Semenjak memasuki usia senja, Lim hariyanto Aditama, Kakek dari Brian Halligan, memutuskan untuk pensiun menikmati masa tuanya.
Sepanjang hari ia habiskan dengan merawat tanaman dan beberapa peliharaan bersama sang istri tercinta, Parcha Ayushita. Tetapi tetap saja dia memantau kinerja anak cucunya dari balik layar. Pria itu tidak rela jika ada musuh yang menyusup dan menghancurkan tatanan perusahaan.
"Mana bocah tengil itu belum sampai juga kemari," gumamya sembari mengusap lembut jambangnya yang mulai memutih.
"Sayang. Ini teh hangat tanpa gula yang kau pesan. Minumlah, sebelum dingin," ucap seorang wanita tua yang tak lain adalah istrinya.
"Baiklah, Parcha. Terimakasih cantikku," jawab Lim sambil mengedipkan sebelah mata. Tak ayal sang istri pun dibuat merona olehnya. Dengan senyum tertahan Parcha mencubit lengannya pelan.
"Ehem."
Gerakan keduanya terhenti seketika saat terdengar seorang pria berdehem dengan keras. Lim berdecak kesal. Sedangkan Parcha terkekeh senang.
"Cucuku, Sayang. Kau datang?" tanya Parcha pada Brian yang menatap keduanya dengan pandangan geli.
"Maaf jika kedatanganku mengganggu kalian," jawab Brian dengan mulut masih menahan tawa. Mungkin karena kakek dan neneknya sudah berumur tetapi kelakuan tetap saja seperti usia pubertas.
"Ah tentu saja tidak, Sayang," balas Parcha merentangkan kedua tangannya memberi pelukan.
Brian segera merengkuh neneknya dengan erat. Dia ingin sekali mendapatkan seorang pendamping sepertinya, yang tetap mendampingi sang kakek apapun yang terjadi, menua bersama menghabiskan masa tua.
"Kakek, apa kau tidak senang aku datang?" tanya Brian mendapati wajah Lim ditekuk rapat.
"Kau datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang menggoda Parcha-ku yang cantik," keluhnya kesal.
Brian pun tidak dapat menahan gelak tawa. Rupanya kakek-nenek juga manusia. Mereka butuh me time dengan pasangan masing-masing walaupun tak lagi muda.
"Lim, jangan membuatku malu," sanggah Parcha tersipu. Pria tua itu pun mengecup lembut kening sang istri.
"Sepertinya aku perlu melarikan diri cepat-cepat sebelum jadi nyamuk abadi di sini," sela Brian menggoda keduanya.
"Hei, jangan harap kau bisa lolos kali ini perjaka tua," sergah Lim menahan langkah Brian.
"Duduklah!" lanjutnya memerintah.
"Kalau begitu, Nenek ke belakang dulu ya, Sayang. Baik-baiklah dengan kakekmu," bisik Parcha pada Brian. Disambut anggukan olehnya.
"Jadi kakek, aku mohon batalkan saja perjodohan yang kakek atur itu. Aku sudah punya calon sendiri," ujar Brian tanpa basa-basi.
Lim memandang ragu. Dari gestur tubuhnya, sang cucu tampak tidak serius. "Kenapa cepat sekali?" tanya sang Kakek.
"Karena aku ingin menikah dengan wanita pilihanku sendiri," tegas Brian.
Brian pun mulai menceritakan wanita yang akan dinikahinya. Sang Kakek memasang raut wajah tak suka.
"Aku tidak setuju!" tolaknya tanpa kompromi.
"Memangnya kenapa?" tanya Brian meminta penjelasan.
"Apa kau sudah tidak waras? Wanita itu pegawaimu, dan dia masih bersuami!" seru Lim tidak habis pikir dengan pilihan Brian.
"Tetapi dia akan segera bercerai, Kek," lanjut Brian meyakinkan.
"Tetap saja dia akan menjadi seorang janda. Itu akan merusak reputasi keluarga Aditama. Bahkan bisa membuat skandal gosip yang lebih besar. Aku tidak mau," sahut Lim dengan kekeh.
"Aku sangat menginginkan dia." kembali Brian menekankan.
"Tidak, Brian. Aku tidak setuju. Masih banyak gadis lain yang lebih baik dari dia, yang latar belakangnya setara denganmu. Apa jangan-jangan kau sudah kena ilmu santet sampai otakmu kosong melompong begini?" ejek Lim menggelengkan kepalanya.
"Kakek! Perkataanmu sangat tidak masuk akal." Brian menatap Lim dengan alis bertaut.
"Kalau begitu katakan padaku apa kelebihannya sampai kau bersikeras ingin menikahinya," cecar Lim menatap Brian lekat.
Brian tampak mengambil napas dalam-dalam. Sebelum sang Kakek kembali bersuara."Apa dia berasal dari keluarga kaya-raya?"
"Tidak."
"Apa dia lulusan universitas ternama di luar negeri?"
"Tidak juga." Brian masih tampak terlihat santai.
"Bagaimana dengan orang tuanya? Apa mereka salah satu konglomerat terkaya di Jakarta?" Lim masih mencecar.
"Kedua orang tuanya telah meninggal dalam kecelakaan."
"Demi Tuhan. Jangan memilih gadis itu, Brian. Kakek tidak setuju," sangkal Lim dengan cepat.
"Walaupun kriteria yang kakek sebutkan tadi tidak ada padanya. Namun wanita itu memiliki sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa kakek tolak," jawab Brian dengan percaya diri.
"CK. Paling cuma menang cantik saja." Lim tertawa sumbang.
"Lebih dari itu, Kek."
Lim terdiam mendengar keseriusan sang cucu. "Memangnya apa lagi?"
"Wanita itu, sedang mengandung anakku, calon cicitmu," papar Brian tersenyum puas melihat wajah sang Kakek seketika barubah drastis.
"Apa?"
"Tidak lama lagi, harapanmu akan terkabul, Kek."
"Gadis itu mengandung anakmu?" ulang Lim tak percaya.
"Ya. Tentu," balas Brian.
"Calon pewarismu nanti?" Masih dengan Ekspresi terkejut, bibir Lim mulai terangkat sedikit.
"Ya, Kakek," jawab Brian dengan sabar.
Kini garis bibirnya sudah melengkung sempurna. Wajah Lim tampak melunak, sumringah mendengar kabar sari sang Cucu.
"Bawa gadis itu padaku segera. Kapan aku bisa menemuinya? Aku akan menyambutnya sebagai calon menantuku."
***
Keesokan harinya, sesuai dengan janjinya, Ayana menemui Daniel di salah satu kafe tak jauh dari tempatnya bekerja. Dia menyerahkan dokumen perceraian yang sudah ia tanda tangani.
"Ini berkasnya," ucapnya Ayana dengan nada dingin.
"Bagus. Aku menepati janjimu," balas Daniel datar.
"Tentu saja. Aku tidak pernah ingkar," timpal Ayana tersenyum lebar.
"Kenapa kau tampak senang sekali? Kau senang bercerai dariku?" tanya Daniel sinis.
"Itu pasti, karena aku telah mencabut benalu dari akarnya. Jadi apa yang perlu ku khawatirkan?" sarkas Ayana.
Daniel tampak sangat kesal mendengarnya. Namun ia menahannya sebisa mungkin.
"Lalu bagaimana dengan vila yang kau jual?" Daniel tidak sabar.
Ayana tersenyum miris. Betapa tidak tahu malunya lelaki dihadapannya ini. "Kata siapa aku akan membaginya denganmu?" Itu semua milikku. Aku tidak berhak. Jika kau tetap bersikeras menuntutnya, hubungilah pengacaraku."
"Kau tidak bisa begitu, Ayana." suara Daniel melunak.
"Aku bebas mempertahankan milikku."
"Aku juga berhak mempertahankan bagianku," sahut Daniel tak mau kalah.
"Bagianmu katamu? Yang benar saja. Semua itu milikku pribadi sejak awal," tegas Ayana tak mau kalah.
"Tetapi aku suamimu, Ay. Kau harus bersedia membaginya denganku!" Daniel memaksa.
"Suami? Kau sebut dirimu suami? Kau justru mabuk-mabukan di hari kematian orang tuaku," timpal Ayana mengungkit keburukannya.
"Itu karena aku stres setiap hari kau menangis seperti anak kecil."
"Kau seharusnya mengerti aku kehilangan dua orang paling penting dalam hidupku." Ayana masih kesal Daniel tak sedikitpun menampakkan penyesalan.
"Sayang…."
tiba-tiba saja suara wanita menyapa Daniel dengan halus. Tangannya terulur meraih lengannya dan bergelayut manja.
Alma
Geram Ayana semakin tak tertahan. Muncul lagi satu manusia tak punya malu merayu pria yang bahkan belum sah bercerai.
"Hei, kenapa kau menyusul kemari?" tanya Daniel merendahkan suaranya.
"Aku bosan di mobil. Kenapa kau lama sekali," ujar Alma merajuk.
"Oh, rupanya ada serigala betina yang muncul di sini," sindir Ayana membuat kedua orang itu terdiam.
Bersambung…