canggung
Rindu dan Canggung setelah Bercerai
#kbm_cerbunh
Bagian 1: Bertemu di rumah sakit.
*
Hanya beberapa meter jarak kami, tidak ada tabir pembatas atau dinding penyekat yang bisa menghalangi pandangan agar kami tak perlu bersitatap. Tapi, entah kenapa aku terjebak dalam situasi ini, apakah ini sudah rencana Tuhan?
Aku terbaring di brankar karena penyakit maag kronis yang selalu kambuh, sebab terlalu lelah bekerja dan fokus memikirkan hidup.
Sementara di sisi bersebrangan, dia bersama istrinya yang baru, istri yang dia nikahi setelah menceraikan aku, terlihat mendampingi sang istri yang juga nampak sakit dan membantunya berbaring di ranjang IGD puskemas ini.
Mungkin ini kebetulan, di hari yang sama aku dan istrinya menderita sakit dan harus berjumpa. Sebenarnya kami sudah tidak satu kampung, tapi karena posisi rumah sakit yang ada di ibukota kecamatan mengharuskan tiap pasien dari dusun dusun kecil berobat kemari.
"Ya Tuhan, tolong pindahkan aku dari tempat ini, sebab jika kami bertemu, akan canggung rasanya," gumamku sambil melirik infus yang baru setengah botol masuk ke aliran darahku.
"Mas ... sakit Mas, perutku sakit," rintih wanita itu yang terdengar olehku. Mantan suamiku tidak menyadari kalau yang berbaring di seberang ranjang sang istri adalah aku, mantan istrinya.
"Iya, sebentar Sayang, dokter akan datang dan memeriksa," jawab Mas Fendi.
Astaga, hatiku mendesis seperti tetesan air di kuali panas. Rasanya tak nyaman mendengar sebuah ucapan yang pernah dikatakan padaku harus terucapkan pada wanita lain, terlebih si pembicara adalah orang yang sama. Bukan cemburu, hanya, bagaimana ya ... aku tak nyaman mendengarmya.
Kini, dari selimut yang sengaja kutarik untuk menutupi sebagian wajah agar dia tidak mengenaliku, aku bisa melihat apa saja yang mereka lakukan selagi menunggu dokter datang. Mas Fendi sesekali memijiti, mengusap kening dan rambut lalu menggenggam tangan. Semua perlakuan itu pernah ia lakukan padaku, semasa kami masih bersama. Bahkan aku kembali teringat pada masa masa ketika pertama kali memiliki anak. Sungguh besar perhatian dan kasih sayang Mas Fendi padaku, sampai sampai aku merasa tersanjung bagai seorang ratu.
"Mas, ambilkan air," ucapnya manja.
"Bentar ya, sayang, aku belikan ke depan," jawab Mas Fendi sambil memakai kembali topi yang sempat ia lepas, lalu kemudian membalikkan badan. Di momen itu mata kami saling berpandangan, mungkin karena wajahku tertutup hingga hidung, dia tidak mengenalku. Seulas senyum tipis tergambar di bibirnya, senyum yang dulu selalu menghibur di kala susah dan sedih mendera. Ah, entah kenapa ada bulir bulir rindu yang melecut di hatiku, padahal aku tahu itu tak pantas.
Astagfirullah.
Kontan, menatap matanya, aku merasa haus dan ingin minum. Parahnya, aku lupa bawa air. Tadi pagi ke pasar, tidak membawa bekal, langsung membuka lapak lalu berjualan seperti biasa, tak sengaja atau mungkin lupa, tiba tiba perutku sakit hingga secepat mungkin kutinggalkan peti lapak dan melarikan diri ke rumah sakit. Kutitipkan barang pada tetangga lapak yang cukup baik padaku dan bisa percaya padanya, lalu dengan menahan sakit di atas becak aku ke rumah sakit.
Kata dokter aku terlalu lelah dan banyak pikiran, tensiku menurun dan keadaanku lemah, aku harus diinfus dan berbaring di IGD. Katanya, mereka akan memindahkanku, tapi sampai sekarang belum pindah juga. Ah, aku mulai gelisah, ditambah rasa haus yang mendera bagai duri menyobek tenggorokan, aku tersiksa sekali rasanya.
Dua menit kemudian, Mas Fendi kembali. Perkiraanku meleset, kupikir tadinya perawat akan datang dan aku akan minta bantuan segelas air tapi ternyata tidak ada perawat yang masuk dan Mas Fendi kini kembali mendekati istrinya.
"Ya Tuhan aku harus bagaimana." Ingin menghubungi anak-anak tapi mereka sekolah di luar kota. Katanya Mereka ingin sekolah di SMA yang lebih baik agar mudah diterima di universitas nanti, jadi aku dengan segala usaha berusaha untuk mengikuti kemauan anakku, selama masih positif.
Tidak lama kemudian dokter datang dan memeriksa keadaan istrinya mantan suamiku. Wanita itu terlihat ditensi dan diraba di bagian perutnya, sewaktu dokter memeriksa, wanita itu meraung dan Mas Fendi sontak memeluk istrinya.
"Auh ... sakit!"
"Tenang Ma," balas Mas Fendi Dengan mesra, bahkan panggilan yang dia ucapkan kepada istri barunya sama seperti panggilannya kepadaku dulu.
Hatiku kembali tak nyaman menyaksikan pemandangan itu. Sudah kucoba untuk bersikap biasa saja tapi tetap saja tanganku mulai berkeringat dingin dan perasaanku gugup. Entah rasa cemburu, salah tingkah atau apa namanya, aku tidak mengerti,
Karena sudah merasa sangat haus aku terpaksa memanggil seorang perawat yang kebetulan berdiri di dekat dokter untuk mendekat. Dia membawa sebuah baki yang terbuat dari aluminium lalu meletakkannya di dekat dokter.
"Permisi Mas," ucapku.
"Iya, Bu? Ada apa?"
"Boleh saya minta air?"
Perawat itu terlihat bingung dan mengedarkan pandangannya, lalu dia menggeleng padaku sambil berkata,
"Maaf Ibu, maaf sekali, stok air di galon hari ini habis, jadi kalau ibu ada anggota keluarga boleh dihubungi agar bisa membawakan air."
"Astaga, saya haus sekali," balasku.
"Kalau begitu minum saja air ini, saya punya dua botol," ujar Mas Fendi yang tiba-tiba mendekat dan membawakan sebotol air mineral.
Saat dia memandangku dan sadar mengenaliku, di momen itulah pandangan mata kami bertemu dan kami sama-sama terhenyak dengan keterkejutan masing-masing.
Aku sendiri berdebar dengan degupan jantung yang sangat kencang, bahkan hendak menarik nafas atau menelan ludah saja tidak sanggup lagi.
Bagaimana tidak, orang yang dulu begitu aku cintai kini berdiri dekat padaku, dia memandangku dengan tatapan mata penuh makna, seolah aku menangkap sebuah kerinduan yang ditujukan untukku. Tapi, tentu saja aku hanya berhalusinasi.
Tidak mungkin dia masih merindukanku, dia sudah bahagia dengan istrinya yang baru, yang konon katanya adalah janda kaya yang punya banyak warisan. Sayangnya mereka tidak punya anak. Lepas 2 tahun bercerai denganku pria itu menikah dengan Santi yulisa, mantan istri juragan tanah yang punya banyak sawah dan kebun. Sementara aku sendiri hidup bertiga dengan anakku hanya fokus berdagang dan menabung untuk masa depan mereka.
Jika bertanya tentang sebab perceraian itu panjang ceritanya, namun yang jelas itu bukan karena orang ketiga. Hanya takdir dan keadaan terpaksa yang membuat kami berpisah.
"Ini airnya ...."aku masih tertegun ketika Mas Fendi mengatakan kalimat itu. Dia mengibaskan tangannya ke mataku sementara aku langsung tersadar dan malu.
"Ti-tidak usah," jawabku gugup.
"Minumlah tidak apa apa."
"Tidak usah," balasku lirih.
"Ambil saja Ibu mumpung ada yang mau membantu," ucap perawat yang akhirnya memperkeruh suasana karena tiba-tiba istri dari Mas Fendi langsung mendongak dan melihat ke arah kami.
Menyadari bahwa aku dan suaminya saling berpandangan wanita itu langsung memanggil dengan lengkingan yang keras.
"Mas, dampingi aku Mas, jangan kemana mana!"
Astaga, tingkahnya seperti wanita yang mau melahirkan saja. Entah dia sangat cemburu atau sengaja pamer akan hubungan mesranya, Aku tidak mengerti.
"Kak perawat, bisa bantu saya untuk pindah ke ruangan lain?"
"Untuk sementara karena keterbatasan kamar ibu kami observasi dulu di ruang ini, ketika keadaan ibu sudah membaik maka kami akan pindahkan ke ruang rawat inap."
Ya Allah aku putus asa, aku terbaring di sini dalam keadaan masih lemah dan kini harus menyaksikan pemandangan yang benar-benar membuatku tak nyaman.
Kini Mas Pendi juga bersikap aneh, dia memeluk istrinya tapi tatapan matanya padaku. Mungkin karena kami sudah lama berhubungan seperti ada ikatan batin atau sesuatu yang bisa ditebak dari pemikiran masing-masing. Arti dari tatapan Mas Pendi adalah sebuah pertanyaan dan kepedulian mengapa aku sampai sakit seperti ini, kira kira begitu, namun istrinya yang kemudian menyadari bahwa suaminya terus menatap pada mantan istrinya mulai marah dan mencubit lengan Mas Fendi.
"Mas, peluk aku, jangan lihat ke sana," ujarnya sambil menarik dagu suaminya agar memandang ke wajahnya saja.
Astaga, Aku makin tidak nyaman saja.