Part 6

1516 Words
Bau tajam antiseptik yang menyerang indera penciuman Rea membuatnya terbangun, nuansa kamar yang menyilaukan memberikan rasa pusing dan sedikit mual. Mata Rea mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangan yang sempat memburam hingga membuat matanya basah terasa perih. Merasa bingung dan kehilangan orientasinya sejenak. Lalu, ketika mata Rea terbuka dengan sempurna, dia menyadari tengah berada di atas ranjang rumah sakit. Dengan gerakan ringkih, Rea mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang hampir bisa dikatakan kamar suite sebuah hotel berbintang. Hanya bau tajam antiseptik dan kesterilan ruangan inilah yang membuktikan bahwa ini adalah salah satu kamar rumah sakit. VVIP tentunya. Makan tahulah dia di mana sekarang berada. CASAVEGA MEDICAL CENTER. Ingatan Rea berusaha menelaah, dan kemudian dia teringat ketika Darius memberitahu kabar duka itu, membawanya ke rumah sakit dan mendapati ibunya yang sudah tidak bernyawa. Dengan hati yang berdarah-darah tanpa penyebab yang tidak ia ketahui, Rea berusaha menelan pil pahit itu. Rea juga ingat ketika jantungnya terasa ditarik paksa dari d**a ketika menyaksikan jasad ibunya dikuburkan, dan sepertinya saat itulah ia benar-benar tidak bisa menahan dan jatuh pingsan di tengah prosesi pemakaman. Karena setelah itu, Rea tidak ingat apa-apa lagi kecuali Darius yang menangkap tubuhnya yang limbung ke arah pria itu. Air mata kembali merembes di sudut mata, harapannya kini benar-benar sudah menghilang. Tidak ada lagi kesempatan untuk menemui ibu yang bagaimanapun kesalnya Rea karena telah dicampakkan, tetapi ternyata juga sangat ia rindukan. "Kau sudah sadar?" Darius beranjak dari sofa ketika melihat gerakan kecil dari atas ranjang yang membuatnya mengalihkan perhatian dari macbook dan melangkah mendekati Rea yang sama sekali tidak mengacuhkan dirinya. Rea menghapus air mata dengan punggung tangannya ketika mendengar suara yang sudah sangat familiar bagi indera pendengarannya. "Bisakah kau meninggalkanku sendirian?" Rea membalikkan badannya memunggungi Darius. Mengabaikan perasaan jengkel karena sudah tahu jawaban pertanyaannya bahkan sebelum dia menyelesaikan pertanyaan itu. "Bagaimana keadaanmu?" Darius mengabaikan penolakan Rea. Rea hanya bergeming. "Dokter bilang keadaanmu dan bayi kita baik-baik saja. Jika tidak ada keluhan apa pun, kurasa keadaanmu cukup sehat untuk pulang. Aku akan mengurus kepulanganmu besok pagi." Rea masih bergeming dengan pemberitahuan yang ia dengar. Ingin segera kembali pulang ke apartemen saat ini juga, tapi ia tak punya tenaga untuk berdiri dan melangkahkan kaki. Apalagi jika harus berdebat dengan Darius. Darius berbaring dan mengambil tempat kosong yang ada di samping Rea. Melingkarkan lengan di pinggang Rea, dan memejamkan mata sebelum mengusap lembut perut Rea. Di mana tempat darah dagingnya bertumbuh. Di mana tempat bagian dari diri Rea yang akan menjadi bagian dari dirinya juga. Satu-satunya bagian dari diri Rea yang bisa ia miliki untuk sementara ini. *** Baru saja Rea akan memejamkan mata ketika mendengar getaran di atas nakas. Ponsel yang baru ia aktifkan bergetar dan berkelap-kelip menandakan ada panggilan masuk. Rea pun meraih ponsel dan melihat id pemanggil yang tertera. Pak Raka calling .... Raka? Segera Rea bangkit dari tidur dan menjawab panggilan tersebut tanpa ragu-ragu. "Hall ..." "Akhirnya ...." Terdengar desahan lega di seberang sana bahkan sebelum Rea menyelesaikan sapaannya. "apa ada sesuatu yang terjadi denganmu? Kenapa nomormu tidak aktif tiga hari ini?" Rea tersenyum mendengar pertanyaan penuh nada kekhawatiran yang diucapkan Raka, lalu ia bergumam lembut, "Maaf." "Aku tidak butuh maafmu. Aku butuh kau baik-baik saja. Apa kau baik-baik saja sekarang?" Suara Raka terdengar jelas penuh kekhawatiran. "Iya. Aku baik-baik saja." "Kemana saja kau? Kenapa nomormu tidak aktif?" "Aku ... harus mengurus ... sesuatu." Itu bukanlah sebuah kebohongan, yakin Rea mengabaikan perasaan bersalah yang merayapi hatinya. Selama tiga hari ini Rea memang mengurusi pemakaman ibunya, menginap di rumah sakit dan membutuhkan waktu sendiri di apartemen. Walaupun arti sendiri di sini Darius yang mengambil kuasa atas dirinya. "Aku benar-benar gila kau tiba-tiba menghilang dan tidak bisa dihubungi," gerutu Raka. "Maaf sudah membuatmu khawatir," sesal Rea. "Sudahlah. Kau tidak perlu meminta maaf. Yang terpenting kau baik-baik saja sekarang." Bibir Rea melengkung membentuk senyuman yang sudah empat hari ini tidak terlihat di wajahnya. "Apa kau bisa turun ke bawah? Aku ada di depan gedung apartemenmu." "Apa?!" Rea terkejut dengan informasi yang dikatakan Raka. Sedikit, tapi Rea lebih menyukai tentang keberadaan pria itu yang tidak jauh dari tempatnya berada. "Aku benar-benar sangat merindukanmu dan ingin memelukmu sekarang juga, dan juga ...." Raka menghentikan kalimatnya. Rea terdiam, menunggu kalimat selanjutnya. "... ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Bisakah kau turun dan menemuiku?" "Tentu saja," jawab Rea yakin. "Aku akan ganti baju dan segera turun ke bawah." "Oke. Aku tunggu." Rea menyibakkan selimutnya begitu panggilan itu terputus. Melangkahkan menuju lemari pakaian dan segera menggantikan piyama tidur dengan dress yang bisa digapai tangannya begitu saja. Setelah menyisir rambut sebentar, Rea berjalan melewati ruang tamu dengan langkah besar-besar. Senyum cerah yang merekah di bibir, menemani sepanjang langkahnya. Ia senang akan bertemu dengan pria yang sangat dirindukannya. Rea membuka pintu dan berniat melangkah keluar dari apartemen ketika tubuhnya terhuyung kebelakang karena menabrak sesuatu. Senyum cerah seketika lenyap saat Rea mendongak dan menangkap sosok yang ditabraknya. Darius menyeringai, membatalkan niatnya yang akan menekan password karena pintu sudah terbuka dari dalam. Darius mengamati Rea dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan satu kerutan di dahi. "Mau apa kau di sini malam-malam, Darius?" tanya Rea dingin, tidak nyaman dengan pengamatan Darius. Darius menghentikan pengamatanya, tersenyum, tapi pandangannya tampak dingin dan datar. "Tentu saja untuk mengunjungi kekasihku. Calon istriku," jawab Darius ringan dengan senyum dingin penuh kepuasan saat membenarkan kata calon istriku, "dan mau kemana wanita hamil malam-malam begini keluar?" "Bukan urusanmu!" sengit Rea. Mata Rea menajam ketika Darius sengaja menyebutkan wanita hamil dan membuatnya marah. Rea benci kenyataan tentang keadaan itu. Darius mendengkus. "Apa kau mau menemui Raka?" Rea terkesiap, kemudian matanya menyipitkan penuh curiga, apa Darius melihat Raka di bawah? Apa Darius menemui dan mengatakan sesuatu pada Raka? "Ya, aku melihatnya dan aku sedikit tergoda untuk mengganggunya. Tapi aku tidak mau membuang-buang waktu untuk hal kekanakan semacam itu." Darius melangkahkan masuk, penuh intimidasi yang mau tak mau membuat Rea berjalan mundur kembali ke dalam apartemennya. "Dan sebaiknya kau juga berhenti bersikap kekanak-kanakan dan lupakan mimpi konyolmu. Apa kau pikir Raka masih akan menerimamu setelah tahu ada anakku di perutmu?" Rea mengernyit, tidak bisa membantah untuk tidak memikirkan kata-kata Darius. Merasa ragu apa Raka masih akan menerima setelah mengetahui