Pertama kali perasaan yang dirasakan Rea ketika kesadaran mulai membuat kelopak matanya terbuka adalah perasaan kehilangan yang tidak ia ketahui. Kehilangan sesuatu yang ia rasa tidak pernah ia miliki. Ataukah kehilangan sesuatu yang tidak ia sadari ia miliki. Rea tidak tahu ...
Entah sesuatu apa yang mendorong kedua tangannya terangkat menyentuh perut. Merasakan rasa sakit dan nyeri yang masih tersisa di sana. Ia tahu sesuatu telah terjadi pada sesuatu yang bertumbuh di perutnya.
Bayi Darius.
Bayinya juga.
Darah dagingnya juga.
Membuat sudut matanya terasa panas karena rasa kehilangan asing itu. Rasa kehilangan yang nyata. Dadanya sesak, oleh perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya. Penyesalan tanpa daya. Bahkan rasanya lebih hancur daripada ketika Raka meninggalkannya.
"Kau sudah sadar?" Suara dingin itu membuat Rea tersadar bahwa dirinya kini berada di salah satu ruangan di sebuah rumah sakit. Bau tajam antiseptik yang sejak ia tersadar tadi terabaikan, seketika menyelimuti indera penciumannya.
Rea menoleh, mencari asal suara yang tidak jauh dari tempatnya terbaring dan melihat Keydo yang bangkit dari sofa dan melangkah mendekat. Ke sisi tempat tidur pasien yang ia tempati. Wajah pria itu mengeras dan tatapan tajam yang menyala ditujukan pada Rea.
"Apa kau menangis karena terharu?" Muncul seringai dingin di sudut bibir Keydo ketika pria itu menyilangkan kedua lengan di depan d**a. "Akhirnya penghalangmu lenyap juga."
Rea menghapus airmatanya dengan kasar. Mengabaikan hatinya yang sudah remuk semakin hancur lebur oleh olokan Keydo.
Ok...
Dia memang berharap anak Darius lenyap, tapi ia tidak pernah mengira rasanya akan berdampak sesakit ini pada dirinya sendiri. Seperti kehilangan separuh hidupnya. Bagaimanapun, anak itu pernah bernapas di dalam tubuhnya. Dan ternyata ia tidak bisa mengabaikan kenyataan itu begitu saja.
Perasaan bersalah ini sudah cukup membuat dadanya sesak tanpa harus disalahkan terang-terangan seperti ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Rea, mengangkat dagunya. Walaupun wajahnya yang ia yakini saat ini kelihatan pucat, ia tetap tidak ingin terlihat lemah di hadapan Keydo.
Keydo mendengkus, menatap tak percaya ke arah Rea seakan-akan wanita itu membodohinya. "Kau tidak perlu bersandiwara di depanku, Rea. Karena aku sudah tahu semuanya."
Rea menatap tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan Keydo. Tersinggung dengan kata sandiwara. "Apa maksudmu, Keydo? Dan tindakan apa yang telah kulakukan yang sudah kau ketahui itu?"
"Dokter sudah mengatakan semuanya padaku. Kau tidak bisa menyangkal bukti-bukti itu, Rea," desis Keydo.
"Bisakah kau berbicara lebih jelas? Aku tidak mengerti." Rea mulai meninggikan suaranya semakin tersinggung seakan-akan Keydo menuduhnya berbohong. "Memangnya apa yang dikatakan dokter padamu?"
"Kau meminum obat untuk menggugurkan kandunganmu. Apa aku juga harus menyebutkan nama obatnya agar kau mengingatnya?" jelas Keydo kasar.
Rea terkesiap mendengar penuturan Keydo. Tubuhnya langsung beringsut duduk, mengabaikan rasa kram dan nyeri di perut karena gerakan tiba-tibanya itu. "Apa?"
'...meminun obat untuk menggugurkan kandungan?'
'Obat apa? Dia sama sekali tidak meminum obat apa pun itu yang di maksud Keydo.'
"Apa dokter yang mengatakan itu penyebab keguguranku?" lirih Rea.
"Apa kau kira dokter di rumah sakit ini main-main dengan pasiennya?" gusar Keydo.
"Ya," jawab Rea tegas dan yakin. Ia sangat tahu dirinya tidak melakukan apa pun itu yang dituduhkan Keydo. "Karena aku sama sekali tidak meminum obat atau memakan apa pun itu yang beresiko membahayakan anak ini dengan sengaja."
"Kau menginginkannya," tandas Keydo.
Mulut Rea terkatup rapat, kehilangan kata-kata. "Ya. Aku memang menginginkannya dan aku tidak akan membantah tentang itu."
"Tapi aku tidak melakukannya," tambah Rea tegas.
Keydo terdiam. Mengamati baik-baik wajah Rea. Mencoba mencari gurat kebohongan yang menghiasi wajah wanita ini. Namun, setelah beberapa saat ia mencari dan tidak menemukan apa yang diinginkan, ia memutar otaknya untuk berpikir.
'Apa dokter itu berbohong?'
'Tidak mungkin.'
'Dokter itu kepercayaan Darius. Dan Darius bukanlah orang yang mudah memercayai seseorang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Jadi itu tidak mungkin. Selain itu, hanya orang bodoh yang berani main-main dengan Darius.'
'Atau ... '
"Kurasa aku tahu siapa yang melakukan semua ini," gumam Keydo. Menggeram marah karena beraninya orang itu melakukan perbuatan licik itu di cafenya.
Muncul kernyitan dalam di alis Rea mendengar gumaman Keydo yang cukup jelas. Rasa penasaran mendekapnya mengetahui siapa yang telah membunuh darah dagingnya?
Darah dagingnya? Sudut hatinya mendengkus. Sejak kapan ia merasa mengakui keberadaan janin di dalam perutnya? Sejak ia sudah kehilangan janin itu.
"Raka." Mata Keydo berkilat marah ketika menyebutkan nama itu.
"Apa?!" Rea terlonjak kaget mendengar tuduhan tak beralasan Keydo.
"Dan aku akan memastikan Darius mengetahui hal ini." Seringai jahat itu muncul lagi di wajah Keydo. Bercampur tatapan penuh ancaman.
"Tidak mungkin, Keydo. Kau tidak bisa menuduh orang sembarangan. Ini hanya kecelakaan saja," bantah Rea. "Lagi pula Darius tahu apa yang kulakukan selama 24 sehari."
"Kecuali tadi malam. Itupun karena aku belum memberitahu Darius siapa yang kau temui."
"Raka tidak memberiku apa pun," bantah Rea sekali lagi.
"Dia bisa mencampurnya di makananmu tanpa sepengetahuanmu, bukan."
"Aku tidak menyentuh makanan itu sama sekali." Begitu Rea menyelesaikan kalimatnya, keyakinan yang ia pegang erat-erat langsung menguap begitu saja. Wajahnya dipenuhi keraguan, saat ia sadar sudah meminum minuman yang disodorkan Raka tadi malam.
"Benarkah?" Keydo menyeringai puas, ketika melihat keraguan itu terpampang jelas di wajah Rea.
'Tidak mungkin!' Rea menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. 'Raka tidak mungkin berani melakukan hal gila itu.'
"Tidak. Raka tidak mungkin melakukan itu." Rea masih berusaha mencoba membantah pernyataan Keydo, walaupun kini hatinya perlahan mulai membenarkan pernyataan itu.
Keydo tersenyum penuh kepuasan, "Kau tahu, satu-satunya hal yang menghalangiku membunuhmu saat ini adalah karena kau adalah kesayangan Darius, Rea."
Rea membeku, menyadari sosok sebenarnya Keydo kini mulai muncul ke permukaan. Ia sangat tahu kebencian Keydo padanya karena membuat Darius begitu tergila-gila dan sedangkan dirinya menolak mentah-mentah perasaan Darius. Rea tahu apa yang mampu dilakukan Keydo pada siapapun, termasuk pada dirinya yang mampu menyakiti sahabat pria itu. Keydo sama kejamnya dengan Darius. Sama iblisnya seperti Darius. Dan satu-satunya hal yang membuat Rea selama ini aman dari terkaman Keydo adalah karena Darius. Karena obsesi gila Darius.
"Menurutmu apa yang akan Darius lakukan pada selingkuhanmu itu jika dia tahu Rakalah yang membunuh bayinya?"
Rea menelan ludahnya. 'Darius akan membunuh Raka. Itu sudah pasti. Dan dengan kekejaman pria itu, ia tahu Darius tidak akan membunuhnya dengan cepat tanpa siksaan terlebih dahulu.'
"Dan apa yang akan Darius lakukan padamu jika tahu kau menemui Raka. Membuatmu tanpa sengaja ikut membunuh bayinya?" Keydo mengucapkan kalimat itu dengan sangat perlahan dan penuh kengerian. Menunjukkan pada Rea pintu kematiannya dengan penuh kepuasan sadis. "Aku bahkan tidak perlu turun tangan sedikitpun untuk membunuhmu dan Raka."
'Darius akan memastikannya membayar mahal atas semua keteledorannya itu. Ia tidak bisa membayangkan hal mengerikan apa itu yang menanti dirinya,' jawab Rea dalam hati.
"Dan aku akan dengan sangat senang hati menyaksikan bayaran atas pengkhianatanmu, Rea," tambah Keydo. Masih dengan senyum penuh kepuasan sadis yang membuat Rea semakin gemetar ketakutan.
Wajah Rea yang sudah pucat semakin pucat pasi. Kini ia membuat kedua iblis itu berhasil menerkamnya. "Anak ini hanyalah anak di luar nikah, keluarga Darius juga tidak akan membiarkan anak dari darahku sebagai pewaris mereka. Menurutmu apa yang harus aku lakukan?" Rea mencoba mencari alasan, meskipun terdengar dibuat-buat.
"Apakah menurutmu hal itu penting bagi Darius?" Keydo menertawakan ketololan Rea. "Jika memang status itu begitu penting bagi Darius. Dari awal dia tidak akan menggilai wanita sepertimu, Rea. Ia membelamu mati-matian di hadapan keluarganya."
Air mata itu tiba-tiba mengaliri pipi Rea. Entah apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya saat ini, ia tidak bisa mencernanya dengan baik. Ia benar-benar merasa akan gila membayangkan masa depan di hadapannya. Hidupnya sudah hancur. Darius tidak akan melindunginya lagi. Lalu Bumi, pria itu juga pasti akan kecewa mengenai kehamilan yang ia sembunyikan. Tinggal menunggu waktu bagi Bumi untuk mengetahui semua. Rea sudah tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Bumi.
"Aku benar-benar tidak habis pikir dengan cara pandang Darius pada wanita sepertimu, Rea. Kau sama sekali tidak pantas mendapatkan cinta Darius sedikitpun. Jika saja Darius bisa sedikit membuka hatinya untuk Sherlyn."
"Sherlyn?" lirih Rea. Mendongak. Matanya menatap Keydo tak mengerti.
"Ya. Sherlynlah yang pantas mendapatkan cinta Darius, Rea. Ia begitu setia, tulus, dan memuja Darius. Mempertaruhkan hidupnya untuk Darius."
Air mata Rea mengaliri pipinya semakin deras. Tidak tahu kenapa ada goresan menyakitkan di dadanya ketika Keydo mengatakan bahwa Sherlynlah yang lebih pantas mendapatkan cinta Darius. Ia mengerang. Ia benci mengakui bahwa ada semacam rasa pengkhianatan ketika tahu Sherlyn ternyata selama ini mempunyai perasaan lebih pada Darius. Padahal selama ini, ia mengira hubungan dekat Darius dan Sherlyn hanyalah sebatas hubungan profesional kerja saja .
"Darius tidak pantas diperlakukan seperti ini olehmu. Tidak setelah apa yang dia berikan dan lakukan untukmu."
"Kenapa kau tidak membunuhku saja?" Suara Rea lirih penuh keputus asaan. Tidak memedulikan airmata yang semakin membanjir. Ketakutan bercampur kemarahan berbaur dan terlalu besar. Terlalu besar untuk ia tanggung.
"Tidak semudah itu, Rea," dengkus Keydo. Kemudian getaran ringan di saku celana mengalihkan perhatiannya. Masih dengan tatapan sedingin esnya pada Rea, ia merogoh ponsel, menggeser tombol hijau sebelum menempelkan di telinga dengan seringai lenih tinggi.
"Ya, Darius?" Keydo menikmati ekspresi penuh ketakutan dan ketidakberdayaan Rea ketika ia menyebutkan nama Darius. Sepertinya wajah wanita itu tak bisa lebih pucat lagi. Entah kemana perginya darah yang mengaliri wajah tirus itu.
"Bagaimana keadaannya?"
"Aku akan menjaganya dengan baik-baik sampai kau datang."
"Aku akan sampai dalam tiga puluh menit."
"Ok. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Darius." Keydo meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku.
"Dia akan sampai dalam waktu tiga puluh menit," beritahu Keydo. Begitu menikmati ketakutan yang menelan Rea hidup-hidup. "Persiapkan dirimu, Rea. Dan kuharap kau bisa tidak peduli."
Rea tersentak. Kepanikan berlumur ketakutan merayapi dadanya membayangkan Darius akan segera datang dan Keydo akan memberitahu semua tentang Raka.
Tidak ...
Darius tidak boleh tahu.
Ia tidak bisa membiarkan Raka menderita karena dirinya.
Keydo menyeringai, matanya tampak kejam penuh kemenangan menikmati kepanikan Rea. Lalu, pria itu berbalik, berniat melangkah pergi karena merasa sudah puas.
"Tunggu, Keydo," cegah Rea. Menarik lengan Keydo dan menahan pria itu pergi. Mengabaikan rasa sakit di tangannya oleh jarum infus yang terpasang di punggung tangan.
Keydo berhenti, membalikkan badan dan melirik tangan Rea dengan dingin.
Dan dengan seluruh sisa keberanian yang Rea miliki, dengan seluruh harga diri yang sudah ia campakkan, ia akan memohon, "Aku ... aku mohon padamu. Aku akan melakukan apa pun asalkan kau merahasiakan perbuatan Raka dari Darius."
Keydo tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir akan permohonan Rea. "Bahkan sampai akhir kau masih membela pria b******k itu."
"Darius juga tidak akan mendapatkan apa pun dengan membunuh Raka. Semua ini kesalahanku. Aku yang akan menanggungnya."
"Apa kau mengakui kesalahanmu?"
Rea mengangguk sekali. Menghapus airmatanya. "Dari awal akulah yang tidak seharusnya ada di kehidupan Darius. Aku akan menghilang dari hidup Darius dan ... Raka."
"Aku tidak peduli kalau kau menghilang dari hidup Raka. Tapi dari hidup Darius? Apa kau pikir semudah itu?" maki Keydo.
"Dia sudah mengemis padamu dengan anak itu, Rea. Dan sekarang setelah anak itu lenyap. Apa kau ingin Darius bersujud untuk menahanmu?"
"Kau bilang aku tidak pantas mendapatkan cinta Darius. Aku tahu kau bisa membantuku menghilang. Lalu ..." Rea merasakan sayatan itu lagi di d**a. "... kau bisa membantu Darius untuk mencintai Sherlyn. Bukankah itu yang kau inginkan?"
"Dan kau bisa menikmati kebebasanmu?" cibir Keydo. "Aku tidak menyangka kau bisa selicik ini, Rea. Lepas dari cengkraman Darius, membuat Raka aman dan kau bisa hidup bebas. Kau pikir aku bodoh?"
"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Rea histeris, suaranya meninggi dan berlumur kefrustasian. "Apa kau ingin aku menikah dengan Darius dan menghabiskan sisa hidupku dengannya?"
"Darius bisa mendapatkan semua itu dengan mudah darimu, Rea. Tidak bisakah kau memberiku tawaran yang lebih menarik untuk pengakuan dosamu?"
"Memangnya apa yang kau harapkan dariku, Keydo? Aku tidak punya apa-apa lagi." Rea benar-benar merasa putus asa.
Keydo mengangkat tangannya, mengetuk-ngetukkan jemarinya di dagu. Tampak memikirkan sesuatu. "Darius sudah pernah kehilangan seseorang. Aku tidak ingin memberikan pengalaman mengerikan itu secara beruntun setelah ia kehilangan bayinya."
Rea diam. Walaupun ia ingin tahu siapa seseorang yang dibicarakan Keydo, tapi ia menahan diri. Bukan hal itu yang terpenting saat ini.
"Kau punya sesuatu yang harus kau berikan padanya, Rea."
"Jika yang kau maksud itu tubuhku. Maka aku akan memberikan padanya, aku akan melakukannya, Keydo," ucap Rea marah. Ia tidak peduli lagi pria itu akan menganggapnya p*****r atau apa pun. Saat ini, ia benar-benar tidak bisa memikirkan apa pun.
"Ya, kau akan memberikannya." Suara Keydo pelan.
"Berikut dengan hatimu," tambah Keydo selang beberapa detik setelah kalimat pertamanya selesai.
Rea membelalak. "Apa? Apa maksudmu, Keydo?"
"Pernikahan, tubuhmu, hatimu. Berikan semua itu pada Darius dengan sukarela, Rea. Darius tidak pantas mengemis cinta padamu. Apalagi bersujud hanya untuk memilikimu. Dia tidak akan melakukan itu. Dia tidak pantas berdarah hanya untuk menggenggam sebuah mawar berduri tak berharga sepertimu."
Rea menelan apa pun itu yang ingin ia ucapkan. Hatinya nyeri tanpa alasan yang tidak ia ketahui oleh penghinaan Keydo atas dirinya. Namun, ia bahkan sudah tidak bisa memedulikan semua itu. Ia tidak berhak marah saat sudut hatinya membenarkan penghinaan Keydo.
Setelah semua yang Darius lakukan dan berikan selama ini, pria itu memang tidak pantas terluka karena dirinya. Wanita rendahan dan tak tahu diri. Tidak tahu terima kasih seperti dirinya.
"Lakukan apa yang dilakukan Sherlyn untuk Darius. Setialah padanya. Tuluslah padanya. Inginkan dia. Dan pujalah dia, Rea."