Boston, Massachusetts
November, 2006
Mobil yang dikendarai mereka telah melewati persimpangan di jalur panjang dengan memasuki kilometer 12. Maggie menunjuk ke sebuah gapura yang bertuliskan perkampungan west dan mengarahkan Dale untuk masuk melewati gerbang setinggi tiga meter yang terbuka lebar untuk mereka.
Mereka melewati pos keamanan, danau, dan jalur setapak yang mengarah ke hutan sebelum akhirnya sampai di sebuah pondok kayu bertingkat yang letaknya jauh dari keramaian.
"Kita sampai," kata Maggie saat melepas sabuk pengamannya. "Selamat datang di rumah!"
Dale mematikan mesin mobil. Matanya menyapu ke sekitar halaman dan pagar pembatas yang mengelilingi pondok itu. Bagian depannya lebih terlihat seperti pekarangan dengan sejumlah tanaman rambat, rumput-rumput liar setinggi mata kaki, jalan berbatu menuju pintu depan dan daun-daun kering yang berserakan tertiup angin. Dari tempatnya, ia bisa melihat salju yang mulai mencair di salah satu sudut jendela kayu yang tertutup rapat. Pondok itu secara jelas tampil sebagai bangunan yang tak terawat.
Dale mengikuti Maggie ketika menaiki tangga untuk sampai di pintu masuk. Hawa dingin segera menusuk kulitnya begitu ia melangkah keluar dari dalam mobil. Cuacanya terasa sangat dingin meskipun matahari masih bersinar terang. Sementara Maggie mengobrak-abrik sebuah vas berukuran sedang yang diletakkan di sudut bangunan, Dale memandang ke sekitar.
"Kau memiliki sebuah pondok yang sangat nyaman, Miss Russell. Hanya saja sedikit kotor."
Kalimat itu terasa seperti sebuah pujian dan disatu waktu terdengar seperti hinaan. Maggie memutar bola matanya tanpa berniat menanggapi Dale.
"Apa yang kau cari?"
"Kunci."
Dale bergerak ke arah Maggie untuk membantu wanita itu. Dan ketika mereka tidak juga menemukan kuncinya, Dale mencari ke tempat lain.
"Kau mungkin meletakkannya di tempat lain?"
"Tidak, Kate selalu meletakkannya di sini."
Maggie meraba-raba di dalam sebuah pot tua sementara Dale menelusuri kaca jendela yang tertutup kemudian pintu itu. Ketika Dale memutar kenopnya, hal yang mengejutkan terjadi. Pintu terbuka dan bau kayu yang sudah lapuk tercium tajam di hidungnya.
"Pintunya tidak terkunci," kata Dale. Ucapannya segera menarik perhatian Maggie. Maggie baru berniat untuk bergerak masuk sebelum Dale menahan lengannya dan memberinya tatapan memperingati. "Biar kuperiksa dulu."
Merasa enggan untuk mendebatnya, Maggie membiarkan pria itu membuka pintu lebih lebar kemudian masuk dan menyalakan lampu di ruang depan. Setelah merasa situasinya cukup aman, Dale mengangguk ke arah Maggie, memberinya ruang untuk masuk kemudian menutup pintu di belakangnya.
"Bagaimana pintunya bisa terbuka?" tanya Dale sembari menatap Maggie tajam. Tangannya tersembunyi di belakang pinggang tepat di mana ia meletakkan senjatanya di sana.
Sembari melepas mantel dan menggantungnya di tiang besi, Maggie menjawab, "aku tidak tahu. Mungkin Kate lupa menguncinya."
"Kau yakin Kate adalah orang terakhir yang datang ke sini?"
"Ya."
"Kapan terkahir kali dia datang?"
"Sekitar satu bulan yang lalu."
"Apa kau tidak memasang keamanan khusus di tempat ini?"
Maggie mulai merasa jengkel dengan semua pertanyaan itu. Ia membawa langkahnya mengitari ruangan sembari mengembalikan beberapa barang yang tidak terletak di tempatnya.
"Tidak. Ini rumah kayu dan jauh dari keramaian. Setiap orang yang masuk ke sini telah melewati keamanan di posko utama, jadi aku tidak memikirkan tentang sistem keamanan apapun. Lagipula, aku dan Kate jarang menempati pondok ini."
"Kau tetap harus menyediakannya untuk tindak pencegahan. Dan sekarang, tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana pintunya bisa terbuka. Kalau memang Kate lupa menguncinya, kuncinya seharusnya masih tergantung di pintu."
"Mungkin dia membawa kuncinya atau dia meletakkannya di sembarang tempat."
"Kalau begitu kau mencari kuncinya sementara aku berkeliling. Aku akan memeriksa tempat ini."
Pria itu pergi dengan cepat, meninggalkan kekesalan yang dirasakan Maggie karena sikapnya. Maggie tidak berhenti menggerutu ketika ia bergerak ke arah lemari pendingin untuk menyiapkan minuman. Tidak ada kopi yang tersisa. Yang ada hanya anggur putih kesukaannya dan kentang beku yang masih tersisa. Karena lapar, Maggie berpikir kalau kentang tidak akan jadi pilihan buruk untuk makan malam.
Dale memeriksa setiap sudut ruangan itu, memerhatikan setiap detailnya dan mencari sesuatu yang mungkin berguna untuk penyelidikan. Dale tahu Kate suka sekali mengoleksi aksesoris feminin dan barang-barang antik lainnya. Wanita itu menyukai segala jenis sepatu dan pakaian modis. Rupanya tidak hanya itu. Kate juga memiliki selera seni yang tinggi. Beberapa lukisan terpanjang di sepanjang lorong.
Dale meneliti lukisan itu satu persatu. Beberapa diantaranya adalah lukisan dengan objek sebuah bangunan tua dan manusia. Sebagian besar lainnya adalah lukisan yang mengambil tema natural. Lukisan itu ditandangani oleh seorang pelukis ternama pada zamannya. Keluarga Russell pasti membelinya dengan harga tinggi.
Ayahnya juga mengoleksi beberapa karya lukisan yang sama. Hampir di setiap sudut manor-nya terpajang lukisan dan patung antik yang dipahat secara khusus untuk Marquess of Cumberland. Hingga sekarang, Dale merasa geli memikirkan betapa besar dan berkelasnya bangunan itu. Dale selalu bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya di dalam bangunan yang cukup luas untuk menampung lebih dari seratus orang. Kakaknya Bryant selaku tahu bagaimana mengelola estate keluarga mereka, Dale sebaliknya. Ia lebih senang berkubang di sebuah bangunan kecil yang hanya cukup untuk satu atau dua orang.
Begitu sampai di ujung lorong, ia mendapati dua pintu yang mengarah ke sebuah kamar. Ia bergerak untuk mendekati pintu pertama di sisi kanannya. Ruangan itu menampakkan kamar tidur dengan sentuhan lembut dan aroma yang feminin. Tidak cukup lembut, tapi sederhana dan rapi. Tidak banyak barang yang mengisi ruangan. Hanya ada sebuah ranjang dengan seprai berwana putih polos, tirai jendela berwarna keemasan dan sebuah meja juga lampu tidur. Seseorang meletakkan sebuah vas bunga tiruan di sudut ruangan. Dan dari tempatnya, Dale bisa mencium aroma parfum yang familier. Kamar itu pasti milik Maggie.
Dale kemudian bergerak ke pintu yang lain. Kali ini ruangan yang berbeda menampakkan gambaran sebuah kamar feminin dengan sejumlah hiasan antik, seprai berwana merah lembut, beberapa pakaian berenda, juga sejumlah bingkai foto yang diletakkan di atas meja. Ia segera mengambil kesimpulan kalau kamar itu milik Kate Russell.
Kakinya melangkah masuk ke dalam. Matanya menyapu ke sekitar hingga berhenti di sebuah kotak musik antik dengan sentuhan yang feminin. Dale mengangkat kotak musik itu di depan wajahnya, merasakan berat dari besi yang ditempa dengan sempurna, kemudian menekan tombol on hingga kotak musik itu mengeluarkan melodi lembut yang enak di dengar. Satu jarinya tergerak untuk membuka pintu di bawah kotak musik. Ia menemukan sebuah catatan tua bertuliskan 'untuk adik yang kucintai, Kate'. Tersenyum, Dale segera mengembalikan kotak musik itu ke tempat semula kemudian bergerak untuk meneliti peralatan antik lainnya yang juga ada di meja itu.
Tangannya berhenti pada sebuah bingkai foto dengan potret wajah Kate yang diambil beberapa tahun yang lalu. Saat itu Kate berdiri di bawah patung pahatan yang menggambarkan sosok wanita menggenggam sebuah buku di tangannya. Gambarnya memperlihatkan Kate yang tersenyum lembut dengan sebuah tas selempang yang melingkari bahunya.
Ketika Dale beralih pada bingkai foto kedua, ia melihat gambar Kate bersama Emma Winslet di sebuah pesta musim panas. Kate hanya mengenakan bikini berwarna merah terang, hal lain yang Dale tahu tentang Kate adalah cara berpakaiannya yang berani. Sedangkan Emma Winslet mengenakan sesuatu yang lebih tertutup berupa kain tipis berenda. Dua wanita itu tersenyum ke arah kamera. Satu tangan Emma menggenggam sebuah payung berwarna biru cerah dengan bintik-bintik putih yang menambah sentuhan feminin.
Dale kemudian beralih pada foto terakhir. Ia mengangkat bingkai itu dan memperhatikan wajah yang terlukis di sana dengan detail. Wajah yang dikenalinya sebagai Walter, dan tiga pria lain. Dale mengernyit ke arah gambar itu. Dari semua gambar yang ada di sana, tidak ada satupun gambar Maggie yang terpajang. Apa mereka tidak pernah berfoto bersama? Lalu siapa tiga pria lain dalam foto terakhir itu? Karena ia mengenal Walter sebagai teman kuliah Kate, apa tiga pria lainnya juga merupakan teman kuliah Kate?
Pertanyaan itu seolah bergelimangan di kepala Dale sampai ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang di belakangnya. Kalau saja Maggie tidak bersuara, Dale mungkin tidak akan menyadari keberadaan wanita itu.
“Aku sedikit terkejut kau bisa menemukan ruangan yang tepat.”
Dale berbalik ke arah Maggie, satu tangannya masih menggenggam bingkai foto itu.
“Kelihatannya seperti kamar Kate,” sahut Dale, enteng. Ia masih berdiri di tempatnya ketika Maggie berjalan ke arah jendela. Wanita itu menggenggam gelas yang terisi penuh di tangannya. Sementara Maggie menyibak tirai jendela dan menatap ke luar, Dale masih memandanginya. Tiba ketika Maggie kembali menatap ke arahnya, Dale melambaikan tangan pada gelas dalam genggaman Maggie.
“Apa itu untukku?”
Wanita itu bergeming memandanginya. “Kau suka wine? Hanya ini yang tersisa di lemariku.”
Dale berjalan ke arah Maggie dan menerima pemberian itu dengan senang. “Kenapa tidak?”
Selama sejenak Maggie bersandar di tepi jendela saat memerhatikan Dale menelan minumannya dengan cepat. Pria itu kemudian bergabung dengannya dan mengambil posisi duduk di tepian jendela sementara matanya menatap ke arah Maggie.
“Kate suka sekali tempat ini,” mulai Maggie. Tatapannya tampak kosong seolah wanita itu sedang memikirkan sesuatu yang jauh di sana. “Ini rumah peninggalan nenekku. Bangunan ini usianya hampir seratus tahun.”
Maggie menunggu Dale untuk mengatakan sesuatu dan ketika pria itu tidak juga berbicara, ia melanjutkan.
“Dia pulang setiap bulan dan menghabiskan waktu selama seminggu. Dan di musim dingin, dia menghabiskan lebih banyak waktu di sini. Dulu saat kami kecil, aku dan Kate sering bermain di pekarangan. Nenek dan ibu kami masih hidup. Mereka sering mengajak kami ke sebuah danau di dekat sini dan belajar bercocok tanam. Hingga sekarang aku masih mengingatnya,” Maggie tersenyum. Matanya menerawang ke luar jendela saat wanita itu bernostalgia dengan masa lalunya. “Aku masih ingat detailnya. Kami memakai baju warna pink, dan Kate memilih sendal berbulu kesukaannya. Semua itu pemberian. Aku tidak akan pernah melupakan masa-masa itu."
"Apa yang terjadi?"