Vino diam menatap Gynta yang menunduk. Tubuh gadis itu bergetar karena isak tangisnya. Kaki dan pergelangan tangannya terasa ngilu. Apa Gynta benar-benar membenci Vino? Entahlah. Dia paling tidak suka jika disuruh untuk mengingat sesuatu yang sangat ingin tidak diingatnya. Tak lama cengkeraman pada lengannya merenggang dan Vino memeluknya. Gynta masih menundukkan wajahnya dipelukannya tanpa membalas pelukan suaminya.
"Maaf." Gumam Vino dan mengelus punggung Gynta.
-
Seorang laki-laki terlihat sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya sedangkan seorang wanita yang duduk disampingnya hanya memperhatikan keadaan jalanan melalui kaca jendela sebuah taksi.
"Kau urus itu. Aku akan pulang menggunakan pesawat saja." Ujar lelaki itu dan mematikan teleponnya setelah pembicaraannya selesai.
Vino memasukkan kembali ponselnya kedalam mantelnya dan menoleh kearah Gynta yang masih saja diam sejak tadi. Apakah Gynta marah padanya? Sangat tidak nyaman jika gadis itu diam saat marah dengannya. Apa yang harus aku lakukan? Ah... dia memang menyebalkan. Batin Vino dan mendesah pelan.
"Gynta..."
Tak ada jawaban. Vino semakin kesal. Dia sangat kesal pada dirinya sendiri dan pada gadis itu. Merasa bukan waktu yang tepat untuk memanggil kedua kalinya atau Gynta akan semakin diam padanya akhirnya Vino memutuskan untuk mengikuti aktivitasnya. Diam sembari memperhatikan keadaan jalanan diluar jendela mobilnya.
Mereka pun sampai dibandara. Vino dan Gynta keluar bersama dan masuk kedalam bandara. Saat didalam kabin pesawat Gynta duduk tepat disampingnya. Mereka melakukan perjalanan pulang kembali ke Belanda dalam diam hingga masing-masing dari mereka tertidur.
Gynta terbangun saat pesawat mengalami sedikit goncangan membuatnya terkejut dan terdorong kedepan. Namun untungnya ada lengan yang merangkulnya dan melindunginga. "Kau tidak apa-apa?"
Gynta sedikit terkejut saat Vino menahan tubuhnya. Gadis itu mendongak sejenak menatap Vino dan menggeleng. "Tidak." Gumamnya.
Karena merasa canggung, Gynta menegakkan tubuhnya membuat Vino melepaskan rangkulannya. "Maaf." Gumam Vino dan memalingkan wajahnya.
-
"Aku sudah membeli rumah baru. Nanti kita akan tinggal disana." Ujar Vino saat dalam perjalanan menuju rumah barunya menggunakan taksi.
"Apa? Tinggal disana denganmu?" Ucapan Vino mampu membuat Gynta kembali bersikap seperti biasanya pada Vino. Gadis itu sudah tidak diam padanya lagi membuat Vino bernapas lega.
"Iya. Tapi kau tidak perlu khawatir karena kita akan tidur terpisah. Aku sudah menyiapkan kamar untukmu dan untukku." Jawab Vino dan melirik kearah Gynta.
Gynta bernapas lega dan menyenderkan punggungnya dikursi kemudi. "Syukurlah. Kalau begitu tidak apa-apa. Yang penting aku tidak ingin tidur sekamar dengan lelaki menyebalkan sepertimu."
Sebenarnya Vino merasa kesal dan tidak terima ucapan Gynta namun takut gadis ity akan diam lagi padanya akhirnya Vino mengabaikannya.
Taksi yang mereka tunggangi berhenti disebuah rumah dengan halaman yang cukuo luas. Rumah itu tak terlihat buruk bagi Gynta sehingga saat melihatnya pun Gynta tidak protes. Tempat parkir mobil yang disediakan didepan halamannya juga cukup menarik untuk Gynta karena ada tumbuhan menjalar disana.
"Pilihanmu tidak buruk juga." Gumam Gynta saat mengikuti Vino masuk kedalam rumah.
Saat pintu terbuka, mereka berdua sudah berada diruang tamu dengan sofa putih yang tertata rapi bersama dengan bantalnya juga. Melewati ruang tamu, ada sebuah ruangan yang terlihag seperti ruangan tengah dengan kursi kayu berukir dan terdapat tangga dipojok yang menempel langsung pada dinding. Gynta mengerutkan kening saat melihat dapur dirumah tersebut yang juga langsung mempunyai pintu belakang. Semua benda dan perabot berwarna putih bersih. Gynta sedikit tidak menyukainya karena itu akan merepotkan dirinya ataupun Vino saat membersihkan rumah. Terlebih Vino pasti tidak akan menyewa satupun pembantu.
"Vin."
Vino menoleh saat kearah Gynta saat merek menaiki anak tangga bersisihan.
"Kenapa semuanya berwarna putih? Menyebalkan sekali. Sangat terlihat kau tidak kreatif sedikitpun." Ujar Gynta membuat Vino menatapnya tak setuju.
"Kau tidak usah protes. Lagipula aku yang membeli rumah ini." Gumamnya dan melanjutkan langkah mereka.
"Menyebalkan." Gerutu Gynta.
Langkah Vino terhenti disebuah pintu kamar. "Ini kamarku dan itu kamarmu." Tutur Vino dan menunjuk kearah pintu yang bersebrangan dengannya dan berjarak lima meter lebih masuk kedalam lorong ruangan tersebut.
Gynta mengikuti arah telunjuk Vino dan langsung masuk kedalam pintu yang ditunjuk Vino. Kedua matanya membulat sempurna melihat kamarnya. Ada apa dengan kamarnya? Apa saat ini Vino sedang mengoloknya dengan memberi kamar bicah bwrusia tujuh tahun padanya? Untuk apa balon-balon dilangit-langit kamarnya?
"Vino!!!" Teriak Gynta dan berbalik keluar dari kamar menuju kekamar Vino.
Vino sudah menutup pintunya dan mengunci kamarnya saat Gynta masuk kedalam kamar miliknya sendiri. Vino tahu Gynta pasti akan marah padanya karena memberi kamar seperti bocah bayi. Entahlah, melihat wajah Gynta yang seperti bocah membuatnya membelikan kamar itu untuk istrinya. Didalam kamar Vino tertawa terbahak-bahak karena Gynta masih memanggilnya dan menyuruhnya untuk membuka pintunya.
-
Vino berjalan kearah pintu kamar Gynta untuk menyuruhnya memasakkan sesuatu untuk makan malam. Dirinya mengerutkan keningnya saat ingin membuka pintu itu karena ternyata Gynta menguncinya.
"Hei... buka pintunya. Keluar dan masak sesuatu untuk makan malam."
Tak ada jawaban. Vino kembali mengetuk pintunya dan sekarang sedikit lebih keras. "Gynta. Keluar dan masak sesuatu untuk makan malam. Apa kau ingin mati karena tidak makan? Cepat keluar!"
Pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Vino terlonjak dan reflek mundur selangkah. "Kau masak saja sendiri dan makan sendiri. Aku sedang tidak ingin diganggu." Ujar Gynta dingin dan kembali menutup pintu kamarnya.
"Hei... Gynta. Buka. Gynta." Vino kembali menggedor pintu kamar Gynta.
"Percuma aku punya istri sepertimu! Dasar kaki pendek. Pemalas!" Seru Vino membuat pintu kembali terbuka tiba-tiba.
"Aku bukan istrimu jadi berhenti mengataiku kaki pendek, bodoh." Desis Gynta.
Vino pun mencari ide agar Gynta mau keluar dari kamar dan memasakkan makanan untuknya. Saat ini Vino sedang tidak ingin memakan makanan diluar. Terpaksa dirinya harus berakting didepan istrinya.
"Aakkhh..." Ringis Vino dan memegang perutnya.
Gynta mengerutkan keningnya melihat Vino tiba-tiba meringis seperti menahan sakit. "Vin, kau kenapa?" Tanyanya bingung dan membuka pintu kamarnya penuh lalu sedikit keluar dari kamarnya sehingga saat ini Gynta berada diambang pintu kamarnya.
"Perutku, magh ku kambuh." Jawab Vino melemaskan suaranya dan sedikit menundukkan tubuhnya.
Sepertinya Vino berakting cukup baik karena Gynta terlihat mulai khawatir padanya. "Magh? Kau punya magh? Ya tuhan, kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Gerutu Gynta namun terdengar khawatir.
Gynta menuntun Vino menuju ke meja makan. Setelah Vino duduk dimeja makan, Gynta mulai mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam lemari es. Padahal Vino pun tak jarang selalu memasak sendiri saat sedang makan, namun dirinya sedikit penasaran seperti apa hasil masakan istrinya.
"Vin, kapan kau belanja semua ini?" Tanya Gynta bingung melihat banyak bahan makanan didalam lemari es.
Vino kembali memasang wajah kesakitan dan selalu meringis saat mengucapkan sesuatu. "Tadi pagi. Aku... menyuruh seseorang."
Gynta manggut-manggut saja sedangkan Vino yang sudah benar-benar lapar semakin kesal karena Gynta terlihat santai saja. Vino pun kembali mengeluh pada sakitnya. "Aakkh... Ya Tuhan... Gynta... kapan kau masak? Perutku... Akh..."
Gynta menghela napas pelan. "Iya tunggu sebentar. Kalau kau tidak mau menunggu kau bisa pesan makanan sekarang."
Vino terdiam dan wajahnya kembali seperti semula mendengar ucapan Gynta. Kedua tangannya sudah berada diatas meja. Pandangannya memperhatikan Gynta yang masih memotong beberapa bahan makanan. Sebenarnya apa yang akan dimasak Gynta? Vino sangat penasaran dengan hal itu. Ini adalah pertama kalinya Vino mencoba masakan langsung dari seorang wanita selain ibunya.
Setelah hampir dua puluh menit akhirnya Gynta menghampiri meja makan dengan membawa dua piring Herring dan dua mangkok berisi Sup Ercis. Pandangan Vino terpaku pada dua jenis makanan yang sejujurnya memang sangat disukainya. Aroma lezat dari ikan Herring memenuhi indra penciumannya. Gynta tersenyum melihat ekspresi Vino yang tidak sekalipun mengedipkan matanya saat memperhatikan masakan buatannya.
Sebenarnya Gynta juga tidak pandai memasak. Dia hanya bisa memasak beberapa makanan dari Belanda saja meskipun dirinya tidak hanya tinggal di Belanda semasa hidupnya sampai sekarang ini. Mungkin karena Belanda adalah tanah kelahirannya jadi terasa sedikit mudah bagi Gynta untuk belajar memasak.
"Kau tidak akan kenyang kalau hanya menatapnya saja." Ujar Gynta dan duduk didepan Vino karena hanya terdapat dua kursi saja diruang makan.
Vino menatap Gynta yang mulai memyantap makanannya. "Danke." Gumamnya dan mulai menyantap makanannya.
Selesai makan Gynta merapikan meja makan dan mencuci piringnya sedangkan Vino masih duduk dikursi sembari menatap Gynta yang membelakanginya.
"Memangnya kenapa kau tidak suka kalau cat rumah kita berwarna putih?" Tanya Vino memulai pembicaraan setelah hampir dua puluh menit keheningan memenuhi ruangan tersebut.
"Kalau warnanya serba putih itu merepotkan saat ingin membersihkan rumah. Memangnya kau ingin membersihkan rumah setiap hari?" Tanya Gynta dan menoleh diakhir kalimatnya sejenak dan kembali menatap ketumpukan piring kotor didepannya.
"Kenapa harus aku? Kan ada kau." Celetuk Vino enteng membuat Gynta reflek menoleh kearahnya.
"Apa? Kau menyuruhku untuk membersihkan rumah ini sendiri? Aku tidak mau!" Putus Gynta dan sedikit membanting piringnya saat meletakkannya ketempat penyimpanan piring yang sudah bersih.
"Memangnya kau ingin rumah kita dicat warna apa?"
"Terserah yang penting jangan putih." Gumam Gynta mengumpat kekesalannya dan pergi begitu saja melewati Vino menaiki anak tangga untuk masuk kedalam kamar.
"Sentimen sekali dia." Gumam Vino dan ikut masuk kedalam kamar.
-
Gynta terbangun tepat pukul enam pagi. Setelah mencuci muka dan menggosok giginya, Gynta keluar dari kamar. Keadaan rumah cukup sepi. Saat mengecek kekamar Vino sudah tidak melihat Vino. Dirinya pun menuruni anak tangga. Gynta langsung melenggang menuju meja makan dan sudah melihat Ontbijtkoek (Kue sarapan pagi).
Ontbijtkoek terbuat dari gandum. Makanan ini semacam kue bolu, namun bahannya yang menjadi kunci pembedanya. Kue ini sering dibumbui dengan cengkih, kayu manis, jahe dan pala. Untuk daerah Belanda bagian Utara, makanan ini di sebut Oudewijvenkoek. Bahannya hampir sama dengan Ontbijtkoek, hanya di tambah dengan adas manis. Makanan ini jauh lebih enak jika diolesi mentega banyak – banyak.
Kening Gynta berkerut saat melihat sebuah memo disamping piring kue Ontbijtkoek tersebut. Dirinya pun duduk dikursi dan meraih memo itu yang tertuliskan sebuah pesan.
Makan roti ini untuk sarapan. Aku sangat terburu-buru jadi pergi kekantor sangat pagi. Jam sebelas siang aku akan pulang dan kita merenovasi rumah bersama-sama. :) Vino.
Gynta tersenyum simpul setelah membaca memo tersebut dan mulai memakan kue buatan Vino sampai habis. Gynta juga tidak lupa untuk langsung mencuci piringnya dan mulai membersihkan ruangan dirumah barunya. Setelah membersihkan ruangan dirumahnya, Gynta bersantai disofa yang ada dihalaman belakang rumahnya.
Musim panas tersisa satu bulan lagi bahkan Gynta belum sempat merasakan liburan musim panas yang sesungguhnya. Vino juga sudah melarang Gynta untuk bekerja dan menyuruhnya untuk menjaga rumah saja. Meskipun awalnya Gynta menolak karena tentu saja dia tidak bisa berhenti begitu saja dari pekerjaannya tapi Vino tetap tidak mau mengalah padanya.
Tanpa Gynta sadari jam sudah menunjukkan pukuk sebelas siang. Seperti yang dituliskan dimemo yang dibaca Gynta, dirinya melihat Vino sudah pulang saat dirinya sedang ada didapur untuk mengambil minuman air putih.
"Kau sudah pulang?" Tanya Gynta tanpa menoleh kearah Vino.
"Iya." Jawabnya dan meletakkan beberapa kaleng cat diatas meja membuat Gynta terlonjak kaget.
"Vino. Bisa tidak pelan sedikit?! Kau ini menyebalkan sekali." Gerutu Gynta dan menatap kesal kearah Vino.
"Itu catnya." Gumam Vino menirukan nada bicara Gynta membuat gadis itu mendengus padanya.
"Aku akan mengganti pakaianku dulu. Oh yah buatkan aku jus apel. Oke ?" Pinta Vino dan menaikkan alisnya lalu berlalu meninggalkan Gynta.
Gynta mendengus kembali meskipun pada akhirnya dia akan membuatkan jus apel untuk suaminya. Entahlah, walaupun Gynta belum percaya kalau dirinya sudah menikah tapi memang sudah tidak bisa dipungkiri lagi kalau dirinya menyandang Mrs. Mashech dibelakang namanya. Sudah beberapa hari ini dirinya tak bertengkar dengan Vino membuat Gynta merasa sedikit nyaman tinggal dirumah tersebut.
Segelas jus apel sudah tersajikan diatas meja tepat saat Vino datang menghampirinya. Vino menyusul Gynta duduk dimeja makan dan meminum jus apelnya. Sedangkan Gynta memperhatikan kaleng cat tersebut.
"Kau membeli warna biru dan hijau?" Tanya Gynta memastikan.
Vino menganggukkan kepalanya dan meletakkan gelas tersebut setelah menghabiskannya. "Iya." Jawabnya dan kembali berdiri. "Ayo." Ajaknya dan membawa dua kaleng cat berukuran besar keruang tengah.
"Ambil kuas yang ada dirak dapur paling pojok." Tutur Vino dan mulai membuka cat tersebut.
Gynta membuka rak yang dimaksud Vino dan melihat dua kuas cat tembok. "Ambil berapa?"
"Semuanya." Jawabnya.
Gynta kembali dengan dua kuas cat tembok dan memberikan seluruhnya pada Vino namun Vino hanya menerima satu saja membuat Gynta mengernyitkan keningnya. "Yang satunya kau." Ujar Vino seperti mampu mengetahui pertanyaan yang akan keluar dari bibir istrinya.
Gynta mengerucutkan bibirnya dan selalu menghentakkan kakinya saat mengecat tembok diruangan tengah. Vino mengabaikan hal itu dan ikut mengecat. Tak lama sebuah ide jail kembali hingga dikepala Gynta. Dirinya menoleh kearah Vino yang terlihat sangat serius saat menempekan kuas cat tersebut. Gynta menyunggingkan bibirnya dan berjalan mendekati kaleng cat lalu mencelupkan kuas tersebut kedalamnya. Bukannya menempelkannya pada dinding, Gynta justru mengecat punggung Vino membuat suaminya terkejut dan langsung menoleh kearahnya. Gynta tertawa dan sedikit menjauh dari Vino karena takut suaminya akan membalas perbuatannya. Hingga Vino ikut tertawa dan berusaha melakukan hal yang sama pada istrinya.