tentang kehamilan ini. Anak Darius. "Walaupun kecil kemungkinan ... anggaplah mungkin dia mau menerimamu. Lalu ... yang jadi pertanyaan adalah, apakah keluarganya yang masih memegang erat adat istiadat dan sopan santun yang sangat tinggi itu akan mau menoleransi kau sebagai menantu mereka?" Ya, memangnya apa yang bisa Rea harapkan dari dirinya sebagai seorang wanita yang baik-baik? Bahkan seorang Rea yang dulu sebagai wanita baik-baik saja tidak bisa diterima oleh keluarga Raka karena latar belakangnya. Apalagi Rea yang sekarang, pasti bisa dibilang wanita jalang sejak Darius menidurinya dan dirinya, dengan bodohnya sama sekali tidak menolak. Walaupun ia sudah berkali-kali meyakinkan diri, bahwa ia bukanlah p*****r dengan menolak semua fasilitas mewah yang diberikan Darius. Tetap saja, sebagai wanita baik-baik, harusnya Rea tidak membiarkan pria mana pun menyentuh tubuhnya, kecuali pria yang sudah menjadi suaminya nanti. Sebagai wanita, Rea sudah tidak suci lagi. Ditambah, dengan bodohnya Rea mengajukan persyaratan pad Darius untuk menyembunyikan hubungan mereka dari siapa pun. Bahkan sekarang dirinya bisa dibilang sebagai wanita simpanan. "Bahkan selama bertahun-tahun kalian berpacaran, akulah pria pertama yang tidur denganmu," Darius tersenyum penuh kepuasan memuakkan, "aku sedikit penasaran, kira-kira ...." kalimat Darius sengaja digantung, "bagaimana perasaan Raka setelah tahu akulah pria yang sudah menodaimu, kekasih yang selama ini di jaganya." "Hentikan, Darius!" Rea menggeram, tak tahan dengan kata-kata Darius yang sengaja diucapkan pria itu untuk mengusik emosinya. Darius tahu, bahwa kenyataan itu mau tak mau membuat Rea merasa bahwa ia telah mengkhianati Raka. Walaupun, hubungannya dan Darius terjalin setelah hubungannya dan Raka sudah berakhir. Senyum di bibir Darius semakin melebar. "Akulah pria pertama yang menikmati tubuhmu ...." "HENTIKAN!!!" hardik Rea dengan wajah yang memerah karena marah. "Ide bagus." Darius memilih menghentikan topik pembicaraan yang sangat sensitif bagi Rea itu. Sepertinya ia sudah berhasil memengaruhi suasana hati Rea. Senyum di wajah Darius lenyap, digantikan tatapan tajam dan dingin penuh ancaman setelahnya. "Sekarang, kembalilah ke kamar dan ganti bajumu. Atau kau mau aku turun ke bawah dan membuktikan rasa penasaranku tentang bagaimana perasaan Raka tentang anakku?" Rea terdiam, menatap lurus ke arah Darius dan semakin menajam penuh kemuakkan. Darius menyeringai, mencela tatapan Rea untuknya. "Aku benar-benar sangat membencimu, Darius," desis Rea dengan tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya. Kemarahan Rea benar-benar sudah mencapai ubun-ubun. "Setidaknya aku selalu ada di pikiranmu dengan kebencianmu itu, sayang," jawab Darius ringan. Kilatan dingin di mata Darius bercampur tatapan geli dan mencela. Pria ini benar-benar gila, batin Rea. Tidak habis pikir selama ini telah menghabiskan waktu untuk menjalin hubungan dengan pria gila dan kejam macam Darius. Sekali lagi Darius menyeringai melihat Rea yang tampaknya sudah menyerah dengan perdebatan mereka. Penuh kepuasan sadis, Darius berbalik dan mengunci pintu apartemen. Kemudian melangkah mendekati Rea, memberikan kecupan ringan di bibir Rea dan berjalan ke kamar. Tak mengacuhkan kemarahan yang memenuhi wajah calon istrinya. 'Kau akan melihat apa yang mampu kulakukan, Darius. Tunggu saja sampai aku melenyapkan anak ini dari kehidupanmu,' sumpah Rea dalam hati sambil melemparkan tatapan membunuh ke punggung Darius yang menghilang di balik pintu kamar dan bersikap seolah di rumah pria itu sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD