-8-

1310 Words
14. Aku ceritakan semua perihal senjata-senjata yang sudah dikasih mantra itu. Dia juga terkejut padahal tadi ketika dia hendak buang air, senjata itu masih ada di dalam mobil. Hal ini menimbulkan kecurigaanku pada mereka. Mungkin mereka tidak hanya berlima. Tetapi banyak. Hanya saja kami tidak bisa melihat gelagat mereka. “Jangan-jangan mereka tidak hanya berlima, tetapi lebih. Hanya saja kita tidak bisa melihat mereka dengan mata telanjang kita.” Aku menepuk jidatku. Masalah baru muncul lagi. Tedjo juga tidak bisa menjawab. Dia hanya memasang wajah melas. Kenapa semua rencana jadi berantakkan seperti ini. “Apa sebaiknya kita kembali dan meminta mantra lagi ke sana?” Aku yang sudah buntu pikirannya mencoba memberi ide yang ngawur. “Ya Tuhan. Itu jauh sekali, Komandan. Kita perlu satu hari lagi untuk meminta mantra itu.” Tedjo menggelengkan kepalanya. Ketika kami tengah dirundung kesedihan dan kecemasan, kami mendengar ada anak kecil bernyanyi lagu anak-anak di belakang kami. Seketika tubuhku merinding. Aku menatap Tedjo dengan perasaan takut yang memuncak, Tedjo juga tidak kalah denganku. Wajahnya memerah pucat karena saking takutnya. “Suara itu bersumber dari sungai yang aku gunakan untuk buang air, Komandan.” Tedjo menelan ludah sembari menunjuk ke belakang tanpa memalingkan wajahnya. “Kita harus gimana? Berbalik badan?” Aku juga menelan ludah. Keringat dingin membasuhi tubuhku seketika. Aku dan Tedjo berhitung. Satu, dua, tiga, kami berbalik badan. Kami terperanjat ketika melihat anak kecil yang merupakan bagian dari penduduk desa sedang duduk di tepi sungai dan di sampingnya ada kardus persenjataan. “Jason?” Aku berteriak memanggil namanya. Anak itu tersenyum dan melambaikan tangan pada kami. Aku dan Tedjo segera berjalan menghampirinya. “Kenapa kamu ada di sini, Jason?” Aku yang memang sudah berkenalan dengan Jason waktu itu memang sudah agak akrab. “Aku bosan di desa. Aku ingin ikut dan membantu, Om. Tadi aku melihat ada orang membawa kardus ini. Aku yang tengah asyik tidur di atas mobil Om terkejut dan langsung mengejar orang itu. Kami berkelahi dan aku bisa memenangkannya.” Jason tersenyum. Seketika aku dan Tedjo memeluk Jason. Kami tidak tahu lagi apa yang akan terjadi bila tanpa Jason. Mungkin kami akan memupuskan harapan kami untuk bisa menangkap paranormal itu. “Apa di bawah telinga orang itu ada huruf berbentuk L Jason?” Tedjo yang penasaran langsung bertanya. “Aku tidak tahu karena aku fokus pada senjata-senjata ini.” Jason menunjuk senjata yang ada di sampingnya. Kami mengangguk dan membawa Jason kembali ke mobil. Jason menolak. Dia ingin bermain air dulu. Dia bosan dengan pertarungan yang terjadi. Aku tidak bisa memaksanya. Biarkan Jason bertindak sesuka hatinya. Aku dan Tedjo kembali membawa senjata-senjata itu ke dalam mobil. “Langsung kita pakai saja, sudah terlalu lama mereka melawan paranormal itu. Mereka tidak akan kuat menahan terlalu lama, Komandan.” Tedjo memberi usul. “Baiklah. Ayo kita pakai Komandan. Jangan sampai kita kasih kendor mereka. Mampus!” Aku yang sudah geram melihat tingkah mereka, langsung memakai senjata itu. Tedjo dan aku berjalan ke arah mereka. Mereka menyombongkan diri lagi karena tidak tahu kalau senjata ini sudah terkena mantra dari sesepuh mereka. *** Agatha meraung-raung ketika Chetaah itu mencabik-cabik kakinya. Kini giliran kaki kirinya yang Cheetah itu makan. Aku hendak memprotes dan menyelamatkan Agatha, Tetapi sepertinya Ayah tahu. “Aku tidak akan membunuh siapa pun di sini. Tenanglah.” Ayah seperti mengirim pesan lewat suara batin yang hanya aku yang bisa mendengarkannya. Aku menghentikan langkahku. Aku hanya bisa melihat Agatha menerima hukuman dengan dicabik-cabik oleh Cheetah itu. Ini mengerikan. Aku tidak akan mampu melihat semua ini. “Pergilah. Dia sudah cukup mendapatkan hukumannya.” Ayah mengusir para hewan buas itu. Mereka berlari ke arah hutan dan kembali ke posisi semula. Agatha mengesot ke arah kami karena memang kakinya sudah tidak bisa digunakan. Luka yang menganga membuatnya tidak bisa berjalan dengan sempurna. “Itu hukuman teringan untuk ujian ini.” Kata Ayah usai Agatha sampai di sampingku. Aku menunduk dan mencoba mengobatinya. Ayah tahu tetapi dia membiarkanku berbuat seenaknya. “Apa kamu baik-baik saja?” Aku menanyakan keadaan Agatha usai berusaha menyembuhkannya. Agatha mengangguk kecil. “Kakiku sudah agak mendingan dapat digerakkan, tadi beneran aku merasa kedua kakiku telah hilang. Makanya aku tidak bisa berjalan dan hanya bisa mengesot untuk sampai di sini.” Aku membantu Agatha berdiri. Dia masih bertopang pada pundakku. Kakinya masih dalam proses pemulihan usai aku memberikan sedikit kekuatan untuk menyembuhkannya. “Amanda. Peserta kedua yang akan melakukan ujian ini.” Semua tercengang mendengar nama Amanda dipanggil nomor dua setelah Agatha. Amanda maju dengan wajah tidak terima. Aku sudah bisa menebak, dia akan melayangkan protes kepada Ayah karena dipanggil nomor dua. “Kenapa aku di awal-awal, Ayah? Kan masih banyak anak-anak yang lain. Kenapa tidak memanggil Aleksia pengecut itu?” Amanda membawa-bawa namaku. Agatha sebenarnya kesal karena aku yang tidak tahu apa-apa dia bawa-bawa. “Semua sudah sesuai ketentuan, Ayah. Jangan sampai membantahnya. Laksanakan saja tugasmu.” Ayah membentak Amanda dan meminta Amanda menuruti keinginan Ayah. Amanda berjalan dengan muka sebal ke tengah hutan. Semua singa, harimau, dan Cheetah sudah bersiap-siap ingin memakannya. Tetapi semua tampak mengejutkan, para singa itu tidak menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Larinya tidak secepat Agatha tadi. Sialan pasti ada yang tidak beres ini. “Sepertinya Ayah berpihak pada Amanda, Aleksia.” Agatha menggerutu kesal. “Sepertinya begitu. Mungkin karena dia anak kandungnya, jadi dia mendapat perlakuan yang spesial.” Aku menyesali perbuatan Ayah. Aku tidak mau membiarkan semua ketidak adilan ini. “Seharusnya para singa dan para harimau itu berlari lebih cepat dan bisa menangkap Amanda. Tetapi singa-singa itu tampak lambat sekali.” Agatha meremas tanganku. Amanda yang mengetahui dia dibantu Ayah, langsung berlagak sombong. Dia berlari-lari kecil seperti anak kecil bermain kucing-kucingan. Dia tertawa terbahak-bahak dan menari-nari. Aku sudah tidak bisa menahan amarahku. Dengan kekuatanku aku berusaha memfokuskan diri menjadi para singa itu. “Kenapa singanya menjadi secepat ini ha?” Amanda berteriak panik ketika para singa yang aku kendalikan berlari lebih kencang ketika mengejarnya. Amanda panik dan tidak tahu harus bagaimana. Dia menggunakan kekuatan terbangnya. Aku tersenyum melihat napasnya tersengal-sengal. “Apa barusan kamu yang mengerjainya, Aleksia?” Agatha tertawa kecil dan melempar tatapan menyelidik ke arahku. “Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya diam saja.” Aku mencoba menahan tawaku karena bahagia melihat kejadian barusan. Agatha menggelitikku dan memintaku untuk jujur. Aku tersenyum malu ketika dia terus mengamatiku seperti itu. *** “Siapa lagi ini?” Mereka berlagak sombong menanyaiku ketika aku dan Tedjo datang menyusul. “Kami hanya orang lemah yang lagi belajar menggunakan senjata.” Aku memasang wajah memelas. Dia tertawa mendengar aku berceloteh. Tangannya menunjuk-nunjuk pasukanku. Katanya mereka yang ahli menembak saja tidak bisa mengalahkan mereka apalagi aku. “Jangan sombong dulu kamu.” Tedjo naik pitam. Seketika aku menginjak kakinya. Tedjo mengangguk mengerti. “Uluh uluh. Dia marah teman-teman. Mumpung kami masih memberi kalian waktu bermain, kalian boleh mencobanya.” Pimpinan mereka merentangkan kedua tangannya dan bersiap jadi sasaran tembak kami. Aku meminta Tedjo untuk mengambil peluru yang tidak terlalu tajam. Sehingga kami bisa bermain-main juga terlebih dulu. Aku menembak kakinya. Dia menjerit kesakitan dan terkejut. Bagaimana bisa tembakku melukai mereka. Mereka keheranan. “Mungkin itu kebetulan. Jadi tidak ada masalah. Ayo tembak lagi.” Giliran Tedjo yang menembak mereka. Mereka semakin dibuat kami terkejut karena tembakkan kami mengenai tubuh mereka lagi. Mereka saling bertukar pandang. Saat itu juga aku menembak kaki-kaki mereka dan melumpuhkannya. “Lari. Ayo lari.” Mereka masih berusaha lari padahal kaki mereka terpincang-pincang ketika lari. Kami terus mengejarnya dan menembaki mereka. Mereka masih belum berhenti. Aku mencegah Tedjo untuk tidak membunuhnya. Tedjo mengangguk mengerti. Aku ingin mereka membantu kami suatu hari nanti dengan kekuatan yang mereka miliki. Lari mereka tampak cepat juga. Kami kewalahan tetapi disaat kami tidak bisa mengejar, Jason yang mencegat mereka, langung mencekal kaki mereka. Mereka tersungkur terjatuh. “Ampuni aku, Tuan. Ampuni aku. Kami tidak bersalah, Tuan.” Mereka mengatupkan tangan. Tetapi kami tidak memberi mereka ampunan. Mereka kami tahan.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD