Keesokan paginya, Caroline menggeliat dengan mata mengerjap menyesuaikan cahaya di penglihatannya, dan terkejut saat sadar ia tidak tidur sendirian karena merasakan tangan menimpa perutnya.
Seingat Caroline, semalam dirinya tidur di sofa—Ahh ia ingat, Nicholas yang memindahkannya ke ranjang lelaki itu sendiri.
Caroline kemudian bergerak pelan menghadap Nicholas yang masih terlelap. Wanita itu meluruskan pandangannya pada lelaki yang tertidur di sampingnya itu dan dengan gerakan pelan Caroline mengulurkan telunjuknya menyentuh pertengahan di dahi lelaki itu dan terus turun melewati garis hidung mancungnya, sampai akhirnya berakhir di bibir merah nan sexynya dan dengan senyum nakal Caroline menekan-nekan area itu membuat sang empu sedikit terganggu.
Tapi sedetik kemudian, satu ingatan menghantam Caroline, tangannya berhenti berulah di bibir Nicholas. Saat ingatan akan semalam muncul di kepalanya. Pipinya bahkan langsung bereaksi menimbulkan hawa panas disertai munculnya rona merah di sana. Ciuman pria itu tadi malam meski singkat tapi sangat hebat dalam mengecap setiap rasa darinya membuat kulitnya tanpa sadar meremang sekaligus merinding merasakan kembali sentuhan pria yang entah mengapa terasa menyenangkan di hatinya.
Tanpa sadar Caroline menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Dia menyukai sentuhan yang diberikan Nicholas pada bibirnya! Batinnya terkekeh samar dengan tangan menyentuh bibirnya yang dirasa masih ada jejak bibir Nicholas di sana.
"Kenapa tersenyum?"
Glek
Suara bas yang terdengar serak khas bangun tidur mampir di telinga Caroline yang langsung mengangkat kepalanya dan disambut oleh raut bangun tidur Nicholas.
"Kenapa tersenyum sedangkan tidak ada yang membuatmu tersenyum, Em."
"Ahh... Tidak, aku tersenyum memang rutinku setiap pagi." Cetus Caroline cepat dan wanita itu mengumpat dalam hatinya saat dirasa ucapannya ngelantur.
Nicholas mengangkat sebelah alisnya. "Ohya?"
Caroline mengangkat bahunya pelan. "Ya."
"Oke." Sahut Nicholas tersenyum tipis.
"Sorry."
Caroline mengerutkan alisnya. "For what?"
"Untuk luka ini."
Tangan lelaki itu terulur pada bibir terluka Caroline yang sudah mengering, tatapannya tampak menggelap dengan otot-otot wajah bermunculan samar, sedangkan tangannya menyentuh lembut bibir Caroline yang sedetik kemudian meringis karena rasa sakit dari luka itu kembali terasa.
Well, meski luka kecil tapi tetap menyakitkan.
"Dan seharusnya aku tidak membawamu masuk pada kehidupanku."
Caroline yang mendengar ucapan lelaki itu menggeleng. "Kenapa? Aku senang bisa mengenalmu."
Tangan wanita itu bergerak menarik tangan besar Nicholas untuk digenggamnya. "Dan soal menolongmu itu merupakan visi dalam kehidupanku, karena pada dasarnya seorang manusia memiliki visi dari hati nurani untuk saling tolong menolong."
"Tapi tidak seharusnya kau menolongku Caroline, karena aku bukan orang lah baik."
"Jahat bukan berarti hatinya jahat."
"Caroline,"
"Nicholas dengar, aku senang bisa bertemumu, mengenalmu dan aku pun... menyukaimu." Nicholas menatap tak percaya Caroline. Secepat inikah perasaan wanita ini?
"Well, mungkin terlalu cepat dan tidak masuk akal padahal kemarin malam kita baru bertemu untuk ketiga kalinya. Tapi jujur, aku memang telah menaruh rasa untukmu, kau selalu terbayang-bayang di kepalaku, bagaimana kau berbicara, menatapku, dan senyummu yang tipis itu selalu muncul di kepalaku. Dan saat ini aku sangat takut dan tidak suka kau menyuruhku untuk jauh-pergi darimu! Kita bahkan belum genap sebulan mengenal dan aku tidak mengerti kenapa bisa secepat ini perasaan ini tumbuh padamu."
"So, don't tell me to stay away."
Caroline menyentuh tangan besar Nicholas kemudian wanita itu genggam dengan erat, tatapannya menghunus dalam pada sepasang mata biru Nicholas yang balas menatapnya.
"Aku akan berada di sampingmu, dan juga jangan anggap aku perempuan lemah yang tidak bisa apa-apa, mengerti!"
Nicholas tersenyum dan tangannya balas menggenggam tangan mungil Caroline.
"Are you sure?"
Nicholas menatap dalam mata biru Caroline dan di sana ia melihat tatapan kejujuran yang berarti wanita ini serius akan ucapannya.
"Oke, kalau begitu... will you marry me?" dan mendadak Nicholas melamar Caroline.
Sedangkan sang empu melongo terkejut.
"Me-menikah?"
Nicholas mengangguk. "Yes."
"Secepat ini? are you kidding me?!"
"Kenapa? Katanya kau menyukaiku!"
Caroline menggeleng. "Tapi untuk menikah, terlalu cepat Nic, aku rasa."
"It's oke, jangan dipikirkan, lupakan saja." Nicholas memotong ucapan Caroline dengan santai.
"Nic?" ucap Caroline saat melihat Nicholas turun dari ranjang.
"Aku keluar dulu."
Dan sebelum keluar Nicholas sempat mengacak pucuk kepala Caroline.
"Nicholas, kau mau ke mana?!" teriak Caroline dan Nicholas menghiraukan teriakan itu.
"Apa dia marah?" tanya Caroline pada dirinya sendiri saat tak melihat bayangan Nicholas yang sudah tertelan pintu.
***
Caroline keluar dari kamar satu jam kemudian dengan style rapi dan tampak terlihat cantik dengan Jeans hitam dengan atasan kemeja berwarna putih rambutnya dibiarkan tergerai dan tak lupa polesan make up yang tidak terlalu tebal mempercantik wajahnya.
Decakan kagum terus terlempar dari mulut Caroline, terpesona dengan ruangan yang tengah dipijaknya ini.
Mansion yang bernuansa klasik modern ini begitu luas dan elegant serta juga dilengkapi oleh barang antik yang mungkin ternilai harganya, dan di antaranya hiasan yang memanjakan mata terdapat beberapa bingkai foto yang terpajang di dinding atau pun meja rias.
Dan pusat Caroline sekarang tertuju pada sebuah foto yang isinya terdapat dua orang bocah berjenis kelamin berbeda.
Caroline tak melihat wajah dua bocah berbeda insan itu karena wajah si bocah lelaki terlihat menunduk dengan sebuah hoddie menutupi kepalanya, sedangkan tangan bocah itu merangkul si bocah wanita yang sama halnya tidak terlihat wajahnya karena posenya membelakangi kamera.
"Kenapa wajah mereka tak tampak ke kamera?" gumamnya heran. Sampai sebuah bisikan halus terdengar tepat di belakang telinganya.
"Apa yang kau lihat?" tanya suara bas di belakangnya itu yang seketika membuat Caroline memekik pelan apa lagi saat napas si pemilik menyapu lehernya membuatnya meremang.
"Nic... Kau mengagetkanku."
Pekik Caroline sembari membalik tubuhnya menghadap Nicholas yang berdiri tepat di depannya.
"Sedang apa?" tanya Nicholas mengulang.
"Emhhh... Seperti yang kau lihat. Aku hanya melihat-lihat." jawab Caroline mengedikan bahunya.
Nicholas hanya mangut-mangut, lalu tanpa permisi menarik tangan Caroline dan membawanya pergi.
"Mau ke mana?"
"Ikut saja."
Sesampainya di bawah, Nicholas langsung mengiring Caroline untuk masuk ke mobil.
***
Di kursi mobil Caroline terlihat memusatkan pandangannya keluar jendela yang dibiarkan sedikit terbuka sambil menikmati angin yang berembus menerpa wajahnya, sedangkan Nicholas yang berada di sampingnya tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Selama beberapa menit dalam keheningan akhirnya Caroline bosan, wanita itu melirik Nicholas yang masih dalam keterdiaman.
"Nic."
"Hmm."
"Kau marah?"
Nicholas menoleh pada Caroline detik itu juga.
"Marah? Karena apa?" tanya Nicholas dengan alis terangkat satu.
"Itu—menikah, kau marah karena aku tidak-"
"Aku tidak marah." Ungkap Nicholas memotong ucapan Caroline.
"Tapi-"
"Aku mengerti perasaanmu Caroline, dan aku tahu menikah bukan perkara sepele. Kita bertemu pun baru-baru saja, jadi tidak usah dipikirkan ucapanku beberapa waktu lalu."
"Tapi apa kau yakin dengan keputusanmu untuk berada di sampingku?" tanya Nicholas untuk ke sekian kalinya.
"Ya, ya, ya Nicholas iya... Berapa kali aku harus mengatakannya."
"Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak akan menyesal Caroline, ini duniaku dunia yang tidak bisa kau keluar masuki dengan tenang, duniaku berbahaya Caroline," kata Nicholas.
Caroline terdiam sesaat. Sampai akhirnya. "Aku yakin, selama kau menjagaku dari segala bahaya," jeda sesaat. "Karena kau ahli dalam hal semacam itu," lanjutnya sembari tersenyum nakal.
Cup
Ciuman mendarat di pipi sebelah kanan Nicholas membuat lelaki itu terkekeh geli.
"Tentu saja aku akan selalu menjagamu dan jangan lupakan kau juga harus menjaga dirimu sendiri."
Caroline memekik terkejut saat tubuhnya dengan tiba-tiba ditarik sampai dirinya sekarang berada di pangkuan Nicholas yang tersenyum menyeringai padanya.
"Sekarang kau mulai nakal, beauty."