Part 14

1691 Words
"Apa ... apa kau memintaku untuk mencintai Darius?" Keydo mengangguk mantap. "Kau tidak bisa memaksa siapa pun untuk mencintai seseorang, Keydo," protes Rea. "Bukankah seorang istri hanya akan mencintai suaminya?" Rea termenung. Ya, hanya seorang suamilah yang berhak mendapatkan cinta istrinya. Dengan menyetujui pernikahan yang ditawarkan Darius, Rea harus mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk suaminya. Seluruh hatinya hanya akan untuk suaminya, Darius. Dan ... bisakah dia? "Bagaimana, Rea?" Salah satu alis Keydo terangkat menunggu jawaban Rea. "Kau tidak bisa memilih siapa orang yang kau cintai." "Ya. Tapi aku ingin kau mengerahkan semua hal yang kau miliki untuk membuatmu menginginkan Darius. Hanya akan ada Darius di hatimu. Bahkan semua hal yang kaulakukan hanya untuk Darius." "Kau tahu aku tidak bisa menjanjikan hasilnya, Keydo. Tapi kau bisa memegang janjiku atas usahaku." Rea mengalah. "Ok. Kau punya waktu seumur hidupmu untuk berusaha. Dan sekali saja kau mencoba menyakiti Darius, aku akan memastikanmu menyesalinya." Kliikk ... Suara pintu yang dibuka membuat Rea dan Keydo menoleh mke arah pintu yang dibuka dengan gerakan terburu-buru, berikut langkah kaki sosok yang memasuki ruangan itu. "Apa yang sebenarnya terjadi, Keydo?" desis Darius langsung mengarahkan pandangannya ke arah Keydo yang berdiri di samping ranjang Rea. Marah, khawatir, panik, dan terluka. Tidak tahu ekspresi mana yang paling mendominasi wajah Darius. "Tenanglah, Darius," jawab Keydo. Mundur dua langkah ke belakang memberi tempat bagi Darius untuk berada dekat dengan Rea. Itu bukanlah kalimat yang ingin didengar dan bisa menenangkan Darius saat ini. Dengan langkah besar-besar ia menyeberangi ruangan. Duduk di pinggir ranjang dan melemparkan tatapan tajamnya yang menyala karena amarah. Pada Rea. "Apa dia benar-benar sudah tidak terselamatkan?" Rea membeku, bukan karena pertanyaan Darius. Namun, sudut mata Darius yang tampak memerah dan sedikit basahlah yang membuat Rea tak bisa mengeluarkan suara. Apakah Darius menangis? Menangisi anaknya? Menangisi anak mereka? Apakah Darius juga merasa kehilangan dengan bayi mereka? Ada desiran halus yang menyentuh hati Rea menyadari bahwa Darius begitu terluka karena bayi ini. Bagaimana mungkin orang sekejam Darius bisa meneteskan airmata untuk sesuatu yang sangat kecil yang bahkan belum pernah dilihat. "Apa kau sengaja melakukan ini, Rea?" Darius memicingkan mata ke arah Rea. Awalnya dia mengira darah daging di perut Rea hanyalah kelicikan yang ia gunakan untuk menikahi wanita ini. Darius tidak pernah menyangka akan seterluka ini kehilangan bayi itu. Rea masih membeku. Takut sedikit saja kesalahan akan membuat nyala di mata Darius semakin membara. "Jangan berpikir kau bisa lepas dariku hanya karena bayi itu sudah lenyap, Rea," ancam Darius, dan dengan usaha tingkat tingginya menahan amarah karena wajah pucat Rea, ia mempertahankan gerakan tegas dan lembutnya untuk meraih pundak Rea. Takut lebih sedikit saja tekanan jemarinya di pundak Rea akan menyakiti wanita itu. "Jika kau sengaja melakukan semua ini, aku pastikan kau akan menyesali perbuatanmu itu," desis Darius. Ancaman Darius benar-benar membuat tubuh Rea menggigil. Di tambah tatapan tajam Darius, membuat tubuhnya seakan langsung menciut dan tak berkutik. Sudut matanya sedikit melirik ke arah Keydo yang ada di belakang Darius. Harap-harap cemas akan keputusan Keydo. Dan saat ia melemparkan tatapan tak berdayanya, ia malah melihat salah satu sudut bibir Keydo menyeringai. Sepertinya pria itu sangat menikmati ketakutannya. Dan tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah akan nasibnya selanjutnya. Sampai kemudian seringai itu menghilang dari wajah Keydo, digantikan ekspresi tenang bercampur tatapan penuh ancaman pada Rea. Ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh pundak Darius sambil berkata, "Tenanglah, Darius." Darius mengabaikan sentuhan dan kata-kata Keydo, mengguncang tubuh Rea sekali, "Katakan padaku, Rea. Apa kau sengaja melakukannya?" "Itu hanya kecelakaan, Darius." jawab Keydo menggantikan Rea. Darius terdiam. Kali ini ucapan Keydo berhasil menarik perhatiannya. Kepalanya menoleh menatap Keydo tak terbaca. "Dia terlalu takut padamu untuk mengatakan bahwa ini kesalahannya. Tapi ini hanyalah ketidaksengajaanya. Aku bisa pastikan itu, ia terpeleset di tangga cafeku." jelas Keydo. Darius kembali menoleh ke arah Rea. Melihat wajah Rea yang penuh ketakutan dan pipi yang basah oleh airmata yang tidak dilihatnya tadi. Apakah dia terlalu menakutkan sampai wanitanya menangis seperti ini? Dan dalam sedetik itupun ia tersadar. Tatapan matanya mulai melembut melihat wanitanya yang tampak begitu pucat, entah karena keguguran itu atau karena ketakutannya pada dirinya. Muncul penyesalan kenapa dia tidak menahan diri sementara dulu melihat keadaan Rea yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Kemarahannya tidaklah penting dibanding kesakitan yang sudah dialami wanita ini. Ia menarik tubuh Rea, merengkuhnya ke dalam lengannya dengan sentuhan yang selembut mungkin. Takut menyakiti kerapuhan wanita ini. Sambil mengelus lembut rambut Rea, ia berbisik, "Maafkan aku, Sayang." Rea tercenung mendengar permintaan maaf yang dibisikkan Darius padanya. Ini adalah permintaan maaf pertama kali yang didengarnya dari bibir Darius. Kepada dirinya atau kepada siapapun. Ya, seorang dengan reputasi yang kejam dan mudah naik darah seperti Darius, tidak akan mungkin mengucapkan kata-kata seperti itu seumur hidupnya. Mendengar kalimat itu diucapkan padanya, membuat d**a Rea sesak oleh sesuatu. Entah senang? Rasa bersalah? Lega? Ia tidak tahu perasaan mana yang lebih bergejolak di dadanya. "Good!" Keydo mengucapkan kata tersebut hanya dengan gerakan mulut dan tanpa suara. Kemudian membalikkan badan dan melangkah menuju pintu. *** "Apa kau tahu kenapa kau tak tahu?" Suara itu membangunkan Rea dari tidurnya. Suara yang selalu menyambutnya di pagi hari ketika ia membuka mata. Hanya saja, ada yang berbeda dari suara itu. Hampir terdengar seperti sebuah geraman amarah. Rea mengerjapkan mata sekali, lalu mencobanya kembali agar pandangannya menjadi lebih jelas. Sampai kemudian ia melihat Darius yang berdiri memunggunginya. Di dekat dinding kaca ruangan dan sedang berbicara pelan pada sesuatu yang ada di telinga sambil menatap keluar dari balik dinding kaca yang menampakkan pemandangan kota di senja hari dan terlihat sangat memukau. Darius masih mengenakan kaos polo dan celana khaki yang dikenakan sejak tadi. Menjalarkan tangan ke rambut dengan gerakan kasar, sangat gelisah, bahkan tegang. Rea mengerutkan kening. 'Apa ada yang salah?' 'Apa Darius meninggalkan sesuatu yang penting karena dirinya dan bayinya?' "Bilang pada mereka waktu mereka hanya tiga hari. Aku tidak butuh alasan sialanmu itu." Darius berbalik dan melihat Rea yang sudah terbangun, dan seluruh sikapnya langsung berubah. Dari tegang menjadi lembut seketika. Segurat senyum bahkan masih bisa muncul di sana untuk Rea. "Tetap informasikan padaku!" Darius membentak dan memutus panggilan sambil melangkah ke arah ranjang. Rea mengamati wajah Darius. Ada sesuatu yang salah, ketegangan di rahang dan kecemasan di sekitar mata pria itu. Ia bisa melihatnya. "Apa aku membangunkanmu?" tanya Darius lembut sambil duduk di samping ranjang. Tangannya terangkat mengelus pipi Rea. "Apa ada yang salah?" tanya Rea. Darius menggeleng sekali. "Aku sangat senang keadaanmu semakin membaik. Mungkin besok kita bisa pulang jika kau tidak ada keluhan lagi." Rea hanya mengangguk. Walaupun ia masih merasakan sedikit nyeri di perut, tapi ia masih bisa menahan rasa sakit itu. Lagi pula, ia tidak suka berlama-lama di rumah sakit. Membuatnya kembali mengingat sesuatu yang membuat dadanya sesak. "Dan lusa kita akan menikah. Aku ingin kau mempersiapkan dirimu." "Apa?" Mata Rea membelalak. Segera ia bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap Darius. "Kenapa? Apa kau masih berpikir untuk menghindari pernikahan ini?" Rea membungkam. Menelan apa pun itu yang ada di mulutnya ketika melihat ada kilatan amarah di mata Darius. Masih cukup jelas tampak di sana. "Jangan pernah berpikir kau masih punya kesempatan dengan pria itu walaupun anakku sudah tidak ada, Rea. Aku sudah pernah mengatakannya padamu. Tanpa atau dengan adanya anak itu dan dengan sukarela ataupun keterpaksaanmu, aku tetap akan menikahimu." Darius mengulangi kalimat yang diucapkannya beberapa hari lalu pada Rea. Penuh peringatan sekaligus ancaman. "Aku masih mengingatnya, Darius. Tapi tidak mungkin secepat ini, bukan?" Rea berdalih. Mencoba membangun keberaniannya di bawah intimidasi Darius. "Aku bahkan sudah mempunyai niat menikahimu ketika aku datang tadi pagi, Rea. Karena aku sangat marah padamu ketika Keydo mengabariku tentang keadaanmu. Aku memberikan toleransiku karena ini hanyalah sebuah ketidaksengajaanmu. Sekarang, kau tahu aku tidak bisa menoleransi apa pun itu alasanmu." "Aku bahkan baru keluar dari rumah sakit, Darius. Aku tidak punya cukup tenaga untuk rencana gilamu itu." "Itu hanya alasanmu, Rea. Kita hanya butuh pengantin, cincin, saksi dan pendeta. Aku sudah memiliki semuanya. Tidak peduli walaupun kau masih berbaring di ranjang ini, aku tidak akan mengubah rencanaku." Tatapan dan kalimat Darius tegas dan tak terbantahkan. "Tapi ..." Rea kehabisan kata-kata. Tak ada alasan yang bisa diterima atau pun bermanfaat jika nada dan tatapan Darius sudah sekeras itu. "Tidak ada penolakan, Rea," tegas Darius sekali lagi. "Kau tahu aku sudah lebih dari cukup mencoba bersabar menghadapi pemberontakan dan kemarahanku padamu tentang anak ini. Mau tidak mau, lusa kita akan menikah." *** "Aku sudah memastikan dia tidak akan muncul di hadapan Darius setidaknya selama beberapa bulan. Apa itu cukup?" tanya Alan pelan begitu Keydo muncul dari pintu ruang perawatan Rea. "Cukup bagi kita untuk memikirkan rencana selanjutnya," jawab Keydo datar. Melangkah melewati Alan dan berjalan menjauhi dua pengawal Darius yang berjaga di depan pintu. "Apa kau yakin dengan semua ini?" tanya Alan lagi setelah keduanya berada cukup jauh dari jangkauan pendengaran siapa pun. "Jika Rea masih begitu peduli dengan Raka, maka ya. Aku yakin dia tidak akan berani bertindak lebih bodoh lagi dari kejadian ini. Lagi pula ..." Keydo menghentikan langkahnya yang diikuti oleh Alan, matanya menatap manik mata Alan dan bertanya, " ... apa kau ingin sepupumu itu mati? Walaupun aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu." Alan mengangguk-angguk lambat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan wajahnya tampak menimbang-nimbang. Ikut yakin dengan rencana Keydo. Menyembunyikan Raka dari lingkungan Darius. Setidaknya ini yang terbaik untuk kesehatan akal Darius dan keselamatan sepupu gilanya itu. "Aku tidak ingin Darius kehilangan akal sehatnya hanya gara-gara wanita sialan itu," desis Keydo. Keningnya berkerut tidak suka mengingat semua obsesi gila Darius karena pengaruh Rea. Alan mendengkus melihat ekspresi yang ditunjukkan Keydo, "Kau hanya belum menemukan wanita yang mampu membuatmu jatuh cinta, Keydo. Saat kau menemukannya, aku yakin kau juga pasti akan gila seperti Darius. Bahkan mungkin lebih licik dan egois daripada Darius." Keydo tertawa hambar, menarik salah satu sudut bibirnya ke atas sebelum berkata, "Ketika jatuh cinta. Selain memakai hati, pakailah otakmu juga, Alan. Dan aku tidak akan kehilangan otakku hanya karena seorang wanita." Alan mendengkus, "Sepertinya itu kalimat yang pernah dikatakan Darius sebelum dia bertemu dengan Rea." Seketika ekspresi di wajah Keydo lenyap, berubah datar dan tak terbaca selama beberapa detik. Sebelum kemudian wajah dan tatapannya menggelap pada Alan. "Sialan kau, Alan," geram Keydo pada punggung Alan yang mulai mejauhinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD