Rea mendongakkan kepalanya dari berkas yang ada ia baca ketika suara decit pintu membuyarkan konsentrasi yang memang sudah susah payah sejak tadi berusaha ia dapatkan, tapi tidak kunjung datang karena otaknya yang masih dipenuhi tentang ibunya. Berkali-kali ia mengumpat dalam hati pada Darius karena setengah mati membuatnya penasaran seperti ini.
Ia melihat Ellen, atasannya. Berjalan mendekat dengan langkah penuh keangkuhan dan tatapan tidak suka wanita itu. "Kenapa Darius datang ke ruanganmu?" tanya Ellen sengit.
Rea terdiam. Sejenak memperhatikan ekspresi Ellen yang tak pernah ramah untuknya. "Da ..." Rea berhenti, memperbaiki kata-katanya, "Tuan Darius?"
"Jangan berlagak bodoh. Aku tadi melihat Darius keluar dari ruanganmu."
Sialan ... Kenapa pria itu tidak berhati-hati? Selama ini Darius tidak pernah ketahuan jika mampir ke ruangannya. Kaki tangan Darius selalu mengawasi keadaan sekeliling ruangan jika pria itu kesini.
Double sialan ... Pasti tadi Darius sengaja menampakkan diri. Entah apa yang tengah direncanakan pria itu.
"Tadi ... tuan Darius menanyakan beberapa hal pada saya." Rea berusaha tidak mengerutkan kening saat memikirkan alasan yang baru saja ia ucapkan.
"Hal apa?"
Rea diam. Mengisyaratkan bahwa arti diamnya adalah dia tidak akan menjawab pertanyaan Ellen.
"Apa kau masih ingin bekerja di perusahaan ini?" ancam Ellen ketika Rea malah membisu. Sama sekali tidak menunjukkan niat untuk menjawab pertanyaannya.
"Saya masih punya kesempatan bekerja di sini jika saya tidak menjawab pertanyaan anda," jawab Rea tenang. Ia sama sekali tidak menutupi nada penuh tantangan pada atasannya itu. Sejak Ellen mencurigai dirinya memiliki hubungan tersembunyi dengan Darius, atasannya itu tidak lagi menutupi ketidaksukaan yang wanita itu miliki pada Rea, dan Rea sama sekali tidak ada niat untuk memperbaiki hubungan pribadi mereka.
"Sepertinya kau semakin pintar saja," cibir Ellen.
"Terima kasih," jawab Rea dengan senyum datar menghiasi wajahnya. Berusaha terlihat senormal mungkin agar kecurigaan Ellen tidak terbenarkan. Walaupun ia tahu kecurigaan itu akan selalu ada.
Ellen mendengkus, tatapannya penuh dengan cemoohan ketika berkata, "Jangan merasa di atas awan, Rea. Kau hanya akan menjadi nomor kesekian bagi Darius. Tinggal menunggu waktu untukmu dicampakkan olehnya."
Rea tersenyum miris dalam hati, berharap doa yang dilontarkan direktur keuangan itu menjadi kenyataan. Namun, ia tetap tidak menunjukkan ekspresi apa pun yang membenarkan kecurigaan Ellen. "Saya hanyalah staff perusahaan yang kebetulan memiliki informasi yang dibutuhkan oleh tuan Darius. Dan saya akan berusaha semampu saya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya agar Tuan Darius tidak mencampakkan saya dari perusahaan ini. Lagipula ... hubungan kami tidak seperti yang Anda pikirkan."
Ellen memicingkan matanya, tangannya mengepal ketika suara Rea sengaja ditekan di kata mencampakkan. Seolah-olah menghina dirinya meskipun bawahannya itu berkata dengan nada dan kalimat penuh sopan santun. "Baguslah, karena kalau hubunganmu dengan Darius terbukti seperti yang kupikirkan. Kau tahu apa yang bisa kulakukan jika kau memanfaatkan kepentingan apa pun itu untuk menjerat Darius, bukan?"
"Ya, saya sangat tahu," jawab Rea datar. Bagaimanapun mengerikannya ancaman Ellen padanya, baginya masih jauh lebih mengerikan ancaman Darius.
Bukan rahasia lagi jika Ellen memuja ayah dari sesuatu yang sedang bertumbuh di dalam perutnya saat ini. -Sudut bibir Rea tertarik ke atas tidak suka saat menamai Darius ayah dari sesuatu di dalam kandungannya-. Bukan rahasia lagi jika Ellen menggunakan kekuasaan wanita itu dengan dengan semena-mena pada karyawan lainnya yang dengan sengaja menggoda untuk menarik perhatian si pemilik Farick Industries sekaligus pewaris tunggal Farick Group itu. Walaupun, sayangnya tidak ada wanita mana pun yang cukup beruntung menarik perhatian seorang Darius Enrio Farick. Termasuk wanita cantik yang berdiri di hadapannya yang lebih segala-galanya daripada dirinya.
Rea meratapi nasibnya, dari sekian banyak wanita semacam Ellen yang ada di sekitar Darius, -yang dengan suka rela berlari kedalam pelukan pria itu- kenapa pria itu malah tertarik untuk menikahi wanita seperti dirinya.
Rea menghempaskan punggungnya di sandaran kursi ketika Ellen menghilang di balik pintu. Yang ia yakini, menghilangnya wanita itu berarti pekerjaan yang menguras tenaga akan segera menghampirinya. Wanita itu selalu dengan sengaja melemparkan setumpuk pekerjaan -yang tidak penting, yang tidak ada hubungannya dengan posisinya, yang masih bisa ditunda, akan tetapi harus diselesaikannya saat itu juga- hanya untuk menyiksa pada bawahan yang membuat mood wanita itu terusik.
Perkiraan itu terbukti benar ketika terdengar dering suara telfon di mejanya.
"Ya, Pak?" jawab Rea di deringan pertama ketika atasannya itu menghubungi.
"Ke ruanganku sekarang!" ucap Dedi, atasannya dengan suara kasar.
"Baik, Pak."
Rea menghembuskan nafasnya dengan berat sambil mendesah kesal. Bahkan pekerjaannya yang masih menumpuk di mejanya belum selesai, sekarang ia harus mendapatkan pekerjaan tambahan.
Semua ini gara-gara DARIUS!!!
***
Rea menutup dokumen yang ada di hadapannya tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul empar sore. Tidak peduli jika atasannya itu besok akan memaki dirinya karena belum menyelesaikan laporan keuangan untuk bulan ini. Lagipula, bagaimana ia menyelesaikan laporan dengan benar jika semua data-data yang ia perlukan bahkan belum lengkap seperti ini. Dedi menyuruhnya menyelesaikan dulu apa yang ada, yang lainnya bisa menyusul. Yang benar saja ... Saat data itu sudah terkumpul dan tentu saja ia yang akan memperbaikinya sekali lagi. Ia tahu pekerjaan yang baru saja ia selesaikan hanyalah sia-sia belaka. Seharusnya Darius memecat direktur macam Ellen itu.
Lalu di sinilah ia sekarang berdiri, di depan pintu utama bangunan megah 'CASAVEGA MEDICAL CENTER'. Ia mengikuti Ben yang berjalan mendahuluinya menuju lift. Berhenti di lantai 15, sambil mengabaikan kemegahan rumah sakit milik keluarga Darius itu, ia meremas kedua tangannya yang gemetar. Takut apa yang akan ditunjukkan Ben padanya.
'Walaupun tidak dengan kondisi seperti yang kau harapkan.' Kalimat Darius masih terngiang jelas di kepala Rea. Memangnya seberapa parah keadaan wanita yang telah melahirkannya itu?
Rea menggigit bibir bagian dalam ketika Ben memberikan isyarat pada dua penjaga berjas hitam di depan sebuah pintu untuk membiarkan dirinya masuk. Ia pun mengangkat kedua kakinya dengan berat saat salah satu penjaga membukakan pintu untuknya.
Napasnya tercekat saat melihat keadaan wanita paruh baya yang tertidur dengan tenang di atas kasur, ditemani berbagai macam alat penunjang kehidupan yang terpasang hampir di seluruh tubuh.
Sebenarnya sakit apa wanita itu sampai dipasang alat sebanyak ini?
***
Rea menutup wajah dengan lengannya saat menghempaskan tubuh di atas kasur. Setelah melempar sembarangan tas dan tanpa melepas stiletto hitamnya sebelum naik ke atas kasur. Matanya mengalirkan cairan bening yang ia tahan sejak di rumah sakit. Perasaan sesak menekan dadanya mengingat percakapan dengan dokter yang menangani ibunya beberapa jam yang lalu .
"Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir."
"Apa?" Rea hampir tidak bisa menahan tubuhnya untuk berdiri ketika mendengar vonis dokter itu. Jantungnya terasa direnggut dengan paksa dan secara tiba-tiba dari d**a.
"Apa anda baik-baik saja?" tanya dokter paruh baya itu sambil menyodorkan sebotol air putih yang dipegang pada Rea.
Rea segera menyambar air putih tersebut dan meneguknya dengan tangan yang mulai bergetar. Sambil menenangkan diri yang memang mustahil untuk ditenangkan sejak Darius memberitahu tentang ibunya tadi siang. "Lalu apa yang akan dokter lakukan?" tanya Rea parau.
Dokter itu terdiam cukup lama, mengamati baik-baik ekspresi wajah Rea. Sebelum akhirnya memantapkan hati untuk memberitahu Rea yang sebenarnya. "Tumornya sudah mulai menyerang paru-paru dan menyebar ke ruas jantung kiri. Kita hanya bisa mengharapkan keajaiban dari vonis yang kami berikan."
"Bagaimana dengan operasi?"
"Sangat sulit untuk memperkirakan peluang keberhasilan."
"Apakah itu artinya dia akan ..." Rea menelan suaranya kembali, tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Setidaknya dengan alat bantu pernafasan yang kami berikan, kami hanya bisa memperpanjang masa hidupnya selama ... seminggu."
Seminggu?
Setelah berusaha mencari keberadaan ibunya selama sepuluh tahun lebih, dan kini ia hanya diberi waktu selama seminggu untuk bertemu dengan ibunya?
Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Apa yang harus ia rasakan terhadap ibunya?
Haruskan ia membenci ibunya dengan sisa waktu yang dimiliki wanita itu karena telah mencampakkannya di masa lalu?
Haruskah ia membenci ibunya karena tidak punya waktu untuk menanyakan alasan wanita itu mencampakkan dirinya?
Atau ... Haruskah ia bersedih karena ibunya akan pergi dan meninggalkannya sekali lagi?
Sepasang lengan kokoh yang melingkari pinggangnya membuyarkan lamunan Rea. Ia sangat tahu siapa pemilik lengan tersebut. Sudah mengenal dengan baik dan terbiasa dengan sentuhan Darius pada tubuhnya. Namun, Rea hanya diam saja, sama sekali tidak punya kekuatan untuk menghempaskan lengan tersebut.
"Apakah kau menyesal telah bertemu dengan ibumu?" bisik Darius di telinga Rea, sebelum memberikan kecupan ringan di bibir Rea yang tidak tertutupi lengan.
"Kau mempertemukan kami hanya untuk memperlihatkanku kematiannya," jawab Rea dingin penuh ironi. Tanpa mengangkat lengannya yang masih menutupi kedua mata.
"Aku tahu kau akan lebih menyesal jika aku tidak mempertemukan kalian sebelum semuanya terlambat." Darius menarik tubuh Rea semakin erat ke dalam pelukannya. Memiringkan tubuh Rea membelakanginya, membuat punggung Rea menempel di dadanya dan menenggelamkan wajahnya di rambut Rea yang lembut dan harum. Menghirup dalam-dalam aroma yang selalu tidak pernah membuatnya bosan itu.
Rea hanya diam diperlakukan seperti itu oleh Darius, entah karena dia terlalu letih untuk melawan atau hatinya meringis karena membenarkan ucapan Darius yang selalu benar mengenai dirinya. "Bagaimana kau menemukannya, Darius?"
"Dia dirawat di rumah sakit temanku. Mereka menunggu persetujuan wali untuk melepas alat bantu pernapasannya atau ... melakukan operasi."
"Apakah dengan operasi dia punya kesempatan untuk hidup?"
"Bukankah Teddy sudah menjelaskannya padamu."
"Aku ingin dia hidup," gumam Rea pelan. "Aku ingin menanyakan sesuatu padanya."
"Aku bisa mengerahkan semua yang kumiliki untuk membuat ibumu hidup, Rea. Tapi kau juga sudah mendengar apa yang dikatakan Teddy padamu, bukan?"
Rea tidak menjawab.
"Apa kau mampu melihat ibumu lebih menderita daripada sekarang?"
"Kami tidak bisa melakukan apa pun untuk pasien selain alat bantu pernapasan yang kami berikan dan penghilang rasa sakit yang tidak akan bertahan lama. Melakukan operasi juga tidak akan membantu. Selain karena tingkat keberhasilannya yang sangat rendah, kami tidak bisa menyebabkan pasien kami lebih tersiksa lagi."
Rea kembali memejamkan matanya mengingat penjelasan dokter Teddyy. "Dia sudah meninggalkanku. Membuangku. Bukankah seharusnya dia hidup dengan baik?" gumam Rea letih. Rasa takut menjalar dari mulut menuju dadanya.
Darius hanya diam, lengannya menarik Rea semakin erat ke dalam pelukannya sebelum berbisik, "Tidurlah. Sudah malam."
***
Rea terbangun ketika merasakan hangatnya sinar matahari pagi menerpa wajahnya. Sepertinya ia lupa menutup gorden jendela kamar. Masih dengan mata yang terpejam ia berbalik membelakangi jendela kamar, berniat melanjutkan tidur. Namun, sebuah kecupan ringan dan dingin membuat matanya langsung terbuka sempurna dan terperanjat kaget saat menyadari siapa sosok yang menciumnya baru saja.
Darius tersenyum cerah melihat keterkejutan di wajah Rea, "Bangun, sayang."
Rea mengerjap, menajamkan penglihatan yang sempat mengabur karena baru bangun dari tidur. Sepertinya, tadi malam ia benar-benar kalut dengan masalah ibunya sampai membiarkan Darius bermalam di sini. Segera ia beringsut mundur dan menjauhi Darius yang bertelanjang d**a dengan handuk tersampir di pundak untuk mengeringkan rambut pria itu yang basah sehabis mandi. Cukup lega pakaiannya masih lengkap, menandakan bahwa semalam mereka tidak melakukan apa pun selain tidur bersama, dan berpelukan.
"Apa yang kau lakukan, Darius?" ketus Rea.
"Kenapa kau terkejut melihatku, Rea? Ini bukan pertama kalinya aku tidur di sini," jawab Darius dengan senyum geli menghiasi bibir. Mengabaikan pertanyaan Rea, ia menegakkan punggung. Berbalik dan berjalan santai menuju lemari pakaian Rea yang ada di sudut kamar sambil menggosok-gosok kepalanya dengan handuk.
"Kita sudah putus, Darius." Suara Rea menekan kalimatnya, sambil melemparkan tatapan gerahnya pada Darius yang kini membuka lemari pakaian Lemari pakaian yang sudah setengahnya menjadi lemari pakaian Darius.
"Benarkah?" Darius melempar handuk ke keranjang pakaian kotor dan menarik kaos polo putih dari tumpukan. "Bahkan lemari pakaianmu masih penuh dengan pakaian-pakaianku. Kau seperti mantan kekasih yang tidak bisa melupakanku," ejek Darius sambil membuka lebar-lebar pintu lemari itu.
"Apa aku harus mengemasnya sekarang untuk membuktikan bahwa kita sudah putus, Darius? Aku bahkan tidak perlu bersusah payah untuk melupakanmu," Rea mencibir, menyadari kebodohannya. Kenapa dia tidak mengemas pakaian Darius dari lemari pakaiannya sejak ia meminta putus tiga minggu yang lalu. Lagipula, kemana ia akan mengembalikan pakaian-pakaian Darius yang sengaja tertinggal itu? Ia tidak tahu di mana apartemen atau rumah Darius. Ia selalu menolak ketika Darius ingin mengajaknya main ke tempat tinggal pria itu. Karena sejak awal mereka berpacaran, ia sama sekali tidak ada niat untuk hubungan yang lebih serius. Jadi, ia sama sekali tidak ingin tahu di mana tempat tinggal Darius.
Apa ia harus mengembalikan pakaian Darius saat di kantor? Tentu saja itu tindakan paling bodoh yang pernah terpikirkan di otaknya. Selama ini, ia berusaha menutup-nutupi tentang hubungannya dengan Darius, lalu apa yang akan orang lain pikirkan jika ia mengembalikan sekoper lebih pakaian Darius di kantor.
"Kebetulan sekali kau di sini. Kau bisa sekalian membawanya karena aku tidak tahu di mana tempat tinggalmu," tambah Rea.
Darius menyeringai, ia melangkah mendekati kasur sambil mengenakan kaosnya. "Semalaman kita saling mendekap erat dan tertidur dengan sangat lelap, Rea. Apa aku harus kembali ke atas ranjang dan mendekapmu sekali lagi? Mungkin kita bisa melanjutkannya dengan sesuatu yang lebih panas untuk menyadarkanmu tentang hubungan kita saat ini dan ke depannya?"
Seketika wajah Rea memerah karena malu. Matanya terpejam sambil menarik napas kuat-kuat untuk mendinginkan kepala yang mulai memanas karena berdebat dengan Darius.
"Aku akan mandi," kata Rea ketika matanya kembali terbuka sambil menyibakkan selimut dan turun dari atas kasur dengan segera. Ia tahu ia tidak akan pernah menang jika berdebat dengan Darius.
***
"Aku tidak mau membahayakan kesayanganku," jawab Darius tegas.
"Jangan berlebihan, Darius. Setiap hari aku pergi ke kantor menyetir mobilku sendiri." Rea menatap geram dan mengangkat dagunya sedikit, berusaha membangun keberanian untuk membantah Darius. Sudah cukup Darius mengambil keuntungan dari ketidakberdayaannya tadi malam.
"Tidak untuk sekarang."
Rea mengerang, "Berhentilah bersikap memuakkan, Darius. Kau pikir dengan adanya anak ini dan menemukan ibuku kau akan berhasil mendapatkanku? Kau tidak bisa berbuat semaumu padaku hanya karena kau mengikatku dengan mereka."
"Aku bisa, Rea!" tandas Darius.
"Dan jangan meremehkanku, Darius. Bahkan ikan yang kau bunuh dengan pisau di atas meja dapurmu bisa membalas dendam dan membunuhmu dengan durinya."
Darius menyeringai, "Aku bahkan tidak peduli jika harus mati di tanganmu, Rea."
"Kau benar-benar gila," desis Rea kehabisan kata-katanya.
"Aku tahu," jawab Darius dengan nada penuh keyakinan atas kebenaran ucapan Rea. "Salah satu bukti kegilaanku padamu sudah ada di dalam perutmu. Jadi ... sekarang masuklah ke dalam mobilku atau aku akan menunjukkan kegilaanku yang lainnya padamu sekarang juga," ancam Darius sambil membuka pintu penumpang di sebelahnya.
Rea menatap geram pada Darius dengan mata yang membara. Menahan sesuatu yang bergemuruh di dalam otak. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Bersumpah dalam hati akan segera menyingkirkan anak Darius dari dalam perutnya. Apa pun caranya.
Dengan gerakan kasar Rea mengangkat kaki dan memasuki mobil mewah Darius.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Rea maupun Darius selama perjalanan mereka menuju gedung FARICK INDUSTRIES. Sampai akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh suara dering iphone milik Darius. Setelah memarkir mobilnya di tempat parkir khusus direksi, Darius mengangkat panggilannya.
"Ada apa, Ben?" jawab Darius dingin sambil mematikan mesin.
Rea melepas sabuk pengaman, mengabaikan Darius yang berkonsentrasi mendengarkan laporan apa pun itu dari Ben. Lalu ia membalikkan kepala dengan gusar ketika Darius menahan tangannya untuk membuka pintu mobil. 'Ada apa lagi sekarang?' geram Rea dalam hati.
Rea sama sekali tidak menutupi tatapan dongkolnya pada Darius. "Kenapa lagi? Kau tau aku sudah terlambat, bukan?" ucap Rea sambil melirik jam tangannya dengan kasar.
Darius meletakkan iphonenya dan kembali menyalakan mesin mobil. Mengabaikan tatapan penuh tanya di wajah Rea dan memerintah, "Pasang sabuk pengamanmu!"
"Aku mau kerja, Darius."
"Kau tidak perlu bekerja hari ini." Suara Darius terdengar aneh. Ia menatap lekat-lekat mata Rea, tidak sampai hati membiarkan wanita yang sangat dicintainya ini harus mendengar kabar yang akan ia katakan.
"Kenapa?" Suara Rea meninggi dan semakin dipenuhi kegusaran dengan ekspresi yang terpampang di wajah Darius.
Sejenak Darius terdiam, menarik napas sekali dan menghembuskannya, "Kita harus mengurus pemakaman ibumu!"