Wanita bertubuh tidak terlalu tinggi itu, menaruh nampan dengan cukup keras diatas meja penyaji makanan dalam dapur restaurant. Ia menghela napasnya dalam, berusaha menetralisir perasaan kesal yang sedang ia rasakan saat ini.
"Lo di apain sama si es?" tanya Reysa, seorang asisten koki di restaurant.
Gadis itu mengepalkan tangannya hingga tiba-tiba berteriak.
"Aaahh ... gila emang! Apa susahnya bilang makasih? Udah gue tolongin juga, kelakuan kaya gitu. Dasar red onion ice!" cecarnya.
"Ada apa sih?" tanya Yusuf yang sedang mengiris bawang bombay diatas alas potong.
Gadis itu tak menjawab, hanya suara tarikan napas yang cukup cepat, dengan d**a naik turun, menahan emosinya.
'Mana bisa gue bilang apa yang terjadi tadi? Dasar red onion!!' umpatnya membatin.
Dia ... Alnara Fidelin, seorang gadis berusia 25 tahun yang bekerja di restaurant Darres Hotel sejak dua tahun yang lalu sebagai waitress. Gadis periang dan mudah bergaul itu nyatanya memiliki masalalu yang cukup kelam. Gadis itu harus kehilangan kedua orangtuanya dan juga kakak satu-satunya disaat bersamaan karena sebuah kecelakaan pesawat terbang, tujuh tahun yang lalu.
Nara mulai terlihat tenang. Ia kembali menaruh nampan kosong di tumpukan pencucian, lalu berjalan menghampiri Reysa yang kini sedang menumis daging sapi.
"Gimana Victor?" tanya Reysa tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan penggorengan.
"Victor? Baik-baik aja kok," sahut Nara yakin.
"Yakin?" tanya Reysa lagi. Wanita itu mematikan perapian tersebut, dan mengambil satu piring cukup besar, seraya menaruh makanan tersebut diatasnya dan siap untuk dihidangkan.
"Yakin lah! Dia lagi banyak kerjaan Kak Rey. Emang belakangan ini dia jarang hubungin gue, karena dia lagi banyak kerjaan banget di kantornya." Sahut Nara dengan yakin.
Reysa hanya menganggukkan kepala tidak yakin. Ia memilih menaruh sajiannya diatas nampan, dan mengetuk meja.
"Antar ke meja dua belas!" titah Reysa.
Nara tersenyum lebar serata mengambil nampan tersebut dan bergegas keluar dari dapur.
"Gue gak tega ngasih tau dia!" gumam Reysa.
"Biar dia tahu sendiri aja deh chef! Itu akan lebih baik dari pada dia tahu dari orang lain, gimana bejadnya tunangan dia?" timpal Yusuf.
***
"Selamat menikmati," ujar Nara sesaat setelah menaruh makanan yang dipesan oleh meja dua belas.
Gadis itu membungkukkan tubuhnya tanda pamit, dan berbalik hendak kembali ke dapur menaruh nampan.
Namun, belum sempat Nara melanjutkan langkahnya, gadis itu mengerutkan kening seraya memfokuskan pandangannya pada satu arah.
Seorang pria yang sedang merangkul seorang wanita bertubuh bagai biola, dan berjalan memasuki lift. Tanpa banyak berpikir, Nara setengah berlari, keluar dari dalam restaurant.
"Nara!!" seru Sandra saat melihat anak buahnya tiba-tiba berlari keluar.
Tak butuh waktu lama hingga Nara tiba di meja resepsionis hotel. Seorang resepsionis wanita itu tersenyum pada Nara dengan raut wajah seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Ada yang bisa saya bantu, Alnara?" tanyanya dengan sedikit salah tingkah.
Nara terdiam sesaat untuk mengatur napasnya terlebih dahulu.
"P-pria barusan ... ke kamar nomor berapa?" tanya Nara tanpa basa-basi.
"Nar, mending lo gak usah nyusul deh," ujar resepsionis itu.
"Gue mohon, Del. Lo kok tega sih sama gue?" rengek Nara.
Resepsionis yang bernama Adel itu hanya bisa terdiam. Ia melirik wanita di sampingnya yang juga melihat padanya.
"Kamar 228 lantai tiga. Tapi Nar ...," belum sempat Adel melanjutkan perkataannya, Nara sudah lebih dulu meninggalkan meja resepsionis dan naik ke lantai empat melalui tangga darurat.
"Duh, gue ngerasa gak enak sama si Nara!" gumam Adel.
"Tapi kita gak bisa nyembunyiin bejadnya Victor lebih lama lagi!" sahut Mira, bagian resepsionis lainnya.
Membutuhkan waktu beberapa menit, hingga Nara tiba di pintu darurat lantai empat. Napasnya tersengal-sengal, bulir keringat mulai membasahi dahi dan tubuhnya. Gadis itu segera memutar kenop pintu seraya menariknya hingga terbuka.
Nara bergegas memasuki lorong hotel yang sepi dengan mata melihat satu persatu nomor yang tertera pada pintu kamar. Tepat pada deretan tengah kamar sisi kiri, Nara menghentikan langkahnya.
Dilihatnya kembali nomor pada pintu bertulisan angka 228. Nara menarik napas dalam-dalam, dan memberanikan diri mengetuk pintu tersebut.
Tak ada jawaban apapun dari dalam.
Nara pun kembali mengetuk pintu kamar tersebut, hingga terdengar suara pintu yang mulai terbuka.
Seorang pria dengan tubuh dililit selimut putih sedang menatap Nara dengan mata membelalak.
"Na-nara?" Pria itu tergugup.
Nara berusaha menahan seluruh pertanyaan yang hampir meledak keluar, dan menguatkan hatinya untuk melangkahkan kaki masuk kedalam kamar hotel. Victor tak bisa menahan Nara lagi, dan membiarkan wanita itu masuk ke dalam.
Kaki Nara seakan tak menginjak lantai. Langkahnya terasa melayang dan sulit untuk digerakkan. Seorang wanita tak berbusana sedang berbaring diatas tempat tidur. Bahkan, wanita itu nampak setengah sadar akibat pengaruh obat perangsang.
"Nara, aku bisa jelasin semuanya!" ujar Victor yang kini berdiri di sisi gadis bertubuh kecil itu.
Pandangan Nara semakin berkabut saat semakin lama memandang tubuh wanita yang sedang ditiduri oleh tunangannya tersebut. Nara membuang muka ke arah lain lalu berbalik dan berjalan melewati Victor, keluar dari kamar hotel tersebut.
Namun, Nara kembali menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, ia lepas cincin pemberian Victor padanya, lalu melemparnya pada wajah pria yang kini sedang menatap bingung pada Nara.
"Hubungan kita berakhir sampai disini, Victor!" ucap Nara dengan suara bergetar.
"Nara, aku bisa jelasin semuanya!" ujar Victor.
Nara membalikkan tubuh dan tepat saat itu, ia melihat seorang pria berpakaian casual, dengan kaus polos hitam yang dipadukan dengan celana pendek selutut berwarna coklat, sedang berdiri di ujung lorong, menatap ke arahnya dengan dahi berkerut.
Nara berjalan ke arah pria itu, dengan airmata yang sudah berjatuhan tanpa jeda diatas wajahnya. Tepat saat tiba didepan pria itu, Nara memeluknya sangat erat, membenamkan wajahnya di atas d**a bidang pria yang tak lain adalah Arion.
Lengan Nara yang bergetar itu, meremas kuat pada pakaian Arion, dan membuat pria itu semakin membelalakkan matanya, tak mengerti.
"A-apa yang kamu la-lakukan?" tanya Arion terbata-bata.
Pria itu mengalihkan tatapannya pada Victor yang sedang berdiri dengan mulut menganga, melihat tunangannya yang selama ini, untuk berpelukan saja gadis itu menolak. Tapi sekarang? Bahkan, Nara yang lebih dulu memeluk pria asing yang berada disana.
Dalam pelukannya pada Arion, kembali terngiang omongan-omongan protektif Victor yang selalu membuatnya menjaga jarak dari teman-teman prianya selama ini.
'Jangan pernah bersentuhan dengan lelaki lain selain aku, kalau sampai aku melihatnya, kita putus.'
'Nara, aku sayang sama kamu. Aku gak mau kamu berteman sama lelaki. Batasi teman-teman kamu! Dan ikuti semua yang aku katakan sama kamu!'
'Nara!! Aku gak akan nyentuh kamu sedikitpun sebelum kita resmi menjadi pasangan suami istri. Aku cuma amu lindungi kamu,'
Nara berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran tersebut dari kepalanya, dengan semakin dalam membenamkan wajahnya pada d**a bidang Arion.
"Hanya sebentar, Pak. Aku mohon ijinkan aku seperti ini, hanya untuk sebentar." Lirih Nara seraya lebih dalam terisak.
Sedangkan Arion, masih tetap bergeming, tanpa melakukan penolakan ataupun penyambutan atas apa yang dilakukan wanita penolongnya secara tiba-tiba.
***