Sonia masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang mengeluarkan banyak keringat, gadis itu baru saja selesai menjalani lari paginya. Dan pagi itu juga Sonia sudah disuguhi oleh pemandangan yang menurutnya sangat menjijikkan, apalagi jika bukan adegan cumbuan kedua makhluk gaib itu di meja dapur.
Sonia mendengus kesal lalu melempar handuknya ke arah mereka dan tepat mengenai wajah Jessica.
"SONIA!" teriakan nyaring Jessica bagaikan suara yang merdu di telinga Sonia.
Dia pun berlari menuju kamarnya untuk membersihkan diri karena keringatnya. Setelah selesai membersihkan dirinya, ia pun keluar dan terkejut karena kehadiran Sean.
"Hei!" teriak Sonia karena melihat Sean yang sudah berdiri di ambang pintu kamarnya saat dirinya keluar dari kamar mandi. "Kenapa kamu selalu memasuki kamarku tanpa izin?!" tanya Sonia kesal.
Sean hanya mengangkat bahunya. "Ini rumahku."
"Ini juga rumahku sekarang!" koreksi Sonia lagi, ia merasa kesal harus terus-terusan mengoreksi perkataan Sean.
Sean mengembuskan napasnya, sepertinya dirinya memang tidak ditakdirkan untuk menang dari Sonia.
"Terserah kamu saja, cepatlah bersiap-siap dan aku akan mengantarmu ke kampus," perintah Sean.
Sebelum membuka mulutnya, Sean sudah terlebih dulu pergi dari kamar Sonia.
"Pria yang aneh," gerutu Sonia.
***
"Tidak bisakah kamu akur dengan Sonia?"
Saat ini Sean dan Jessica tengah menunggu Sonia di dapur untuk sarapan.
"Akur? Jangan mengharapkan itu, sayang!" jawab Jessica.
"Aku tahu kamu bukan Ibu kandungnya, tapi cobalah berteman dengannya," ucap Sean serius dan langsung membuat mata Jessica melebar mendengar perkataan Sean, dia berpikir sejak kapan pria itu begitu mengurusi hidup Sonia.
Yah, perlu diketahui bahwa Sonia bukanlah anak kandung Jessica. Ia hanyalah wanita yang menikah dengan ayah Sonia demi sebuah harta. Saat itu usia Sonia menginjak sepuluh tahun dan dirinya berusia dua puluh lima tahun.
Sonia sudah kehilangan ibu kandungnya sejak dia lahir. Jessica tahu bahwa ayah Sonia menikahi dirinya hanya agar Sonia mendapatkan kasih sayang seorang ibu, ayahnya tetap menikahi Jessica walaupun beliau tahu bahwa Jessica hanya menginginkan hartanya.
Ada sebuah alasan kenapa Sonia sama sekali menganggap bahwa Jessica adalah ibu kandungnya.
"Sudahlah, aku akan ke kelab dulu. Aku akan pulang nanti malam," ucap Jessica, lalu pergi meninggalkan Sean.
Sean hanya bisa mengembuskan napasnya. Jessica sangat gila dengan apapun yang berhubungan dengan kelab. Ia bahkan menjadi langganan tetap di setiap klub dan selalu menghabiskan waktu hariannya di sana hingga tengah malam.
Setelah Jessica pergi, Sonia turun ke lantai bawah dan berjalan menuju meja makan. Sonia hari ini tampak cantik dengan tshirt biru dan rok selututnya dan dipadukan sepatu kets.
"Mama mana?" tanya Sonia yang bingung karena Jessica tidak ikut sarapan bersama mereka.
"Biasa, dia pergi ke kelab," jawab Sean tenang sembari menyesap teh hangatnya.
Sonia menghembuskan napasnya dalam-dalam. "Dia sudah tua, kenapa harus ke kelab," gerutu Sonia tidak suka dengan kelakuan ibu nya.
"Kamu peduli dengannya?" tanya Sean.
Sonia menatap Sean dalam-dalam. "Apa aku terlihat seperti memperdulikannya?" tanya Sonia sambil menunjuk dirinya.
Sean mengangguk.
"Tentu saja aku memperdulikannya, bagaimana pun dia itu Ibuku," ucap Sonia sembari menggigit roti bakarnya yang diolesi selai strawberry.
Sonia lalu melihat jam tangannya dan terkejut saat jam sudah menunjukkan pukul 8, hari ini Sonia ada presentasi dan dosennya adalah dosen killer.
Sonia cepat-cepat memakan rotinya dan meminum s**u sapinya.
"Ayo buruan!" teriak Sonia sambil menarik tangan Sean keluar dari rumah.
"Santai, sayang," ucap Sean melepaskan pegangan Sonia.
"Jam 9 aku ada presentasi dan aku tidak boleh terlambat, ayo," bentak Sonia manja.
Cup
Sonia terkejut karena Sean tiba-tiba saja menyentuhkan bibirnya di sudut bibir Sonia.
"Kamu tidak bisa ke kampus dengan sisa selai dibibirmu," seru Sean.
"Aghhh...cukup!" teriak Sonia yang kesal dengan apa yang terus dilakukan ayah barunya itu.
Sean hanya mengerutkan keningnya yang melihat sikap aneh Sonia.
"Kenapa kamu selalu menciumku, huh?" tanya Sonia tidak tahan.
Sean pun tertawa karena tingkah Sonia yang menurutnya lucu itu. "Aku hanya membantumu, baby! Sudahlah ayo berangkat."
Sonia masih bingung dengan perkataan Sean, apa maksudnya dengan membantu Sonia? Apa dia membantu Sonia membersihkan selai? Entahlah, yang jelas Sonia benar-benar benci saat ayah tirinya itu menciumnya seenak jidat.
"Tunggu!" teriak Sonia sambil menyusul Sean yang sudah ada di dalam mobil.
***
"Sonia!!!"
Teriakan Gia yang menurut Sonia begitu nyaring langsung membuat seluruh siswa yang ada di dalam kelas itu menatap kesal ke arahnya.
Gia tidak memghiraukan tatapan intimidasi dari teman sekelasnya, dan lebih memilih untuk duduk di bangkunya yang ada di samping Sonia.
"Kamu membuatku malu, Gi," bisik Sonia saat Gia tiba di bangkunya.
"Kamu jahat, Son," ujar Gia dengan wajah kecewa.
"Apa yang sudah kulakukan?" tanya Sonia malas.
"Kamu memiliki seorang kekasih dan kamu tidak mengenalkanku dan memberitahuku."
Sonia mengerutkan dahinya bingung, ia bahkan tidak merasa sekarang dia memiliki kekasih.
"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Sonia bingung.
"Ayolah, Son, aku tahu dia sangat tampan dan jangan berpikir aku akan merebutnya darimu!"
Sonia semakin bingung, tidak bisakah sahabatnya itu menggunakan kata yang ia pahami? "Jangan membuat aku bingung, Gi!"
Gia pun mengembuskan napasnya. "Aku tadi melihatmu diantar pria tampan dan jika dilihat, dia pasti sudah bekerja. Aku sungguh terkejut, Son, kamu tahu sendiri bahwa selama ini kamu tidak pernah berpacaran. Bagaimana jadinya jika semua penggemarmu tahu bahwa kamu sudah memiliki kekasih."
Sonia melebarkan mulutnya saat mendengar penjelasan Gia.
"Apa perlu kukerjai?" batin Sonia jahil.
"Oh, itu memang kekasihku." Sonia berbohong.
"Kan, namanya siapa?"
"Namanya Sean O'brian, dia direktur dan hanya terpaut 5 tahun dariku," jawab Sonia bohong.
"Astaga Son, akhirnya kamu menyelesaikan masa lajangmu, Selamat," ucap Gia semangat lalu memberikan pelukan pada Sonia dengan erat.
Sonia pun semakin malu terhadap semua mahasiswa yang memandangi mereka.
"Kamu sungguh membuatku malu, Gi," bisik Sonia.
"Maaf, aku hanya terlalu senang, nanti kamu harus mengenalkannya padaku, titik!"
Mampus...
Sonia benar-benar menyesali keputusannya .
***
Kelas yang diikuti Sonia dan Gia berakhir pukul dua siang. Sonia benar-benar cemas, karena sampai sekarang Gia terus mengikutinya dengan alasan ingin mengenal Sean.
Sepuluh menit kemudian, Sean tiba dengan mobil bugatti-nya dan itu semakin membuat Sonia panik.
Gia langsung tersenyum lebar saat melihat Sean turun dari bugatti-nya, "Astaga Son,dimana kau menemukan pria tampan itu," bisik Gia di telinga Sonia.
"Bisakah kamu diam?! Jika kamu bersikap seperti ini di depannya maka akan kupastikan kamu tidak akan selamat," ancam Sonia tajam.
Gia langsung diam, tapi senyumannya sama sekali tidak memudar dari wajah cantiknya.
"Ayo pulang," ajak Sean saat dia sudah berada tepat di hadapan Sonia dan Gia.
"Selamat siang," sapa Sean saat menyadari keberadaan Gia.
Wajah Gia pun mulai merona karena senyuman Sean yang mematikan.
"Se-selamat siang juga," balas Gia.
"Kamu sungguh tampan, mungkin itu sebabnya Sonia menerimamu sebagai pa-awww..." sebelum menyelesaikan ucapannya, Sonia sudah menginjak kaki Gia hingga gadis itu merintih kesakitan.
Sean menaikkan alisnya bingung karena kelakuan kedua gadis di hadapannya.
"Ayo kita pulang," kata Sonia sembari menarik tangan Sean menuju mobilnya.
***
Di dalam mobil, mereka lebih banyak berdiam diri. Sean masih fokus pada mobilnya, sedangkan Sonia masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Rasanya ia belum siap mengatakan pada Gia dan semua orang bahwa Sean adalah ayahnya.
Dia memiliki dua alasan. Pertama, karena ia malu dan kedua karena ia tidak ingin semua orang membicarakan yang jelek-jelek mengenai ibunya.
Bahkan selama sekolah, Sonia tidak pernah meminta Jessica untuk mengambil rapotnya karena khawatir jika teman-temannya menjelekkan Jessica. Sonia tahu bahwa Jessica melahirkannya saat dia berumur 15 tahun dan Sonia bisa terima itu, setidaknya sonia berpikir bahwa Jessica adalah ibu kandungnya.
Mungkin nanti, entah kapan Sonia akan memberitahukan dunia siapa ibunya. Lagipula, yang mengetahui tentang ibunya hanyalah sahabatnya, Gia.
Setibanya di rumah, Sonia langsung keluar dari mobil itu saat Sean memarkirkannya di halaman depan.
"Kamu tidak kembali ke kantor?" tanya Sonia membalikkan badannya saat tahu bahwa Sean mengikutinya memasuki rumah.
"Meeting-ku sudah berakhir sejam yang lalu, jadi untuk apa aku kembali ke sana lagi," jawab Sean malas lalu melewati Sonia menuju kamarnya yang ada di lantai atas.
"Kenapa kamu ke lantai dua? Kamarmu di lantai bawah?” tanya Sonia bingung.
"Di samping kamarmu adalah kamarku juga dan apa begitu caranya berbicara dengan Papamu?"
Papa? Sonia tidak pernah memikirkan hal itu, dia memang menerima pria itu sebagai papanya, tapi Sonia masih belum memiliki keinginan memanggil pria itu dengan sebutan papa.
"Usia kita hanya beda 10 tahun, jangan mengharapkan panggilan ayah dariku secara permanen," jawab Sonia lalu berlari ke kamarnya di lantai dua.
Sean hanya tersenyum melihat tingkah Sonia.
***
Sonia melempar tasnya ke ranjang dan mulai mengganti pakaiannya, lalu dia mulai mencari ponselnya di dalam tas itu.
Drt... Drt...
Sonia membuka ponselnya dan menemukan pesan dari Gia.
Gia: Son,aku di depan rumahmu yang baru, keluarlah!
"Sialan," umpat Sonia lalu berlari ke lantai bawah hanya dengan menggunakan tank top dan hot pant bewarna senada yaitu biru langit.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sonia saat melihat Gia yang sudah berada di luar.
Sonia baru saja menyesali keputusannya dengan memberikan alamat rumah Sean pada Gia.
"Aku hanya mengembalikan catatan yang kupinjam kemarin," jawab Gia dengan wajah tidak bersalahnya.
"Kamu bisa mengembalikaannya besok."
Gia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Besok kita ulangan, jadi aku harus memberikannya sekarang padamu agar kamu bisa belajar."
"Siapa?" Sonia dan Gia pun menoleh ke asal suara dan menemukan Sean yang masih menggunakan kemejanya.
"Oh kenapa kamu bisa di sini?" tanya Gia terkejut.
Sonia iba-tiba saja merasa panik. "Dia sedang mengajariku tentang perekonomian di perusahaannya," jawab Sonia cepat.
Gia pun mengerti, tapi tidak dengan Sean yang kebingungan.
"Kamu pacar yang baik," kata Gia dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Sonia.
"Pa-pacar?" tanya Sean bingung, apa sekarang gadis di hadapannya itu sedang menganggapnya pacar Sonia?
Gia mengangguk. "Sonia bilang kamu pacarnya."
Mampus...
Sonia terlambat untuk membungkam mulut gadis itu. Sean melebarkan matanya dan menatap Sonia yang tersipu malu.
"Gi, sebaiknya kamu pulang!" ucap Sonia lalu menutup pintu itu rapat-rapat.
"Bisa kamu jelaskan, Nona Sonia?" tanya Sean menaikkan satu alisnya dan menatap Sonia yang salah tingkah dan tidak tahu harus menjawab apa.
"I-itu hanyalah kesalahpahaman. Dia melihatmu mengantarku dan beranggapan bahwa kamu adalah kekasihku jadi aku kerjai saja sekalian," jawab Sonia.
Sean paham dan tersenyum licik lalu memegang pundak Sonia dan membuka lagi pintu itu.
"Gia."
Gia yang sudah berjalan menjauh mulai menengok ke arah mereka, sedangkan Sonia masih bingung dengan kelakuan Sean.
"Rahasiakan dari siapapun bahwa kami adalah sepasang kekasih, mengerti?" ucapan Sean itu langsung mendapatkan tatapan tajam dari Sonia
"Siap," balas Gia senang lalu berlari ke arah mobilnya.
"Apa yang kamu lakukan?" bentak Sonia kesal, ia berpikir bagaimana jika kesalahpahaman ini terus berlanjut.
"Aku hanya membantumu, sayang," jawab Sean datar.
"Agh...membantu apanya," gerutu Sonia kesal lalu berlari ke kamarnya.
Sean sekali lagi terkekeh geli melihat tingkah Sonia yang menurutnya menggemaskan itu.
***
Malam harinya Jessica pulang dalam keadaan mabuk berat dan itu membuat Sonia dan Sean kesulitan karena membantunya berbaring di kamar.
"Halo, Sonia-ku," gumam Jessica tidak jelas.
"Aishh ... kapan dia akan berhenti mabuk," gerutu Sonia kesal karena melihat ibunya yang mabuk dan bicara omong kosong.
"Ini yang kamu sukai dari dia?" ejek Sonia sembari menatap Sean yang membantu melepaskan sepatu Jessica.
"Setidaknya dia lebih baik di ranjang daripada kamu!"
"YAK," teriak Sonia lalu hendak melemparkan tas Jessica ke wajah tampan Sean.
"Ingat, aku ini Ayahmu!" ujar Sean mengingatkan.
"Aku tidak sudi memiliki Ayah m***m sepertimu," balas Sonia lalu pergi dari kamar itu menuju ruang tengah.
Sonia duduk di sofa cokelat itu dan menyalakan televisi lalu memakan popcorn manis nya.
"Kamu sudah kuliah, tapi sifatmu masih seperti anak kecil."
Sonia menoleh dan mendapati Sean yang sudah duduk di sampingnya. Sonia sama sekali tidak memperdulikan ucapan Sean dan lebih memilih untuk fokus ke filmnya.
"Apa kamu sungguh mencintai Mama?" tanya Sonia serius.
Sean tidak menjawab dan lebih memilih untuk mengmbil popcorn itu dari tangan Sonia.
"Menurutmu?" jawab Sean singkat.
Sonia merasa kesal, ia lalu membenarkan posisi duduknya hingga menghadap Sean, tapi Sean tetap fokus ke televisi. "Aku meragukan hal itu, kamu seperti memiliki niat lain di balik ini semua."
Sean lalu mengalihkan perhatiannya pada Sonia dan menarik hidung mancung Sonia hingga gadis itu merintih kesakitan dan kesal. "Aku tidak mungkin bermain dalam pernikahan."
"Kamu sudah memainkannya, Sean," batin Sean.
"Benarkah?" tanya Sonia yang masih belum mempercayai perkataan Sean.
Sean tidak menjawab dan hanya bisa menatap wajah polos Sonia. "Apa kamu belum sama sekali pacaran?" tanya Sean yang berusaha mengalihkan perhatian.
"K-kamu tau dari mana?" tanya Sonia gugup.
"Sudah kutebak," kata Sean pelan.
"Apa kamu pikir aku ini tidak laku?" teriak Sonia.
"Mungkin saja," balas Sean lagi.
"Hebat, kamu seperti Gia. Aku merasa lelah harus mendengar perkataan mereka tentang statusku, bahkan sekarang kamu juga seperti itu, tidak bisa kupercaya," keluh Sonia dengan wajah kesalnya.
"Kalau begitu ... Jadilah pacarku!"