Bab 13

1314 Words
"Lang, ada undangan makan malam dari tante Sabila." Begitu mendapat pesan dari Sabila, Liana langsung menghubungi suaminya—menyampaikan amanah. "Gua aja atau lu juga?" "Berdualah. Kan lo suami gue." Liana memutar bola mata kesal. Bisa-bisanya Elang melupakan status, padahal sudah berjalan dua minggu lebih. "Oh, kita udah nikah ya?" Sengaja Elang membuat istrinya ilfeel. Maklum saja, dia sedang gabut di kantor kelurahan karena tak ada kerjaan. Kebetulan sekali ditelepon oleh Liana, bisa mengurangi sedikit kebosanan. "Iya, nikah doang. Kawin yang belum. Kapan kita pisah?" "Gak tau. Tunggu bosan dulu. Lagian lucu kan kalau kita mendadak udahan, dikira rumahtangga kilat, biar pesantren aja yang kilat. Kita mah jangan." "Dah lah, gak jelas banget ngomong sama lo," pamit Liana langsung memotong pembicaraan. "Mau ke mana?" tanya Elang tak ingin dulu menyudahi. Dia terlalu bosan, ingin diganggu. "Tidur." "Eh, enak banget lu di rumah, kerjaan cuma tidur doang. Gua malah kebut-kebutan cari nafkah." "Eleh, sok-sok an lo." "Siang nanti antar makanan ya! Gua pengen rasa masakan elu," pinta Elang sangat serius. Selama pernikahan dia hanya makan mie instan dan telur goreng hasil masakan Liana. Selebihnya tidak, dia takut Liana sebelas dua belas dengan Luna yang mengerti hanya masak mie instan dan goreng telur. Disangka tak bisa masak karena keseringan makan mie instan, padahal Liana hanya ingin praktis ketika rasa lapar datang. Selain itu Elang lupa bagaimana Liana dengan cekatan terjun ke dapur untuk memasak di kala p****t Elang sakit. "Tumben lo suruh gue masak? Biasanya gak mau, pengen masak sendiri," ujar Liana meniru gaya bicara Elang saat melarangnya masak. "Itu dulu, sekarang beda cerita. Pokoknya siang nanti harus ada makanan yang diantar ke kantor gua!" tegas Elang dalam memberi perintah. "Hmm." Karena sesekali Elang meminta, Liana pun menyanggupi. Panggilan terputus karena Liana menolak melanjutkan, takut ada permintaan macam-macam yang membuat dia kesulitan karena harus ke pasar. Sekarang biarlah dia masak sesuai bahan di dapur. Kulkas dibuka hanya ada telur satu butir, dibuka lemari yang ada hanya mie instan satu bungkus. Minyak pun habis. "Hais, masak gue masak mie rebus sih?" Liana mengeluh. Tak sampai hati jika harus memasak mie rebus untuk makan siang. Sudah hari-hari mie instan sebagai pengganti cemilan, masa harus mie instan lagi di kala jam makan utama. Mau tak mau Liana harus siap-siap pergi ke pasar. Tak ada motor yang bisa digunakan, hanya mobilnya saja, tak mungkin jika dia ke pasar dengan mobil, mana muat. Alhasil, Liana membawa mobilnya ke kantor kelurahan untuk ditukar dengan motor matic milik Elang. "Eh, Bu Lurah." Orang-orang yang bekerja di kantor kelurahan menyapa kedatangan Liana untuk pertama kali. Senyum mengembang dan anggukan kepala ditampilkan Liana sebagai wujud keramahannya pada staf. "Pasti cari Pak Lurah," tebak Kang Beni. "Iya. Dia di mana?" "Ada di ruangannga. Mari saya antar." Kang Beni sangat antusias mengantar Bu lurah ke dalam ruangan Pak Lurah. Pintu terbuka, terlihat Elang ketiduran di kursi dengan kedua kaki di silang di atas meja. Liana terperanjat menoleh pada Kang Beni dengan tatapan minta penjelasan. "Biasa atuh, Bu Lurah. Kelelehan. Mungkin Bu Lurah tau kenapa pagi-pagi Pak Lurah ketiduran." Sengiran jahat itu seolah sedang menertawakan Liana yang telah membuat suaminya kelelahan di pagi hari. Apalagi di belakangnya ada yang berbisik. "Wah, pengantin baru." "Maklum saja, gak akan bangun cepat-cepat sebelum matahari terbit." "Bila perlu sampai ranjang rusak." Para staf terkekeh, puas sekali membuat gosip. Tapi Liana tak bisa menyangkal, takut malah ketahuan belum pernah ada sentuhan yang menggairahkan, termasuk cium bibir saja belum. "Masuk atuh, Bu lurah! Jangan berdiri saja! Sekalian dipijat, mungkin saja kelelahan," celetuk salah satu dari mereka sontak membuat semua yang ada di sana tertawa. "Saya sebenarnya juga lelah. Tapi tak apa, demi suami." Tertawa hambar, Liana langsung masuk ketika semua orang menganga dan mesem-mesem pada akhirnya. Liana membuang napas kasar ketika pintu sudah tertutup. Dia melangkah, menghampiri Elang yang sama sekali tak bergerak, kecuali d**a dan perut naik turun. "Oy, bangun!" Tak ada lembut-lembutnya, Liana menepuk lengan Elang. Seketika sang empunya terkejut, spontan menarik tangan Liana hingga terjatuh dalam pelukannya. Menatap dari jarak yang sangat dekat. Tatapan mereka terkunci satu sama lain. "Pak lurah, ini ada—" Kang Tendi tersentak saat melihat pemandangan intim itu. Dia segera menutup pintu kembali. Mengusap dadanya, lalu membekap mulut. "Ada apa?" tanya temannya. "Bahaya. Area terlarang. 21+," ucap Kang Tendi masih mengatur napas. "Hah, yang benar?" Semua merapat, penasaran dan ingin mengintip. Tapi pintu hanya satu. Akhirnya mereka semua berbondong-bondong mengintip lewat jendela. Lantas di dalam, Liana segera bangkit, merapikan baju dan kerudung sambil berdeham. Kedua pipinya sudah merah—menanggung rasa malu. Elang pun ikut beranjak, segera menutup tirai agar stafnya tak bisa mengintip. "Lah, malah ditutup," ucap mereka kecewa. "Kenapa?" "Mata-mata." Menarik tangan Liana agar menjauh, mencari posisi agar mereka tak bisa dengar apa yang ingin dibicarakan. "Ngapain lu ke sini?" tanya Elang karena tumben sekali Liana ke kantor. "Pinjam motor. Gue mau ke pasar. Di rumah gak ada bahan makanan yang bisa dimasak." Elang melihat jam di lengannya, baru jam 9 pagi. "Yok, gua antar." "Serius?" Elang menganggukkan kepala. "Sekalian belanja bulanan ya! Uang di lo aman kan?" "Iya." Bagai ketiban emas. Isi dompet Liana masih tetap aman karena tak perlu mengeluarkan uang untuk belanja bulanan. Liana tersenyum merangkul lengan Elang, tak ada yang kaget, karena mereka harus menunjukkan betapa harmonisnya rumahtangga mereka. Begitu pintu terbuka, semua orang mengulum senyum, hati berbunga-bunga membayangkan hal intim yang terjadi di dalam ruangan pak lurah. "Kang Beni, saya antar istri ke pasar dulu ya! Semuanya saya serahkan sama Akang," kata Elang melapor pada sekretaris kelurahan. "Baik, Pak." Mereka melepaskan kepergian Pak Lurah bersama dengan istrinya. Setelah itu, mereka berbondong-bondong masuk ke dalam ruangan pak lurah. Mencari sesuai bukti bahwa mereka sudah melakukan hubungan suami istri di sana. "Kang, tadi teh gimana?" tanya salah satu dari mereka. Kang Tendi langsung duduk di kursi pak lurah, memperagakan apa yang dilihatnya tadi. "Waaah, launching anak." Mereka jadi heboh sendiri. Sementara itu, Liana diboncengi Elang ke pasar. Tangan dipaksa memeluk pinggang Elang, kalau tidak bakalan diturunkan di jalan. Sepanjang jalan ada saja yang menyapa. Keduanya harus memasang senyum lebar setiap kali disapa. "Kita beli ikan dulu ya," kata Liana begitu sampai di pasar. Tak seramai jam enam, tapi setidaknya masih ada yang tersisa untuk dibeli. Elang tak menjawab dengan kata-kata, tapi dia hanya mengikuti Liana saja. "Gue mau masak seafood saos Padang. Lo suka gak?" Liana masih bertanya pada Elang meskipun dia sangat ingin makan seafood saos Padang ketika melihat ada kerang hijau, kepiting, udang dan cumi. "Gua gak pemilih." "Bagus." Liana segera meminta penjual ikan agar membungkus aneka jenis seafood, lalu beralih pada ikan kembung, gurami dan ayam. Elang hanya berfungsi sebagai bank berjalan. Liana yang memilih, Elang yang bayar. Setelah lauk, pindah ke sayur, lalu sembako. Tangan Elang sudah penuh. "Udah cukup, kita pulang!" kata Elang tak sanggup lagi menenteng belanjaan. Sesuai kata Liana, belanja bulanan. "Jangan dulu, kita belum beli bakso, sosis, nuget. Masa kita harus makan mie instan tiap hari." Elang membuang napas kasar. Dia mengekori Liana untuk beli bakso, sosis, nuget, mie instan satu kartus dan telur. Dikira akan selesai, ternyata Liana beralih pada penjual buah. "Mari, Bu lurah, dicoba dulu!" kata Penjual buah. Liana dengan senang hati mengambil dua butir anggur, satu dia makan, satu lagi disuapi ke suaminya. "Gak dicuci dulu?" "Kelamaan." Liana beralih pada rambutan. "Jangan itu!" "Eh!" Liana menoleh sambil memegang buah rambutan. "Kenapa?" "Pokoknya jangan beli buah itu!" tegas Elang tanpa alasan. "Kenapa? Ini enak kok." Liana malah menggigit, membuat Elang mual, membuang wajah. "Ni makan!" Liana menyumpal rambutan yang sudah dikupas, sontak membuat Elang meludah dan terbatuk-batuk. "Dih, sok kaya lo," umpat Liana. "Bukan sok kaya, tapi gua emang gak suka sama rambutan. Geli." Elang berterus terang membuat Liana melongo. "Maksudnya gimana? Ini manis loh." Liana kembali menggigit dan kini Elang menarik buah itu dari tangan Liana. "Ini mirip anu," bisik Elang. "Anu?" Liana lemot, tak tau maksud Elang. Sejurus kemudian dia tersadar ketika mengikuti arah mata suaminya. "Astagfirullah, m***m!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD