“Mentang-mentang lulus sendiri jangan sekali-kali kamu sombong, ya. Ingat yang anak kandungnya itu aku, kalian semua hanya anak angkat.” Ucapan Amanda memancing amarah Agatha.
Agatha yang tidak terima langsung berdiri dan menghampiri Amanda. Amanda yang sejak tadi berdiri di ambang pintu meladeninya.
“Aku sudah muak sejak tadi kamu dibela Ayah. Sekarang ini rasain.” Agatha memukul perut Amanda hingga Amanda melengkingkan tubuhnya.
Aku terperanjat dan seketika menarik Agatha dari situ. Apa yang dia lakukan. Katanya dia kesal karena sejak tadi Amanda selalu menyombongkan diri.
“Setidaknya kamu jangan memukulnya. Biarkan saja. Nanti malah kita semua yang akan mendapatkan hukuman karena bertengkar di waktu istirahat.” Aku mencoba menasihati Agatha.
Tetapi tak berselang lama, Amanda menghilang dan muncul di belakang Agatha. Dia melayangkan pukulan balik dari belakang. Agatha terjatuh. Tetapi untung saja aku bisa meraihnya.
“Lihatlah, apa yang aku bilang Aleksia? Kalau kita tidak memberinya pelajaran, dia akan berbuat semena-mena.” Agatha meremas tangannya. Beberapa tangan ghoibnya keluar.
“Siapa tadi yang main pukul duluan ha?” Amanda tidak terima kalau dia dianggap sebagai biangkerok keributan.
Tangan Agatha yang dua menahanku agar tidak ikut campur. Mereka saling jual-beli pukulan. Aku menggelengkan kepala. Keributan ini mengundang anak-anak lain. Seketika ruangan ini dipenuhi oleh mereka.
Aku yang sudah ikutan geram. Mencoba menengahinya. Dengan tanganku juga mereka aku pegang. Mereka berteriak-teriak meminta untuk aku lepaskan.
“Mentang-mentang kamu lulus kamu mau jadi sok jagoan ha?” Amanda meludahiku. Amarahku seketika naik. Aku melempar Agatha ke kasur, sedangkan Amanda aku cekik lehernya.
“Aku melerai kalian agar tidak ada keributan. Aku sudah lelah dengan semua kebodohan ini. Ditambah dengan kekonyolan kalian ha.” Amanda aku pukul.
Dia terpelanting ke kanan dan kepalanya terbentur tembok. Dia meraung kesakitan. Semua yang menonton kembali bersorak-sorak.
Aku tidak mau melanjutkan. Amanda aku biarkan. Aku meminta maaf pada Agatha karena melemparkannya seeenaknya.
“Tidak apa-apa. Mungkin aku yang sudah keterlaluan seperti katamu tadi, Aleksia.” Agatha memelukku.
Di tengah kami berpelukan, Amanda yang beranjak dari rasa sakitnya bukannya pergi, dia malah memukul kepalaku bagian belakang.
Seketika mataku memerah. Agatha tidak melarangku menghampiri Amanda. Amanda menelan ludah. Dia panik.
“Aku sudah bilang padamu jangan coba-coba berbuat konyol.” Aku mengangkat tubuhnya tanpa sedikit pun aku menyentuhnya.
Amanda terkejut dia mencoba menghilang. Memangnya aku tidak tahu dia ada di mana. Aku langsung memukul kepalanya. Dia meraung.
“Keluar atau akan aku bunuh kamu.” Amanda ketakutan ketika aku mengatakan hal itu. Semua mendadak bubar.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][]
12.
Akhirnya kami sampai di desa itu. Wanita itu memperkenalkan kami pada seluruh penduduk desa. Mereka sangat antusias menyambut kami. Satu per satu mereka menyalami kami. Jumlah mereka sangat banyak sehingga tanganku agak pegal.
“Silakan, Bapak.” Kepala desa mereka mempersilakan kami masuk ke rumahnya.
“Terima kasih, Pak.” Aku tersenyum lalu melepas sepatu sebelum masuk.
Ketika aku di rumah, aku jelaskan perihal kedatanganku. Kepala desa mengangguk-angguk menyimak. Kadang dia tersenyum dan kadang menanggapi.
“Desa ini sudah puluhan tahun lamanya, Pak. Usia saya sudah enam puluh dan saya sejak kecil ada di desa ini. Mungkin usianya memang jauh lebih tua dari saya.” Kepala desa itu terkekeh.
“Wah sungguh pengalaman yang menyenangkan dapat berkunjung di desa ini. Tempatnya tepat berada di atas bukit.” Aku mengangguk kagum.
Istri Kepala Desa keluar membawa jamuan untuk kami. Dengan basa-basi aku berterima kasih. Mereka memintaku menikmati jamuan itu.
“Oh iya, anak kecil yang sering main di pinggir jalan itu siapa memangnya, Pak?” Aku bertanya di sela-sela meminum secangkir teh.
Kepala desa itu sempat terdiam sejenak. Dia bertukar pandang dengan istrinya. Istrinya mengangguk. Sepertinya mereka sedang bertukar pendapat.
“Mungkin Bapak ini adalah orang baik, maka kami akan jujur perihal desa ini.” Kepala desa memasang wajah serius. Aku mengangguk dan meletakkan cangkir tehku tadi.
“Sebenarnya desa ini adalah desanya paranormal. Banyak dari kami yang memilih keluar desa dan bekerja di kota-kota. Kami tahu, tidak semua paranormal yang keluar dari sini bekerja dengan baik. Maksud kami, mereka kebanyakan menjadi penjahat dengan memanfaatkan kekuatan alamiah mereka.” Aku tertegun mendengar penjelasan Kepala desa itu.
Dia memintaku untuk mencicipi makanannya terlebih dulu. Aku mengangguk dan berterima kasih. Kebetulan perut kami sudah sangat lapar sejak perjalanan tadi.
“Kami memang sering kecewa dengan perilaku mereka yang memanfaatkan kekuatan itu untuk kejahatan. Tetapi kami punya kewajiban untuk melatih semua warga baik yang baru lahir maupun yang sudah hilang kekuatannya karena melanggar peraturan. Itu sudah menjadi tradisi, Pak.” Kembali aku memanggut-manggut mendengar ceritanya.
“Apa ada paranormal yang hebat dari desa ini. Maksudku dia sudah mendirikan organisasi besar?” Aku tanpa banyak ragu langsung bertanya begitu saja.
“Ada, Pak. Namanya LIGHTBORN.” Mataku tiba-tiba membelalak setelah mendengar nama yang Kepala desa sebutkan.
Aku kemudian menceritakan semua. Perihal p*********n markas kami waktu itu dan keinginanku mencari paranormal untuk kami jadikan benteng pertahanan.
“Maaf, Pak. Kami tidak tahu kalau Bapak adalah aparatur. Oh iya untuk hal itu kami tentu saja mendukung. Karena memang selama ini tidak ada paranormal yang mau membela kebaikan. Mereka sering mengedepankan ego untuk diri mereka sendiri.” Kepala desa itu mengatupkan tangan.
“Benar. Maka dari itu kami meminta saran, kami harus bagaimana agar bisa bekerja sama dengan LIGHTBORN itu?” aku mengatur posisi dudukku.
“Sebenarnya sederhana, Pak. Karena mereka tidak mau bekerja sama dengan siapa pun, aku yakin itu. Bapak tangkap saja mereka. Aku akan membantu Bapak dengan memberikan mantra-mantra pada semua senjata Bapak.” Kepala desa itu tersenyum.
Senang sekali aku mendengar itu. Seketika aku meminta semuanya mengeluarkan senjata-senjata yag kami bawa saat ini. Kepala desa itu mengangguk. Lalu menyentuh senjata itu satu per satu. Dia seperti sedang berkomat-kamit membaca mantra.
Di dalam hatiku aku sangat berterima kasih karena bisa menemukan paranormal. Setidaknya aku bisa mempunyai benteng untuk markas-markas kami.
“Sudah, Pak. Untuk dapat menemukan LIGHTBORN, Bapak hanya perlu melihat orang yang Bapak yakini mempunyai kekuatan super. Lalu coba lihat di lehernya. Jika ada tanda L di leher agak dekat dengan telinga, maka sudah tentu dia adalah anggota LIGHTBORN.” Kepala desa itu tersenyum kembali usai menjelaskannya.
Aku langsung kepikiran dengan tetangga yang hendak kami tangkap itu. Dia pasti salah satu dari anggota organisasi tersebut. Ini kesempatan untuk bisa menangkap dia dan mengumpulkan paranormal yang lain untuk menjaga markas kami. Menyenangkan sekali rasanya.
“Untuk anak yang Bapak tanyakan tadi namanya Jason. Dia anak yang memiliki kekuatan khusus. Berbeda dari anak-anak warga kami yang lainnya. Kalau Bapak mau, nanti kalau dia sudah besar, Bapak boleh membawanya ke markas.” Tawaran Kepala desa itu tidak lagi aku sia-siakan.
“Tentu saja kami mau, Pak. Kami malah banyak berterima kasih dengan Bapak karena sudah memberitahu kami tentang banyak hal perihal paranormal.” Aku menjabat tangannya berkali-kali.
Istri Kepala desa mengambil makanan penutup yang agak berat yaitu nasi rawon. Mulanya kami menolak karena merasa tidak enak. Tetapi Kepala desa meminta kami bersikap biasa saja. Malah meminta kami menganggap seperti rumah sendiri.
“Memangnya sudah lama markas kalian diserang oleh paranormal?” Kepala desa bertanya sembari meletakkan piring-piring di meja.
“Hanya sekali tetapi sudah membunuh dua orang. Makanya selama dua tahun ini kami terus mencari paranormal agar bisa melindungi kami dari serangan tak kasap mata. Kalau kami diserang dengan orang yang kelihatan, kami akan melawannya sendiri. Semua mempunyai kelebihan masing-masing.” Aku meminum tehnya lagi.
Kepala desa itu bercerita soal asal-muasal desa ini. Katanya desa ini didirkan oleh kumpulan paranormal. Maka tempatnya saja tidak normal, tepat di atas bukit yang sulit diakses oleh siapa pun. Bahkan untuk naik mobil pun, kami harus memutari bukit yang jaraknya sangat jauh.
“Berarti memang hebat sekali ya mereka para pendiri desa ini. Bisa mendirikan desa di atas bukit tanpa sedikit pun pernah mengalami longsor.” Aku memagut-magut.
“Makanya kami sangat menjaga anak keturunan kami. Banyak yang memilih menikah dengan sesama paranormal, hal itu akan membuat anaknya semakin kuat. Ada pula yang memilih dengan menikahi orang biasa. Itu juga tidak masalah. Kekuatan mereka juga akan menurun ke anaknya. Semua itu pilihan dan tidak ada paksaan dari kami harus bagaimana.” Kepala desa mempersilakan kami makan.
Kami mengangguk. Aku meminta Kepala desa juga makan untuk menemani kami. Dia mengangguk. Kami makan bersama-sama sembari menikmati senja yang kian nyata karena sebentar lagi malam akan menjelang.
Karena jarak desa ini dan markas jauh, aku meminta izin pada kepala desa untuk tinggal di desa ini satu malam saja. Kami takut ada apa-apa di jalan.
“Wah silakan-silakan. Saya malah senang ada yang mau menginap. Sekalian nanti aku ajak kalian jalan-jalan dan memperkenalkan kalian dengan penduduk desa ini.” Kepala desa tersenyum.
Kami setuju dan melanjutkan lagi makan kami. Nasi rawon paranormal memang memiliki rasa yang tak kalah dengan nasi rawon umumnya. Kami makan sangat lahap. Antara lapar atau merasa enak masakannya, kami tidak tahu.
“Nasi rawon paranormal. Biar kami yang mengingat nasi rawon ini dengan sebutan itu ya, Pak. Biar ada pembeda. Nasi rawon ini memang enak rasanya. Lebih enak dari nasi rawon biasanya malahan.” Aku memuji nasi rawon ini.
“Ah bisa saja, Pak. Ini mah kalau di sini, menjadi masakkan yang paling biasa.” Istri kepala desa tersenyum. Pipinya memerah karena malu atas pujian yang aku berikan.
***
Ayah memanggil kami yang terlibat dalam keributan tadi. Aku, Agatha, dan Amanda menghadap Ayah secara bersamaan di satu ruangan. Ayah menatap kami dengan tatapan amarah.
Kami hanya diam menunduk tidak berani membalas tatapan Ayah. Keributan ini tentunya akan melahirkan sebuah ide di kepala Ayah untuk menghukum kami.
“Sekali ini saja kalian saya maafkan. Jangan diulangi lagi.” Perkataan Ayah ini memang mengejutkanku. Kejadian langka di saat Ayah menjadi orang penyabar seperti ini.
“Baik, Ayah.” Kami menjawab bebarengan.
Kami pun kembali ke ruangan masing-masing. Mungkin Ayah membiarkan kami karena sebentar lagi ujian kedua akan dimulai. Ujian yang sangat berbeda dari sebelumnya. Pertama dari waktunya saja sudah berbeda, ujian kedua ini dilakukan malam hari.
“Mungkin kita sama-sama satu pikiran. Ayah memaafkan kita karena ujian kedua akan segera dimulai.” Agatha berkata itu padaku.
Aku mengangguk membenarkan. Tak berselang lama, panggilan Ayah mulai terdengar. Dia meminta kami semua berkumpul di lapangan.
Semua datang dengan raut wajah yang tegang. Agatha yang sejak tadi ketakutan karena lukanya saja belum pulih, menggandeng tanganku dengan sangat erat.
“Nah aku suka begini. Ketika kalian dipanggil, kalian semua langsung datang. Baiklah kita mulai saja ujian kedua.” Ayah mengeluarkan kertas yang sudah banyak lipatannya. Kertas itu menjadi momok bagi kami karena berisikan nama-nama kami.
Aku kembali menduga siapa yang akan dipanggil duluan. Kalau aku tentu tidak yakin, mungkin aku berada di tengah-tengah nanti kalau tidak aku berada paling akhir seperti tadi.
“Aku akan membawa kalian ke hutan-hutan yang aku buat sendiri dengan kekuatanku. Bukan di lapangan ini lagi kalian akan diuji. Harus lebih meningkat. Bukan lagi anjing yang akan menguji kalian, tetapi hampir semua hewan buas yang memiliki kecepatan berlari dan bertubuh kuat.” Ayah menjelaskan dengan detail ujian kedua ini.
Kami tidak berani berkomentar apa-apa. Bahkan untuk mengangguk pun kami tidak berani. Ujian ini memang memberatkan kami semua.
Bayangkan anjing Pitbull saja sudah membuat kami muntah-muntah karena kewalahan, apalagi hewan buas. Apa yang akan terjadi dengan kami nantinya.
“Ayo ikuti aku. Jangan sampai ada yang berani lari dari ujian ini.” Ayah meminta kami mengikutinya.
Kami menurut dengan raut wajah yang dipenuhi rasa takut. Ayah menggiring kami ke belakang sekolah yang sudah dia ubah menjadi hutan-hutan. Banyak pohon-pohon besar dan padang savana di sana. Sekilas aku melihat beberapa ekor singa sedang bergerombol.
Di atas pohon aku melihat cheetah dan kawanannya sedang beristirahat. Ini memang mengerikan. Ujian macam apa ini. Sebenarnya aku hendak memprotes, tetapi aku sadar posisiku saat ini kurang lebih hanyalah seorang anak yang masih membutuhkan makan darinya.
“Kenapa Ayah menguji kami dengan ujian sekejam ini? Mana mungkin kita bisa melewati ujian ini? Bayangkan tadi saja yang hanya anjing kami sudah kewalahan. Apalagi ini.” Abel yang aku rasa sudah tidak bisa membendung rasa sakitnya seketika mengutarakannya pada Ayah.
Aku akui keberaniannya. Aku saja yang tadi menjadi satu-satunya anak yang lolos ujian tidak berani melayangkan protes seberani dirinya.
Ayah menampar Abel dan memukul perutnya. Semua tercengang melihat hal ini. Abel tidak bisa berkata apa-apa lagi selain meringis kesakitan.
“Sekali lagi kamu berani membantah, jangan harap mau melihat dunia ini besok pagi.” Ayah menendang wajah Abel sekeras mungkin.
Abel terjatuh tidak berdaya. Bibirnya keluar darah. Matanya bengkak dan pipinya berwarna keungu-unguan.
Aku tidak merasa heran karena ini. Ayah yang memiliki ambisi sangat besar tidak mungkin mengedepankan hati atau perasaanya pada kami. Dia hanya memikirkan ambisinya bisa terwujud. Hanya itu saja.
“Kita mulai. Agatha maju.” Ayah langsung memanggil Agatha. Agatha menatapku dengan tatapan cemas.
Aku mengangguk. Memang ini ujian yang berat. Aku sendiri saja tidak yakin kalau bisa melewati ujian ini. Tidak ada kata semangat lagi dariku karena memang ujian ini sulit untuk aku tebak. Kalau sebelumnya aku bisa menebak bagaimana caranya melewatinya. Tetapi untuk ini, nihil.
“Apa kamu sudah siap, Agatha?” Ayah bertanya dengan agak pelan. Aku mengumpat di dalam hati. Bagaimana pun kami semua harus kamu paksa siap. Kalau tidak siap, kami akan kamu pukuli seperti Abel tadi.
“Kali ini ujiannya bukan lagi menghindari atau lari dari serangan lawan. Tetapi membunuh. Bunuhlah semua lawanmu dengan menggunakan kekuatan yang kamu miliki.” Ayah berkata dengan sangat santai.
Aku memegangi kepala karena menyadari ujian ini sebenarnya dapat digolongkan sebagai penyiksaan. Tidak mudah membunuh satu singa dalam kehidupan nyata. Lihat, ujian ini. Kami diminta membunuh berpuluh-puluh ekor singa, harimau, dan cheetah.
Ketika aku melihat wajah anak-anak lain, mereka juga sama. Memegangi kepala dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ingin membangkang tetapi rasa-rasanya Ayah akan membunuh kami jika kami berani membangkang atau kabur dari ujian ini.
“Semuanya harus aku bunuh, Ayah?” Agatha yang menjadi peserta pertama tentu terkejut. Matanya membelalak lebih lebar.
“Semuanya. Hanya ada enam puluh lawan. Pasti mudah membunuh enam puluh singa beserta kerabatnya dengan menggunakan kekuatanmu. Benar kan Agatha?” Ayah kembali bertanya dengan nada santai, seolah hal ini adalah hal yang wajar.
Agatha tidak mengangguk dan malah menelan ludah. Ketika Ayah mulai menghitungi. Singa dan yang lainnya berdiri seolah sedang mengamati mangsanya.
Ada yang sudah menerkam dengan berjalan pelan-pelan di balik semak-semak hijau. Agatha berjalan pelan dan sangat hati-hati usai hitungannya selesai.
“Semangat, Agatha. Ini sama sekali tidak mudah untukmu, untukku, dan untuk yang lain.” Aku menyemangati Agatha dengan nada lirih.
Agatha terus berjalan menuju gerombolan singa dan yang lainnya itu. Salah satu singa jantan langsung berlari ke arah Agatha. Agatha terkejut dan langsung lari menghindar. Hutan ini luas karena hanya ada beberapa pohon saja.
Belum selesai, entah dari mana, tiba-tiba ada harimau muncul dari arah yang Agatha tuju. Harimau itu mengaum keras. Suaranya membuat aku bergetar. Agatha menggelengkan kepalanya.
“Lawan dan bunuh mereka. Jangan biarkan mereka melukaimu.” Ayah memberi komando. Aku yang mendengarnya mengumpat. Tidak semudah apa yang kamu katakan Ayah.
Agatha mencoba masuk ke salah satu singa yang ada di depannya dan mencoba mengendalikannya. Singa itu berhasil dia kendalikan. Dia larikan singa itu dan dia benturkan singa itu ke batang pohon hingga mati.
Satu singa berhasil dia bunuh. Tetapi ujiannya belum selesai. Masih ada 59 hewan buas yang harus dia bunuh. Kematian singa itu membuat singa-singa lain murka. Para singa itu seketika berlari mengerubungi Agatha.
“Apa yang harus aku lakukan?” Aku mendengar Agatha berkata pada dirinya sendiri saat ini.
Satu hal yang aku harapkan saat ini. Dia berlari ke atas pohon untuk menghindari para singa itu. Bibir para singa itu sudah menganga dan hendak siap melahap Agatha.
Agatha mencoba menghilang. Singa-singa itu kebingungan. Dengan tangannya dia mencoba membunuh satu singa itu lagi. Dan berhasil.
“Bagus. Sudah dua singa. Bunuh yang lainnya juga, Agatha.” Ayah tersenyum bahagia. Tetapi tidak dengan Agatha.
Karena ketika dia hendak membunuh harimau, harimau berwarna putih tiba-tiba menerkam tubuhnya dari belakang. Dia terkejut, dari mana datangnya harimau putih itu?
13.
Kami kembali pulang pagi-pagi setelah semalaman menghabiskan waktu melihat-lihat tentang aktivitas desa. Mereka melatih kekuatan paranormal dengan latihan yang mengerikan. Kepala desa itu menganggap latihan yang mengerikan itu sebagai latihan dasar.
“Aku tidak akan sanggup bila menjadi bagian dari desa itu, Komandan. Bayangkan latihan dengan dikepung hewan-hewan liar mereka anggap sebagai latihan dasar. Bagaimana dengan latihan sesungguhnya.” Willy menggelengkan kepala mengomentari latihan-latihan yang mereka lakukan.
“tadi mereka juga sempat cerita, ada latihan di dasar air. Katanya peserta didik mau lulus latihan kalau berhasil membunuh hiu megaladon yang mereka buat sendiri dengan kekuatan paranormalnya di dalam air. Bayangkan hiu terbesar di dunia itu kamu lawan sendiri di dasar air?” Aku tertawa ketika menceritakan.
Tertawaku ini bukan meremehkan mereka tetapi karena terheran-heran. Latihan mereka lebih keras dari latihan aparat saat ini. Makanya tidak heran jika paranormal yang menyerang markas kami waktu itu bisa membunuh komandan Burhan dengan mudahnya.
Sang sopir kembali melajukan mobilnya. Kami pulang dengan disambut oleh mentari yang perlahan mulai menampakkan dirinya.
“Tugas kita adalah mencari tetangga Tedjo yang katanya adalah seorang paranormal yang kerap menjarah hasil panen warga desa.” Aku sudah mempunyai rencana. Mereka mengangguk. Tetapi sebelum menunaikan rencana itu, kami memilih untuk kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga.
***
Agatha terjatuh. Cakar-cakar tajam dari harimau putih itu mencengkram tubuhnya. Dia meringis kesakitan. Dengan sekuat tenaga dia dorong harimau putih itu. Tetapi tidak berhasil.
Taring harimau sudah tampak dan hendak menggigit leher Agatha. Aku yang tidak tega membantunya sedikit. Tanganku bergerak ke arah Agatha. Kekuatan yang ada di tubuhku aku tambahkan sedikit ke tubuhnya.
“Aku yakin ini kekuatan dari Aleksia. Terima kasih, Aleksia.” Dia bergumam senang. Tubuhnya terasa sangat kuat saat ini.
Harimau itu berhasil dia dorong hingga terjatuh. Ayah terkejut dan bertepuk tangan. Dia sangat girang melihat Agatha berhasil membalikkan keadaan.
“Bunuh saja harimau itu.” Ayah meneriakki Agatha. Dengan satu ayunan tangannya, kepala Harimau itu terputus.
Dia sempat merasa bahagia. Namun kebahagiaannya tertunda lagi. Di belakangnya, sudah ada sepuluh harimau oren menerkamnya.
Agatha tidak pendek akal, dia langsung lari untuk menghindari para harimau itu. Para harimau itu terus menerus mengejar Agatha.
“Sepertinya ini akan menjadi situasi yang sulit untuk dia. Di depan sana para kawanan singa juga sudah menunggunya.” Aku tertegun melihat Agatha yang berada dalam keadaan terdesak.
“Nah pasti dia akan mati di sini.” Amanda mencoba ikut mengomentari. Lebih tepatnya sih mendoakan
Aku tidak terlalu menggubrisnya kali ini. Keadaan Agatha lah yang terpenting. Bisa-bisa dia mati karena diterkam oleh puluhan hewan buas itu.
Rasa-rasanya aku ingin kembali membantunya. Tetapi itu tidak mungkin. Kebanyakan membantunya akan membuat Ayah tampak semakin curiga.
“Ya Tuhan. Kasihan Agatha.” Ada anak lain yang berkomentar seperti itu. Tetapi komentarnya tidak mengubah keadaan Agatha saat ini.
Agatha celingak-celinguk mencoba mencari cara. Dia tidak bisa terbang sama sepertiku. Dia juga tidak bisa amblas ke bumi seperti Amanda. Ketika keadaan terpepet seperti ini hanya ada satu cara untuk bisa lari dari kepungan hewan buas, salah satunya mengalihkan perhatian.
“Mungkin dengan mencoba melepaskan tangan ghaibku, aku bisa mengalihkan perhatian mereka.” Agatha tersenyum. Aku yang mendengarnya turut bahagia.
Agatha mencabut satu tangan ghaibnya dan membuat tangannya tampak. Dia angkat tangan itu ke udara. Para harimau, dan singa mengaum dan mencoba meraih tangan itu.
“Pergilah sana.” Agatha melempar tangan itu sejauh mungkin. Para harimau dan para singa berlarian mengejar tangan itu.
Ayah merasa kagum karena kecerdasan Agatha meningkat. Aku juga turut bangga padanya. Agatha mencoba menarik tangannya kembali ketika mereka sudah dekat dengan tangannya tadi.
Para singa dan para harimau itu kelimbungan. Mereka berupaya mencari tangan yang Agatha lempar. Di saat mereka sibuk mencari tangannya, Agatha mencoba membunuh mereka satu per satu. Benar saja, dua sampai lima ekor singa dan harimau tumbas. Kepalanya menggelinding.
“Sial kenapa aku hanya bisa membunuh lima saja. Kenapa kekuatanku tidak sanggup membunuhnya.” Agatha menggerutu. Kepala teman-temannya yang telah mati mengundang amarah para kawanan singa dan harimau yang tersisa.
Mereka kembali mengejar-ejar Agatha. Agatha kali ini masih bisa bernapas lega karena mereka hanya menyerang pada satu sisi saja.
“Agatha belum menyadari kalau kemampuannya belum meningkat. Dia belum bisa melatih kekuatannya sendiri.” Aku bergumam ketika mendengar apa yang Agatha keluhkan.
Agatha terus berlari menghindari amukan para kawanan singa dan para kawanan harimau itu. Mereka terus mengaum sembari mempercepat larinya.
Agatha tampak semakin kelelahan karena tidak diberi kesempatan untuk berhenti. Sepertinya memang kecerdasannya meningkat. Dia memilih bersembunyi di salah satu pohon besar yang sekitarnya ditumbuhi rerumputan.
“Dia sepertinya berhasil, Amanda. Lihatlah sampai sekarang pun dia juga belum mati.” Teman Amanda mencoba menduga.
“Tidak mungkin. Ujian ini adalah ujian yang lebih berat dari ujian sebelumnya. Mana ada, ujian yang ringan saja dia gagal apalagi ujian yang seperti ini.” Amanda menjawab dengan rasa tidak suka. Dia memang iri dengan siapa pun yang akan bisa mengungguli dirinya.
Agatha mengatur napas di balik pohon itu. Setidaknya dengan bersembunyi di balik pohon itu bisa membuatnya mengembalikan tenaga lagi.
Akan tetapi memang sepertinya tidak ada pilihan untuk bisa mengembalikan tenaga. Karena di atas pohon itu, para kawanan Cheetah sudah bersiap untuk menerkam kepala Agatha. Agatha belum menyadarinya.
“Coba kamu lihat. Bahkan dia sendiri pun tidak menyadari kalau di atasnya ada Cheetah yang hendak memakan kepalanya.” Amanda tampak bahagia di saat yang lain tegang dan khawatir.
“Agatha. Sadarlah.” Aku memanggil namanya sembari memejamkan mata. Aku bisa mendengar suara batin mereka. Tetapi aku tidak bisa berbicara pada batin mereka sehingga sulit sekali memberitahu Agatha kalau di atasnya ada Cheetah yang sedang mengendap-endap.
Ketika berjalan di atas ranting, kaki satunya terpeleset ranting yang tidak kuat menopang kakinya. Suara yang ditimbulkan itu membuat Agatha sadar. Dia menatap ke atas pohon, ada sekitar dua ekor Cheetah sudah menerkam dirinya dari atas pohon.
Agatha lari tunggang-langgang ketika melihat hal itu. Cheetah mengejarnya. Kini dia dikejar oleh tiga kawanan hewan buas yang memiliki kecepatan lari yang luar bisa.
“Cheetah merupakan hewan pelari tercepat di dunia. Ini tidak akan mudah untuk Agatha.” Amanda kian girang.
Agatha yang sudah berupaya berlari sekencang mungkin tetapi saja tidak bisa menjauh dari kejaran Cheetah. Lari Cheetah memang sulit untuk ditandingi.
Dia merupakan hewan tercepat di dunia. Larinya saja sangat gesit dan langkahnya yang kecil-kecil membuat larinya semakin cepat.
“Kamu harus bisa melewati ujian ini Agatha. Hindari atau bunuh saja Cheetah itu dengan kekuatanmu.” Ayah berteriak-teriak.
Agatha mencoba mengeluarkan tangan-tangan ghaibnya untuk meraih kepala Cheetah. Tetapi sepertinya dia tidak berhasil. Tangannya sulit digerakkan ke belakang dan membuatnya terjatuh. Aku memegangi kepala ketika melihat Agatha terjatuh.
***
Hari berikutnya, kami sudah bersiap menangkap paranormal itu untuk kami bawa ke markas. Mulanya kami berencana memenjarakan mereka terlebih dulu baru setelahnya kami akan meminta bantuan pada mereka.
“Aku meminta kalian untuk behati-hati. Ini musuh kita bukan manusia biasa. Dia adalah paranormal yang memiliki kekuatan supranatural. Kita tidak bisa melihat kekuatannya dengan mata telanjang kita ini.” Aku memberi komando kepada semua pasukkan.
Sekitar tiga puluh orang aku kerahkan untuk menangkap paranormal itu. Karena musuhnya tidak bisa dipandang sebelah mata, aku memilih menurunkan tiga puluh orang untuk menangkap satu orang. Mungkin tiga orang ini nanti akan kewalahan juga.
“Apa kamu sudah menelepon kepala desamu Tedjo?” Aku mengecek kesiapan anggota terlebih dulu.
“Siap, sudah Komandan. Kata kepala desa kami dipersilakan datang kapan pun.” Tedjo melapor.
“Baguslah kalau begitu kita bisa datang ke sana.” Aku tersenyum.
Sebelum kami pergi, kami sempatkan untuk berdoa terlebih dulu untuk keselamatan kami. Ini menjadi pertualangan penangkapan yang pertama kali aku alami setelah sekian banyak penangkapan yang aku lakukan bersama Komandan Burhan.
Kami menaiki mobil yang sudah disiapkan. Bekal dan peralatan senjata yang sudah mendapat mantra dari sesepuh desa paranormal semuanya sudah siap. Kami berangkat dengan mantap.
“Jangan sampai salah jalan seperti yang Willy lakukan kemarin, dua hari yang lalu.” Aku menyindir Willy. Willy menggerutu sembari menggaruk kepalanya.
Kami tertawa dan bercanda di perjalanan. Hingga tidak terasa kami sudah akan memasuki desa yang merupakan tanah kelahiran Tedjo.
Ketika memasuki gapura. Kami diberhentikan oleh beberapa orang. Mereka tidak bersenjata. Aku meminta salah satu untuk turun.
“Ada apa? Kenapa kalian mencegat kami di tengah jalan seperti ini?” Salah satu pasukan menanyai mereka ketika aku dan Tedjo turun dari mobil.
“Apa kamu mengenal mereka?” Aku melempar tatapan menyelidik ke arah Tedjo. Tedjo menggelengkan kepala.
Mereka adalah penjaga kampung ini. Siapa pun yang hendak masuk ke kampung itu harus bisa melewati mereka.
Ketika pasukanku memberikan uang, mereka menggelengkan kepala. Mereka tidak meminta uang seperserpun. Aku semakin bingung oleh tingkah mereka.
“Mau kalian apa?” Aku bertanya dengan nada emosi ketika mendekati mereka.
“Aku ingin kalian semua kembali.” Salah satu dari mereka membentakku.
Kami tidak mau, mereka langsung menyerang kami. Pertarungan seru antara kami dan mereka. Ketika peluru aku lesatkan ke tubuh mereka, tubuh mereka tampak biasa-biasa saja. Mereka malah tertawa-tawa.
“Mungkin mereka adalah anak buah dari paranormal yang hendak kita tangkap.” Aku berbisik pada Willy.
“Sepertinya begitu, Komandan. Dari cara mereka bertarung pun seperti memiliki kekuatan tak kasat mata.” Willy juga mempunyai pikiran yang sama denganku.
Aku berinisiatif mengambil senjata-senjata yang sudah mendapatkan mantra dari sesepuh desa. Tetapi ketika aku masuk ke mobil, aku tidak menemukan satu pun senjata di sana. Padahal tadi senjata-senjata itu ada di bangku belakang, dekat tempat duduk Tedjo.
“Senjata-senjata itu hilang. Siapa yang berani mengambil peralatan senjata kita?” Aku berbisik lagi pada Willy yang sibuk menembaki mereka.
“Coba tanya Tedjo, Komandan.”
Aku tidak lagi mengajaknya berbicara dan seketika mencari Tedjo. Aku tidak menemukan Tedjo sama sekali. Dia ke mana? Bukannya dia seharusnya ikut bertarung untuk melumpuhkan mereka. Ada yang aneh.
“Tedjo. Tedjo.” Aku berteriak-teriak memanggilnya. Sudah bermeter-meter aku berjalan meninggalkan mereka, tetapi jejak Tedjo tidak tampak sedikit pun.
Kalau aku terus berjalan dan tidak tahu arah, aku malah akan tersesat. Karena takut tersesat, aku memutuskan untuk kembali bergabung dengan mereka.
Ketika aku sampai di mobil. Aku terkejut ternyata Tedjo sedang membenahi celananya yang agak melorot.
“Dari mana saja kamu, Tedjo?” Tedjo agak melompat karena terkejut.
“Bikin kaget saja, Komandan. Aku tadi buang air besar dulu, Komandan. Perutku sakit.” Tedjo mengelus-elus dadanya karena masih berefek kagetnya.