bc

Dear Mantan

book_age4+
1.0K
FOLLOW
9.3K
READ
love-triangle
family
playboy
drama
comedy
sweet
first love
friendship
sassy
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Dear Mantan.....

Mantan yang menikah bagi Tiara. Mantan gebetan bagi Ardan. Mantan pacar bagi Ferril. Mantan pacar sahabat bagi Farrel. Mantan kenangan bagi Farras. Mantan sahabat jadi cinta bagi Fasha. Mantan yang ditikung bagi Dina.

Semua bercerita tentang MANTAN. Mantan adalah sebuah kata yang akan memberikan kamu sebuah pelajaran di MASA DEPAN. Tapi yang harus selalu diingat adalah MANTAN tetaplah MANTAN yang menjadi bagian masa lalu. Namun kadang kala gak semua mantan menjadi masa lalu bukan? Bisa jadi, ia malah menjadi bagian dari masa depan #eh.....

Buat kamu, MANTAN BAGI apa?

This story of Adhiyaksa Family for Ramadhan Edition!

#BaperKetikaRamadhan

chap-preview
Free preview
Dear Mantan: Mantan Yang Menikah
"Mungkin salahku yang melewatkanmu namun bisa jadi, yang terlewatkan ini adalah yang terbaik bagiku. Karena mungkin bukan kamu yang dipilih-Nya untukku. Dia punya pilihan yang lain, yang entah dimana kini, yang masih Dia simpan hingga waktu mempertemukan aku dengan ia--jodohku." Tiara Adhiyaksa ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Mau Mom temenin, Ya?" Sara menawarkan diri. Agak prihatin melihat wajah anaknya yang sedikit sedih itu. Biasanya periang dan centil tak ketulungan kini mendadak pendiam. Anne ikut mengintip dari jauh. Iba juga akan nasib kakaknya. "Gak perlu, Mom. Lagian Tiara gak sendiri. Kan ada Arini." Ia menjawab dengan wajah pura-pura biasa. Matanya tak sedikit pun berani menatap Sara dari cermin. "Ya sudah." Sara menyerah lalu berjalan keluar meninggalkan Tiara yang menghela nafas. "Masih ngotot pergi?" Feri yang baru saja pulang subuh tadi sudah bangun lagi. Lelaki itu baru saja selesai mandi. Sara menarik nafas dalam lalu mengangguk lemah. "Kali ini gak bisa dibantah." Feri menatap pintu kamar anaknya sekilas lalu berjalan membuntuti istrinya ke dapur. "Anak yang satu itu biar manja tapi emang pantang menyerah pada badai." Feri sok puitis. Sara terkekeh mendengarnya. "Kayak daddy-nya!" Sara menimpal. "Tapi aku gak manja!" "Kan mantan istrinya dulu--" "Gak usah bahas-bahas dulu." Potong Feri. Sara terkikik lagi. Wanita itu memilih mengunci mulutnya. "Kak, Ando anter yah!" Ando yang biasanya ogah-ogahan mengantar Tiara kemana pun mendadak baik. Feri, Sara dan Anne kompak menoleh. Tampak Tiara yang sudah cantik sedang menuruni tangga. "Tumben!" Ketus gadis itu. Ia sedang badmood sekali. Apalagi perlakuan keluarganya yang seolah-olah sangat mengasihaninya. Oke, ia memang patah hati. Tapi ia tak selemah itu. Buktinya! Mantannya hari ini menikah, ia masih berani datang karena diundang! Hohoo....disaat perempuan lain memilih menangis dan meratap, ia malah sebaliknya. Hei! Jangan samakan ia dengan perempuan normal lainnya! Hihihi.... "Sekalian mau keluar, kak." Ando berupaya membujuk. Ia tak tega membiarkan kakaknya menyetir mobil sendirian. Takut-takut kalau kakaknya berencana menabrakan diri di jalan. "Gak perlu lah. Aku bisa jalan sendiri!" Tiara melengos lalu mengambil segelas air putih dan segera menyalami kedua orang tuanya. "Gak sarapan dulu, Ya?" "Di kondangan banyak makanan, Mom. Nanti siapa yang habisin kalau bukan Tiara?" Candanya seketika yang sontak menghilangkan suasana tegang tadi. Sara dan Feri langsung terkekeh. "Gak mau bawa gas elpiji kesana, Ya? Biar acaranya cepat selesai." Feri menawar sebuah penyelesaian. "Itu namanya pecundang, dad! Halaaah lagian....cantikan Tiara kemana-mana kok dari pada istrinya itu!" Ia menyahut menggebu-gebu.  Anne sudah cekikikan sambil memegang perut. Seharusnya ia tak perlu khawatir berlebihan. Sepatah hatinya Tiara, ia masih bisa menghibur orang lain. Namun disisi lain sebenarnya Sara masih cukup khawatir. Cara Tiara menyembunyikan perasaan tak begitu lihai. Sekalipun senyum dan tawa membahana keluar dari mulutnya, yang namanya perasaan tetap perasaan. Segirang apapun caranya menutupi, kesedihan itu pasti akan tetap terlihat. "Katanya lebih cantik tapi ditinggal nikah juga ya, dad?" Ando menyahut santai. Tiara sudah memakinya tanpa ampun. Hal yang kembali membuat riuh suasana rumah. Dia Tiara. Gadis patah hati saat ini. Tapi ia tak mau membuat keluarganya ikut bersedih. Cukup ia dan hatinya. ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Yakin nih?" Entah ke berapa kalinya Arini bertanya. "Lo gak merencanakan sesuatu seperti nyiapin bom atau--" "Lo kira gue teroris apa?" Arini terkikik. "Bukan gitu. Gue takut jadi salah satu korban elo hari ini." Candanya. "Tenang, racunnya udah gue pisahin!" Tiara menyahut asal. Sementara Arini sudah cekikikan. Gadis itu tahu kalau Tiara sebal padanya sejak menjemputnya dari rumah tadi. Arini sengaja memperlama geraknya hanya agar Tiara mundur dan tak jadi datang ke pesta pernikahan mantannya. Ia bukannya meremehkan Tiara, hanya saja akan lebih sakit jika datang kesana bukan?  Perempuan mana yang sanggup melihat lelaki yang dicintai bersama perempuan lain? Menikahi perempuan lain? Perempuan mana yang sanggup? Kalau pun ada banyak yang sanggup, hitung berapa banyak yang bisa ikhlas melepaskan? "Tapi gue serius loh, Ra. Lo yakin mau datang ke--" "Iya! Bawel lo ah!"Ketusnya. Arini terkikik lagi. Sudut matanya mengintip wajah Tiara yang entah serius atau kesal. Gadis itu sok serius menatap jalanan. Padahal Arini tahu bahwa Tiara sedang memendam rasa sakitnya sendiri. Perlahan Arini menarik nafas. Matanya masih lekat menatap Tiara yang kini mulai terusik. Sebal karena ia tahu bahwa Arini sedang mencurigainya yang pura-pura bersikap tak patah hati. Sok ikut bahagia padahal mantan menikah. "Lo punya niat apa datang ke pernikahannya dia?" Tiara menghela nafas. "Lo gak lagi ungkit-ungkit perasaan gue ke dia kan?" "Lo tahu kalau kita gak lagi sangkutin itu." Sahut Arini santai. Tapi senyum tipisnya mengulas. Berhasil mengorek luka milik Tiara. "Tapi secara gak lang--" "Lo mau nyangkal? Ya kan?" Arini langsung memotong. "Tiara yang gue kenal emang demen ngomong berbelit sih. Tapi yang sekarang kok beda?" Usiknya. Ia sengaja memancing kesabaran Tiara. "Kalo niat lo datang, cuma buat nunjukin kalau lo baik-baik saja tanpa dia, mending kita pulang deh. Buang-buang waktu!" Mobil berdecit seketika. Tiara menginjak pedal rem kuat-kuat. Nafasnya sampai memburu. Sementara Arini nyaris berteriak. Kaget. Untungnya jalanan cukup sepi saat ini. Sehigga tak ada korban atau kendaraan lain yang menabrak mereka dari belakang. Usai menatap sekeliling, Arini menarik nafas lalu kembali menatap Tiara. "Emang salah ya kalau gue cuma mau bilang, kalau gue baik-baik aja?" Tiara bertanya. Tapi air matanya perlahan jatuh. Ia memang paling tak bisa melawan Arini. Satu-satunya sahabat yang paling pandai mengorek isi hatinya disaat yang lain memilih menyerah untuk tahu lebih banyak. Arini pandai sekali mengacak-acak hatinya. "Gue cuma gak pengen dia ngerasa menang karena ninggalin gue. Gue pengen dia tahu rasa kalau gue gak pu--" "Masih punya perasaan ke dia." Potong Arini. Ia tidak akan membiarkan Tiara menyangkal lagi. Cukup kali terakhir, ketika ia menjadi saksi dua sejoli itu bubar di depan matanya. Mengingat itu, Arini ikut terpukul. Betapa bayangan sok kuatnya Tiara saat melepaskan lelaki itu. Padahal saat itu Arini tahu jika Tiara ingin sekali berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Tapi yang ia lakukan hanya berjalan cool meninggalkan lelaki itu. "Lo tahu, Ra?" Ia bertanya sambil mengusap air mata Tiara yang jatuh. "Terkadang kita gak sadar kalau kejujuran itu lebih menyakitkan dari pada sebuah kebohongan. Gue gak bermaksud membuat lo datang kesana dengan tangisan tapi lo yang apa adanya malah makin menyiksa dia. Walau yah, kita gak tahu gimana perasaan dia ke elo sekarang. Tapi membuat dia menyesal sekarang pun sia-sia. Dia akan menikah, Ra. Bahkan mungkin sekarang kayaknya udah selesai ijab kabul." Ia mencoba memberi pengertian agar Tiara tak keras kepala. Arini memang benar jika ia berupaya terus menyangkal dengan mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Tapi yang namanya hati tak pernah bisa berkhianat bukan? Tiara terluka. Di depan orang lain, ia boleh bersikap biasa saja. Tapi di depan Arini jangan sekali-kali. Bukannya ia tak suka. Arini hanya menyukai Tiara yang apa adanya. Arini menarik nafas. "Lagi pula kalau dia ninggalin lo lantas memilih wanita lain untuk dinikahin, lo tahu apa namanya kan? Namanya bukan jodoh bukan? Sekalipun lo bersujud dikakinya hari ini? Apa bakal berubah? Dan kalau dia goyah lantas milih lo, lo pernah mikir akan ada orang yang sakit hati?" Tangannya mencengkeram kuat bahu Tiara. Ingin membuat gadis itu berhenti menangis namun tak kuasa. Tiara harus bisa menghadapi kenyataan bahwa lelaki itu sudah memilih yang lain dan itu bukan dia. Lelaki itu sudah memiliki yang lain dan itu bukan dia. Bahkan mungkin lelaki itu sudah tak mencintainya lagi sebab sudah mencintai yang lain. Untuk apa menangisi orang yang jelas-jelas sudah melupakannya? Untuk apa meratapi kepedihan karena orang yang meninggalkannya? Kenapa harus menangisi orang yang tidak mencintai kita? Sementara ada banyak orang yang mencintai kita? "Mungkin kita bodoh ya karena terlalu memikirkan perasaan orang lain tapi melupakan perasaan sendiri. Cuma disaat itu, kita jadi tahu, kalau sampai itu terjadi artinya.....bukan dia yang terbaik buat elo kan?" Tangannya menepuk bahu Tiara. Mencoba menyadarkan gadis itu. Dunia gak selebar daun kelor. Ada banyak lelaki di dunia ini. Kenapa harus terpaku pada satu orang saja? "Lagi pula, kalo dia emang sayang sama lo, seharusnya dia gak ninggalin lo gitu aja dong. Seharusnya dia perjuangin lo ya gak? Bukan menyerah dengan alasan lo yang juga gak bisa perjuangin diri lo sendiri di depan keluarganya. Iya gak?" Wajah Tiara masih sendu. Gadis itu diam. Tak tahu harus berkata apa. "Bisa gak lo berhenti ngelakuin ini? Gak ada gunanya kita kesana." Arini menarik nafas. Senyum tipisnya mengembang. Ia menepuk bahu Tiara dengan pelan. Matanya menatap penuh pengertian. "Mungkin kedengerannya sakit atau lo mau bilang kalau gue bisa bilang begini karena gue gak ngerasain itu. Oke, itu emang bener. Tapi yang harus lo tahu, disini gue sahabat lo. Kalo sahabat gue sakit, gue pasti bisa rasain. Sekalipun gue gak ngerasain sakit yang sama kayak lo. Tapi di--" "Makasih, Rin! Makasih!" Tiara memeluk erat Arini. Tiada henti mengucapkan terima kasih walau dengan air mata yang berurai. Allah, hatinya rapuh. Amat sangat rapuh. Tapi apa dayanya ketika kehendak-Mu menginginkan kesakitan ini padanya? Mungkin dulu, ia terlalu lupa pada-Mu karena selalu mengingatnya. Membuat-Mu cemburu tanpa ia sadari karena terbuai dalam bahagia semu bersamanya. Kini maafkan ia yang kembali karena patah hatinya. Maaf kalau ia hanya mengingat-Mu ketika kesedihan itu menyelimutinya. Pintanya, semoga tidak terulang lagi kenyataan yang sama. Kenyataan bahwa ia pernah melupakan-Mu dan ditinggalkan olehnya. ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Wah makan aja nih kerjaannya yang jomblo!" Komen Ardan pada Tiara saat tiba di ruang makan rumah Feri-Sara. Lelaki itu berniat mengambil pesanan Mamanya yang membeli baju di butik Sara yang kini milik Tiara.  "Kayak situ gak jomblo aja!" Tiara senewen. Bocah yang satu itu memang paling menyebalkan dibanding yang lain.  "Udah-udah. Sesama jomblo jangan saling menghina dan mendustakan!" Anne menyahut dari dalam kamar lalu cekikikan saat kedua mata Tiara memelototinya. Sementara Ardan biasa saja, tak merasa kalau baru saja diledeki Anne. Bocah yang satu itu kan selain rada-rada tapi juga gak peka dan lola alias loading lama. "Makan yang banyak!" Ardan masih usil. Ia bersiul-siul sementara Tiara makin senewen. Lain kali ia akan berpesan pada tantenya supaya Dina saja yang mengambil pesanan dari pada bocah ini. "Abis kelihatan sih muka pura-pura bahagianya!" Lanjutnya yang sontak membuat Anne terbahak dan Tiara yang langsung melempar sendok ke arahnya. Bocah itu menghindar dengan cekatan sambil cekikikan. Puas sekali meledek Tiara yang sedang patah hati. Benar-benar tak punya rasa keprihatinan tinggi bocah yang satu ini. Feri yang baru masuk dan sempat mendengar ledekan itu kuat-kuat menahan tawanya. Diiringi Sara yang menutup mulut kuat-kuat. Keduanya berjalan pelan tapi tak luput dari pandangan Tiara yang makin sebal.  "PUAS LO?!" Teriak Tiara ditelinga Ardan ketika berhasil menghancurkan mood-nya untuk makan. Bocah itu malah cekikikan lalu mengintili sepupunya yang berjalan menuju kamar baju. "Nih! Bawa tuh pesenan nyokap lo! Cepet-cepet pulang sana!" Usir Tiara yang masih sebal usai menyerahkan bungkusan yang berisi pakaian Aisha.  "Jangan marah-marah dong, Kak! Entar gak nikah-nikah loh!" Semprulnya lagi yang kali ini dilempar dengan gantungan baju oleh Tiara.  Ardan cekikikan lalu berlari kabur dari pada memanasi Tiara lagi.  "Kamu ini Dan....Dan....," Sara geleng-geleng kepala. Tak bisa berkata-kata lagi kalau sudah menyangkut Ardan. Bahkan sampai kini Sara heran kenapa ada makhluk seperti Ardan di keluarga Adhiyaksa. "Biar kuat, Tante. Karena hidup itu terkadang sangat berat." Ia menjawab dengan puitis. Detik berikutnya, Sara terkikik dibuatnya. "Hati-hati kamu. Jangan meleng kanan-kiri kalo lagi bawa motor!" Pesan Sara saat mengantar bocah itu ke teras rumah. Pesannya hanya dibalas anggukan dan siulan khas Ardan seperti biasa. Hal yang kembali membuat Sara terkikik kecil sambil geleng-geleng kepala. Benaknya bertanya-tanya, dulu Aisha ngidam apa sampai anaknya seperti ini. "Udah mendingan?" Feri bertanya sambil menyembunyikan tawa. Lelaki itu tak bisa berhenti tertawa sejak mendengar ledekan Ardan tadi.  "Males sama, Daddy! Nyebelin kayak Ardan!" Feri terkikik. Lalu berjalan mendekati Tiara yang sok serius di atas kertas putih. Mulai mengalihkan pikirannya tentang mantan yang sudah menikah itu. Biar kata mulut, buang-buang waktu mengingat seseorang yang jelas-jelas pergi namun hati tak bisa menampik betapa sakitnya yang dirasa. "Kan yang dibilang Ardan emang bener. Pura-pura bahagia!" "Daaaaaaaaad!" Feri terkikik lagi. Tangannya menarik bahu Tiara lalu merangkulnya dengan hangat. "Daddy tahu gak segampang itu melupakan seseorang yang kita cintai. Tapi daddy mohon banget sama kamu supaya gak berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi besok mulai puasa. Mending inget Allah yang selalu inget kita dibanding dia yang belum tentu inget kita kan?" Tiara menarik nafas lalu menatap wajah ayahnya yang semakin tua itu. Dipeluknya pinggang yang kian rapuh dimakan usia. Rasa-rasanya ia ingin menangis sekarang.  Dulu ia terlalu terbuai dalam perasaan dan hubungan dengan laki-laki. Seringkali ia mengabaikan bahkan membuang perhatian yang seharusnya untuk keluarga malah untuk seseorang yang belum tentu menjadi takdirnya. Ia bahkan sering melupakan dua orang yang seharusnya lebih ia cintai dibandingkan lelaki itu. Ah......cintanya yang dulu memang membutakan. Padahal seharusnya cinta yang benar tak seperti itu bukan? Cinta yang benar tak membuatnya lalai pada-Nya dan orang tua bukan? Hai, Allah. Maafin ia yang dulu yah? Ia janji, sekarang dan nanti tidak akan mengulanginya lagi. Dad, Tiara sayaaaaaang banget sama Daddy. Panjang umur ya, Dad. Biar nanti bisa nikahin Tiara dengan lelaki pilihan-Nya. The End Assalamualaikum, Bagaimana kabarnya semuaaaaa? Sudah gak sabar baca cerita ini kan? Alhamdulillah ya, sudah di post. Semoga bermanfaat. Nantikan kisah selanjutnyaaaaaa...... Salam kece, Carissa Aznii Nb: Komen + vote banyak = post dipercepat

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.8K
bc

Destiny

read
246.6K
bc

Network Love

read
93.6K
bc

Baby Azy

read
83.3K
bc

Symphony

read
181.5K
bc

PISAH, NIH?

read
54.6K
bc

I (don't) Love You [Indonesia]

read
32.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook