Enam belas

1004 Words
Canggung. Itulah yang Klarisa saat ini rasakan, Vrans juga yang tidak tau apa-apa hanya diam memperhatikan laki-laki yang sudah paruh baya dengan bola mata yang sangat mirip dengan punya Klarisa. Tidak perlu ditebak lagi, ia adalah Daniel Rocolas Wesley. Siapa yang tidak tau pengusaha sukses yang hampir setara dengan keluarga Wilson, namun bedanya Wesley pernah hampir bangkrut. Dan siapa juga yang tidak kenal dengan Daniel? Setiap majalah dan kabar berita menampilkan berita tentangnya. Banyak isu yang beredar jika dirinya dikabarkan sedang dekat dengan seseorang, namun Daniel menolak keras berita tersebut saat diundang ke salah satu acara televisi. Ia tau semua sifat Daniel dari cerita Klarisa. Laki-laki penyayang yang pada akhirnya ia sendiri yang menghancurkan anak kesayangannya. Berteman dengan Klarisa selama beberapa semester membuat dirinya dan Paula mengetahui banyak hal tentang Klarisa.  "Ucapkan apa yang ingin anda katakan." Ucap Klarisa dengan nada datar sambil menyesap strawberry shake-nya. Ah ia sangat merindukan minuman ini, buatan bartender yang juga disewa ayahnya spesial untuknya. Daniel menghela napas. "Maafkan ayah." "Menurut saya hal ini tidak perlu dibahas lagi. Saya harus segera pulang karena Damian pasti mengkhawatirkan saya." Klarisa sudah beranjak dari duduknya, namun pelukan tiba-tiba dari Daniel membuat tubuhnya menegang. Ia merindukan pelukan ini. Tidak memberontak dan juga tidak membalas pelukan itu Klarisa memilih diam. Terdengar isakan kecil dipelukannya. "Maafkan ayah, ayah salah. Maafkan ayah, Klarisa. Maafkan ayah, ayah mohon berikan ayah kesempatan. Ayah mohon.." Lagi-lagi pertahanan Klarisa hancur, ia membalas pelukan Daniel dan mulai menangis. Ia masih kecewa pada ayahnya, namun ia tidak bisa berbohong jika ia merindukan sosok ayah. "Klarisa benci ayah, Klarisa kecewa sama ayah. Klarisa sangat kecewa saat ayah membentak Klarisa. Ayah jahat!" Daniel merasakan dadanya sangat sesak mendengarkan penuturan Klarisa. Ia tau ini salahnya. "Dari kecil Klarisa udah sabar, yah. Ayah tidak pernah bisa untuk sekedar bermain bersama Klarisa walau sebentar, ayah tidak pernah luangkan sedikit waktu ayah untuk Klarisa, yang ayah pikirkan hanya bekerja. Klarisa paham dan cukup tau diri karena ayah bekerja keras untuk aku, tapi ayah tidak adil dalam membagi waktu. Klarisa selalu bermain sendiri ditemain kekosongan mewahnya rumah kita, yah. Klarisa hanya ditemani oleh pelayan yang ada disini. Ayah jahat. Ayah tidak pernah ada sewaktu Klarisa jatuh saat pertama kali belajar bersepeda, bahkan ayah tidak pernah bertanya bagaimana hari-hari Klarisa di sekolah. Ayah tidak pernah memberikan semangat saat Klarisa ingin ujian sekolah. Bahkan untuk menanyai kabar saja kita jarang bertemu. Klarisa simpan semuanya sendirian, ayah. Klarisa sakit, ayah tidak mengerti." Semakin besar rasa sesak dan sesal yang Daniel rasakan. Ia menyadari semua apa yang dibicarakan Klarisa. Ia tidak pantas dimaafkan. Melihat anaknya yang menangis seperti ini, ia kembali teringat saat ia tidak sengaja melihat Klarisa yang menangis di kamar. Klarisa sudah berumur 20 tahun, dan baru dua kali dirinya melihat Klarisa menangis? Miris sekali. Vrans bungkam, memilih tidak ikut campur dengan urusan sahabatnya. Ia lebih memilih memfokuskan dirinya pada ponsel dan membuka aplikasi **. Ia tidak tahan mendengar suara tangis Klariaa yang memilukan. Apalagi mendengar penuturan yang sama sekali belum pernah ia dengar dari mulut Klarisa langsung. "Ayah akan memperbaiki semuanya, Klarisa. Ayah berjanji."  Daniel melepaskan pelukannya, lalu menatap Klarisa dengan wajah memohon. Klarisa yang melihat itu merasa dirinya tidak sopan karena membiarkan orang tuanya memohon-mohon maaf seperti ini.  "Maaf yah, Klarisa sudah beranjak dewasa. Dan Klarisa memiliki suami yang luar biasa baik. Hidup Klarisa sudah bergantung pada Damian. Tapi, Klarisa akan memaafkan ayah. Ayah kembali bekerja, nanti jika perlu Klarisa akan main kesini dengan Damian." ... "Makasih banyak ya, Vrans. Maaf kamu jadi melihat sesuatu yang seharusnya kamu tidak lihat. Aku malu."  Kini Vrans sudah mengantar Klarisa sampai depan rumahnya dengan aman. Ia tersenyum menanggapi ucapan Klarisa. "Tidak apa, aku pergi dulu ya." Klarisa mengangguk dan melambaikan tangannya melihat Vrans yang sudah mulai menjauh bersama motor besarnya. Ia masuk kedalam rumah dengan tangan yang sudah menggenggam beberapa paper bag hasil yang ia dapatkan bersama Vrans saat di pusat perbelanjaan tadi. "DAMIAN, KLARISA PULANG!!" Teriak Klarisa dan menghempaskan bokongnya di sofa ruang TV. Ia menaruh belanjaannya dilantai dan mulai melepas sepatu kets nike bewarna putihnya. Ah sangat lelah. "Baru pulang?"  Damian yang sepertinya habis mandi pun menghampiri istrinya yang terlihat kelelahan. "Sudah makan?" Klarisa mengangguk. "Aku habis dari rumah ayah. Aku berbaikan dengannya." Damian menggendong Klarisa dan membawanya ke kamar mandi. "Bagus kalau begitu. Kamu mandi dulu, saya tunggu di meja makan." Sedangkan Klarisa yang masih terdiam karena pikirannya kemana-mana itu akhirnya tersadar dan mengangguk. Damian beranjak keluar kamar mandi.  "Aku kira Damian ingin macam-macam denganku, aku takut." Disinilah Damian, duduk di meja makan yang sudah dihidangkan beberapa menu makanan oleh Eric. Patut diacungi jempol si Eric ini.  Ketelatenannya dalam memasak yang rasanya tidak dapat dipungkiri pun menambah poin plus dari Eric. Satu-satunya chef bayaran keluarganya yang masih terbilang muda. Dan tentunya mengabdi dengan setia padanya. Bahkan saat laki-laki itu ingin keluar rumah, ia meninggal pesan kepada Damian dan memberitahu dirinya laki-laki itu ingin pergi kemana. Padahal sudah pasti Damian tidak peduli, namun kembali lagi Eric memang sangat sopan. "ISH KLARISA SEBEL DEH!" Pekik Klarisa memenuhi seluruh sudut ruangan. Gadis itu menampilkan wajah yang sangat masam seperti benar-benar sedang kesal pada suatu hal. Damian melihat gadisnya yang turun dari tangga menuju dirinya dengan grasak grusuk. Membuat Damian heran, ada apa? Klarisa memang suka sekali berteriak seperti itu, ia sudah terbiasa. "KLARISA SEBEL POKOKNYA MAU KE SALON. RAMBUT AKU BERANTAKAN, BUTUH PERAWATAN!" Astaga Klarisa ini memang sangat teramat membuatnya cemas. Damian hanya terkekeh lalu memotret Klarisa yang masih sibuk dengan tatanan rambutnya. Cekrek Berhasil.  "IH DAMIAN NYEBELIN BANGET AKU JELEK BANGET ITU! GAMAU TAU, HAPUS!" Klarisa sudah molompat-lompat hendak meraih ponsel Damian. Sayangnya, dengan kerlingan jahil laki-laki itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi supaya dirinya tidak dapat menjangkaunya. Menyebalkan! Bisa-bisanya laki-laki itu mengambil foto dirinya dalam keadaan seperti ini. Damian memang, argh Klarisa saja gemas bingung bagaimana ingin mendeskripsikannya! "Kamu cantik, Clay." "Tidak, tidak cantik! Hapus!" "Cantik tau, sayang.." "DAMIAN NYEBELIN, ORANG TUA NYEBELIN!" Klarisa pasrah dan menghentakkan kedua kakinya ke lantai sambil mengerutkan bibir nya. Menggemaskan sekali, pikir Damian. "Hei jangan merajuk." Klarisa masih tetap bersedekap tangan, ia kesal dengan Damian! Pokoknya ia merajuk, tidak mau tau! DAMIAN NYEBELIN! "Yasudah kamu mau apa sekarang? Anggap saja sebagai permintaan maaf saya." Ucap Damian sambil mengacak rambut gadisnya dengan gemas. Ia melihat bibir Klarisa yang sempat mengerucut sebal berubah menjadi senyuman lebar. "TEMANI KLARISA KE SALON! TITIK!" // Next chapter ❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD