Sungguh! Padahal ini baru hari ke-2

1079 Words
Lalu semuanya berubah saat negara api menyerang//anda melenceng woi!!// aa-maksudku sang Ayah menjadi berubah tanpa bisa ia cegah. Ayahnya masih begitu ramah, tapi lebih ke arah mengikat. Kebebasannya mulai di batasi bahkan saat berjalan sebentar harus di dampingi oleh puluhan pengawal, Zen merasa dirinya seperti badut yang sedang menggelar sebuah parade. Semua mata akan tertuju padanya, sang ayah akan berdalih jika dirinya akan menjadi ahli waris berikutnya. Dan tak ada yang tak mengenal dengan dirinya. Tanpa bertanya lebih dahulu, sang ayah mulai menentukan masa depan apa yang akan ia jalani. Sayangnya, Zen bukan anak baik yang akan mengangguk ketika sang ayah bertitah. Setiap orang berhak memilih jalan seperti apa yang ia inginkan, tak ada yang bisa merampas hal itu termasuk keluarganya sekalipun. Tapi kembali lagi, dirinya masih berada di tahap peremajaan. Tahap paling awal dan begitu rentan dengan hal bernama pergaulan, masa di mana seorang anak akan memulai pemberontakan. Ia hanya mencari jati dirinya sendiri. See, semua orang sama. Tak terkecuali seorang anak konglomerat seperti dirinya. Beruntung jika Zen belumlah berusia 17th dan belum banyak yang mengenalnya seperti sang ayah. Bukan berarti Zen lebih bodoh dari sang ayah dan tak bisa melampauinya, ia hanya berpikir akan lebih baik jika dirinya bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Tanpa embel-embel marga yang terkenal di belakang namanya. Hari berikutnya, Zen kembali melakukan rutinitasnya. Ini adalah desa yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya, namun memiliki berbagai hal yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ada ladang dan sawah di sini, lingkungan juga begitu asri. Wajar jika dirinya tak di kenali meski tak memakai penyamarannya, tapi untuk jaga-jaga. Ia tetap memakai kulit sintetis yang ia beli dari online saat masih berada di kediaman sang ayah. Dengan sepeda yang ia beli dari hasil bekerja lembur, ia mengitari jalanan yang ada di sana. Melayangkan senyuman saat beberapa penduduk setempat menyapanya, begitu ramah dan tidak terlihat seperti formalitas belaka. Begitu banyak lahan yang masih berisikan pohon dan juga semak belukar di sini, gunung untuk di daki pun banyak. Tapi hanya tidak memiliki teman untuk mengekspor, "Yosh, hari ini harus mendapatkan beberapa teman dan menjalani hari-hari biasa di sekolah." *** Sekolah Ia terlihat menggenggam tali tas yang tersampir di bahunya, menarik nafas perlahan lalu hembuskan. "Zen, semangat untuk hari keduamu. Semangat!!" Ia mulai masuk ke kawasan sekolah setelah memarkirkan sepedanya di tempat parkir, mungkin keputusannya untuk berpenampilan terlalu mencolok salah. Lihat sekarang, para murid yang melihatnya terlihat heran. Tentu saja wilayah pegunungan namun kulitnya seperti orang yang berasal dari daerah pesisir dengan kulit yang lebih gelap di banding mereka. Zen belajar satu hal lagi sekarang, ini menyenangkan pikirnya. Ia hanya mengubah penampilan dan begitu banyak informasi yang ia dapatkan. Langkahnya ia percepat agar bisa lekas sampai ke kelasnya. Menuliskan berbagai hal yang telah ia rasakan di buku tulis agar tidak lupa. "Ahh~ ini benar-benar menyenangkan." "Oi! Zen, pagi." Zen menoleh ketika seseorang memanggil namanya. "Ahh, hmm Momotaros?" "Ryuto tau, padahal namaku sependek itu tapi kau melupakannya? Aku merasa sakit di sini..." Ryuto menepuk dadanya, pemuda ini memang sedikit melankonis. Zen akan akan mengingatnya agar dapat mengimbangi pembicaraan saat bersama orang ini. "Hei katakan, kali ini kau membawa bekal seperti apa?" "Ahh itu, aku membuat telur gulung, onigiri dan sosis gurita." "Aku juga minta buatkan bekal pada ibuku, mari bertukar makanan nanti." Zen terhenyak sesaat, ini bukan mimpi 'kan? Seumur-umur saat sekolah dulu. Ia tak pernah di ajak untuk bertukar makanan karena sang ayah begitu keras padanya, dan juga tak ada anak-anak seusianya yang mau makan bersamanya hanya karena dirinya berasal dari kalangan terpandang. Ingin rasanya ia berteriak jika dirinya hanya seorang anak kecil biasa sama seperti mereka, yang kaya itu ayahnya. Bukan dirinya. Tapi lagi-lagi semuanya urung ia lakukan, karena segala hal yang ia lakukan akan mengancam keselamatan sang ayah. Kehormatan sang ayah, sejak kecil selalu di doktrin jika dirinya penentu sang ayah dalam segala hal. Membuat Zen menutup diri dan menjadi seorang yang pendiam dan sedikit arogan. Namun jauh di balik itu semua, ia hanyalah seorang anak yang tak tahu caranya bersikap. See, lagi-lagi celah terlihat. Menjadi orang kaya tidak semudah yang terlihat 'kan? 'Terima kasih Tuhan, kau mempermudah segala hal yang ku pilih. Aku akan menyisihkan uang untuk-Mu nanti, kau akan menjadi yang pertama yang merasakan uang hasil dari keringatku sendiri. Tapi tentu saja, aku ingin orang itu yang pertama mencicipinya.' . Kelas Zen meneguk ludahnya dengan paksa, apakah ini yang sering terjadi pada murid pindahan yang tak memiliki teman? Di hadapannya kali ini, sebuah tulisan besar mengotori mejanya. Belum lagi begitu banyak sampah di bawah kolong mejanya. Ia pernah melihat ini di beberapa serial drama yang ia tonton sembunyi-sembunyi di kamar dulu, tapi untuk mengalami semua ini. Rasanya begitu mendadak dan... berdebar. Ya, berdebar. Aneh memang, bukannya takut atau apa. Ia malah merasa senang dan tertantang. Zen menutup wajahnya dengan telapak tangan, gawat. Ia tak bisa menghentikan senyum merekah di bibirnya. "ini... Zen, aku akan membantumu membersihkannya. Jangan khawatir, mereka memang selalu seperti ini terhadap orang baru. Tunggu saat aku menemukan dalang dari semua ini, aku pasti akan memberi mereka pelajaran." Ryuto, membantu membersihkan meja yang dipenuhi oleh coretan spidol tersebut. Beruntung yang di pakai adalah spidol yang mudah di bersihkan, bukan permanen. Jika permanen pasti akan di tegur oleh wali kelas karena telah berani merusak fasilitas yang di sediakan sekolah. Zen memilih mengambil buku yang ia tinggalkan di kolong meja, membukanya dan benar saja. Di sana telah tertulis berbagai coretan dan juga kalimat makian, andai ia membawa serta All mungkin sudah ia abadikan momen seperti ini. //Fyi: All nama dari kamera Zen yang menjadi hadiah dirinya di usia ke 15// Ingatkan dirinya untuk menyobek beberapa kata di sini lalu membingkainya, bukannya takut atau apa. Rasanya dadanya semakin menggebu dengan perasaan hangat yang memenuhi perutnya. 'Ini, perasaan apa namanya ya? Benar-benar baru,' pikirnya. "Ini... benar-benar keterlaluan, siapa yang mampu melakukan hal semacam ini sih?! Padahal kau hanya diam saja sejak kemarin," "Sudahlah, Ryuto. Tak apa, mungkin tanpa sengaja aku telah menyinggung orang-orang yang ada di sini. Ini salahku yang terlalu arogan," "Apanya yang arogan?! Kau hanya diam saja dan baru menginjak kelas ini kemarin, seingatku orang-orang ini tidak sejahat ini." 'Ahh, tidak sejahat ini. Dengan kata lain kau juga mengetahui siapa yang melakukan ini pada mejaku bukan?' Pikir Zen sembari menatap ke arah Ryuto dengan datar. Namun, tak berselang lama ia kembali ke ekspresi wajah yang seperti sebelumnya. Bahagia layaknya tak memiliki beban masalah apapun. "Apa... yang terjadi di sini?" 'Suara ini?!' Zen teramat hapal, ini suara yang sama yang memanggil namanya tadi malam. . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD