Pak Lurah jangan ancam saya.” Menghapus jidat yang tak berkeringat. “Makanya jujur.” “Baik saya akan jujur.” Tak ada pilihan lain selain harus jujur pada Elang. Kang Deni menceritakan bahwa dia tak mengambil foto di mana Elang dan Liana sedang mendapat musibah. Dia hanya melapor pada Rafan, selaku atasannya. Dan untuk semua yang terjadi itu hanyalah rekayasa dari Rafan yang sangat pandai dalam membuat tipu muslihat. Bodohnya Elang malah percaya saja. “Ck! Sial.” Elang mengepal tangan. “Duh, Pak Lurah teh jangan bilang tau dari saya ya!” pinta Kang Deni sungguh-sungguh. Ketika sedang bekerjasama dengan Rafan, semangat membara. Ketika sudah ketahuan malah kuyup. Lantas Elang mengangguk kepala. Dia segera kembali pulang untuk menemui Liana. Tak membawa lilin satupun karena informasi yang baru saja didapat jauh lebih penting dari segalanya. “Liana—” Elang terpaksa harus menjeda ucapannya saat lampu mendadak padam ketika kakinya baru saja menginjak ruang tamu. “Sial, malah gua lupa beli lilin lagi.” Alhasil, Elang harus mengeluarkan hpnya. Dan nahasnya lagi, dia lupa mengecas hp. Begitu dinyalakan langsung padam. “Ya Allah, kenapa apes gini?” gerutunya mencebik sebal. Tak lama kemudian terlihat secercah cahaya dari pintu kamar, perlahan semakin mendekat. “Mana lilinnya? Hp gue tinggal 5% lagi. Lupa ngecas tadi.” “Lupa.” “Loh, kok bisa lupa sih?” Liana tersentak. “Emang lo di luar ngapain aja?” Diomeli seperti seorang ibu pada anaknya. Elang tak berani mencari alasan dusta. “Ketemu Kang Deni. Interogasi bentar, terus lupa beli lilin.” Liana menarik napas berat, mengusap gusar wajahnya. “Terus gimana? Gelap-gelapan ni?” “Udah terlanjur lupa. Tapi setidaknya kita bisa mulai balas dendam dengan Rafan. Gua udah pastikan apa yang kita pikirkan itu benar. Semua ini ulah Rafan.” Elang memberi jawaban pasti. Sedangkan Liana tak menggubris. Dia harus kembali ke kamar. Mengandalkan cahaya hp untuk menerangi kamar yang gelap gulita itu. Elang pun tak mau ditinggal sendirian dan malah mengekorinya. “Jangan banyak komplain! Kita tidur bareng. Janji gak akan macam-macam,” ujar Elang berterus terang sebelum ditanyai Liana. “Awas kalau ingkar janji.” Liana menatap Elang yang mengangguk mantap. Untuk malam ini mereka harus berbagi kamar. Tidur satu kasur tapi saling memunggungi. Sementara di lain rumah, Rafan jadi kerepotan saat mati lampu. Mereka masih ada cahaya lilin yang menerangi rumah, tapi kesulitan untuk mengatasi nyamuk yang beterbangan. Ditambah panas. “Mom, nyamuknya kenapa gak dikandangi sih? Jadinya kan keluar,” kelakar Rafan sambil mengipasi ketiga anaknya itu. “Maunya sih Mommy bantai. Tapi sayang si kembar. Gak bagus menghirup udara yang tercemar obat nyamuk.” Mereka duduk di ruang TV. Ketiga bayi kembar berada di kasur kecil yang digelar di atas ambal, dikelilingi oleh Sabila, Zayyan, Rafan, Luna, Mbok Nana dan Nada. Sedangkan yang lain sudah balik ke Jakarta karena harus mengurus pekerjaan. Termasuk Opa, karena belum bisa melepaskan usahanya sepenuhnya pada anak dan cucu. “Bi, atal,” celoteh Nada mengulurkan tangan. Dia duduk di dalam pangkuan Zayyan. “Di gigit nyamuk ya?” Nada mengangguk kepala. Zayyan segera mengusap-usap tangan kecil itu sampai merasa puas. Diantara semua anak-anak Zayyan, Nada-lah yang paling manja dan mendapatkan kasih sayang penuh. “Bobok amar.” Zayyan kembali menuruti keinginan putri kecilnya. Dia segera bangun untuk membawa Nada tidur di kamar. “Mi, yok,” titah Nada pada ibunya. “Mommy tinggal dulu ya.” Sabila segera menyusul suami dan anaknya ke kamar. “Mbok juga mau tidur. Lelah sekali seharian jaga si kembar.” Mbok Nana juga berpamitan. Dan kini tinggallah Luna dengan suami dan ketiga bayi mungil itu. “Berasa kayak ngepet ya?” Rafan terkekeh melihat sebatang lilin yang menyalakan apa di atas sumbu. Bukan satu jam ataupun dua jam, hampir sepanjang malam lampu belum juga menyala. Rafan merasa sangat kerepotan. Dia harus mengipas ketiga putranya, ditambah Luna minta dikipasi juga karena tak panas. Sampai harus menghela napas dari mulut, Rafan merebahkan tubuhnya di samping mereka. “Nasib, nasib.” Tak jauh berbeda dengan Liana dan Elang, mereka juga merasakan hal yang serupa. Suara nyamuk yang beterbangan dan panas. Ingin menghindari dari suara nyamuk dengan menutup sekujur tubuh dengan selimut, eh malah kepanasan. Alhasil mereka harus bangun, duduk, bersandar di kepala ranjang dengan kaki selonjoran. “Panas banget ya?” ujar Elang mengipas wajahnya dengan tangan. Tidak ada lagi cahaya, karena hp sudah mati total. Mereka harus gelap-gelapan, tak tau apa yang dilakukan oleh pasangan di sebelah. “Hmm. Padahal tadi habis hujan, tapi kok bisa panas ya?” “Kalau kata BMKG, habis hujan terasa panas, penyebabnya berkurangnya tutupan awan, radiasi matahari yang optimum mencapai permukaan, adanya jeda hujan dan terjadi blocking Monsun Asia,” jawab Elang membuat Liana tercengang. Jenius juga ni anak. Hening, mereka mengipasi diri sendiri dengan kedua belah tangan. Gerah, keringat terus keluar. “Kalau gue buka baju, lo aman gak?” tanya Liana menoleh ke samping. Gelap gulita. “Hah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD