diam

827 Words
"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua. "Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!" "Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya. "Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?" "Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang paling berbakti kepada dirinya. Kemanapun dia pergi dia selalu bercerita bahwa akulah yang paling nomor satu mengurusnya dalam keadaan sehat maupun sakit. Beraninya dia menjelekkan Aku di depan istri mantan suamiku, mentang-mentang aku tidak punya hubungan lagi dan dia benar-benar ingin cari muka di depan menantunya yang baru. "Eh, kurang ajar ya...." wanita itu melotot dan berkacak pinggang padaku. "Apakah ibu sangat murka sekarang, begitu pula perasaanku saat ini jika Ibu tersinggung maka aku juga tersinggung! Teganya ibu mengatakan aku hamil duluan padahal kelahiran Yudi terjadi sepuluh bulan setelah pernikahanku, artinya ada jeda waktu sebulan sebelum aku positif hamil," balasku sambil menahan air mata. " ..Teganya Ibu memfitnah aku padahal seburuk-buruknya aku, aku adalah mantan istri mas Fendi dan aku pernah ada di pelukan ibu dengan penuh kasih sayang. Beginikah tingkah ibu kepada yulisa Andai Dia suatu saat nanti bercerai dengan Fendi, Apakah ibu juga akan memfitnah dan menghinanya!" "Hei, Meraka tidak akan pernah cerai!" "Iya, Bu, tidak mungkin aku dan Mas Fendi bercerai beraninya wanita ini bicara seperti itu di hadapan ibu. Pantas saja, Mas Fendi meninggalkannya." Wanita janda yang wajahnya dipaksa secantik mungkin itu menghinaku bersamaa ibu mertua. "Tutup mulutmu, jangan sok cantik dan paling laku. Andai tidak atas desakan ibunya yang materialistis kami tidak akan pernah bercerai!" "Cukup sudah!" ujar Mas Fendi. "Cukup Bu, Kenapa suasananya jadi keruh dan panjang seperti ini? Kami hanya kebetulan bertemu, jadi jangan salahkan dia apalagi sampai saling menghina!" "Jadi, kau membela Ibunya Yuna dan Yudi?" tanya Yulisa emosi. "Bukan begitu, sungguh tidak etis perbuatan kalian menghina orang lain. Jadi, daripada ribut dan salah paham begini lebih baik kita pindah kamar saja." "Kemana kau akan mengajakku pindah, Bukankah petugas rumah sakit sudah mengatakan kalau tidak ada tempat lain di kamar ini selain ruang ibu bersalin dan kamar rawat anak-anak. Aku tidak akan pernah keluar, kalau ada yang pantas keluar itu adalah dirinya. Beraninya wanita itu melawan kami semua..." "Heh, Jangan karena merasa kaya dan sedang dibela oleh semua orang jadi kau merasa ada di atas angin, kalau aku mau aku bisa melempar mulut dan mencabik wajahmu!" ujarku sambil menunjuknya dengan ujung jemari. Mungkin karena mendengar keributan yang ada tiba-tiba dua orang perawat datang dan langsung melerai kami. Paham bahwa hubungan yang terjadi di antara kami rumit dan seorang perawat itu memang mengenal kami karena memang sekampung, maka ia langsung mendekat padaku dan berusaha menenangkan aku. "Tidak apa-apa pindahkan saja saya ke lorong Saya tidak mau ada di sini daripada saya tidak bisa istirahat!" ucapku sambil menahan air mata. "Tidak jangan pindah ke lorong. Di sana ramai, banyak nyamuk dan kotor, kami saja yang pergi," ucap Mas Fendi. "Tidak Mas aku tidak akan keluar hari ini aku baru masuk dan kesakitan," ujar Yulisa dengan penuh rasa egois. "Ayo pindahkan saya, tidak elok rasanya satu kamar dengan orang gila," ucapku tegas. "Baik, Bu." Mendengar perkataanku tadi ibunda masih pending langsung berteriak marah namun aku sudah tidak memperdulikannya, panjangku didorong keluar oleh dua orang perawat dengan gestur mereka yang benar-benar tidak habis pikir dengan keluarga Mas Fendi. "Jika saya nanti merasa sedikit sehat maka saya akan pulang," ucapku pada perawat yang sedang memperbaiki selang infus di dekatku. "Sebaiknya jangan Bu, kondisi Ibu sangat lemah sebaiknya saya akan panggilkan kerabat ibu untuk datang menemani. Seseorang harus berdiri di sini untuk membantu ibu ke kamar mandi, misalnya." "Tidak usah semua orang sedang sibuk panen di sawah dan ladang mereka. Saya juga tak mau merepotkan." "Astaga ibu kasihan sekali." Kini aku dan ranjangku diletakkan di ujung lorong masih dengan selang infus yang tertancap di tangan. Sebenarnya aku kesal dan merutuk dalam hati atas keadaan yang menimpaku sekarang namun aku tidak berdaya lebih baik begini daripada sekamar dengan Yulisa yang menjijikkan itu. * Orang-orang yang silih berganti keluar masuk melihatku dengan wajah penuh keprihatinan karena harus terpaksa berada di tempat seperti itu. "Kenapa berada di sini?"tanya seorang wanita. "Kamarnya penuh." "Tapi ke merawat pasien biasa cukup luas dan punya 6 ranjang." "Saya tidak nyaman berada di sana karena ada mantan suamiku dan istrinya." "Oh, Fendi ya... Astaga. Kalau begitu jaga dirimu, Fatimah." "Baiklah terima kasih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD