Certa Misteri : Wanita Hamil Tua di Rumah Sakit
Episode : Fakta, Ataukah Fatamorgana?
“Suster Priska, aduh, maaf, maaf! Hhh... hhh... hhh! Saya kelamaan ya, perginya, ngerepotin Suster? Maaf banget ya.. Suster. Suster.. jadi tertahan lama di sini karena menunggu saya. Sekali lagi saya minta maaf. Hhh... hhh.., itu..., soalnya tadi saya.., hhh.., sekalian menengok.., keadaan Bu Rohaya yang baru saja siuman. Hhhh... hhhh..., kalau sekarang, sudah ada dua Orang Saudaranya.. Bu... Rohaya.. yang hhh... hhh, yang menemaninya mengurus Nenek Yunita,” kata Chika dengan napas terengah-engah.
Ia kemudian diam sejenak selagi berusaha untuk mengatur napasnya.
Suster Priska tersenyum tipis pada Chika. Sang Perawat yang dimintai tolong untuk menunggui Ibu Sarwendah itu tampak dapat memaklumi ‘keterlambatan’ Chika untuk kembali ke kamar rawat Ibu Sarwendah.
Suster Priska mengangguk kecil.
“Ya, ya, Mbak Chika, nggak apa-apa kok. Duh, sampai ngos-ngosan begitu napasnya. Gara-gara lari-larian ya, balik kemarinya?”
Chika hanya dapat mengangguk karena belum dapat menormalkan kembali jalan napasnya.
Lantas Gadis itu menghirup napas dalam-dalam. Secuil kelegaan menyelinap ke dalam benak Chika.
Senyum Suster Priska sungguh menenangkan perasaannya. Setidaknya, mengurangi kadar rasa bersalahnya karena telah merepotkan Tenaga Medis yang tentunya sibuk dengan pekerjaan pokoknya itu.
“Nah, karena Mbak Chika sudah ada di sini, saya bisa tinggal sekarang, ya?” tanya Suster Priska.
“Ya, tentu saja Suster Priska.”
Suster Priska memberikan satu bonus senyuman lagi kepada Chika.
Lantas Suster Priska mengangguk kepada Ibu Sarwendah, bahasa tubuh memohon diri dari hadapan Wanita setengah baya tersebut.
“Terima kasih sudah ditemani selama Anak saya pergi, Suster,” ucap Ibu Sarwendah.
“Sama-sama, Ibu.”
Melihat Suster Priska hendak berlalu, Chika lekas mendahului langkah Suster Priska.
“Sekali lagi terima kasih,” ucap Chika penuh ketulusan. Untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, Chika sampai mengantar Suster Priska dan membukakan pintu kamar rawat pula.
“Sama-sama, Mbak Chika,” sahut Suster Priska.
Namun bertepatan dengan pintu kamar rawat yang terbuka sempurna, alih-alin segera kembali ke sisi ranjang Sang Ibu, Chika justru membiarkan dirinya diterpa sebuah godaan.
Ya, Chika tergoda untuk menoleh ke arah koridor di mana ruang perawatan bayi berada. Matanya menyapu area tersebut dengan saksama. Namun anehnya, apa yang dilihatnya saat ini berbeda dengan yang dia lihat sebelumnya. Lantaran tak percaya akan penglihatannya, dia menajamkan pandangannya. Akan tetapi, apa yang dilihatnya kini tidak ada yang berubah, sama persis dengan apa yang ia saksikan beberapa detik sebelumnya.
Seketika dia terbengong.
Pasalnya, sejauh mata memandang, tidak ada koridor yang pernah tiga kali dilihatnya itu. Dan bahkan bila diingat-ingat lagi, bisa jadi mungkin lebih dari tiga kali dia melihatnya sebelum ini. Dia sendiri juga sedang tidak berminat untuk menghitungnya saat ini. Pikirannya telah terlalu lelah. Hatinya juga dilanda keresahan. Kejadian pagi ini bukan sekadar membuat dirinya terperanjat, melainkan sudah lebih dari sukses untuk membuat perasaannya campur aduk. Sedih, bingung, takut, gelisah, prihatin, terkejut hingga penasaran. Semuanya berpadu menjadi satu. Menyerangnya secara bersamaan.
Chika tak dapat mencerna perbedaan dari apa yang ia saksikan secara lisan. Yang jelas, sekarang tidak ada koridor sepanjang itu. Yang dilihatnya adalah tembok saja. Tembok berwarna putih khas rumah sakit, yang berada tepat di sebelah tangga.
Dahi Chika langsung mengernyit sempurna.
Sulit baginya untuk memercayai apa yang terlihat itu.
Suster Priska memergoki tindakan Chika.
“Ada apa, Mbak?” tanya Suster Priska.
Chika memalingkan wajahnya.
Mulanya dia agak ragu untuk bertanya, namun desakan dari dalam hatinya terus mendorongnya agar segera bicara.
“Itu..,” kata Chika tersendat.
Suster Priska mengikuti arah pandangan Chika.
“Itu apa, Mbak Chika?” tanya Suster Chika. Sepertinya dia berpikiran bahwa Chika belum sepenuhnya dalam mode ‘berkonsentrasi penuh’ setelah kembali ke kamar rawat Sang Ibu.
Chika menggerus sisa-sisa keraguannya.
“Eng..., Suster, sejak kapan ada tembok itu di sana?” tanya Chika sambil menunjuk ke arah tangga.
“Tembok, Mbak?” tanya Suster Priska dengan mimik muka menampakkan kebingungan.
Chika buru-buru mengiakan.
“Iya benar, Suster. Tembok. Itu lho, di dekat tangga sana, kok jadi ada tembok? Aneh, ya? Bukannya di sebelah sana seharusnya ada gedung lama?” tanya Chika lagi.
Dia sedang mengira-ngira dalam diamnya.
Ini bukan era Bandung Bondowoso yang bisa membuat begitu banyak candi, nyaris 1000 bahkan, dalam waktu satu malam, kan? Memang betul ini jaman instan. Tapi tetap saja, sangat nggak mungkin kalau membangun tembok bisa dilakukan dalam sekejap toh? Dan mana mungkin, tanpa ada terlihat kesibukan dari Para Tukang? Nggak masuk akal! Pikir Chika.
“Gedung lama?” Suster Priska mengulang kata-kata Chika, tak ubahnya Seorang Murid yang tengah didikte oleh Sang Guru.
Chika langsung menanggapi dengan anggukan mantap.
“Iya Suster. Malahan tadi malam juga saya sempat cerita kok, ke Suster siapa, gitu, yang jaga malam, di nurse station. Saya lupa deh namanya. Saya cerita ke Suster itu, bilang bahwa saya sering melihat Wanita hamil tua di lantai ini. Entah dia sedang menjaga Siapa-nya yang sakit dan dirawat di rumah sakit ini. Saya ingat jelas, Wanita hamil tua itu juga kelihatannya menengok entah bayinya siapa, di gedung lama itu...” .. ”Oh... itu..” sambar Suster Priska.
Mata Chika langsung mengerjap. Dipikirnya, dia bakal mendapatkan penjelasan yang dia perlukan saat ini.
“Suster Priska tahu?” tanya Chika dengan nada mendesak.
“Eng..,” Suster Priska tampak ragu.
Chika menatap Suster Priska dengan tatapan menuntut jawaban. Mirip Seorang Debt Collector yang sudah habis kesabaran karena terlampau sering mengingatkan akan jatuh tempo tagihan tetapi diabaikan.
Suster Priska tampaknya paham arti pandangan Chika.
“Begini Mbak Chika..,” kata Suster Priska setelah berdeham kecil.
“Ya? Bagaimana Suster?” sahut Chika dengan bersemangat, seperti bakal mendapatkan jawaban atas semua teka-teki yang membuat kepalanya pusing ini. Kepingan-kepingan puzzle yang berantakan dan sama sekali tidak kunjung lengkap betapapun dia telah mencoba mencarinya.
Saking penasaran, Chika sampai mengabaikan fakta bahwa Suster Priska itu seharusnya segera kembali ke Nurse Station untuk mengerjakan tugasnya yang tertunda lantaran diminta bantuan untuk menemani Sang Ibu, barusan.
“Suster yang tadi pagi mengobrol sama Mbak Chika itu, Suster Azizah namanya. Suster Azizah sudah lama bekerja di sini, jadi banyak tahu sejarah rumah sakit yang baru dua tahun beroperasi ini.”
“Lalu?” kejar Chika tak sabar.
Suster Priska tersenyum samar.
Entah mengapa, sebuah perasaan aneh melintas di benak Chika, mendapati senyum Suster Priska. Perasaan yang berlainan bila dibandingkan dengan saat mereka berdua bercakap-cakap di dekat ranjang Pasien tadi.
Chika merasakan dadanya berdesir tanpa Ia tahu apa alasannya.
Dan sebelum dia bereaksi atas perubahan tersebut, terdengar suara Suster Priska.
“Karena saya datang jauh lebih awal sebelum pergantian shift, Suster Azizah sempat cerita, sebelum serah terima tadi. Kebetulan pagi ini memang agak santai. Maksud saya, sebelum ada kejadian Nenek Yunita anval. Mbak, dilupakan saja, apa yang Mbak lihat, atau dengar. Tenang saja, tidak ada apa-apa, kok. Memang, ada beberapa orang, yang juga mengalami apa yang Mbak alami,” terang Suster Priska.
Lantas Suster Priska menepuk pundak Chika.
Anehnya, tepukan di pundaknya itu bukannya mendatangkan rasa tntram di hati Chika, tetapi justru membuat Chika gemetaran. Dia merasa ada yang aneh dengan Suster Priska, namun tidak dapat menerjemahkan apa gerangan yang aneh itu.
“Maksudnya?” Chika terlonjak kaget.
Ekspresi wajah Chika sudah tidak karuan saat ini.
Suster Priska sudah akan berlalu, tetapi lekas dicegah oleh Chika. Dibentangkannya sebelah tangannya tepat di depan tubuh Suster Priska untuk menghalangi pergerakan Sang Suster.
“Suster Priska, itu.., itu..., rumah sakit ini baru dua tahun beroperasi? Maksudnya bagaimana? Coba diperjelas. Jadi... gedung lama, yang bekas Rumah Sakit Ibu dan Anak itu, dirobohkan? Bukannya disambungkan ke gedung baru ini?” kejar Chika.
Sekarang Chika bahkan mencekal lengan Suster Priska, demi memastikan Suster tersebut tidak pergi sebelum rasa penasarannya hilang.
Suster Priska memejam mata.
Dia memang baru setengah tahun bekerja di rumah sakit ini.
Namun kurun waktu yang baru setengah tahun itu, sudah lebih dari cukup baginya untuk mendengar sejumlah cerita seram perihal berbagai penampakan yang dialami oleh para Rekan kerjanya terutama, para Pasien, maupun Kerabat yang menjaga Pasien.
Dan sejatinya dia sendiri pun pernah melihat hal-hal yang ganjil dan sulit diterima oleh akal sehat, tetapi dia memilih untuk senantiasa membentengi dirinya dengan doa. Kadang-kadang, timbul juga rasa takutnya, terutama jika harus mendapatkan shift malam, terlebih pada malam Jumat Kliwon yang konon merupakan saatnya ‘mereka yang berbeda alam’ unjuk gigi, memperlihatkan eksistensinya.
“Mbak Chika, sebaiknya dilupakan saja ya, semuanya. Yang penting, Bundanya Mbak Chika kan sudah sehat sekarang,” kata Suster Priska sembari menatap lengannya yang masih dicekal oleh Chika. Seolah-olah itu kode keras supaya Chika segera melepaskan cekalan tangannya.
“Suster, tolong jawab saya. Ini dulunya, bekas Rumah Sakit Ibu dan Anak? Lalu, kenapa semua yang saya lihat beberapa hari ini tampak demikian nyata? Saya bahkan mengobrol dengan Suster yang berjaga di sebelah sana, yang menjaga di kamar bayi. Suster itu pula yang bilang ke saya bahwa gedung lama terhubung dengan gedung baru,”cerocos Chika tak puas.
Sekali lagi Suster Priska enggan berkomentar. Namun melihat sorot mata menuntut penjelasan yang terbias di mata Chika, dia merasa kasihan juga. Dia berusaha memehami apa yang dirasakan oleh Chika.
“Mbak, sebetulnya ini bukan wewenang saya untuk menjawab. Tetapi yang saya dengar, rumah sakit ini memang dibangun dari awal, kok. Sedangkan bekas bangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak yang Mbak sebut-sebut itu, sudah tidak ada lagi. Lahannya kan sudah dijadikan taman dan tempat parkir, Mbak,” jelas Suster Priska, mencoba sesabar mungkin.
Chika merasa lututnya mulai lemas, berdirinya juga goyah.
“Maksudnya..., Suster di gedung lama itu, gedung lamanya juga..., nggak nyata? Begitu?” tanya Chika ngeri.
Suster Priska diam, bertahan untuk tidak menjawab.
“Dan satu hal lagi, Suster Priska! Soal Wanita hamil tua yang kerap saya lihat itu, masakan itu pasien dari Rumah Sakit Ibu dan Anak yang lama itu? Nggak mungkin, dong!”
Suster Priska menahan napas mendengar Chika masih saja mempermasalahkan hal yang sama.
“Asal Suster Priska tahu, Bunda saya juga melihat Wanita yang saya sebut itu masuk ke ruang perawatan dan itu membuat Bunda saya ketakutan. Lalu..., tadi pagi itu, dia datang lagi, berdiri lama di sisi pembaringan Almarhumah Nenek Yunita,” kata Chika.
“Seperti..., seperti..., mau menjemput?” Chika setengah bergumam. Dan dia merasa takut dengan pemikirannya sendiri.
“Mbak Chika. Sudah, Mbak. Jangan dipikirkan lagi,” saran Suster Priska.
Di luar sepengetahuan keduanya, Suster Ghea melangkah cepat dari Nurse Station, karena melihat Rekan kerjanya tertahan lama di depan ruang perawatan. Dia bertanya-tanya dalam hati, ada apa sebenarnya.
Sementara itu, Ibu Sarwendah juga sudah memanggil-manggil Chika.
“Chika, kok lama sekali? Kamu ngobrol sama Suster kelamaan nanti ganggu waktunya Suster lho,” seru Sang Bunda dari atas pembaringannya.
Chika menahan napas, mengira-ngira di dalam diamnya, adakah Bundanya mendengar secara utuh segenap pembicaraannya dengan Suster Priska barusan.
“Sebentar, Bunda, sebentar,” seru Chika membalas Sang Bunda. Dia sedang berusaha keras untuk meredakan gejolak perasaannya.
“Ada apa, Pris? Mbak Chika, ada apa?” tanya Suster yang tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka.
Chika malahan menganggap hal ini sebagai celah untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Pikirnya, siapa tahu Suster Ghea bisa menjawab secara gamblang, bukan seperti Suster Priska yang cenderung memintanya untuk melupakan apa yang dia alami.
“Ah! Kebetulan! Suster Ghea, saya mau tanya tentang Wanita hamil yang...” .. ”Mbak Chika, sudahlah!” potong Suster Priska cepat. Seolah-olah, bahasan tentang Wanita hamil yang disinggung-singgung oleh Chika, membuat batinnya sungguh tersiksa.
“Wanita hamil?” tanya Suster Ghea.
Kening Suster Ghe langsung berkerut.
“Iya, Suster Ghea. Pasti deh, Suster Azizah juga sudah bilang, kan? Saya..., aduh! Pokoknya saya mengalami kejadian yang aneh, selama di sini. Saya dikasih lihat gedung tua, lalu saya juga mengobrol sama Suster yang ternyata juga nggak nyata. Aduh, pokoknya semua itu membuat kepala saya seperti berputar. Pusing. Masa sih, saya sekadar berhalusinasi? Saya ini, bukan termasuk Orang yang peka, kalau menyangkut soal-soal seperti itu. Semua teman saya bilang begitu, kok. Tapi kenapa, semua yang saya alami, dengar, lihat dan rasakan selama di rumah sakit ini begitu nyata? Ini..., saya sebenarnya waras atau nggak, sih?” tanya Chika.
Usai mengungkapkan kalimat super panjang itu, mendadak badan Chika merosot. Dia terduduk di lantai keramik.
“Mbak Chika! Mbak Chika nggak apa-apa? Bangun, Mbak! Mari saya bantu,” Suster Ghea dan Suster Priska bergegas memegangi tangan Chika, membantunya berdiri.
Ibu Sarwendah mendengar suara Suster Ghea.
“Chika! Chika! Kamu kenapa?” teriak Ibu Sarwendah dari dalam kamar.
Ada keterkejutan serta panik yang terkandung dalam suara Ibu Sarwendah.
Suster Priska menyempatkan melongokkan kepalanya ke dalam.
“Tidak apa-apa, Bu. Mbak Chika ini kelihatannya kecapekan. Mungkin karena telalu banyak begadang selama menjaga Ibu,” kata Suster Priska, setengah berteriak.
“Tolong dibantu, Suster,” seru Ibu Sarwendah.
Walau berusaha tenang, hati Ibu Sarwendah kebat-kebit juga memikirkan Sang Anak. Dia menyesal, karena secara langsung, bergadang-nya Chika ya karena menunggui dirinya.
“Bunda, aku enggak apa-apa. Aku cuma agak lemas,” teriak Chika dari luar, untuk meredam kekhawatiran Ibu Sarwendah.
“Suster, boleh tolong terus terang Dari pada saya penasaran begini. Rasanya hampir gila, menyambung-nyambungkan semua kejadian ini,” keluh Chika memelas. Suaranya begitu lirih, bagaikan sebuah bisikan.
Suster Ghea menatap penuh iba pada Chika. Dia saling pandang dengan Suster Priska. Suster Priska akhirnya mengangguk, meski dengan berat hati. Terlihat sekali ekspresi wajahnya yang amat tertekan.
“Nggak apa, deh, kan Mbak Chika sudah mau balik ke rumah hari ini,” bisik Suster Ghea.
Suster Priska mengembuskan napas perlahan.
“Ya sudah. Jadi begini Mbak, saya sih nggak tahu, keterangan saya ini ada hubungannya dengan apa yang Mbak ingin ketahui ada enggak. Tapi saya bisa memahami, rasa penasaran Mbak. Jadi..., sebetulnya, ruang bersalin dari rumah sakit ini, memang ada di lantai ini..,” kata Suster Priska.
Chika terperangah.
“Hah? Jadi?”
Chika merasa badannya gemetaran lagi. Kali ini getarannya lebih hebat dibandingkan yang tadi.
“Eng.., jadi dua bulan lalu, ada Serang Pasien yang meninggal, pada saat dia melahirkan secara normal..,” kata Priska sehati-hati mungkin.
“Jadi.. jadi...” kata Chika tersendat.
Kini yang dirasakan Chika tak lain pandangan matanya yang berkunang-kunang. Lantas entah bagaimana caranya, wajah Suster Priska maupun Suster Ghea tampak semakin memucat saja di depannya, dan bibir mereka juga tampak kian membiru. Rambut mereka, yang semula diikat dan diselipkan ke balik penutup kepala khas Perawat, mendadak terurai. Dan wajah mereka berdua..., menyerupai Wanita hamil tua itu, mirip sekali!
**
Hai Sobat Pembaca yang budiman.
Yang barusan Sobat baca itu adalah salah satu chapter dari Antologi ALAM ANTARA yang nentinya akan menyapa Sobat sekalian di setiap harinya. Ya, menggantikan tugasnya EX!ST2 yang ssampai sekarang masih rajin menyapa Sobat Tercinta di setiap harinya.
Karenanya, ayo dukung Author dengan memasukkan ALAM ANTARA sebagai koleksi bacaan kalian. Caranya mudah, klik ADD kalau membaca dari website. Kalau dari aplikasi, lebih mudah lagi. Tinggal disentuh ikon LOVE (hati).
Nggak ada ruginya kok, memasukkan sebuah kisah ke dalam rak baca, malah memudahkan Sobat sekalian kalau ingin membacanya di lain waktu, dan memastikan tidak ketinggalan update hariannya.
Selamat membaca kelanjutannya. Semoga Sobat sekalian berkenan.