Setelah cukup lama menangis Elina akhirnya bicara. Ia memberitahu semua yang Zee Zee katakan padanya. Ervin menaikkan satu alisnya mendengar tuduhan yang menjadi akar permasalahan mereka.
“Jadi kamu percaya kalau aku… gay?” tanya Ervin sedikit geli saat mengatakan kata terakhir. Elina mengerjapkan matanya lalu menggeleng.
“Mister bukan gay, tapi sedikit aneh,” kata Elina membuat Ervin terdiam.
Dia nggak nyadar kalau dia sendiri lebih aneh, batin Ervin
“Aneh kenapa?” tanya Ervin berusaha sabar menghadapai Elina.
“Aku merasa kita bukan suami istri tapi kakak adik. Mister jarang banget ngerayu aku, terus hampir nggak pernah ngajak jalan-jalan di malam Minggu dan masih banyak lagi yang aneh,” jelas Elina membuat Ervin mengangguk. Ervin akui dia bukan pria romantis dan terkadang masih kaku mengutarakan rayuan untuk Elina.
“Elina, aku bukan pria romantis, tapi aku berusaha untuk itu. Aku bukan playboy yang tiap waktu bisa merayu kamu. Dua semester lagi aku akan lulus untuk itu aku belajar sungguh-sungguh biar dapat nilai tinggi terus dapat kerjaan yang bagus. Aku mau ngumpulin uang buat resepsi pernikahan kita nantinya. Setelah kamu lulus kuliah aku mau pernikahan kita diketahui semua orang,” jawab Ervin membuat Elina terdiam. Ia menatap mata Ervin mencari kebenaran. Elina menundukkan kepala saat melihat kesungguhan suaminya. Elina sadar ia bukan istri yang baik untuk Ervin.
“Mister apa aku cuma jadi beban buat kamu?” tanya Elina. Ervin cukup kaget mendapatkan pertanyaan itu. Ia berusaha sebaik mungkin supaya Elina tidak tersinggung.
“Elina jangan bicara seperti itu. Pernikahan tentu ada manis dan pahitnya, tapi asalkan aku jalaninya sama kamu itu nggak masalah.” Ervin menarik Elina untuk dipeluk. Perasaan gadis itu menghangat ketika Ervin mendekapnya.
“El, aku nginep di kamar kamu, ya, kaki aku masih sakit kalau jalan.”
Elina mengurai pelukannya lalu mengangguk senang. “Sini, tidur di samping aku.” Elina naik ke tempat tidur lalu membersihkan bonekanya yang berserakan. Elina lalu tidur menyamping memberikan Ervin tempat berbaring.
“Aku mau… dikelonin,” ucap Ervin ragu. Ini adalah bagian dari cara romantis bersama istri yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Elina langsung duduk menatap Ervin.
“Tapi Mister aku… aku nggak punya minyak telon,” kata Elina sembari menggigit bibir bawahnya.
“Minyak telon buat apa, El?” Ervin mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Elina.
“Itu, tadi Mister katanya mau dikelonin. Aku nggak punya minyak telon,” sahutnya membuat Ervin mengusap wajahnya kasar.
“Bukan diurut pakai minyak telon, Elina, tapi… tapi… itu….” Ervin terdiam mencoba berpikir kata-kata yang bisa Elina mengerti. Ia sedikit malu ketika mengutarakannya. Wajah Ervin memerah saat mengartikan ucapannya.
“Seperti ini,” kata Ervin memeragakan gerakan tidur sambil memeluk supaya Elina mengerti.
“Mister, aku belum siap kalau malam ini. Besok saja bagaimana?” Wajah Elina memerah, kedua tangannya menyilang di depan dadanya.
“Kamu belum siap untuk apa Elina?” Kini Ervin yang kebingungan. Kenapa sulit sekali bicara dengan Elina hari ini. Apa yang ia maksud artinya selalu berbeda di pikiran gadis itu.
“Mister mau melakukan ‘itu’, ‘kan?” Elina memainkan telunjuknya membuat Ervin menaikkan salah satu alisnya. Dugaan pria itu benar kalau Elina berpikir yang aneh-aneh.
“Bukan itu maksud aku Elina. Dikelonin itu tidur sambil dipeluk kayak bayi,” ucap Ervin jengkel.
Ervin segera memukul bibirnya berkali-kali karena keceplosan. Ia benar-benar malu saat Elina menatapnya dengan mata menyipit. Ervin rasanya ingin kabur dari hadapan istrinya, tapi sayang kaki Ervin masih sakit membuat ia sulit berdiri apa lagi berjalan.
“Oh, Mister mau dipeluk? Bilang dong dari tadi jangan malu-malu.” Elina langsung berbaring lagi kemudian merentangkan tangannya. Gadis itu menepuk sisi tempat tidur yang kosong. Sambil menahan malu Ervin akhirnya berbaring di samping Elina menjadikan tangan gadis itu sebagai bantal. Elina memeluk kepala Ervin sembari mengelus-elusnya dengan lembut.
Jadi begini rasanya tidur sambil dipeluk, batin Ervin.
Wajahnya tepat berada di dekat dua bukit ranum yang belum pernah ia jamah.
***
Minggu pagi yang menyenangkan bagi Ervin. Pagi-pagi sekali Elina bangun memasak di dapur untuk sarapan mereka. Ervin yang sejak tadi duduk di sofa sibuk memperhatikan Elina yang mundar-mandir di depannya. Celemek merah muda bergambar Winnie the Pooh melingkar cantik di pinggang sang istri. Elina datang membawa nampan berisi sarapan.
“Mister mau aku suapi atau makan sendiri? Oh, iya, yang sakit kakinya bukan tangan jadi Mister makan sendiri, ya,” kata Elina lalu pergi dari hadapan suaminya. Ervin menatapnya tanpa kedip, Elina sudah tidak waras. Ia bertanya lalu menjawabnya sendiri.
“Lama-lama dia semakin aneh,” gumam Ervin. Selera makan Ervin perlahan menguap. Ia terdiam menatap sarapan paginya hanya dua potong roti, sebutir telur rebus dan dua sosis. Seperti makanan di posyandu saat selesai ditimbang lalu dikasih sebutir telur rebus kadang bubur kacang hijau yang diplastikin.
Ervin tidak bisa protes. Ia menghargai usaha Elina yang bersusah payah menyediakan sarapan untuknya. Tiba-tiba Elina datang membawa sepiring nasi goreng lengkap dengan sebutir telor dan krupuk.
Ervin menatap sarapannya dan Elina yang berbeda. “Kenapa kamu makan nasi goreng?” tanya Ervin membuat Elina menatapnya. Gadis itu tersenyum lebar sebelum menjawab.
“Mister lagi sakit jadi sarapannya beda. Sudah makan itu saja biar cepat sembuh,” kata Elina lalu menyuapi makanan ke mulutnya. Kali ini Ervin akan protes karena ketidakadilan yang menimpanya pagi ini.
“Elina kaki aku cuma terkilir bukan sakit parah jadi tidak ada hubungannya sama―”
“Mister,” potong Elina. “Kaki Mister sakit, ‘kan?” tanya Elina membuat Ervin mengangguk.
“Orang yang lagi sakit harus makan makanan yang lunak dan mudah dicerna, karena aku nggak bisa masak bubur jadi Mister makan roti, telor sama sosis saja, ya. Aku nggak mau Mister sakitnya lama,” ucap Elina. Gadis itu kembali menyantap sarapannya dengan lahap. Ervin menatap piringnya dan milik Elina beberapa kali dengan tatapan nanar. Percuma menjelaskan pada Elina yang ada kepala Ervin ikut sakit.
Mereka sarapan dalam diam. Elina sesekali tertawa melihat kartun di televisi sementara Ervin menopang dagunya menatap Elina tajam. Ia belum terima atas perlakuan Elina padanya.
“Elina, aku haus. Bisa minta tolong ambil minum?” Elina tidak menjawab, ia bergegas ke dapur mengambil minuman. Setelah Elina masuk ke dapur, Ervin bergegas mengambil sendok dan mulai mencicipi nasi goreng buatan istrinya. Dengan cepat ia berhasil memasukkan tiga sendokan nasi goreng ke dalam mulutnya dengan cepat.
Elina datang tepat setelah Ervin menelan kunyahan terakhirnya. “Terima kasih,” ujarnya. Ervin segera meminum air itu untuk mendororng nasi goreng yang belum sempat ia kunyah sebanyak 32 kali. Elina tidak menyadari nasi gorengnya telah berkurang. Ia kembali menonton sambil makan.
“El,” panggil Ervin.
“Hm?” Mata Elina tidak terlepas sedikit pun dari televisi.
“Bisa ambilkan aku tissue di kamar nggak? Tissue di sini habis.” Ervin menunjukkan kotak tissue yang sudah kosong.
“Mister taruh di mana stoknya?” tanya Elina. Ervin mengangkat salah satu sudut bibirnya.
“Di kamar aku. Cari saja di laci-laci,” kata Ervin. Elina langsung beranjak membuat Ervin kembali beraksi. Baru satu suapan Elina sudah berteriak.
“Mister kok nggak ada?”
Ervin menepuk dadanya karena tersedak, buru-buru ia minum air untuk mendrong makanan masuk. “Coba cari yang benar,” teriak Ervin lalu menyuapi nasi goreng ke dalam mulutnya lagi. Mendengar hentakan kaki Elina membuat Ervin meneguk habis sisa minumannya. Elina datang tanpa membawa tissue yang Ervin inginkan.
“Aku sudah cari-cari nggak ada,” ucap Elina. Ervin menepuk jidatnya berpura-pura ingat sesuatu.
“Aku lupa stoknya sudah habis.”
Elina menggeleng pelan lalu menatap piringnya. “Mister tadi nggak makan nasi goreng aku, kan?” tanya Elina membuat Ervin menegang.
“Kamu bilang kalau aku harus makan yang lunak supaya mudah dicerna biar cepat sembuh, mana mungkin aku makan nasi goreng kamu,” bohong Ervin. “Kamu sendiri yang makan sambil nonton jadi nggak sadar kalau nasinya sudah berkurang,” imbuhnya.
Elina menganggukkan kepalanya menerima alasan yang dibuat Ervin. Elina menyelesaikan sarapanya cepat lalu membawa piring miliknya dan Ervin ke dapur. Setelah Elina pergi Evin mengganti acara televisi. Baru saja ia menikmati kartun petualang Dora dan Boots, Elina sudah kembali.
“Mister aku mau nyuci baju dulu. Kalau ada apa-apa ambil sendiri soalnya aku lagi fokus nyuci. Jangan diganggu,” ucap Elina. Ervin menaikkan satu alisnya. Sebulan yang lalu mereka sudah membeli mesin cuci jadi Ervin rasa Elina bisa lebih santai mencuci baju.
“Aku nitip baju sekeranjang. Tolong cuci, ya, Elina.” Ervin melebarkan senyumnya membuat Elina memandang sinis. Ervin berdeham seraya mengurut kakinya yang terkilir. Elina menghela napas teringat akan kejadian semalam.
“Iya, aku cuci. Per baju seribu rupiah,Mister mau bayar sekarang atau nanti?” tanya Elina. Ervin mengerjapkan matanya untuk beberapa saat.
“Kenapa harus bayar? Aku nggak pernah minta bayaran kalau nyuci baju kamu,” tanya Ervin membuat Elina menghembuskan napas dalam-dalam.
“Haah… Mister mesin cuci itu terus dipakai hampir setiap Minggu sehingga ada biaya penyusutan. Bagaimana kalau mesin cuci itu rusak? Mau cari biaya di mana untuk perbaikannya? Makanya mulai sekarang kita sisihkan uangnya,” ucap Elina membuat Ervin menganga. Sejak kapan Elina jadi perhitungan seperti dirinya.
“Terserah kamu saja, El. Aku bayarnya nanti setelah bajunya disetrika,” ucap Ervin yang malas berdebat dengan Elina.
“Mister mau sampai di seterika?” tanya Elina membuat Ervin mengangguk. Kali ini Ervin tidak menatap istrinya melainkan televisi yang menayangkan saat Dora bertanya pada peta.
“Hmm.”
“Kalau sampai di seterika beda lagi harganya,” ucap Elina membuat Ervin menatapnya tidak percaya.
“Apa? Beda harga lagi?”
Elina mengangguk. “Harga seribu itu untuk biaya penyusutan mesin, nah kalau ditambah nyetika berarti satu baju bayarnya tiga ribu rupiah. Ada biaya listrik, tenaga sama penyusutan setrika,” jelas Elina membuat mulut Ervin terbuka lebar.
“El, jangan perhitungan, dong. Tiap bulan yang bayar listrik aku.”
“Mister, kita harus coba menghemat. Lagi pula biaya itu bukan untuk aku.” Elina memamerkan senyumnya membuat Ervin memalingkan wajah.
“Siapa yang ngajarin dia perhitungan kayak gitu?” gumam Ervin yang masih bisa didengar oleh Elina.
“Aku belajar banyak dari Mister. Aku pintar, ‘kan?”
Ervin menepuk jidatnya pelan. Kalau ini Ervin tidak bisa membantah. Sekarang ia merasakan bagaimana perasaan Elina setiap kali ia meminta biaya tambahan.
“Sudahlah, nanti aku saja yang nyuci,” kata Ervin membuat Elina mengepalkan tangannya.
“Nah, gitu dong.”