-4-

4441 Words
Mendengar kesombongan diumbar, Ayah melempar lampu yang tidak terpakai hingga terdengar suara seperti ledakkan. Mereka semua melompat karena terkejut mendengar suara seperti ledakkan itu. “Sepertinya setannya tidak suka orang-orang sombong sepertimu, Ted. Ampuni saya setan, yang sombong hanya Tedjo. Kita tidak sombong.” Willy menunjuk-nunjuk Tedjo. Tedjo mengumpat. “Bukan saya, saya hanya ketularan Willy saja, setan. Hukum saja dia.” Tedjo melempar balik. Ayah hanya tertawa melihat tingkah mereka. Dia melempar lagi satu lampu. Mereka berteriak-teriak histeris. “Kenapa kita masih di sini?” Tedo menepuk pundak Willy. “Iya ya? Ayo semuanya kabur.” Willy yang lebih dulu kabur. Sedangkan Tedjo paling belakang larinya. Mereka berlari hingga menabrak mobil Komandan Burhan yang hendak masuk ke halaman. Komandan Burhan turun dari mobil dan mendekati mereka. “Ada apa? Kenapa kalian semua lari-lari?” Komandan Burhan memasang wajah kesal. Dia bertanya dengan ketus. “Ada. Ada hantu Komandan di ruang senjata lama.” Tedjo berbicara dengan gemetar. Bukan hanya bibirnya, seluruh tubuhnya gemetaran karena masih teringat kejadian barusan. Aku menunjukkan pada Ayah kalau Komandan Burhan sudah datang beserta rombongannya. Tentu dendamku masih tumbuh dengan baik di hatiku. Aku benar-benar membencinya. Cara dia mempermalukan bawahan seperti orang kaya merendahkan orang miskin. “Kamu boleh membunuhnya. Tetapi kamu tahu membunuh dia harus dengan kejam. Jangan lupa permainkan dia terlebih dulu.” Ayah memberi saran. Aku mengangguk. Memang itu sesuatu yang aku inginkan. “Tentu saja itu sepemikiran denganku Ayah.” Aku terkekeh dan meminta Ayah untuk tenang. Komandan Burhan menggelengkan kepala melihat anak buahnya bersikap aneh. Rombongan komandan Burhan juga merasa ngeri. Tetapi dia mencoba bersikap biasa saja agar Komandan Burhan tidak memarahinya. “Semuanya bubar. Aku ingin menenangkan diri terlebih dulu. Kejadian aneh dan perilaku aneh membuatku pusing.” Komandan Burhan melenggang masuk ke kantornya. Aku dan Ayah mengikutinya. Kantornya sangat mewah dan tampilannya berbeda dengan tampilan lainnya. Dia mengambil air putih sebelum duduk di kursinya. Air itu dia teguk perlahan. Jari-jarinya bermain di mejanya. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan markas ini? Baru hari ini kejadian aneh itu berlangsung begitu cepat. Kematian Untung dan para penjaga yang berlari-lari karena melihat hantu.” Burhan menggelengkan kepalanya. Saking tidak kuatnya, dia menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Aku mulai menjalankan aksinya. Dengan trik menembus pintu aku keluar. Pintu itu aku ketuk. Dia terperanjat. “Siapa? Silakan masuk.” Komandan Burhan berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintunya, tetapi tidak ada siapa-siapa. Dia tutup lagi pintunya. Di kursi, dia terus menggerutu karena dia pun juga terkena godaan setan itu. Ayah yang hanya melihatku bertanya bagaimana caraku membunuhnya. Aku mengeluarkan tombak dari balik tubuhku. “Aku membawa satu tombak dari ruangan tadi untuk membunuhnya.” Ujung tombak itu aku jilati. Ayah mengangguk. Dia sandarkan tubuhnya ke dinding dan menyaksikan aksiku selanjutnya. Aku melempar kepalanya dengan batu ketika matanya terpejam. Kembali dia terperanjat dan tidak menemukan siapa-siapa di ruangannya. Dia menggelengkan kepala lagi. “Maunya apa sih setan ini?” komandan Burhan berdiri tetapi ketika hendak berdiri tanpa menunggu lama lagi aku menancapkan tombak itu di tubuhnya. Dia menjerit kesakitan. Darah memuncrat dan memenuhi lantai. Dia terduduk di kursinya sembari menikmati ajalnya. Tangannya hanya bisa memegangi tombak yang menembus badannya hingga sampai bagian tubuhnya belakang. Teriakkannya mengundang perhatian semua anggota yang ada di markas. Mereka berbondong-bondong mendatangi ruangan Komandan Burhan. Mereka terperangah melihat tombak tertancap di d**a komandannya. Ada yang tidak kuasa dan pingsan melihat darah berceceran di lantai. “Komandan. Komandan.” Mereka mendobrak pintu dengan paksa lalu menghambur ke dalam. Semua anggota menangisi kepergian Komandan Burhan.  [][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][] 6. Kini usiaku menginjak 10 tahun. Bersama ayah baruku aku diberikan pengalaman yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. Pengalaman luar biasa di luar kemampuan manusia biasa. “Aku sudah menemukan banyak teman untukmu, Aleksia. Sekarang aku akan membangunkan sekolah paranormal untuk kalian.” Ayah mengatakan itu sepulang dari perginya. Anak-anak angkatnya silih berganti berdatangan. Aku yang semula menganggap akulah yang paling istimewa ternyata salah semenjak mereka semua datang. Tentu saja aku tidak menyukai mereka. Kedatangan mereka membuat kedekatanku dengan Ayah renggang. Ayah tidak lagi memanjakanku. Aku hidup seperti robot lagi. “Tugas kalian di sekolah nanti berbeda-beda. Aku akan memberitahunya sebelum tugas itu berlangsung. Hal ini bertujuan agar kekuatan paranormal kalian keluar.” Ayah menjelaskan pada kami yang sudah berkumpul di ruang aula. Ayah memberi kami makan dengan porsi yang sama. Aku memakan sembari menggerutu di dalam hati dan menyesali semua ini. Andai dulu aku tidak terpincut dengan iming-iming dia, mungkin aku tidak akan diperlakukan seperti hewan ternak begini. “Tidak boleh keluar dari sekolah sebelum jam selesai. Jika ada yang melanggar, aku tidak akan memberi makan kalian selama satu hari penuh.” Ayah tampak bersungguh-sungguh ketika mengatakan. Tidak ada raut bercandaan yang terukir di wajahnya. “Kecuali aku ya, Yah?” Amanda mengacungkan tangan. Anak kandung dari Ayah mencoba memanfaatkan statusnya yang jauh berbeda dengan kami yang ada di sini. “Tidak. Amanda juga sama.” Semua bersorak mengejeknya. Tak terkecuali aku. Aku mngejek dia dengan suara paling keras. Meskipun di ruangan ini tidak ada yang aku suka, tetapi hanya Amandalah yang paling aku benci. Sudah sejak awal kedatanganku kemari, tingkahnya sama sekali membuatku muak. Aku ditampar dan kadang diperlakukan seperti pembantu. Rasa-rasanya waktu itu aku ingin membunuhnya saat itu juga. Tetapi aku teringat kalau dia adalah anak asli dari Ayah. Aku tidak bisa melakukan itu karena takut nanti akan dimarahi. “Habiskan makan kalian. Lalu pergi ke lapangan sekolah. Aku akan menunggu kalian di sana.” Ayah melenggang keluar kami hanya mengangguk seperti kerbau. *** Sejak kematian Komandan Burhan dua tahun yang lalu, aku diangkat menjadi Komandan baru. Meskipun aku pernah mengalami pengalaman buruk yaitu mengompol karena melihat setan, tetap saja mereka memilihku untuk menjadi Komandan baru. “Asep apa kamu sudah menemukan paranormal yang katanya menyerang kita dua tahun yang lalu? Mereka harus ditangkap dan dihukum mati. Sudah dua nyawa mereka renggut.” Aku mengepalkan tangan karena merasa kesal saat mengingat kejadian waktu itu. “Belum Komandan. Tetapi aku punya tetangga yang kesehariannya seperti paranormal begitu. Dia bisa mencuri hasil panen dalam waktu sekejap, Komandan. Semua warga sudah mengetahui gelagatnya.” Asep yang berdiri di depanku mendadak mendekatkan wajahnya ketika menceritakan hal itu. Itu sangat menarik. Mungkin saja dengan bantuan mereka, kami bisa menangkap paranormal yang hendak menyerang markas ini. Selama menjabat dua tahun, aku dibuat ketar-ketir karena takut p*********n akan dilakukan lagi. “Ini kesempatan kita sebelum mereka menyerang lagi. Aku sudah ketar-ketir selama dua tahun ini. Untung saja mereka tidak lagi menyerang markas kita.” Aku mengusap keningku yang mulai berkeringat. “Seharusnya begitu, Komandan. Tetapi aku tidak tahu dengan cara apa kita bisa menangkapnya. Kita tidak punya bukti kuat untuk menangkapnya. Nanti malah akan menurunkan citra Aparat, Komandan.” Asep kebingungan. Aku meminta dia untuk mengumpulkan orang ke aula. Aku punya ide gila untuk menangkapnya. Kami harus memusyawarahkan hal ini. Karena kerja tim akan memudahkan segala aktivitas. “Siap, Komandan. Laksanakan.” Asep memberi hormat sebelum melenggang keluar. *** “Baiklah kalau semuanya sudah berkumpul. Aku akan menjelaskan tugas kalian hari ini.” Ayah berdiri dengan perut buncitnya yang maju beberapa centi melebihi garis. Kami semua mengangguk serentak di bawah sinar matahari yang masih redup karena belum terlalu siang. Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. “Tugas pertama. Kalian harus lari dari kejaran-kejaran dua puluh anjing Pitbull.” Aku terperangah mendengar itu. Pit bull adalah anjing paling sadis di dunia. Sudah banyak kematian diakibatkan oleh anjing jenis itu. Belum selesai aku terperangah, anjing-anjing itu sudah disiapkan. Sekitar dua puluh kandang diderek ke lapangan. Anjing-anjing itu menggogong dan menjulurkan lidahnya. “Coba kalian lihat anjing-anjing di kandang itu. Mengerikan bukan? Kalian takut?” Ayah mendekati kandang-kandang itu. Kami mengangguk ketakutan. Bukannya berbelas kasih pada kami, Ayah malah memarahi kami habis-habisan. “Kalian itu mempunyai kekuatan paranormal. Aku sudah mencotohkannya. Gunakan kekuatan kalian yang pernah kalian gunakan waktu bersamaku.” Ayah menggertak kami. Cepat-cepat kami menganggukkan kepala karena saking takutnya. Ternyata selama ini bukan hanya aku saja yang mendapatkan pengalaman menyenangkan itu. Ayah juga melakukan hal yang pada yang lainnya. Hatiku semakin disayat-sayat oleh kesedihan. “Siap tidak siap kalian harus melalui tugas ini dengan baik. Aku akan memanggil acak.” Ayah bicara dengan tegas sembari menonton kertas yang berisikan nama-nama kami. *** Semua sudah berkumpul di aula sesuai rencana. Aku masuk dan mereka semua berdiri memberi hormat. Budaya seperti ini tidak pernah kami tinggalkan meskipun dulunya aku juga sama seperti mereka. “Selamat pagi. Aku mengumpulkan kalian di sini secara mendadak karena ingin membahas soal tindakkan tanggap darurat terkait insiden yang menewaskan teman sekaligus bimbingang kita.” Aku mengatur napas terlebih dulu. Mereka mengangguk. “Nah tadi Asep mendatangi ruanganku dan melapor kalau di kampungnya ada seorang paranormal yang katanya suka mencuri hasil panen dan sebagainya. Mendengar laporan itu, aku mempunyai ide untuk memanfaatkannya menjadi anggota kita.” Aku tersenyum dan mengubah posisiku. Aku berjalan agak maju. Mereka semua mengangguk takzim. Kami mempunyai prinsip untuk tidak memberi usul sebelum diminta. Makanya mereka belum berani memberi usulan terlebih dulu. “Aku ingin kita bergotong royong menangkap paranormal itu dengan cara memasang kamera di tiang listrik atau lampu yang ada di dekat rumahnya.” Aku tersenyum. Ideku membuat mereka tampak kebingungan. Lalu aku mempersilakan mereka untuk bertanya. “Izin bertanya, Komandan. Apa kamera biasa dapat menangkap kegiatan atau aktivitas paranormal?” Gusti memberi hormat sebelum bertanya. “Pertanyaan yang bagus. Sebenarnya waktu aku konsultasi dengan paranormal yang Willy sarankan, aku menawari paranormal untuk aku jadikan anggota. Tetapi paranormal itu tidak mau. Katanya dia sudah terlalu tua. Dia hanya siap membantu kapan pun aku membutuhkannya.” Mendengar itu ada yang mengacungkan tangan. Aku memintanya untuk menahannya terlebih dulu. Penjelasanku belum selesai karena aku baru mengatur napas. “Nah aku ingin kamera ini dia doakan atau apalah namanya itu agar dapat merekam aktivitas paranormal yang tidak kasap mata. Maka dengan cara ini, kita bisa mempunyai bukti kuat.” Penjelasanku ini disambut tepuk tangan. Aku mengangguk. “Besok kita beli kamera dan langsung kita bawa ke rumah paranormal itu.” Aku melanjutkan lagi. *** Aku sempat menduga yang pertama maju untuk menjalani tugas ini adalah Amanda. Karena dugaanku itu muncul berdasarkan siapa yang paling awal bersama Ayah. Ternyata yang maju duluan adalah Abel. “Maju Abel! Jangan seperti pengecut.” Abel yang namanya dipanggil awal ketakutan. Dia sempat bersembunyi di balik tubuh Barayev yang mempunyai tubuh besar. “Majulah. Nanti aku juga ikutan kena marah.” Barayev menarik-narik tubuh Abel agar mau maju. Dia tidak mau terkena marahnya Ayah. Abel terpaksa maju. Ayah memperkenalkan Abel yang mempunyai kekuatan menghilang dengan sangat cepat tanpa menggunakan alat apa pun. “Aku yakin kamu bisa menggunakan kekuatanmu itu untuk menghindari serangan dari anjing-anjing itu.” Ayah tersenyum. Dia memosisikan Abel tepat di depan kandang anjing-anjing itu. Kami yang belum mendapat giliran diminta untuk menepi. “Memangnya Abel sudah bisa mengendalikan kekuatannya?” Blade yang ada di samping Barayev berbisik-bisik. Barayev menggeleng. Dia sendiri yang malah ketakutan dan menggigit bibirnya. Agatha mendekatiku. Sepertinya dia tipikal orang yang sama dengan Blade. Berusaha sok kenal dan sok asyik dengan orang lain. Sebenarnya aku muak dengan orang-orang tipikal seperti itu. Suka mencari muka. “Aleksia. Apa kamu tidak takut dengan tugas ini?” Agatha mulai melakukan aksinya. Dia sepertinya ingin dekat denganku. Mungkin sejak mereka semua berkumpul, hanya aku yang menarik perhatian mereka karena sama sekali tidak mau bergabung. “Tugas harus dijalankan apa pun risikonya, kita harus siap.” Aku menjawab singkat tanpa melihatnya. Agatha mengangguk. Tangannya yang menempel di tanganku terasa gemetar. Aku mengumpat di dalam hati. Kenapa pula mendekatkan tangannya yang gemetar di tanganku? Mau minta perhatianku? “Satu dua tiga.” Pada hitungan ketiga, anjing itu dibuka dan langsung berlari mengejar Abel. Abel yang belum siap, gelagapan berlari menghindari kejaran mereka. Abel terus berlari sampai-sampai dia lupa mengeluarkan kekuatannya. “Keluarkan kekuatanmu, Abel. Keluarkan.” Ayah berteriak-teriak meminta Abel agar mengeluarkan kekuatannya menghindari kejaran dari anjing-anjing itu. Tetapi Abel tidak bisa berkonsentrasi sehingga kekuatannya tidak bisa dia keluarkan. Ayah tidak tinggal diam. Dia terus membiarkan anjing-anjing itu mengejarnya. “Aku capek, Ayah. Hentikan anjing itu.” Abel mulai kelelahan. Napasnya tersengal-sengal dan dadanya berdegup lebih kencang dari biasanya. “Aku tidak akan menghentikan anjing itu sebelum kamu mengeluarkan kekuatanmu.” Ayah bicara tegas. Dia hanya melihat saja anjing-anjingnya mengejar Abel tanpa sedikit pun berhenti. Aku yakin anjing itu bukanlah anjing biasa. Pasti Ayah sudah mengendalikan anjing itu dengan kekuatannya. Nalarnya begini, dua puluh anjing kenapa hanya mengejar Abel. Padahal di sini, ada banyak orang yang menonton. Maka tampak aneh kan anjing sebanyak itu hanya mengejar satu oang saja? Padahal orang itu tidak mengganggu mereka terlebih dulu. “Abel tidak bisa mengeluarkan kekuatannya, Ayah.” Abel semakin tidak terkontrol. Napasnya ngos-ngosan. Tak berselang lama, Abel jatuh. Kakinya digigiti oleh anjing-anjing itu. Abel meringis, meraung dan menjerit-jerit kesakitan. Semuanya merasa ngeri karena Ayah membiarkan Abel digigit hingga tulang-tulang kakinya terlihat. “Kenapa sekejam itu ya, Aleksia?” Agatha merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Wajahku mendadak mengerut. Siapa suruh dia merapatkan tubuhnya? Memangnya aku ibunya apa? “Dia memang begitu. Makanya hati-hati.” Sebenarnya aku memukulnya. Tetapi ini bukan situasi yang baik untuk ribut. Abel sudah merusak mood Ayah. Wajah Ayah tampak murung karena Abel tidak sesuai ekspetasinya. Ayah mengarahkan anjing-anjing itu masuk ke dalam kandang lagi. Dia membawa Abel ke pinggir. Semuanya menunduk. “Ini hukuman buat kalian yang tidak bisa mengeluarkan kekuatan kalian. Kalian itu harus bisa mengeluarkan kekuatan di semua keadaan. Jangan memilih-milih.” Ayah meludah ke sisi kirinya. Kami hanya mengangguk pelan. Abel masih meraung-raung kesakitan. Lukanya yang menganga lebar mulai menyempit. Di kakinya hanya ada tersisa luka sebesar bakwan. Hal itu Ayah sengaja agar Abel terus merasa kesakitan sebagai hukumannya. “Kini giliran Hadley.” Ayah menunjuk Hadley yang sejak tadi diam. Entah karena takut atau karena kebelet buang air besar aku sendiri tidak tahu. Hadley maju dengan agak berani kali ini. Langkahnya mantap sehingga membuat kami yakin kalau dia akan berhasil. Aku ikut lega, setidaknya Hadley bisa memperbaiki mood Ayah. Kalau tidak ada yang bisa memperbaikinya maka hari ini akan menjadi neraka buat kami semua. “Kamu tahu kan hukuman apa yang akan kamu dapat jika tidak bisa mengeluarkan kekuatanmu?” Ayah mengingatkan Hadley sembari menunjuk kaki Abel. “Saya tahu, Ayah. Doakan.” Hadley mengangguk dan melangkah ke tengah lapangan. Aku tersenyum. Boleh juga anak itu. Keberaniannya memang patut diacungi jempol. *** Willy yang kini memimpin kami menuju rumah si paranormal itu. Aku sempat memarahinya karena kami sempat tersesat di tengah-tengah kuburan. Padahal sopir sudah mengatakan kalau di dalam ada kuburan. Tetapi dia tetap bersikeras. “Kamu sudah membuat kita tersesat. Jangan kamu ulangi lagi.” Aku mengingatkan. “Siap, Komandan. Tadi agak lupa. Apa Komandan juga sudah lupa dengan jalannya?” Willy malah bertanya balik padaku. Tentu saja aku menjawab lupa karena baru pertama kali datang ke rumah si paranormal itu. Dan apalagi aku merasa kalau jalan ini tidak pernah aku lewati waktu ke sana. “Seingatku kita dulu tidak lewat jalan persawahan seperti ini deh. Kok bisa kamu memilih jalan persawahan ketimbang jalan raya tadi saat kita di persimpangan?” Willy menggaruk kepalanya sambil meringis. Aku sudah merasa tidak enak. Firasat buruk bakalan tersesat di persawahan semakin kuat mengembang di dadaku. “Bagaimana ini, Komandan? Apa sebaiknya kita putar balik saja?” Sopir kami bertanya. “Alangkah baiknya kita putak balik. Lihat itu sudah bukan lagi persawahan. Tetapi tempat ilalang liar tumbuh sampai setinggi itu.” Aku meminta sopir itu memutar balik. Dengan dibantu Willy memberi aba-aba akhirnya kami memutuskan putar balik. Willy mencoba mengingat-ingat kembali jalannya. “Aku sudah agak ingat, Komandan. Maaf tadi aku benar-benar lupa.” Willy nyengir tanpa merasa berdosa. “Selama ini apa yang kamu makan Willy? Apa kamu makan berutu atau sejenisnya yang menimbulkan kepikunan sejak dini?” Mereka tertawa mendengar candaanku. Kami sampai di perempatan lagi. Kalau lurus kami akan melewati jalanan aspal yang lebih lebar dari jalan sebelumnya. Lebarnya sampai bisa digunakan untuk satu mobil dan satu motor. “Sepertinya benar, Komandan. Kita tadi seharusnya memilih jalan persawahan tadi.” Willy cekikan karena merasa bersalah. “Makanya kalau makan yang sehat-sehat. Jangan yang bikin mudah pikun.” Aku menggelengkan kepala. Mobil terus berjalan di jalanan aspal tadi. Di kanan kiri kami memang ada sawah-sawah tetapi jalan ini memang digunakan sebagai jalan keluar desa dari paranormal itu. Semoga saja paranormal itu masih ada dan dapat membantu kami. “Jujur saja ya, aku takut menjadi korban berikutnya.” Aku bercerita di tengah-tengah keheningan kami. “Aku juga takut, Komandan. Bukan hanya para atasan bahkan perajurit penjaga pun juga diserang mereka.” Willy menggeliat ketakutan.   7. Ayah mengenal kekuatan Hadley pada kami seperti yang dia lakukan tadi. Kali ini wajahnya tampak datar. Dia tidak ingin terlalu berharap. Abel yang dia gadang-gadang lebih baik malah ketakutan tidak jelas. “Dalam hitungan ketiga anjing itu akan lepas, Hadley. Bersiaplah.” Ayah menunjuk anjing-anjing Pit bull yang sudah tidak sabar mencari mangsa. Lidahnya menjulur dan napasnya tersengal-sengal. Gigi-giginya yang tajam juga terlihat. “Aku sudah siap untuk berlari dari kejaran mereka.” Hadley yang katanya mempunyai kekuatan dapat amblas ke dalam tanah berlagak tenang. Aku menjadi penasaran. Apakah benar dia bisa setenang itu atau mungkin dia hanya menutupi ketakutannya? Melihat dari caranya berdiri, satu pun aku tidak menemukan tanda-tanda kalau dia sedang berpura-pura tenang. Seluruh tubuhnya tidak menimbulkan sedikit pun gejala alam yang dapat dibaca. Menarik sekali ini. “Satu. Dua. Tiga.” Anjing itu langsung berlari ketika semua pintu terbuka dengan sendirinya. Hadley awalnya menantang anjing-anjing itu. Tetapi saat para anjing itu mendekat dia lari terbirit-b***t. Ayah terperangah sedangkan kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata dia tidak beda dengan Abel. Malah lebih parah. Dia lari bukan mengitari lapangan untuk menghindari kejaran para anjing pit bull. Pohon yang ada di halaman dia jadikan tempat untuk bersembunyi. “Dia itu punya kekuatan amblas ke tanah atau memanjat pohon dengan cepat, Ayah?” Amanda bertanya di sela-sela dia tertawa. Ayah mengumpat dia membanting bolpoinnya. “Maafkan aku, Ayah. Anjingnya serem banget aku tidak bisa seketika amblas ke tanah dalam keadaan takut.” Hadley masih di atas pohon memeluk erat batangnya. Aku tertawa sambil menggelengkan kepala karena tidak sanggup melihat tingkahnya. Para anjing itu menggogong di bawahnya. Mungkin kalau dapat aku bahasakan, para anjing itu meminta Hadley untuk turun. Dia ingin memakan daging di tubuhnya. “Turun! Serahkan dirimu pada para anjing itu.” Ayah membentaknya agar mau turun. Tetapi dia menggelengkan kepala. “Berani kamu melawan perintah, Ayah?” Ayah masih memasang wajah galak. Hadley juga enggan turun dari pohon itu. Hadley juga tidak mau turun juga. Entah mengapa, tiba-tiba ada satu anjing yang bisa memanjat pohon itu. Aku mengangguk, pasti ini karena kekuatan Ayah. Anjing itu menggigit p****t Hadley dan menariknya turun. “Sudah aku bilang jangan berani-berani melawan perintahku.” Ayah berbicara dengan nada kesal. Tawa kami seketika berhenti. Hening di antara kami semua saat melihat Hadley dilumat habis oleh para anjing itu. Luka yang sama persis dengan yang Abel alami. Kami semua terdiam. Ada yang benar-benar ketakutan. Aghata mencoba mendekatkan lagi tubuhnya. Mulanya aku sempat marah. Tetapi aku juga merasa kasihan dengannya. Aku bayangkan diriku seperti yang dulu. Siapa tahu, Agatha juga merasakan hal yang sama aku rasakan. “Apa kamu sangat ketakutan, Agatha?” Aku mencoba melunakkan hatiku. “Aku benar-benar ketakutan. Aku tidak bisa membayangkan akan menjadi seperti Hadley atau Abel yang dimakan para anjing itu.” Katanya lirih dengan penuh ketakutan. Aku merangkul bahunya. Membiarkan Agatha tenang di dalam pelukanku merupakan hal yang tepat. Tubuhnya gemetaran dan keringatnya sudah melumuri seluruh tubuhnya. “Kunci dari semuanya adalah keyakinan, Agatha. Jika kamu yakin dirimu bisa melampau tugas ini. Maka kamu akan bisa. Ayah hanya menguji keyakinan kita semua. Seberapa yakin diri kita akan kekuatan kita sendiri. Karena di dalam diri kita sudah ada bekal.” Agatha menatapku dengan berkaca-kaca. “Mendengar itu hatiku sudah agak tenang, Aleksia. Terima kasih. Aku akan mencoba meyakinkan diriku sebelum dipanggil.” Agatha tersenyum akhirnya. Dia diam dan memejamkan mata. Ayah kembali membaca urutan nama kami yang ada di dalam kertas. Semua menelan ludah. Ada yang memejamkan mata dan menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. “Agatha.” Agatha langsung mengangkat wajahnya. Mulanya dia menatapku lalu kemudian menjawab panggilan Ayah. “Terima kasih sudah mengajariku, Aleksia. Doakan aku berhasil.” Agatha mengepalkan tangan ke arahku. Aku hanya mengangguk saja karena tidak tahu harus membalasnya dengan apa. Agatha maju dengan langkah hati-hati. Kakinya menapak sedikit demi sedikit menuju tengah lapangan. Dia sempat berhenti untuk mengatur napas. *** Kami tiba di rumah paranormal itu. Tetapi ketika kami hendak masuk. Ada yang ganjil. Rumah itu tampak sepi. Oh iya, sebelum aku berangkat, aku meminta semua petugas yang ikut untuk memakai kaos biasa. “Rumahnya sepi, Komandan.” Willy mencoba mengecek ke dalam melalui kaca jendela. “Mungkin lagi ke sawah. Kita tunggu saja. Dia kan harus menutupi kedoknya dengan hidup seperti manusia biasa.” Aku duduk di salah satu batu besar yang ada di depan rumahnya. Sedangkan yang lain ada yang berdiri, ada yang duduk di mobil, dan ada yang berjalan-jalan mengelilingi rumah ini. Tetapi tidak berselang lama, ada segerombolan pemuda membawa pedang. Kira-kira jumlahnya lima belas orang. Orang-orang itu sepertinya begal. Mereka berjalan menenteng pedang dengan berani karena tidak tahu kalau kami ini aparat. “Datang kemari harus izin terlebih dulu.” Salah satu dari mereka membentak kami. Willy sempat ingin maju dan memberi mereka pelajaran. Tetapi aku melarangnya. “Maaf, Kak. Kami sudah lancang karena tidak meminta izin terlebih dulu pada kalian. Untuk itu kami meminta izin saat ini juga.” Aku berdiri dan memberi hormat. Bukannya mengizinkan mereka malah tertawa terbahak-bahak. Beberapa anggotaku sudah mengepalkan tangan ingin memberinya pelajaran. Kami yang berjumlah hanya enam orang tidak takut dengan mereka yang jumlahnya lebih banyak. “Kalian ini emang anak kota yang bodoh. Minta izin itu tidak hanya omongan saja. Harus ada ini nih.” Dia menggerakkan jarinya memberi isyarat agar kami mau membayar mereka. “Loh begitu. Kami tidak tahu atas hal itu. Memangnya kami harus membayar berapa untuk bisa masuk ke wilayah ini?” Mereka menyebutkan nominal. Kami semua terkejut ketika mereka meminta sepuluh juta agar kami bisa masuk ke desa ini. “Memangnya tanah ini terbuat dari emas ya kok mau masuk harus membayar mahal banget?” Aku berlagak ketakutan. “Ini tanah kelahiran kami. Siapa pun tidak boleh masuk kecuali atas izin kami. Kalian hanya mendatang jangan berbicara sembarangan.” Mereka mulai naik pitam. Aku belum mengomando anggotaku untuk menangkap mereka. Aku ingin menggoda mereka. Amarahnya aku pancing agar mereka benar-benar meluapkannya. “Memangnya seluruh desa ini pemilik sertifikatnya kalian ya?” Mendengar itu mereka sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. “Dari tadi aku dengar-dengar bicaramu sudah tidak enak.” Mereka langsung mengayunkan pedang mereka. Kami langsung sigap. Pistol yang ada di saku celana, kami keluarkan. Mereka tekejut dan seketika langsung angkat tangan. “Masih mau memintai kami uang? Tenang bukan hanya uang yang akan kami berikan. Tetapi peluru-peluru yang ada di sini juga akan kami berikan.” Tedjo dan Willy yang maju ketika mereka hendak menyerang langsung membuat mereka terbungkam seribu bahasa. “Maafkan kami, Pak. Kami tidak bermaksud begitu.” Mereka berupaya memelaskan wajah agar kami mau memaafkan mereka. Aku curiga kalau segerombolan ini begal yang meresahkan warga. Karena itu aku tidak mau memperpanjang masalah ini dan meminta anggotaku memborgol tangannya. Mereka sempat menolak dan ada yang berniat lari, tetapi tembakkan yang melesat mengenai kakinya, membuat dia terjatuh. “Kita bawa ke kantor kepala desa. Siapa tahu dari kepala desa kita tahu informasi soal segerombolan ini.” Aku memerintahkan anggotaku. Mereka mengangguk. “Di mana kantor kepala desa kalian? Biar kami bawa ke sana?” Aku bertanya dengan nada tegas kali ini. Ini sudah bukan perkara bercandaan lagi. Siapa tahu mereka adalah sindikat buronan dari kepolisian daerah ini. Mereka sempat tidak mengaku. Tedjo membawa alat yang membuat mereka terpaksa mengaku. Dengan detail mereka memberitahu di mana kantor kepala desa terletak. Ternyata tidak terlalu jauh dan lumayan dekat. “Kalau kalian ke sana jalan kaki membawa mereka kuat tidak?” Aku bertanya pada anggota. “Siap, Komandan. Kami kuat bahkan sampai ke kantor sekali pun.” Mereka serentak menjawab. Aku mengangguk. Setelah itu aku memerintahkan mereka untuk membawa segorombolan pemuda bersenjata yang mencurigakan itu. Para anggotaku memintaku untuk naik mobil karena tidak sesuai etika membiarkan komandan ikut jalan kaki bersama anggotanya. Aku menurut saja. Mobil berjalan sangat pelan di belakang mereka. Daerah ini masih tergolong daerah pedesaan yang belum sepenuhnya tercampuri oleh budaya kota. Udaranya masih sejuk. Bangunan megah sama sekali tidak terlihat di sini. “Di sana, Pak.” Salah satu dari mereka memberi isyarat dengan mengangkat wajahnya. Kami melihat ada kantor bercat biru. “Baiklah kita langsung ke sana saja.” Mereka mengangguk dan membawa mereka ke kantor kepala desa. Para pegawai kantor kepala desa terkejut karena melihat kedatangan kami. Kami membawa pemuda itu dengan posisi tangan mereka diborgol. Senjata dan alat bukti lainnya aku letakkan di mobil. “Aku ingin bertemu dengan Pak Kepala Desa. Apakah ada, Pak?” aku turun dari mobil setelah sampai di halaman kantor kepala desa dan bertanya pada salah satu pegawainya. “Ada, Pak. Silakan duduk di pendopo dulu. Biar saya panggilkan.” Dia sempat kebingungan tetapi langsung lari menuju ruangan kepala desa. Aku membawa mereka naik ke pendopo yang megah dan estetik. Masih kental dengan budaya. Ukiran dan bangunannya pun sama sekali tidak mengubah gaya budaya aslinya. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu. Saya Pak Rusli, Kepala desa di sini.” Pak Rusli datang menghampiriku dan menyambutku dengan menjabat tangan. “Selamat siang juga, Pak. Mohon maaf karena sudah mengganggu waktunya. Kami dari aparat keamanan yang kebetulan menangkap segerombolan pemuda ini.” Aku mengeluarkan kartu anggota aparat keamanan. Pak Rusli melihat dan mengecek kartuku. Badannya yang semua agak dia bidangkan mendadak dia rendahkan karena mulai mengerti siapa aku sebenarnya. “Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau Bapak.” Belum selesai Pak Rusli bicara aku sudah memaafkannya dan menepuk pundaknya. Dengan agak panik dia memerintahkan pegawainya untuk membuatkan minum dan membuatkan makanan untuk kami. “Tidak perlu repot-repot, Pak. Kami hanya sebentar saja di sini.” Aku melarang Pak Rusli menyuruh pegawainya menyiapkan hidangan. Tetapi dia ngeyel. Katanya tamu harus dijamu dengan baik. Aku mengangguk-angguk dan mulai menjelaskan tujuan kami datang ke kantor ini. Pak Rusli menyimak dengan baik penjelasanku. “Kalau segerombolan ini memang sudah sejak lama meresahkan desa ini. Mereka seling memalaki orang-orang luar seperti Bapak. Selain itu, kalau panen mereka meminta jatah dengan menjarah hasil panen para petani di sini. Kami seluruh warga merasa senang apabila Bapak berkenan menangkap mereka.” Pak Rusli mengatupkan tangan. “Kalau begitu kami akan menangkapnya berdasarkan kesaksian Bapak ya? Nanti akan kami serahkan ke aparat sektor dekat sini. Karena mereka yang berwenang mengurus semua ini.” Aku tersenyum karena dugaanku memang benar adanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD