Dear Mantan: Mantan Gebetan

1984 Words
"Mantan itu ibarat bayangan. Bayangan masa lalu! Hahaha!" Ardani Wirasatya ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Mamaaaa! Ardan gak mau anteriin!" Dina berteriak. Gadis itu tertawa puas saat mendengar suara lengkingan Mamanya dan Ardan yang terpaksa beranjak dari sofa sambil menggerutu. Ardan menyumpah-nyumpah dalam hati namun tak berdaya. Mamanya terlalu menyeramkan untuk dilawan. "ANTERIN ITU KAKAKNYA BUAT BELANJA. NGANTERIN AJA SUSAHNYA MINTA AMPUUUUUN!" Dina makin terbahak. Suara Aisha tak hanya terdengar sampai teras rumah tapi juga sampai ke tetangga depan rumah. Lain kali Dina akan menyiapkan microfon sebelum Mamanya berteriak biar satu komplek tahu. Hihihi.... "Naik motor aja gak bisa!"  "Naik mah gampang keleus!" Dina menyemprot. "Maksud gue bawa motor begooo!" Ardan balas menyolot. "Bawa juga gampang kalee!" "Ah serah lu dah," Ardan bete sendiri.  Dina terkikik-kikik sambil menguntit Ardan yang sedang mengeluarkan motornya dari garasi. Ikhlas, Dan. Ikhlas..... hibur kata hati kecilnya yang putih. "Bahasa Indonesia aja kagak lulus lo. Pantesaaan ditolak Talitha!" Ledeknya yang membuat Ardan panas seketika. "Gak gue anterin nih!" "Gue laporin Mama!" "Ck!" Mata Ardan senewen. "Bisanya ngadu doang lo!" "Biariiiiiiiin," ia memeletkan lidah lalu terkikik-kikik. "Buruan naik!" Titahnya yang setengah hati.  Dina terkikik lagi baru kemudian menaiki motor lelaki itu. Memegang bahu saudara kembarnya yang tengil itu saat Ardan mulai menarik gas. "Lu kenapa sih, akhir-akhir ini kayak cewek lagi PMS," komen Dina sambil membuka ponsel. Muncul pesan Line dari Farras yang mengajaknya jalan esok hari.  Ardan enggan menanggapi. Memilih sok mengendarai motor dengan serius. Ini saja tumben jalannya gak meleng ke kiri dan kanan. Padahal biasanya, bisa dipastikan Dina sudah menjerit-jerit di jalan akibat ulah Ardan. Ardan kan kalau makek motor gak pernah lurus. Hobinya belok-belok kayak hidupnya. "Dan, telinga lo masih ada kan yah? Belum digantung sama Mama kan? Baru titit sama motor aja kan yang bakal digantung?" Canda Dina. Kesal karena tak ditanggapi Ardan. Bahkan ia terkikik pun, Ardan masih sama. Memilih diam. Haduh,  ia malah jadi takut kalau Ardan tak setengil biasanya. Mending ia jerit-jerit di jalan dari pada hidup dengan suasana tenang seperti ini. Seperti bukan Ardan. "Dan!" Panggilnya. "Sok cool banget sih lo! Sumpah!" Dina terkagum-kagum sendiri saat menatap wajah serius Ardan di kaca spion. Persis Papanya yang sedang serius bekerja. Cool-cool gimana gitu. Cakep banget! Sumpah! Dina gak bohong! Tapi beberapa detik kemudian, Dina terkikik. "Dan! Sumpah lo gak cocok lama-lama serius gitu!" Ledeknya lalu terbahak sambil menempeleng Ardan. Tapi beneran deh, Ardan bisa ganteng juga kalau lagi serius gitu. Jangan sering-sering serius ah, Dan. Nanti cewek-cewek pada klepek-klepek. "Gue heran kenapa Tatal nolak gue." Akhirnya bocah itu buka suara. Mimik herannya makin memperlihatkan kemiripan 100% dengan Wira. Cakep pakek banget! Ternyata Ardan kalau lagi mikir begini cakep juga. Jangan sering-sering mikir ah, Dan..... "Gue ganteng kayak gini malah ditolak...," narsisnya kumat yang membuat Dina nyaris jatuh dari atas motor gara-gara terlalu banyak tertawa. Sepanjang hidup bersama Ardan, narsis Ardan yang sesekali kumat atau selalu kumat itu emang suka bikin apes orang! "Lo sih gak pernah serius sama dia," Dina mulai meredam tawanya dengan wajahnya yang sudah super merah gara-gara Ardan. Ia sampai tak sanggup melihat kaca spion. Takut melihat Ardan yang mendadak cakep gara-gara sok serius. "Kalo gue terlalu serius, entar banyak yang suka." Narsisnya lagi. Kali ini Dina sampai terbahak-bahak. "Lagian enak kali, jadi pacar gue. Ya gak? Lo aja betah bareng gue dari perut sampe sekarang." Kepalanya dituil Dina seketika. "Itu sih karena gue gak punya pilihan lain!" Sorak Dina ditelinganya lalu terkikik. Gadis itu mengusap-usap wajah Ardan dari belakang. Hal yang membuat motor yang mereka tumpangi goncang lalu meleng kiri dan kanan namun untungnya, Ardan masih bisa mempertahankan keseimbangan. Sementara Dina terkikik puas. Ia hanya tak suka melihat tampang sok serius Ardan itu yang semakin ganteng. Sumpah! Jarang-jarang ia melihat Ardan serius, tetapi ternyata sekalinya serius jadi cakep banget! Lama-lama bisa kalah pesona Farrel yang selalu serius, nih! Dina membatin. Ternyata....keseriusan Ardan itu memang membahayakan perasaan cewek-cewek. "Kiri, Bang, kiri!" Seru Dina saat mini market di depan mata. "Tungguin yak, Bang! Awas kalo enggak! Gue laporin Mama lo!" Kecam Dina usai turun dari motor Ardan dengan melompat. Lelaki itu berdecak. Mendorong-dorong tubuh Dina supaya segera masuk ke mini market. Tapi bocah itu masih menatapnya tajam seraya mengancam-ancam. "Iyaa! Bawel lo ah!" Kesal Ardan yang membuat Dina terkikik lalu menarik jambulnya sebelum berlari memasuki mini market.  Jambul Ardan itu membuat keningnya berkilau. Bikin silau mata kalau melihat ketika sedang panas-panas gini. Lebih cakep kalau gak pakai jambul. Itulah kenapa Dina demen banget narik jambul Ardan. Sebenarnya, saudara kembarnya itu ganteng. Apalagi kalo lagu serius kan. Ditambah lagi kalau ada cewek yang diseriusin Ardan. Nambah ganteng tuh! Namun semua pesona itu akan musnah ketika ketengilan Ardan muncul dan cerita titit yang tak pernah usai. Aib masa silam yanh terus menghantuinya hingga saat ini. Juga alasan yang membuatnya tak pernah berani ke rumah Talitha. Cukup sekali. Ardan mendengus sebal. Matanya menatap kaca spion. Memperbaiki jambulnya yang ditarik Dina barusan. Namun bagai slow motion, sesuatu yang tak diharapkan muncul dari depannya.  Talitha. Gadis itu baru saja keluar dari salon di samping mini market. Sialnya tidak sendiri. Tapi bersama lelaki yang katanya lebih jelek dari Ardan. Ardan memaki-maki dalam hati. Segera menyembunyikan diri ke balik pohon yang ada di sampingnya. Namun matanya tak pernah lepas mengikuti Talitha dan lelaki itu yang sedang berjalan menuju mobil lalu meninggalkannya. Tinggallah ia yang menarik nafas dalam.  Dulu waktu masih patah hati pakek banget, Ardan pernah bilang kalau 'Talitha itu cuma bayangan masa lalu yang hinggapnya di belakang.' Karena bayangan terus mengikuti. Namun ada kalanya bayangan itu muncul di depan kita selayaknya masa depan yang terus membayang-bayang dan harapan yang selalu timbul dan tenggelam.  Bayangan selalu ada. Selalu mengikuti. Tapi bayangan tak pernah bisa dimiliki. Bahkan menggapainya pun tidak bisa. Selayaknya cinta Ardan pada Talitha. Cinta itu terus ada. Tapi tak pernah ada kata lebih dari sebuah cinta. Tak ada kata 'kepemilikan' yang menandakan sebuah hubungan. Hanya sebatas cinta yang menyimpan harapan. Namun harapan itu tak pernah terwujudkan. Bahkan ironisnya, kandas begitu saja. Dan, nasib lo begini amat yah?   ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡   "Kenapa itu adikmu?" Aisha bertanya pada Dina. Gadis itu menjawab tanpa perlu menatap Mamanya. Matanya tak lepas dari laptop.  "Galau kali, Ma. Tadi pas pulang diem aja."  "Tatal?" Dina mengendikan bahu. Ia tidak tahu menahu. Yang ia tahu, segila apapun ia dijalan tadi, Ardan ogah menanggapinya. Namun jujur saja, selama hidup bersama Ardan, baru beberapa tahun terakhir ini, Ardan sering kehilangan mood ketengilannya. Cuma satu orang yang membuatnya berhasil seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Talitha? Cinta pertama Ardan. Cinta pertama yang membuat Ardan takut mendekati perempuan lain. Takut ditolak lagi. Bahkan berkali-kali. Sementara Aisha geleng-geleng kepala. Geli. Tampang Ardan yang sedang galau itu sangat tidak cocok dengan pencitraannya yang tengil. "Dan! Dan! Kayak cewek cuma Tatal aja!" Seru Aisha lalu beranjak dari sofa. "Emang cuma dia, Ma!" Malah Dina yang menyahut. Kemudian gadis itu terbahak seketika. "Kayak Mama gak aja," Ardan balas meledek. Mood-nya sedikit membaik. "Kayak cuma Papa aja yang cowok di--!" "Ehm! Ehm!" Wira yang baru nongol langsung berdeham. Aisha terkikik. "Emang cuma Papa kamu!" Balas Aisha sok romantis yang dibalas gelengan heran oleh Wira. Emak kok gak mau ngalah sama anak? "Anak kamu patah hati tuh," lapor Aisha sambil meledek.  Wira menoleh pada Ardan namun karena malu, Ardan memalingkan wajah. Memang, seterusterangan Ardan soal perasaan, ia tidak bisa ditatap-tatap Papanya yang mencoba menggali-gali perasaannya. Ia memang enggan berbagi cerita dengan serius. Itu seperti bukan Ardan. Bahkan tiap bercerita dengan Dina pun, pasti diselingi tampangnya yang sok narsis atau teriakan Dina gara-gara ulah jahilnya. "Sama siapa?" "Orang yang sama. Anaknya dokter Irwan." Jelas Aisha. Kali ini keduanya sedang berjalan menaiki tangga. Mengabaikan Ardan yang menelungkupkan wajah ke sofa. Malu! "Yang mana sih?" Wira tak ingat.  "Itu yang sering godain Ardan pakek titit!" Mendengar itu, Wira terbahak seketika. Ingat kejadian ketika Ardan menjadi bulan-bulanan dokter Irwan hingga bocah itu tak mau datang lagi ke rumah sakit. "Masih suka sama cewek yang itu?" Aisha mengangguk sambil membantu lelaki itu melepas jasnya. "Tengil-tengil begitu setia juga yah." Komen Wira.  "Iyalah kayak Papanya." Wira berseru bangga. Aisha pura-pura muntah mendengarnya. "Tapi kok cewek itu gak mau?" "Yaaah kamu liat aja tampang anakmu itu. Siapa yang bakal percaya kalau dia bisa serius?" Wira terbahak seketika. Mengiyakan. Ardan-Ardan. Permasalahan bukan ada pada perasaan tapi tampangnya yang tidak mendukung perasaan. Makanya, mukanya diseriusin dong, Dan. (Pesan penulis wkwkwk)   ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡  "Dan, gak salah rumah?" Icha bertanya. Takut-takut Ardan khilaf, lupa sama rumahnya atau tersesat. Pasalnya bocah itu datang dengan tampang yang tak seperti biasanya. "Bunda gak masak loh. Kan puasa," sambung Icha lagi yang mulai melihat keanehan pada Ardan. Biasanya bocah itu datang kemari kalau gak minta jambu ya minta makan. Sementara Icha sedang menyiram tanaman bunganya di halaman rumah. "Atau nyariin Ferril?" "Farrel, Bun." Icha berseru oh. Makin aneh saja. Tumben-tumbenan ia mencari Farrel. "Ada tuh di belakang. Lagi nyapu halaman belakang." Ardan mengangguk lalu melangkah lemah, masuk ke dalam rumah Icha. "Bunda! Ini beli apa aja ja--eh Ferril gak ada Bang!" Farras menyeru. Matanya heran menatap Ardan yang hanya mengangkat telapak tangan sebagai pertanda bahwa ia sudah tahu. "Tuh orang kenapa, Bun?" Icha mengendikan bahu. "Abis disunat lagi kali tititnya!" Canda Icha yang membuat Farras terbahak seketika. Memang topik tentang Ardan tak akan jauh-jauh dari tititnya. "Kenapa, Bang?" Farrel yang melihat kemunculan Ardan langsung bertanya. Biasanya Ardan akan langsung terbahak dan meledek penampilan Farrel yang tiap menyapu dengan sarung, persis anak-anak pesantren. Tapi kali ini tidak. Ia malah memilih duduk di gazebo sambil memandang langit di atasnya. Mengabaikan Farrel yang terus memperhatikannya. Ia hanya ingin tenang. Dan Farrel satu-satunya orang yang bisa memahami keinginannya disaat yang lain tak ada yang mau berhenti meledeknya. "Zakiya apa kabar?" Ardan malah mengalihkan pertanyaan. Pertanyaan yang membuat jleb itu tentu saja hanya dibalas keterdiaman oleh Farrel. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa harus menanyakan itu? "Tadi pagi gue ngeliat dia," Ardan curhat dengan muka gantengnya lagi yang sedang serius. Agak-agak gak cocok sih buat pencitraan tengilnya. Tapi apa boleh buat lah. Ardan sedang patah hati euy. "Terus?" "Ya kayak lo. Menghindar." Lanjutnya. "Pengecut ya?" Pertanyaan yang jawabannya tak ia butuhkan. Farrel ikut duduk di gazebo. Menatap wajah Ardan yang hanya terlihat bagian samping. Wajah yang persis Wira hanya saja dengan kelakuan yang sedikit rada-rada dan memalukan. Kalau Wira jatuhnya cool banget kalo Ardan jatuhnya sakit pakek banget. "Itu mungkin namanya cool, bang. Lebih baik diam dari pada nikung." Farrel yang irit bicara mendadak drama gara-gara Ardan. Kalau soal patah hati, lelaki juga sama seperti perempuan. Hanya saja berbeda dalam menumpahkan perasaan. Mungkin perempuan terlalu transparan hingga mudah diterka. Tapi lelaki belum tentu. Ada gengsinya untuk mengakui betapa hati mereka patah. Dan tampil cool di hadapan dunia adalah janji. Separah apapun luka yang dipendam kini. "Ya sih." Ardan sok tegar. Mukanya masih menatap langit-langit. "Ibarat langit, meski dia tinggi tapi jika ingin diraih pun akan dikejar. Tapi kalau tidak ingin yah tinggalkan. Sulit memperjuangkan orang yang tidak bisa memberi perasaan apalagi harapan." Entah dapat dari mana kata-kata itu. Yang jelas, Farrel mendadak setuju dengannya. "Hari ini mungkin terakhir kalinya gue mengingat dia." Farrel menoleh seketika dan wajah Ardan yang mendadak ganteng itu masih serius. "Esok tidak lagi. Ibarat kata, tinggalkan masa lalu demi masa depan." (Penulisnya tepuk tangan kencaaaang! Mendadak ngefans sama Ardan! Wkwkwkwk) ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Gak usah diliatin mulu kali! Ntar patah hati! Diem-dieman lagi!" Dina mengomel. Memang sejak sejam yang lalu dia mengomel sih. Gara-gara acara jalan-jalannya bersama Farras dirusak Ardan. Itu bocah mendadak menguntitnya kemana-mana beberapa hari ini dan ini yang terparah. "Tau nih ah, bang Ardan! Farras gak bisa tepe-tepe nih!" "Puasa-puasa!" Nyinyir Ardan sambil terus mengintip-intip. "Elu juga! Ngapain coba ngeliatin si Tatal mulu!" Dina berteriak. Ardan segera membekapnya dan menyeret gadis itu jauh ke belakang. "Tauk! Katanya mau ngelupain?!" Farras ikut-ikutan senewen. "Gimana mau ngelupain kalo diliat-liat terus?! Sampe tahun depan juga gak bakal jadi pacar dah! Cuma gebetan! Mantan gebetan!" "Berisik lo, Ras!" Ardan mendumel sambil meringis gara-gara tangannya digigit Dina. "Sepik lo!" Ledek Dina lalu terbahak bersama Farras. Ardan hanya bisa mendengus pasrah. Matanya fokus lagi melihat Talitha dari jauh. "Tauk nih, Bang Ardan! Gayanya mau lupain!" Farras mendumel. "Kayak abangnya Farras dong! Banyak ngaji, rajin solat biar bisa lupain Zakiya!" "Si Farrel kan emang rajin solat sama banyak ngaji, Ras. Apa bedanya?" Dina pusing. Setahunya si Farrel itu mau lagi patah hati atau kagak, mood atau enggak, tetap sama. Tetap rajin solat sama banyak ngajinya. "Yah pokoknya lebih rajin sama lebih banyak ngaji lah, kak! Gak kayak bang Ardan! Katanya mau lupain! Ternyata sepik doang!" Dina terkikik-kikik. Kemudian gadis itu terpingkal-pingkal saat melihat muka Farras diketekin Ardan. Bocah itu sebal karena mulut Farras yang mirip emak-emak. Gak berhenti ngoceh. "Mantan emang masa lalu! Tapi gak mesti dilupain dong!" The End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD