Pria Bayaran

1130 Words
Harapan bertemu mantan tidak terwujud. Semua kata yang Fikri siapkan untuk meluluhkan hati sang mantan istri menguap di otaknya. Penantian pria itu berakhir bersama dengan jam kerja yang sudah habis. Dia sadar benar jika tidak mungkin Sari datang di jam segini. Dan hari ini adalah kekecewaan yang kesekian kalo bagi Fikri. "Kenapa kamu tidak muncul- muncul, Sayang?" guman Fikri. Fikri akhirnya meletakkan sapu di tempatnya. Ia juga berniat pulang seperti karyawan yang lain. Jika saat ini ia tidak bisa bertemu dengan Sari, masih ada hari esok yang bisa ia harapkan. Setidaknya ia ingin bertemu agar bisa membujuk nya kembali lagi. Langkah kakinya serasa berat meninggalkan gedung yang dimiliki sang mantan. Seharusnya gedung semegah ini menjadi miliknya jika ia tidak melakukan kesalahan besar. "Eh lihat tuh, dia sekarang bawa sepeda motor. Dulu kan dia bawa mobil kalau kerja." "Iyalah, dulu kan ada Bu Saryka. Tidak mungkin dia kekurangan uang. Sekarang dia pasti mikir kalau pakai mobil itu mahal di bensin." Bisik-bisik rekan- rekannya kembali menyakitkan hati Fikri. Bukan gosip yang membuatnya sakit hati, tapi fakta jika yang mereka katakan adalah kebenaran adalah rasa sakit sesungguhnya. Sejak mereka bercerai, Fikri menjalani kehidupan serba pas-pasan. Dia harus memutar otak untuk membayar cicilan mobil, listrik, makan, biaya rumah tangga dan lainnya. "Lebih baik aku segera pulang," ujar Fikri. Rumah adalah satu-satunya tempat aman baginya. Tidak ada yang menggosipkan atau menghina dia. Di sana adalah tempat ia bisa dilayani Selvi dan didukung ibunya. Sayangnya ketenangan yang ia harapkan tidak mudah ia dapatkan. Ibu dan istrinya terdengar cekcok saat ia sampai di rumah. Setiap hari selalu seperti ini. Seolah tidak ada ketenangan di rumahnya. "Menantu pembawa sial! kalau saja kamu tidak ganjen, putraku pasti punya istri CEO!" maki Surti. "Situ yang kuwalat! makanya jadi orang jangan judes, sudah tua, bau tanah masih saja serakah! Nggak ingat umur ya!" balas Selvi yang tidak mau kalah. "Mulut pedes, suka menghina dan jahatin orang kok minta hidup enak, mimpi ya?" "Kurang ajar ya jadi mantu! aku akan minta Fikri ceraikan kamu!" "Bilang saja, aku nggak takut! lama- lama gedek punya mertua kayak dajjal sepertimu! Lebih enak jualan di warung dapat duit dan nggak ikutan nanggung biaya ngerawat rumah sama merawat wanita tua penyakitan kayak kamu." Fikri terhenyak. Saat ini ia memang tidak bisa mencukupi untuk rumah. Cicilan mobil juga cukup menguras dompetnya. Kalau Selvi pergi, bisa jadi ia akan kehilangan mobil karena tidak sanggup mengangsur. "Sudah-sudah! kalian ini selalu ribut!" "Mas, kalau ibumu terus - terusan ngajak aku bertengkar, lama- lama aku nggak tahan. Aku nggak apa-apa jadi janda meski baru menikah beberapa minggu," tantang Selvi. Impiannya memiliki suami kaya dan seorang manager hancur total. Bukannya untung malah buntung. Ia bahkan harus ikutan memenuhi kebutuhan rumah dengan uangnya. Ditambah mertua judes yang mulutnya pedes. "Aku yakin wanita manapun nggak akan mau jadi istrimu kalau ibumu seperti ini." Fikri melirik ibunya. Ia mulai melupakan kalau surga nya ada di kaki sang ibu. Ia mulai teringat kalau kehilangan Sari akibat hasutan ibunya, yang mengatakan Sari mandul menjadi penyebab utama ia menikah lagi. "Ibu tidak ingat kalau aku akan menitipkan mu ke panti jompo jika berulah!?" ancam Fikri. "Nak Fikri, dia hanya pemilik warung kecil tapi kamu tega mengancam ibu karena Selvi," ucap Surti. "Dia lebih baik dari pada wanita tua yang tidak punya hati seperti mu! sekarang pergi ke kamar. Ibu tidak boleh makan malam!" putus Fikri. "Nak, ja- jangan marah. Ibu tidak akan mengulangi lagi." Surti mulai ketakutan. Ia tahu jika Fikri menyalahkan dirinya karena kehilangan Sari. Dia pun memohon pada Fikri. "Ibu tidak akan membuat ribut lagi. Izinkan ibu makan malam ya?" "Sudah... aku tidak mau dengar! silakan pilih, ke kamar atau ke panti jompo!" teriak Fikri. Selvi memanfaatkan itu untuk membalas Surti. Mulut wanita tua yang dipanggil mertuanya memang bikin sakit hati. Tangannya menarik tangan sang mertua yang ia benci. "Sudah, nggak usah drama." Selvi menyeret Surti menuju kamar. Lalu ia mengunci pintunya. "Buka pintunya hiks! maafkan aku. Tolong buka pintunya!" Senyum sinis tersungging di bibir Selvi. "Bu, kalau Mas Fikri marah, ia bisa mengirimmu ke panti jompo lho. Mending diam saja dech." Rupanya ancaman Selvi berpengaruh pada Surti. Wanita tua itu jadi diam. Selvi tersenyum penuh kemenangan. Dia mendekat ke arah Fikri dan memijit bahunya. " Mas cape ya? aku pijitin ya?" Fikri tidak menjawab juga tidak menolak pijatan Selvi. Setidaknya pijatan istrinya ini bisa membuatnya sedikit rileks. "Mas, jangan berpikir terlalu berat. Mungkin saja bukan rejeki Mas menjadi suami CEO." "Kamu cemburu?" "Aku istrimu tentu saja aku cemburu. Tapi aku hanya mengingatkan Mas kalau kelas Mbak Sari dan Mas Fikri itu beda jauh. Apalagi kita sudah menorehkan luka di hatinya. Dia pasti tidak mau kembali sama Mas. Mbak Sari pasti berpikir mencari laki-laki sederajat dari pada kembali pada mantan yang menyakitinya. " Fikri tidak berpikir sejauh itu. Meski sulit menerima tapi apa yang Selvi katakan benar adanya. Saat ini dirinya seperti pungguk yang merindukan bulan. "Sudahlah, ayo kita makan malam," ajak Selvi. Mana mungkin Fikri menolak ajakan yang lembut dan penuh perhatian dari Selvi. Ternyata dia tidak galak dan jutek. Berbeda jika berhadapan dengan ibunya. 'Pasti karena ibu selalu membuat gara-gara.' Fikri mulai teringat dengan hinaan ibunya pada Sari. Hanya saja yang jauh lebih membuatnya menyesal adalah sikapnya yang tidak perduli saat sang ibu memaki dan menghina Sari. Andai saja ia saat itu bisa membela Sari, pasti semuanya tidak seperti sekarang. 'Selvi benar, pasti Sari enggan kembali denganku.' *** Cara Bi Imah untuk membantu Sari menghilangkan trauma, ternyata efektif. Sari yang menikmati spa di rumahnya sendiri sudah merasa rileks. Wajahnya yang kusam kembali cerah. Kulit, rambut, kuku semuanya mendapatkan perawatan agar Sari tidak tampil kusam lagi. Dan ia kini menikmati bersantai di depan kolam setelah semua rileksasi ia dapatkan. "Ini minumnya, Nak." Bi Imah menaruh jus jeruk yang dengan senang hati ia terima. "Dan ini ada telepon." Kali ini Bi Imah menyerahkan ponsel Sari. "Halo Jes?" Rasa antusias menyerang Sari. Beberapa hari ini ia memang menantikan kabar dari Jesika. "Apa kamu sudah tidak sabar, Dear? laki-laki yang kamu inginkan sudah siap?" tanya Jesika. Jantung Sari mulai melompat-lompat kencang. "Jadi?" "Nanti malam di hotel temui dia. Aku sudah memesan hotel untuk kalian. Karena sekarang sudah beres, kamu tidak boleh mundur, okey?" " Aku tidak akan mundur. Berikan nomor kamar hotel dan jam kami bertemu. " "Jangan khawatir, namanya Alex. Kamu katakan saja kalau ingin bertemu dengan Alex, pasti resepsionis sudah mengerti. " "Terima kasih Jes. Aku akan mengirim uangnya sekarang." "You wellcome Dear. Selamat bersenang-senang ya." Sari terkekeh. Dia mana mungkin bersenang-senang, sebab tujuannya bukan mencari kesenangan. Melainkan memiliki keturunan. "Anak..." Sari mulai membayangkan ada bayi berkeliaran di rumahnya. Pasti sangat menyenangkan jika ia hamil. Tidak hanya itu, ia bisa menunjukkan pada mantan kalau ternyata ia bisa hamil. Dirinya bukan wanita mandul seperti yang mereka katakan. 'Pasti sangat menyenangkan melihak ekspresi wajah mereka.' Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD