Bagian 2

2093 Words
Burung berparuh lancip coklat dengan perpaduan bulu warna coklat, putih, dan hitam sedang asyik menikmati buah mangga kopyor yang tampak matang di atas pohon. Burung itu berusaha terbang dengan menyeimbangkan tubuhnya agar tetap mendapat makanan dan tidak terjatuh saat mematuk daging mangga yang segar dengan warna oranye menyala. Burung lain sedang asyik berkicau senang karena merasakan udara yang lebih segar. Hujan kemarin sore membuat burung-burung saling bergerumbul. Bagaikan burung-burung yang sedang rumpi antar satu dengan lainnya. Ada pula burung yang saling berkejaran di atas dahan mangga. Seperti saling menggoda untuk mendapatkan perhatian. Si jantan terus berusaha mendekat ke arah si betina, sedangkan si betina tampak malu-malu dengan terus menggeserkan kakinya. Di bawah rindangnya pohon mangga dan pohon-pohon lain di kebun belakang rumah serta kicauan burung, Dipta sedang membersihkan bilah bambu. Bambu apus yang telah dia potong dari rerumbunan pohon bambu atau dalam istilah Jawa disebut barongan, dia bawa ke kebun belakang rumahnya, tepatnya rumah orang tuanya. Bambu itu telah dipisahkan dari cabang-cabangnya atau carang dan sudah dibersihkan tiap-tiap ruasnya dari tonjolan yang mengganggu. Bambu apus sudah nampak lebih rapi, rata, dan siap digunakan untuk diolah menjadi kreativitas yang menghasilkan uang. Gergaji tangan terus bergesekan dengan batang bambu. Dipta menggergaji batang bambu tersebut dengan semangat. Bambu telah terpotong rapi dengan jejak bekas hasil gergaji kurang lebih dengan ukuran 50 cm. Dipta menyeka keringat yang bercucuran di dahinya dengan lengan bawah tangan kirinya. Semoga saja trikoma-trikoma atau bulu-bulu halus pada permukaan batang bambu tidak membuat kulit Dipta menjadi gatal. Permukaan batang bambu apus memang dominan dipenuhi oleh bulu-bulu halus yang dapat menyebabkan kulit gatal jika kulit dalam kondisi berkeringat. Kaos singlet warna putih yang sudah mulai lusuh menempel lekat pada tubuh Dipta. Otot lengan yang terbentuk karena aktivitas beratnya di kebun dan di pabrik membuat tubuhnya semakin kekar. Bukan kekar yang berlebihan. Nampak sempurna dengan d**a yang bidang dan perut yang terbentuk menjadi seperti enam bagian roti sobek. Atau istilah kerennya six pack. Bambu yang telah terpotong, Dipta angkat dan bawa ke samping rumahnya tepat yang digunakan sebagai tempat pembuatan sangkar burung dari bambu. Dipta yang sedang mengangkat bambu dan sudah mencapai depan pintu besar segera dihampiri oleh Samsul. Samsul adalah asisten Dipta di usahanya yang dia kembangkan di desa tempat dia lahir, tumbuh, dan berkembang hingga menjadi orang sesukses sekarang. "Kenapa Mas Dipta yang harus angkat-angkat bambu ini? Maaf karena kami tidak tahu jika Mas Dipta pulang," ucap Samsul pelan sambil menggantikan Dipta untuk mengangkat bambu. Samsul merasa tak enak hati karena membuat Dipta harus ikut terjun langsung dalam usaha yang dimiliki oleh Dipta ini. Samsul memilih terus berjalan di samping Dipta, menemani sang bos untuk meninjau pekerjaan para pegawainya. "Semuanya lancar, Sul?" tanya Dipta dengan terus berjalan ke dalam bangunan yang dia bangun untuk mengembangkan usaha sangkar burungnya. "Semua lancar, mas," jawab Samsul tegas setelah meletakkan potongan bambu pada bagian sudut bangunan. Dipta menolak keras para pekerja di usaha sangkar burung ini untuk memanggilnya bapak. Dia belum setua itu untuk dipanggil bapak. Sapaan mas lebih terasa akrab. Selain itu, para pekerjanya adalah masyarakat desa tempat Dipta tinggal yang merupakan pemuda-pemuda teman Dipta sejak kecil. Teman bermain kelereng, petak umpet, sepak bola, patil lele, kasti, dan permainan tradisional lain saat usia Dipta masih berumur lima tahun hingga 15 tahun. Bangunan ini dibangun dengan ukuran antarsisi panjangnya seperti bangun persegi. Cukup luas untuk melakukan berbagai proses agar terbentuk sangkar burung yang berkualitas. Ada dua ruang di sudut lain yang digunakan sebagai kamar mandi dan sebelahnya adalah ruang ibadah. Ada kurang lebih 10 orang yang sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang memasrah kayu agar permukaan kayu menjadi halus, ada yang membuat pola sangkar burung, ada yang fokus dengan perbambuan, dan ada yang sibuk menyiapkan pewarna kayu. Semua pegawai Dipta berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka dengan baik. Dipta paling benci dengan kecacatan produk yang bisa membuatnya rugi. "Selalu cek kondisi sangkar burung yang akan dikirim ke toko, jangan sampai ada cacat! Selalu catat semuanya ya, Sul!" ucap Dipta dengan tegas dan berwibawa. Walaupun mungkin saat ini pakaian Dipta sangat tidak mendukung ucapan ketegasannya, tetapi tidak akan ada anak buah yang berani mengecewakannya. "Saya mau balik ke rumah, ibu pasti mencari saya. Jangan lupa selalu laporkan perkembangan yang terjadi," lanjut Dipta yang kemudian meninggalkan Samsul di ambang pintu. Samsul mengangguk patuh dan melihat punggung Dipta yang mulai menjauh dari bangunan itu, berjalan menuju sebuah rumah yang berdiri megah di samping usaha Dipta yang sudah berjalan dua tahun ini. "Ibu masak apa?" tanya Dipta saat sudah tiba di dalam dapur rumah orang tuanya. Tadi dia langsung saja masuk ke dalam rumah dan hidungnya langsung mencium aroma harum dari arah dapur. Tidak ada tanda-tanda ibu dan adiknya di ruang tamu. Biasanya mereka asyik berbincang, bergosip ataupun menonton televisi di ruang tengah. Menonton berita infotaiment yang ditayangkan pada jam-jam yang seharusnya dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk memasak. "Cuci tangan dulu, Dipta!" ucap Armi—ibu Dipta dengan galak sambil memukul lengan sang putra yang dengan percaya dirinya mencomot bakwan jagung di atas piring keramik warna putih. Alhasil, bakwan jagung yang baru diambil Dipta langsung meluncur kembali ke atas piring. Dipta nyengir singkat ke arah ibunya dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Armi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat putra sulungnya yang masih suka usil dan susah diingatkan. Usia sudah menginjak 30 tahun, tetapi kelakuan terkadang masih seperti remaja yang susah sekali diperingatkan. Dipta kembali menyomot bakwan jagung yang sudah dia idamkan sejak dia menginjak area dapur dan tak lupa mengambil cabai hijau yang ibunya siapkan di piring kecil di atas meja makan. "Dipta, kalau makan itu duduk!" teriak Armi lagi. "Kamu itu sudah besar, kenapa susah sekali dibilangin? Ibu sudah sering mengingatkan kamu agar jadi lelaki yang bersih. Jangan juga membiasakan diri makan atau minum dengan berdiri," ucap Armi dengan menunjukkan wajah kesalnya. "Kamu gak bikin ibu darah tinggi sekali aja apa gak bisa?" tanya Armi dengan raut penuh peringatan. "Abang bujangkan memang gitu, bu. Umurnya sudah cukup untuk menikah tapi tanda-tanda hilal jodohnya belum tampak. Segera nikah sana bang," ucap Kanya—adik Dipta yang ikut bergabung di ruang makan. "Masih kecil ikut-ikut bae," jawab Dipta sambil berjalan mendekati adik satu-satunya. Dipta berusaha mengapit kepala adiknya agar tercepit di ketiaknya. Dipta tertawa kencang saat melihat wajah adiknya yang sudah menahan amarah dan tangan sang adik yang berusaha mencubit bagian tubuh Dipta yang mudah digapainya. "Dipta! Kanya! Ya ampun, bisa nggak sih kalian kalau ketemu itu jangan rusuh," geram Armi. "Kamu itu sedang hamil, Nya. Jangan meledek abangmu terus. Kamu mau anakmu nanti kayak abangmu itu?" tanya Armi sambil tergelak. "Malah bagus bu kalau ponakanku nanti mirip Dipta. Jadi orang ganteng, kaya, dan dikejar banyak wanita," ujar Dipta dengan sangat percaya diri. Kanya berhasil lepas dari Dipta. Dia duduk di seberang Dipta dan memilih duduk di sebelah sang ibu. "Mana mau aku? Pasti Mas Bakti juga gak terima kalau anaknya mirip kamu, bang," jawab Kanya dengan wajah mengejek. Dipta pura-pura cuek dan kembali mengambil bakwan jagung buatan ibunya. Selalu juara. Rasa pedas, manis, dan gurihnya selalu pas. Tidak pernah mengecewakan. "Abang balik ke Surabaya kapan?" tanya Kanya karena melihat respons Dipta yang cuek-cuek saja setelah dia mengejeknya. "Baru juga pulang ke rumah tadi malam kamu sudah ngusir abang, Nya." "Ye, akukan cuma tanya. Sensitif aja sih, bang. Jangan kayak kucing di pinggir jalan yang jarang mendapatkan belaian dan makanan deh, bang.” "Ya abangmu kelamaan jadi bujang makanya sensitif, Nya. Nggak ada yang memberikan kasih sayang dan perhatian," sahut Armi di antara obrolan kedua anaknya. "Nanti juga dapat kasih sayang dan perhatian kalau aku sudah dapat istri, bu," jawab Dipta dengan wajah yakin. "Cewek aja gak punya, ngomongin istri," cibir Kanya. "Buat apa pacaran kalau hanya untuk jaga jodoh orang. Kalau sudah yakin langsung cus melamar kemudian menikah," jawab Dipta enteng. "Bener apa kata abangmu, Nya. Gak usah pacaran-pacaran. Kamu dulu sebelum ketemu Bakti juga dikecewain terus sama pacar-pacarmu itu kan?" dukung Armi terhadap jawaban Dipta. “Ada jugakan yang selingkuhin kamu sama wanita di Surabaya sana?” lanjut Armi. Dia masih ingat betul bagaimana galaunya Kanya karena pacarnya saat itu memilih berhubungan dengan wanita lain di Surabaya. Saat itu Kanya dan pacarnya memang pacaran dengan dibentangkan oleh jarak yang memisahkan atau disebut Long Distance Relationship (LDR). Kanya di Mojokerto dan sang pacar di Surabaya. "Mantan pacar, bu," jawab Kanya kesal. Dipta dan Armi pun tertawa karena mengungkit-ungkit masalah percintaan Kanya sebelum menikah itu. Mengenaskan memang. Namun Kanya berusaha mengambil pelajaran dari kisah yang pernah menimpanya itu. Dia juga beruntung karena memilih memutuskan sang pacar, dia jadi tahu bahwa pacarnya mudah tergoda dengan wanita lain. Apalagi saat ini dia sudah menjadi seorang istri dari Bakti, laki-laki yang mencintainya sepenuh hati. “Sudah-sudah. Ayo makan dulu. Kamu, Kanya jangan nunda-nunda makan. Kalau lapar langsung makan. Di kandungan kamu ada janinnya. Asupan makanan kamu harus selalu terpenuhi. Kamu juga Dipta, kamu pasti kangen masakan ibu bukan? Ayo kita makan dulu. Nanti dilanjut lagi mengobrolnya,” kata Armi sambil berjalan mengambil piring yang terletak pada rak piring di bagian pojok dapur. Kanya pun menghampiri ibunya untuk ikut membantu sang ibu mengambil piring, sendok, dan gelas. Sedangkan Dipta masih asyik mengunyah bakwan jagung hingga hanya tersisa dua buah saja. Dia selalu menyukai makanan yang dimasak oleh ibunya. Jika dia pulang ke rumah, dia akan makan dalam porsi besar. Sebagai tanda penghormatan dan memberikan kebahagiaan pada lambungnya karena selama di Surabaya dia sering makan makanan cepat saji, maka ketika di rumah sang ibu dia akan makan tanpa mempedulikan jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuhnya. Setelah kembali ke Surabaya nanti dia akan berlari di sekitar apartemennya atau pergi ke gym yang disediakan apartemen untuk membuang kalori yang menumpuk pada tubuhnya setelah memakan banyaknya kalori dan minyak. “Ya ampun, abang! Abang kayak gak pernah makan aja sih. Ibu, coba lihat, bakwan jagungnya dihabiskan sama abang bujang,” ucap Kanya dengan histeris. Armi menoleh ke arah putra dan putrinya. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Selalu seperti ini. Anak-anaknya tidak pernah berubah. Namun dia selalu bersyukur karena anak-anaknya yang saling meledek tetapi penuh dengan keakraban dan kasih sayang yang tampak di binar mata mereka. “Sudah, Nya. Abang kamukan sudah jarang makan masakan ibu. Biarkan saja dia memuaskan perutnya,” jawab Armi menengahi perdebatan di antara Kanya dan Dipta. Dipta pun memandang sang adik dengan wajah meledeknya. Dia menerima piring dan sendok yang diberikan oleh Armi. Kanya pun memandang Dipta dengan kesal. Dia memilih mengambil nasi terlebih dahulu sebelum Dipta yang mengambil alih centong nasi. Armi duduk di kursi ujung meja makan dan melihat wajah Kanya yang tampak kesal. Dipta pun menoleh ke arah ibunya dengan mengedikkan bahunya. Sebenarnya dia tahu alasan dibalik wajah kesal adiknya, tetapi dia biarkan saja sang adik mempertahankan wajah kesalnya. Kanya meletakkan sendok sayur dengan sedikit bantingan. Menimbulkan bunyi perpaduan antara sendok sayur dengan mangkuk sayur. Pagi ini Armi dibantu dengan tenaga Kanya memasuk sayur bayam dengan potongan jagung, sambal tomat, tempe goreng, telur dadar, dan bakwan jagung yang hampir dihabiskan oleh Dipta. Untung saja Armi memasak berbagai menu lauk, jika tidak mungkin mereka hanya akan makan dengan lauk tempe goreng dan sambal saja. “Kamu kenapa cemberut terus sih, Nya? Ini juga ada telur dadar dengan potongan daun bawang kesukaan kamu. Lagian kamu juga sudah merasakan bakwan jagung yang ibu buat tadi,” ucap Armi memecah keheningan antara Dipta dan Kanya. “Ya lagian abang sih, bu. Rakus banget tahu nggak,” jawab Kanya masih dengan menunjukkan wajah cemberutnya. “Kamukan selalu makan masakan ibu setiap hari, Nya. Bener kata ibu, abang sedang perbaikan gizi ini. Memberikan makanan bergizi pada lambung abang yang sering makan makanan cepat saji dan terkadang tidak menyehatkan tubuh,” bela Dipta. Dipta tidak ingin membuat Kanya semakin cemberut dan kesal padanya. “Kamu jangan mudah sedih, cemberut, atau kesal, Nya. Abang pernah lihat postingan di ** bahwa mood seorang ibu hamil mempengaruhi mood janin juga. Kasihan ponakan abang. Buat suasana dan mood kamu nyaman, Nya biar janin kamu juga nyaman di dalam sana,” jelas Dipta. Walaupun dia memang suka jail pada Kanya, tetapi dia juga selalu peduli pada adiknya. “Benar kata abang kamu, Nya. Janinmu bisa merasakan mood kamu. Maka jaga selalu mood kamu agar baby kamu selalu merasa bahagia,” dukung Armi. Kanya menganggukkan kepalanya. Dokter kandungan yang Kanya pilih juga pernah memperingatkan hal ini pada Kanya. Dia melupakan hal itu hanya karena berebut makanan dengan Dipta yang memang sangat jarang pulang ke rumah. Akhirnya mereka makan dengan canda tawa kembali. Tidak ada lagi wajah cemberut dan kesal. Sarapan agak kesiangan hari itu dihiasi dengan saling meledek antara sang ibu dengan kedua buah hatinya yang sudah dewasa. Sang putra yang telah menjadi seorang CEO sukses dan sang putri yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Tiba pada saat ini di mana Armi akan menjadi seorang nenek dan mungkin juga akan mengejar-ngejar Dipta agar dia segera mencari istri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD