Boston, Massachusetts
November, 2006
Peter menemui Susan Golding sebagai orang terakhir yang ada bersama Esther sebelum penculikan itu terjadi. Susan adalah teman kuliah Esther. Wanita berambut gelap dengan usia sekitar dua puluh tiga tahun itu mengaku kalau ia dan Esther berniat menghabisi malam mereka untuk berkencan dengan dua orang pemuda yang mereka jumpai dalam malam festival. Mereka adalah Tony dan Nick.
Pada pukul delapan, mobil Susan menjemput Esther di halaman rumahnya. Julia Reene sebagai ibu Esther juga mengaku kalau wanita itu tidak mengetahui kalau putrinya telah memiliki rencana khusus untuk berkencan. Kalau Julia tahu apa yang akan terjadi pada Esther, ia akan mencegahnya sebisa mungkin.
Malam menjelang pukul sepuluh, pesta hampir akan berakhir. Susan dengan berat hati mengakui kalau mereka menghabiskan dua jam pertama dengan mabuk di sebuah klub dan bersenang-senang dengan dua pemuda itu. Setelahnya, Susan tidak benar-benar mengingat apa yang terjadi.
"Dia muntah-muntah," aku Susan dengan wajah merah. Wanita muda itu tampak begitu gugup ketika duduk berhadap-hadapan dengan polisi dan melewati proses wawancara di ruang interogasi.
"Apa yang dia lakukan setelah itu?" tanya Jesse yang duduk di seberang. "Apa kau ingat kemana perginya Esther?"
"Dia ke luar. Aku rasa. Dia bilang dia butuh udara segar."
"Di mana posisi Simon dan Nick saat Esther keluar dari area klub itu?"
"Mereka berkumpul bersama teman-temannya di meja biliar."
"Kau yakin?"
Susan mengangguk.
"Apa kau tidak melihat salah satu dari mereka keluar bersama Esther, atau barangkali kau melihat orang lain yang mengikuti Esther sampai di luar?"
Susan menggeleng. "Aku tidak ingat. Saat itu Esther hanya mengatakan 'aku ingin keluar, aku butuh udara segar,' kemudian, ketika dia tidak juga kembali, aku mencarinya. Dia menghilang. Aku pikir dia memutuskan untuk pulang."
"Kau tahu Esther tidak membawa kendaraan, kan?"
Susan mengangguk.
"Lalu menurutmu, siapa yang mengantarnya pulang?"
"Aku tidak tahu. Mungkin dia memanggil taksi."
"Apa kau menghubungi Esther setelah itu?”
"Ya, beberapa kali, tapi panggilanku dijawab oleh pesan suara."
"Apa kau menghubungi telepon rumahnya?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Aku takut. Ibunya akan marah mengetahui hal ini."
"Esther tidak mengatakan pada ibunya kemana dia akan pergi malam itu?"
Susan menggeleng. "Kami berbohong. Esther hanya mengatakan kalau kami ingin mengerjakan tugas kuliah."
"Apa yang kau ingat disepanjang perjalananmu untuk sampai di klub itu?"
Susan tertegun saat pikirannya berputar sambil berusaha mengingat apa yang terjadi malam itu. "Ada sebuah mobil yang mengikuti kami."
Saat itu Peter dan Jesse saling bertukar pandang. "Mobil jenis apa?"
"Toyota hitam."
"Apa kau melihat mobil itu sebelumnya?"
"Tidak. Tapi Esther melihatnya, dia mengatakan padaku kalau ada seseorang yang mengikutinya beberapa hari belakangan."
"Apa Esther mengenali wajah orang yang mengikutinya?"
"Tidak. Dia hanya melihatnya dari dalam mobil. Dia menceritakan kejadian itu sekali. Dia pikir dia paranoid."
"Kapan dia mengatakan hal itu padamu?"
"Sehari sebelum kami pergi ke klub."
"Apa Esther pernah terlibat dalam suatu pertikaian dengan seseorang yang tahu? Masalah yang dialaminya beberapa hari belakangan ini?"
"Tidak. Sebelumnya semuanya baik-baik saja."
"Kau tahu bagaimana latar belakang dua pria yang kalian dekati ini?"
"Tony dan Nick mengaku kalau mereka bekerja sebagai pemandu tur. Mereka juga bilang kalau mereka suka bermain biliar. Itu saja."
"Apa mereka pernah mengatakan padamu di mana letak rumahnya, atau informasi lain selain pekerjaan mereka dan kegemaran mereka bermain biliar?"
"Mereka tinggal di kampung pemukiman warga. Mungkin. Kami hanya bertemu dengan mereka dua kali. Pada malam festival itu dan malam ketika Esther menghilang. Kami tidak berbicara banyak dengan mereka.”
“Apa kau bisa menggambarkan ciri identik mereka?”
“Ya, mereka laki-laki berambut gelap dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter. Simon cukup gemuk, tapi Nick lebih tinggi dan kurus.”
“Berapa usia mereka?”
“Sekitar dua puluh lima sampai dua puluh sembilan tahun.”
Jesse menutup buku catatannya kemudian beringsut mundur dan menyadarkan tubuhnya pada punggung kursi. Ia membiarkan Peter menyelesaikan sesi wawancara itu untuknya.
“Pertanyaan terakhir, Miss Golding,” kata Peter. “Apa kau tahu seseorang yang memiliki nama dengan inisial J.D. Holly?”
Susan bergeming, kemudian menggeleng untuk menanggapi pertanyaan itu.
“Kau tahu ada apa dengan 1994 J&R?”
“Tidak.”
Peter mengangguk kemudian berdiri untuk menjabat tangan wanita itu. Ia membimbing Susan hingga sampai di luar ruangan di mana dua orang petugas telah menunggu untuk mengantar wanita itu ke luar.
Segera setelah kepergian Susan, O’Neill bergabung bersama mereka. Michael Hart kemudian menyusul setelahnya.
“Duncan mengabarkanku perkembangan terbaru terkait penyelidikan cincin dan inisial dalam lingkaran cincin itu,” kata O’Neill. Peter, Jesse, dan Hart masih menunggu kepala polisi itu untuk menyelesaikan penjelasannya sebelum balik bertanya.
“Apa J&R itu merupakan inisal nama?”
“Itu tidak dapat dipastikan, tapi setelah mengaitkan seluruh properti yang kita miliki saat ini: sebuah gaun pengantin, buket bunga lili dan anyelir dan sebuh cincin, aku berpikir bahwa 1994 J&R yang tertulis di sana mengartikan suatu momentum.”
“Sebuah pernikahan?”
“Benar.”
“Dan setelah meminta Duncan untuk mengumpulkan daftar pernikahan yang terjadi pada tahun 1994, kita mendapat beberapa nama. Dan coba tebak, ada sebuah nama yang kemungkinan besar adalah nama yang kita cari. Pernikahan itu tercatat terjadi pada tahun 1994. Seorang wanita bernama Jane Darlene Holly, menikahi pria bernama John Rawls. Pernikahan itu belum tercatat secara resmi, tidak ada akta pernikahan, dan itu adalah pernikahan kedua Jane setelah pernikahan pertamanya yang terjadi pada tahun 1992 bersama seorang pria bernama Jack Monroe.”
O’Neill menjulurukan sebuah laporan yang didapatnya terkait profil wanita kelahiran North Carolina itu pada Peter dan Jesse. Hart melangkah mendekat untuk ikut membaca laporan itu. J.D. Holly, memiliki nama kecil Hillary Chinton, satu-satunya putri dari Harry Chinton dan Margaret Chinton. Hillary menghabiskan dua belas tahun masa kanak-kanaknya di tempat kelahirannya kemudian pindah ke Boston pada usianya yang ke-13. Hillary sempat bersekolah beberapa tahun sebelum akhirnya ia putus sekolah dan menjalani kehidupannya sebagai penyanyi di klub-klub kecil di Boston.
