2000.000 tahun yang lalu. Disaat Bumi masih begitu hijau dan bersih.
Saat itu makhluk yang bernama manusia modern (Homo Sapiens) baru muncul di permukaan bumi. Entah karena sebuah evolusi, atau karena apa. Mereka muncul, dan akan mendominasi Bumi di masa depan nanti. Akan tetapi manusia modern di masa itu, adalah yang sangat primitif, bila dibandingkan dari manusia yang hidup di dunia modern saat ini. Yang sudah dipenuhi oleh teknologi diberbagai kehidupan pribadinya.
Saat itu mereka juga mulai membangun ikatan antar kelompok yang akan menjadi sebuah kebudayaan di masa depan nanti. Bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dengan variatif ras yang tersebar nyaris di seluruh Planet Bumi, di masa depan nanti. Di mana Bumi, akan banyak berubah oleh makhluk yang bernama manusia.
Di puncak sebuah gunung es di daerah khatulistiwa, yang dikenal sebagai Gunung Sunda di masa depan. Terlihat sosok lelaki berbaju putih dengan topeng harimau putih sedang berbincang dengan sosok yang sangat persis dengan Jailan, sang Pangeran dari Bulan Terang. Tetapi sosok itu bukanlah Jailan, akan tetapi Leluhur Bulan muda. Mereka berdua adalah saudara seperguruan berbeda dimensi. Sosok bertopeng harimau putih yang di masa depan dikenal sebagai Dewa Sihir, berasal dari dimensi tingkat satu yang merupakan dunia fana. Sedangkan Leluhur Bulan berasal dari dimensi tingkat tiga, tempat jin tingkat menengah dan tinggi berasal.
Mereka telah lama tak berjumpa, sejak ada masalah di antara mereka berdua. Masalah yang disebabkan oleh kakak pertama mereka, yang bernama Dewa Kegelapan alias Lubang Hitam.
"Akhirnya kau ingin menemui ku juga, Adik ...," kata Leluhur Bulan muda, dengan suara pria muda yang begitu lembut.
"Kalau aku tak menemui mu, pasti kau akan tetap menungguku, bukannya begitu?" sahut Dewa Sihir, dengan nada datar. Seakan masih menyimpan dendam di masa lalu mereka berdua.
"Pasti kau sudah tahu dengan masalahku?" kata Leluhur Bulan Muda, berusaha untuk mengambil hati adik seperguruannya itu.
"Ya, aku tahu itu. Pasti kedua anak kembar mu sedang ber'ulah lagi ...," timpal Dewa Sihir, tetap dengan nada datar.
Leluhur Bulan Muda, lalu menatap langit sebelum dirinya berkata kepada Dewa Sihir.
"Ya, oleh karena itu aku meminta bantuan mu. Benda-benda pusaka dari Galaksi Andromeda itu, sudah membuat mereka gila bertarung," tutur Leluhur Bulan muda, yang dikenal sebagai Dewa Bulan. Pendiri dari Kerajaan Bulan, yang di masa depan akan terpecah menjadi. Bulan Terang dan Bulan Gelap, yang berada di dimensi tingkat tiga. Yang tak mampu dilihat oleh mata manusia sejati, yang hidup di dunia fana.
"Tenang saja, satu di antara mereka adalah murid ku. Aku akan mengurus mereka. Sekarang lebih baik kau pergi ke Galaksi Andromeda, untuk mengurus urusanmu itu," ujar Dewa Sihir, kepada kakak seperguruannya itu. Seakan dirinya benar-benar malas untuk berlamaan dengan Dewa Bulan.
"Ternyata kau baik sekali dan pengertian, Adik. Walaupun aku sudah membuatmu kecewa ...," tutur Dewa Bulan. Yang membuat Dewa Sihir tak suka mendengarnya.
"Jangan mengungkit masa lalu. Sebaiknya kau gunakan lubang cacing untuk pergi ke asal mu. Sebelum kekacauan di Andromeda semakin tak terkendali. Dan kau akan mendapat masalah besar nanti!" sahut Dewa Sihir, dengan nada ketus. Terhadap kakak seperguruannya itu.
"Baiklah Adik," jawab Dewa Bulan lirih. Tak ingin membuat keadaan semakin panas di antara mereka berdua.
Dewa Bulan lalu menyentuhkan tangannya ke depan. Hingga terciptalah lubang cacing berwarna putih yang semakin membesar dengan begitu cepatnya. Hingga Dewa Bulan pun merubah dirinya menjadi cahaya perak, yang segera melesat masuk ke lubang cacing itu dengan kecepatan tinggi. Tanpa berkata apa pun lagi terhadap adik seperguruannya itu.
Lubang cacing berwarna putih itu lalu menghilang begitu saja. Setelah Dewa Bulan masuk ke dalamnya. Untuk menuju Galaksi Andromeda yang berjarak 2,5 juta tahun cahaya dari Galaksi Bima Sakti dengan hanya sekejap mata saja.
"Kenapa, masih ada rasa sakit ini. Saat aku berdekatan dengan dirinya," ucap Dewa Sihir di dalam hatinya.
Dewa Sihir lalu tersenyum getir, menatap hilangnya lubang cacing. Yang merupakan jalan pintas menuju Galaksi Andromeda.
"Dua anak nakal itu sebenarnya sedang berada di mana?" tanya Dewa Sihir di dalam hatinya, sembari memejamkan sepasang matanya untuk mencari keberadaan dari anak kembar Dewa Bulan. Dengan kekuatan deteksi gaib tingkat tingginya itu.
Dewa Sihir tak merasakan keberadaan mereka hingga ke seluruh sisi Galaksi Bima Sakti di zaman itu. Walaupun dirinya sudah menggunakan seluruh kekuatannya.
"Jangan-jangan mereka menembus waktu?" tanya Dewa Sihir di dalam hatinya, masih dengan mata terpejam.
Dewa Sihir terus mencari keberadaan anak kembar dari Dewa Bulan, dengan kekuatan sihir tingkat tingginya itu. Lapis demi lapis waktu sudah ia jelajahi. Hingga ia pun menemukan energi kehidupan mereka di masa 700 juta tahun yang lalu. Yang membuat Dewa Sihir begitu terkejut, bagaimana mereka bisa menembus waktu ke masa lalu, sejauh itu.
Masa yang benar-benar begitu jauh dari kehidupan mereka itu. Masa di mana Bumi masih begitu tak begitu layak untuk kehidupan makhluk dunia fana.
"Bagaimana bisa mereka menembus waktu ke masa lalu hingga sejauh itu?" tanya Dewa Sihir di dalam hatinya, dengan penuh kebingungannya.
"Pasti mereka menggunakan batu pengendali waktu. Aku pun ke masa itu, pastinya akan menguras kekuatanku. Tapi tidak ada pilihan lainnya, aku harus ke masa itu untuk menghentikan mereka berdua ...," jawab Dewa Sihir di dalam hatinya, lalu membuka kedua matanya.
"Aku harus membuat duplikat diriku. Untuk berjaga-jaga, siapa tahu aku tidak dapat kembali ke masa ini, karena sesuatu hal," ujar Dewa Sihir di dalam hatinya.
Dewa Sihir pun membelah dirinya menjadi dua. Ia ciptakan duplikat dirinya dengan kekuatan 50% dari dirinya. Dirinya takut tak mampu kembali ke masa depan, saat sudah berada di masa lalu yang sangat jauh. Ia sengaja menciptakan duplikat dirinya, agar duplikatnya itu dapat menarik dirinya dari masa lalu. Jika dirinya terjebak di masa lalu. Dan tak bisa untuk kembali, dengan kekuatan yang ada.
"Duplikat ku, lebih baik kau kembali ke masa depan. Jangan biarkan murid-murid ku yang lain tahu, kalau aku sedang berada di masa lalu. Dan kau pun harus bersiap menarik diriku ke masa depan, andai diriku tak mampu kembali ke masa depan, dengan kekuatanku sendiri," tutur Dewa Sihir kepada duplikatnya yang memakai topeng harimau putih.
"Baiklah Majikan, semua keinginanmu. Akan segera kulakukan," sahut duplikat Dewa Sihir, lalu menghilang dari tempat itu untuk kembali ke masa depan. Menembus waktu dengan begitu mudahnya. Seakan waktu hanyalah mainan saja bagi dirinya.
"Padahal, aku ingin tahu asal-usul leluhurku dari mana di zaman ini. Tapi aku harus menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu. Sebelum semakin memburuk ...," kata Dewa Sihir di dalam kalbunya, lalu menghilang dari tempat itu begitu saja.
Dewa Sihir yang menghilang tiba-tiba saja muncul di tempat yang sama dengan masa yang berbeda. Di mana di masa itu, Bumi sedang menjadi bola salju yang kedua. Seluruh planet diselimuti oleh salju tebal, termasuk daerah khatulistiwa. Hingga Bumi pun terlihat seperti bola salju, jika dilihat dari luar angkasa saat itu.
"Ini bukan Gunung Sunda. Tetapi kenapa seluruh penjuru Bumi diselimuti oleh salju?" ujar Dewa Sihir dengan penuh kebingungannya. Karena baru pertama kali ini dirinya masuk ke zaman yang sangat jauh. Sebelum adanya manusia. Dan makhluk hidup dunia fana yang ia kenalnya.
Dewa Sihir lalu melesat ke angkasa secara perlahan-lahan. Di penglihatannya itu, semakin ia terbang tinggi. Maka semakin luas pandangannya dengan Bumi yang diselimuti oleh salju.
"Oh ternyata saat ini aku sedang berada 600-700 juta tahun yang lalu. Di mana Bumi sedang menjadi bola salju untuk yang kedua kalinya. Si kembar dari Bulan itu, benar-benar gila. Menembus waktu hingga sejauh ini. Mungkin mereka berpikiran, aku tak bisa menemukan mereka. Yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu mereka," tutur Dewa Sihir, terus melesat ke angkasa dengan kecepatan rendah. Untuk mencari keberadaan dari anak Dewa Bulan, yang merupakan leluhur dari Kerajaan Bulan Terang dan Bulan Gelap di masa depan.