Ingatan

1296 Words
Malam 'Untuk gelapnya langit malam, aku berpikir jika suatu hari nanti aku bisa menjadi salah satu bintang di sana. Menemani rembulan dan dan b******u mesra di sana. Senyapnya suasana akan menjadi saksi kami memadu kasih nantinya, ahh... seandainya aku memiliki cahaya sendiri. Aku pasti akan menjadi seseorang yang paling bahagia di sini.' Aku melangkahkan kakiku dengan gontai, sesekali menendang kaleng bekas ataupun batu yang tak sengaja menyapa permukaan kakiku. Meski rutinitasku menjadi pekerja paru waktu dan sekarang telah merangkap sebagai pelajar juga, tapi sepertinya gaya hidup orang kaya yang telah lama ku geluti tak bisa ku buang dengan mudah. Aku berjalan menuju apartemen kecil yang ku beli dari uang yang ku hasilkan sendiri, sembari mengingat apa saja yang telah ku lewati kali ini. Saat itu setelah kemunculan siswi pemberani yang membantuku, aku menanyakan namanya. Tapi sepertinya memang aku yang tidak perduli sekitar atau memang akunya yang terlalu bodoh. Perempuan di chapter satu, perperawakan standar kecantikan para perempuan dengan tubuh langsing tinggi ideal, d**a yang juga berisi tapi dia tak mengumbarnya begitu saja. Sedikit tomboy dan yahh, terlihat kuat dan tangguh. Suaranya mampu menggetarkan jiwaku. . "Namaku Zen! Ayo berteman denganku!!" Ucap sang murid pindahan sembari mengulurkan tangannya yang masih kotor dengan remahab makanan, Zen menatap tangannya lalu membersihkan tangan tersebut dengan celananya. Sang gadis menatap dengan putaran bola mata yang malas, melihat tingkah laku siswa dekil yang terlalu petakilan di hadapannya ini membuat dirinya sedikit berjengit jijik. "Apa orang tuamu tidak mengajari bagaimana cara bersikap sopan? Lebih baik kau cuci tanganmu terlebih dahulu sebelum mengajak orang lain berkenalan." Ahh bicara soal kesopanan, ia mulai teringat kembali ketika baru belajar menggunakan garpu dan pisau ataupun bagaimana cara bersikap saat berada di tengah perjamuan. Tapi sekarang ia tak perlu menjaga image dan terus bersikap layaknya seorang yang terhormat. Gadis itu berlalu pergi meninggalkan Zen dengan kotak bekal di tangan, "sudahlah Zen, kau tak bisa berkenalan dengan nenek sihir itu. Dia terlalu pemilih," Sebuah rangkulan mendarat di bahunya, ia menatap ke arah samping kanan di mana pemuda yang mengenakan seragam serupa dengan yang ia pakai itu berada. "Ahh iya, apa kau membuat bekalmu sendiri? Tapi sepertinya orang sepertimu tak mungkin melakukannya sendiri bukan?" "Aku membuatnya sendiri kok!" Dengus Zen sedikit kesal. Satu hal yang terpikirkan di dalam benaknya sekarang tentang pria ini, dia begitu berisik. Ryuto mulai berbicara banyak hal padanya, "ayo ku ajak kau berkeliling." . Sungguh hari yang melelahkan jika di ingat kembali, apalagi seseorang yang menyapanya saat bekerja paru waktu di kombini tadi. . Terlihat Zen yang tengah menjaga kasir, ia telah berganti posisi yang awalnya membenahi stok barang menjadi berjaga di depan. "Berapa?" Zen mulai menghitung total tagihan yang harus di bayar oleh pelanggannya tanpa memperhatikan wajah tersebut. "Totalnya jadi 5400 yen,-" Suaranya tercekak, tak jadi melanjutkan perkataannya yang menggantung di tenggerokan. Menelannya kembali lalu membiarkan lambung melakukan tugasnya,//bukan makanan sayangkuh// ini menggelikan. Kenapa Tuhan begitu suka mempermainkannya. Baru saja berandai memiliki kesempatan untuk bisa berbincang dan sekarang peluang sudah di perlihatkan. "Ini, kembaliannya ambil saja." Gadis itu berbalik, berjalan menuju pintu keluar kombini tersebut. Zen membuka mulutnya namun, tak ada sepatah kata yang keluar dari sana. Sepertinya ia masihlah begitu gugup untuk bertanya terlebih dahulu. Manager yang melihat hal itu tersenyum, ia mendekat ke meja kasir lalu memberikan sebuah dompet. "Mungkin milik perempuan tadi, cepat kejar atau kau akan kehilangan dia." Zen menatap dompet tersebut lalu menatap sang Manager setelahnya, "mungkinkah...?" Sang Manager mengangguk pasti lalu menariknya untuk keluar dari toko serba ada tersebut. Mendapat suport, Zen mengambil langkah lebar dan mulai mencari teman sekolahnya itu. Ia membuka dompet sekilas untuk memastikan. Dan benar saja, di sana terdapat kartu pelajar dengan emblem sekolahnya. Pasti tak salah lagi pikirnya. Di kejauhan, sang perempuan berjalan dengan santai sambil menikmati minumannya. Sama sekali tak terlihat akan pergi tergesa-gesa. Mungkin ia suka menikmati malam yang sepi seperti ini. "Tunggu nona!!"  Perempuan itu berhenti, ia menatap ke sekitar untuk mencari asal suara yang sepertinya tengah memanggilnya itu. Melihat hal tersebut, Zen mempercepat langkahnya agar bisa mesejajarkan diri dengan perempuan tersebut. "Hoshh.. hoshh.."  Zen sibuk menetralkan nafasnya, "kau memanggilku?" Sang gadis terlihat menunggu Zen berusaha menetralkan nafasnya itu.  "Ck, jika tak ada hal penting aku akan pamit. Tak baik seorang perempuan bersama laki-laki berduaan saat malam sepi seperti ini." "Dom..pet," Sang gadis mengernyit, "bisa kau ulangi? Kau berbicara dengan begitu tergesa." Zen menegakkan tubuhnya lalu menatap lurus ke arah perempuan tersebut. "Dompet anda, nona. Uhm, mungkin..." Zen memperlihatkan sebuah dompet panjang berwarna soft pink di sana, ia memilih memandang ke arah lain menunggu sang pujaan memeriksa dompet tersebut. Dari ekor matanya, sang gadis terlihat mengecek ke dalam tas selempangnya. Dan benar saja, sepertinya itu memang dompetnya. "Di mana kau menemukannya?" "Aa, mungkin kau lupa. Aku pekerja di sebuah Kombini yang tak jauh dari sini. Pelanggan terakhir kami adalah dirimu. Jadi, ku putuskan untuk mengejarmu terlebih dahulu." Zen terlihat menggaruk sisian kepalanya yang tak gatal, ini kebiasaan yang ia lakukan agar tidak gugup. "Hahh, terima kasih. Aku tertolong." Gadis itu menghela nafas, ia mulai mengecek isi dompetnya. "Tidak ada yang kurang, lain waktu aku akan mentraktirmu. Tagih saja, tak perlu sungkan." Zen terlihat ingin mengucapkan sesuatu, 'ayo!! Tanyakan dasar bodoh!' "Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" Mungkin ini toleransi sang gadis, ia juga bukanlah orang yang tidak tahu dengan waktu. "Nama..." "Hm, kau mengatakan sesuatu? Aku harus segera pulang atau... kau tahu kan? Tak baik,-" "Namamu, bolehkah ku tahu namamu siapa?!!" Suaranya keluar dengan tergesa memotong ucapan sang wanitanya, mengundang kekehan pelan saat melihat kecanggungan si pemudanya. "Pfftt, kau benar-benar lucu murid pindahan. Kita sekelas dan kau bahkan tak tahu siapa namaku," Zen menutup wajahnya dengan punggung tangan, terlihat jelas jika semburat merah merambat dengan cepat ke telinganya. "Kau, masih perjaka ya? Kenapa begitu mudah malunya?" Lanjutnya sembari terkekeh pelan. Mendengar hal tersebut sontak saja membuat Zen menggelengkan kepalanya cepat, "jika kau keberatan... maka lupakan saj,-" "Namaku Natsuchika Nanami, hari ke-6 di musim panas. Semua orang memanggilku Anna jadi samakan saja seperti yang lainnya." Potongnya dengan senyum di wajah, sesaat Zen terpesona karena itu. Meski hanya cahaya lampu yang berasal dari lampu jalanan, tapi rasanya terlihat seperti sorotan cahaya rembulan yang mengintip dari cela awan. Surai itu terlihat berkilauan, mungkin jika di komik kebanyakan. Akan ada frame bunga-bunga yang membingkai wajahnya untuk mendeskripsikan keadaan hatinya saat ini. "Jika tak ada lagi, aku... uhm, akan pulang. Sampai jumpa di sekolah, Zen." Sang pemuda masih sibuk dengan angannya, sebelum suara yang begitu lembut memanggil satu kata yang paling ia kenal. Namanya, keluar dari mulut yang memiliki bibir tipis yang selalu di poles dengan lip balm. "A-ahh, iya... sampai.. jumpa." . Begitulah, sungguh sebuah pengalaman yang tak bisa ia lupakan. Sepertinya dirinya harus segera tiba dan menulisnya ke dalam buku hariannya, pengalaman tak terlupakan selama ia tak memakai nama belakang yang selalu menjadi sorotan. Zen menaiki tangga yang menghubungkan ke rumah kecilnya, mengabaikan berbagai Poster dan Baliho yang ia lewati. "Aku pulang," Meski hidup sendiri sekarang, ia tak merasa sendiri. Rumah kecilnya lebih baik di banding sapaan dari setiap pelayan yang melihatnya, mungkin karena itu bukan yang ia mau. Tentu saja akan terasa tak enak. Ia menyimpan sepatunya lalu melangkah ke kamar utama yang ada di sana, melepas semua pakaiannya dan berjalan menuju pintu yang tengah tertutup di sana. Pintu penghubung dirinya dengan ruangan minimalis untuk membersihkan diri. Tak ada cermin besar yang memenuhi dinding-dinding kamar mandi kali ini, apalagi sebuah bak mandi besar yang mampu membuatmu bermalas-malasan di sana. Kehidupan seorang pewaris tunggal kini benar-benar terlihat begitu biasa, tak jauh beda dengan orang yang tak punya. Zen terdiam tanpa balutan kain apapun, suara air yang mengucur dari keran seperti lagu pengiring untuknya. Ia mulai teringat dengan sang ayah sebelum di nyatakan sebagai ahli waris oleh sang kakek, saat di mana sang ayah masihlah menjadi sosok ayah ramah yang selalu menemaninya di rumah. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD