“Jadi? Kau benar-benar menungguku sampai pulang? Aku sedikit terkejut melihatnya,” ungkap Dean disela-sela makan siang mereka.
“Tidak bisakah kau makan saja tanpa berbicara hal yang tidak penting? Tentu saja aku menunggumu karena menghormatimu sebagai tuan rumah, lagipula kita tidak saling kenal dan kau tidak mengizinkanku untuk pergi keluar.” Luna menjawab dan kembali membuat ruangan itu menjadi hening.
Dean hanya terdiam saat Luna berkata seperti itu dan kembali fokus kepada makanan yang di depannya. Begitu juga dengan Luna yang menikmati makanan itu, karena ia terkadang berpikir bahwa itu akan menjadi makanan untuk terakhir kalinya sebelum ajalnya dijemput, tentu saja Luna takut jika Dean tiba-tiba memutilasinya dan membuang potongan jasadnya ke laut.
“Luna, sebaiknya kau cepat menyelesaikan makan siangmu. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ungkap Dean dan kemudian pergi meninggalkan Luna sendirian di meja makan yang besar.
“Gila! Emang dia siapa?” gerutu Luna pelan dan sedikit menghentakkan pisau yang dipegangnya.
Setelah Dean benar-benar meninggalkan ruangan itu, Luna mulai merasakan hembusan angin aneh pada tubuhnya. “Sial! Ruang makan macam apa seperti persembahan untuk setan ini,” gumam Luna dan merinding melihat bagaimana keadaan ruangan itu.
Sebuah ruangan bercat merah gelap dengan beberapa warna hitam yang ada sebagai pemanis, meja makan hitam pekat dan hidangan yang ada terdiri dari makanan yang penuh cabai, sehingga terlihat seperti bewarna merah darah. Perpaduan semuanya membuat Luna benar-benar seperti memakan bangkai untuk disembahkan ke setan.
“Aku sudah selesai, sepertinya aku benar-benar harus segera pergi dari sini,” ucap Luna dan dengan segera meninggalkan ruangan itu menuju tempat keberadaan Dean.
Luna berjalan keluar dengan pelan-pelan karena mansion yang sangat besar itu membuatnya bingung dan sedikit gugup, meskipun sebenarnya Luna sudah terbiasa berada di mansion mewah, tapi tetap saja yang sekarang diinjakinya itu merupakan rumah seorang pembunuh.
“Aku sepertinya terlalu cepat menyimpulkan kalau ia seorang pembunuh,” gumam Luna dan melihat-lihat mansion yang besar itu dari bawah.
“Dimana Dean sialan itu,” gerutu Luna. Ia sedikit kesal karena Dean tidak memberitahukan kepadanya dimana ia harus pergi.
“Apa di ruang kerjanya? Entahlah, sepertinya aku harus mengeceknya.”
***
Sebuah tamparan keras melayang di pipi mulus milik Luna. Dean dengan cepat mencengkram rahang Luna setelah tubuh Luna tersungkur di atas lantai keramik miliknya. Luna langsung mengubah ekpresi pandangannya menjadi penuh dendam kepada Dean, hal itu membuat Dean tertawa kecil dan semakin menguatkan cengkramannya.
“Jalang kecil, sepertinya kau terlalu berani dan besar kepala karena telah kuberikan sedikit kebebasan.”
Dean melepaskan tangannya dan kemudian ia melayangkan kakinya yang masih memakai sepatu pantofel keras itu ke kepala Luna dengan keras. Suara dentuman keras terdengar dan disusul dentuman keras kembali, bagian belakang kepala Luna terantuk dengan sangat kuat ke lantai yang ada di ruangan kerja milik Dean itu.
“Dasar anjing kecil sialan!” umpat Luna seraya meraba kepalanya yang sangat sakit karena terbentur itu. Luna merasakan pusing yang luar biasa dan keseimbangan tubuhnya yang sepert tidak berfungsi, bahkan tangannya sedikit tremor karena bagian penting dari kehidupannya itu terbentur dengan sangat keras.
Dean yang mendengar umpatan Luna semakin kehilangan kesabarannya, “Kau sepertinya benar-benar ingin bermain denganku ya?” ujar Dean dan meraih kaki sebelah kanan Luna.
Dean menyeret wanita itu menggunakan satu tangannya dan keluar dari ruangan kerjanya. Dean membawa Luna keluar dari sana dan melewati taman yang ada, Luna yang memang sudah lemas hanya bisa pasrah tanpa perlawanan, kepalanya yang masih berdenyut hebat itu sekarang bolak-balik terbentur oleh batuan kerikil yang ada di taman yang luas itu.
Napas Luna terasa masih sesak dan menderu berat, ia seperti kehabisan oksigen karena Dean tadi sempat memukuli bagian dadanya itu hingga tulang rusuknya berbunyi kuat. Mata sayu Luna tertuju ke atas dan memperhatikan langit-langit yang sudah mulai kembali cerah karena habis hujan deras. Ia tidak menyangka jika dirinya akan berakhir di rumah seseorang yang bahkan identitasnya tidak ia kenali.
Sesampai di rumah besar milik Dean, ia memasuki pintu utama rumah itu dengan masih tetap menyeret kaki Luna dan kemudian berjalan ke arah tangga. Luna yang awalnya tidak peduli, matanya membesar saat melihat Dean menuju ke arah tangga.
“Hei! Apa kau benar-benar tetap menyeretku seperti ini? Dasar k*****t!” maki Luna dengan perasaan yang penuh akan dendam kepada orang yang menyeretnya itu.
Dean yang mendengar makian Luna hanya diam saja dan tetap berjalan tanpa mempedulikan apakah Luna akan kesakitan atau tidak, seakan semua hal yang dilakukannya ini sudah sangat biasa.
“Apa kau benar-benar pembunuh?” celetuk Luna.
Dean masih mengabaikan Luna dan mulai menaiki tangga. Luna mengangkat tangannya dan meletakkannya di bawah kepalanya, “Sial sepertinya ini akan sangat menyakitkan,” gumam Luna.
Saat Dean mulai menaiki tangga, tubuh Luna terasa seperti melayang dengan aliran darah yang ikut mengalir ke bagian otak Luna. Luna merasakan berat yang sangat teramat berat di kepalanya dan pusing yang luar biasa, tidak lama Dean sudah berada di lantai dua dan membuka salah satu pintu yang berada disana. Kemudian ia meraib tubuh lemah Luna dan mencampakkannya ke ranjang.
Mata Luna tertutup karena ia tidak sanggup untuk membukanya lagi, rasa sakit pada otak bagian belakangnya masih sangat terasa. Seakan Luna merasa dirinya geger otak karena perbuatan Dean yang memperlakukannya seperti binatang tadi.
“Buka matamu!” tegas Dean.
Tanpa perlawanan, Luna membuka matanya secara perlahan dan melihat sosok Dean dengan pandangan bawah matanya.
“Apa yang kau mau dariku?” tanya Luna pada akhirnya.
“Aku tidak menginginkan apapun darimu,” jawab Dean dengan nada remeh.
“Hanya saja aku melihatmu sedi-“
“Dean! Mari kita sudahi ini,” ungkap Luna.
“Aku tidak mengerti kenapa kau melakukan hal seperti ini kepadaku tiba-tiba, tapi suatu hal yang pasti. Kau telah melakukan kesalahan besar kepadaku,”
“Kesalahan? Kau pikir aku sebodoh itu?”
“Ya! Kau bodoh!”
Satu tamparan keras kembali melayang ke pipi Luna, Dean membuka ikat pinggangnya dan merasa perempuan yang di depannya itu sudah keterlaluan karena mempermainkan dan bersikap seenaknya kepadanya.
“Kurasa kau harus benar-benar kuberi pelajaran, Luna.”
Sebuah pukulan keras kembali melayang ke pelipis Luna, Dean menghantamkan besi pada ikat pingganya kepada Luna yang masih terbaring lemah di kasurnya itu.
“Bunuh saja aku,” lirih Luna sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang dirasakannya itu.
“Pertama, aku tau kau bukan sembarangan orang. Bahkan aku tidak bisa menemukan identitas aslimu dan sidik jarimu pun tidak terdeteksi di mesin pemindai.” Dean berujar dan kembali melayangkan ikat pinggang besinya itu kepada tulang kering Luna.
“Arghhh! Dasar b******n sialan!!” teriak Luna, ia tidak tahan dengan sakit luar biasa yang ada pada kakinya itu. Luna berpikir pria yang sekarang mendominasinya itu benar-benar mengetahui titik lemah seseorang, ia sudah salah masuk perangkap.
“Kedua, aku tau mengacak-acak lemariku dan rak tempat seluruh buku bacaanku. Kau kira aku bodoh dengan bersikap biasa saja dan baik kepadamu?”
Pukulan keras kembali mendarat ke tubuh Luna, kali ini Dean mengarahkannya area bagian paha sebelah kanan Luna. Luna menggigit bibirnya spontan karena rasa sakit itu menjalar dan seperti aliran listrik yang membuat tubuhnya gemetar.
“Ketiga, aku tau kau sengaja memancingku untuk menangkapmu bukan? Meskipun sangat diluar dugaan, karena anak buahku lah yang menangkapmu duluan sebelum aku bertindak. Kurasa ini berada di luar ekspetasimu,” lanjut Dean.
Dean menaiki kasur yang ada di kamar itu dan merangkak di atas tubuh Luna yang tidak bisa dipungkiri sangat indah. Tangan besarnya membelai wajah Luna dengan tatapan penuh napsu dan pandangan keji, lalu secara perlahan membelai surai Luna yang kemudian Dean menariknya dengan sangat kuat.
“Akhhh!” teriak Luna spontan dan tidak menduga Dean akan menjambaknya secara kasar.
“Bukankah kau seharusnya mengatakan suatu hal? Kurasa banyak rahasia yang seharusnya mulut manismu ini buka, karena jika kau terus menguncinya, kurasa kau akan mati sebagai jalang kotor yang sangat malang.” Dean berbisik pada telinga Luna dan setelah itu melepaskan tangannya.
“Aku pergi dahulu, semoga ketika aku balik kesini, kau dapat menghiburku dengan cara apapun. Jika tidak, mungkin kau akan menjadi makan malam untuk nanti, sama speerti perempuan yang sudah kau makan tadi siang, bukankah daging manusia senikmat itu?” tanya Dean di akhir kalimatnya dengan menyeringai.. Kemudian ia langsung pergi meninggalkan Luna di kamar itu sendirian.
Setelah Dean pergi, Luna langsung menghela napasnya dan membuang napasnya kasar. Rasanya ia sangat sesak sekali, jika melawanpun itu malah akan membuat semuanya semakin panjang. Untung saja sekarang pria itu pergi dan Luna dapat bernapas dengan lega sementara waktu.
Luna berusaha bangkit dari tidurnya, ia memperhatikan ruangan yang sekarang ditempatinya itu dan mencari dimana keberadaan cermin. Manik matanya yang indah itu berhenti pada sebuah meja rias yang kebetulan ada di samping kanannya, Luna berdiri dan pergi kesana. Ia menatap dirinya dari cermin dan melihat semua luka yang ada di wajahnya.
“Good.. Sepertinya tidak ada luka yang terlalu serius,” ucap Luna sudah tenang.
“Untuk sekarang, aku harus mencari cara untuk mencari tau siapa dia sebenarnya,” gumam Luna seraya mengikat rambutnya dengan karet yang didapatnya dari meja rias yang berada di depannya.