Karier Hillary melejit setelah tiga tahun ia menjalani profesinya sebagai seorang penyanyi. Seorang produser menyewa Hillary untuk bernyanyi di panggung pertunjukannya dan sejak saat itu, nama Hillary mulai dikenal khalayak orang. Hillary kemudian menyewa Hunston sebagai managernya dan mengubah nama panggungnya menjadi Jane Darlene Holly. Boleh dibilang, Hillary adalah seorang aktris yang terkenal di Boston. Wanita itu menghasilkan keuntungan besar dalam setiap pertujukannya. Hingga akhirnya Hillary menikahi seorang pria kaya asal Boston bernama Jack Monroe.
Pernikahan itu berlangsung damai dalam beberapa bulan sebelum kabar tentang KDRT yang dilaporan Hillary pada pihak kepolisian tersiar. Jack Monroe dituntut karena melakukan tindak KDRT. Yang sangat disayangkan, Monroe sangat kaya dan ia memiliki pengaruh besar pada masa itu. Monroe bahkan menyewa seorang pengacara dengan ternama asal Brookline dengan bayaran tinggi, dan berhasil memenangkan kasus itu di persidangan. Jack bebas dari tuduhan dan laki-laki itu tidak dipenjara atas kesalahannya. Sebaliknya, ia menuduh Hillary telah melakukan tindakan pelanggaran janji pernikahan karena wanita itu telah berselingkuh dengan John Rawls. Seolah membuktikan tuduhan Monroe, Hillary menikahi Rawls pada 1994 secara tidak resmi dan tidak ada catatan lain yang menjelaskan kelanjutan kisah itu.
“Jane Darlene Holly memiliki ciri identik yang lebih cocok dengan yang kita cari,” komentar Jesse setelah mempelajari struktur wajah Hillary dengan detail. Gambar itu menampakkan sosok wanita muda berusia sekitar akhir dua puluhan, berambut pirang, dengan struktur tulang wajah yang bagus, cantik dan memiliki warna mata biru terang. “Kemiripannya dengan dua korban yang kita temukan terlihat jelas. Dia wanita berambut pirang, muda, cantik dan memiliki warna mata biru terang.”
“Itu dia!” O’Neill mencari tempat sandarannya di tepian meja.
“Mungkinkan J&R itu artinya John Rawls?” tanya Peter.
“Tidak. Inisial itu terdiri dari dua nama. Kemungkinan besar Jane dan Rawls.”
“Itu cukup menyakinkan,” komentar Jesse. “Pernikahan mereka juga terjadi pada 1994, kan?”
“Ya," sahut O'Neill. Kernyitan terbentuk di seputar dahinya ketika ia tertegun untuk mempertimbangkan kasus itu. "Pembunuh ini jelas telah memilih korban yang sesuai dengan ciri identik Jane Darlene, jika memang benar wanita itu yang dimaksud J.D. Holly."
"Pertanyaannya," tegas Peter. "Mengapa ia memilih Jane Darlene dan apa kaitannya dengan para korban peti mayat?"
"Coba hubungi Duncan dan minta dia untuk melacak keberadaan wanita bernama Jane Darlene Holly, atau Hillary Clinton. Jika diperlukan lacak juga keberadaan suami dan mantan suaminya!" Pinta O'Neill sebelum meninggalkan ruangan itu. "Aku akan menemui awak media yang sudah berkerumun di luar dan membantu Kirk. Pastikan informasi ini jangan sampai menyebar ke publik sampai aku memutuskan waktu yang tepat."
O'Neill bergerak ke luar melalui pintu dari arah datangnya dan meninggalkan Peter, Jesse juga Hart di sana.