4. Am I too Late?

1432 Words
“Sial! Sial! Sial!” Aku mengumpat sepanjang jalan, tapi kenapa masih saja kaki ini tetap terasa lambat. Berlari di atas sepatu dengan hak yang tidak tinggi juga tetap sangat sulit. Pagi ini, aku bangun lebih siang dari sebelumnya. Tidak seperti biasanya, ya! Sangat menyebalkan memang! Ketika periode bulananku dimulai dan seluruh tubuh rasanya sulit digerakkan, terutama saat berpelukan dengan guling di atas kasur. Tapi kenapa harus terjadi hari ini? Hari di mana aku harus tetap ke sekolah meski tak ingin. “Bu Shanum, tumben terlambat?” tanya seorang satpam yang menunggu di lobi gedung setelah aku melakukan absen sidik jari. Aku pun hanya tersenyum sambil jalan tergesa-gesa untuk memasuki lift khusus guru. Tentu saja, aku sudah pertanyaan yang sama dari satpam penjaga gerbang utama sebelumnya dan satpam gedung ini adalah yang kedua. Masih berpacu dengan waktu. Kubetulkan lagi sedikit bagian yang berantakan dari kerudung dan pakaianku. Kuhirup napas dalam-dalam, lalu kuembuskan perlahan agar tidak terlihat jika aku sedang terengah-engah. Pintu lift terbuka di lantai yang aku tuju. Mencoba untuk biasa saja dan berjalan dengan netral, aku melewati pintu yang menuju ke area semi outdoor di lantai ini. Di mana area tersebut mengarah ke kantin dan juga tempat istirahat. “Bu Shanum ..., kamu enggak ikut briefing kepala sekolah tadi, ya?” Seorang guru pria dengan usia sebaya denganku tersenyum sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. “Tadi ... ada briefing, ya?” tanyaku balik dengan wajah berdosa. “Tenang aja, tadi pak kepsek juga enggak sadar kalau kamu enggak ada. Dia cuma mengingatkan kalau hari ini kehadiran yang dinilai sebagai poin mulai berlaku,” timpal Bu Anita yang berjalan menyusul di belakang guru tersebut. Mereka pun masuk lift, sementara guru pria yang tadi masih menunjukkan senyum mengerikannya sebagai tanda agar aku waspada. “Ah, terserahlah!” Kulanjutkan langkah menuju ruang guru. Tidak ada yang memarahiku di sini, karena kebanyakan guru sudah pergi dari ruangan menuju kelas yang akan mereka ajar hari ini. Hanya tersisa beberapa guru, yang bersikap biasa saja dengan kedatanganku. Sepertinya mereka tidak sadar jika aku terlambat. Mungkin ini disebabkan karena aku tidak membawa tas saat datang tadi. Hehe. Iya, aku ... jarang membawa tas. Kebanyakan dari kami hanya datang membawa tas jika ada perangkat pembelajaran dari rumah. Selebihnya, sudah kami siapkan di sekolah dan juga dalam diska lepas. Sangat praktis, bukan? “Bu Shanum!” Seseorang memanggilku dari luar. “Iya!” jawabku pada orang yang sedang berdiri di pintu tersebut. Dia tak menjawab, hanya melambaikan tangan sebagai perwakilan dari ucapannya saat memintaku untuk mendekat. Akhirnya aku menghampiri orang yang berdiri di dekat pintu itu. “Ada apa, Bu?” Sedikit rasa takut menyelimuti karena aku baru saja melakukan kesalahan. Dia menunjukkan selembar kertas, di sana tercatat jam masuk para guru saat melakukan absensi sidik jari. “Iya, saya kebetulan tidak ada jam pertama, Bu. Maaf!” jawabku apa adanya. “Kamu lupa, ya? Hari ini poin-poin pelanggaran sudah mulai diberlakukan.” Dia tidak menghardikku dengan kasar. Bahkan tangannya mengusap pundakku dengan lembut. Apakah ini pertanda baik? Belum tentu! “Pak kepala sekolah mau berbicara denganmu! Kebetulan hanya kamu yang guru SMA yang terlambat hari ini. Yang sabar, ya!” Sial sekali! Sudah kubilang, itu bukan pertanda baik. “Kalau dia memarahimu, jangan lihat kumisnya! Semangat!” Dia berteriak sambil memberiku semangat dibalut senyum ceria. Tapi itu sama sekali tak berdampak apa-apa pada tubuhku yang sudah terlanjur lunglai di pagi hari. Belum lagi rasa sakit di perut bagian bawah yang melilit karena hari pertama periode bulanan. Lengkap sudah! ** Tak membutuhkan waktu lama, agar aku terjebak dalam ruangan ini. Di mana terdapat gambar pasangan presiden dan wakil presiden, lalu ditengahi oleh seekor patung garuda. Lalu di hadapanku adalah Pak Kepala Sekolah botak yang sedang menggaruk-garuk kumisnya. “Anda ini ... guru transfer yang dari yayasan pusat di Jakarta, itu, kan?” Alih-alih langsung memberi hukuman, ternyata bapak ini malah bertanya tentang asal-usulku. Aku beri dia jawaban dengan anggukkan kepala. “Oke, berarti Anda yang paling senior di sekolah ini, jika dihitung dari pengalaman mengajar dengan yayasan.” Aku mengangguk lagi. Iya, kuakui aku memang sudah mengajar di yayasan ini, bahkan saat yayasan ini baru pertama ada. Dimulai dari guru TK, lalu pindah menjadi guru SD dan berakhir menjadi guru SMA. Kebetulan jurusan PAI bisa mengajar dari SD sampai SMA. Dia menghela napas dengan berat. “Apa Anda sudah tahu dengan sistem poin ini? Seharusnya Anda menjadi contoh bagi guru yang lain.” Dia kembali mengomeliku. Seharusnya dia melihat rekam jejakku selama ini, aku tidak pernah terlambat sama sekali sebelumnya. Tapi hari ini, Tuhan sedang memberikan apes padaku. “Maaf, Pak. Saya bersedia untuk dihukum. Saya mengaku salah.” Meminta maaf adalah jalan terbaik. Memang saat ini bukan saatnya untuk beralasan membela diri. “Untuk hari pertama, saya belum berhak memberi hukuman.” Ucapan Pak Kepala setidaknya membuat garis bibirku sedikit naik. “Terima kasih, Pak!” jawabku dengan hati riang dan bibir berkedut menahan senyuman. “Bukan berarti Anda bebas. Saya ini jarang sekali memanggil guru yang terlambat. Apalagi sudah ada sistem poin, saya tinggal tambah poin pelanggaran saja daripada membuang waktu untuk menceramahi Anda.” Kali ini dia kembali memasang wajah tak ramah dengan kumis melengkungnya lagi. Aku pun menunduk. Sudahlah apa pun yang dia katakan, dengarkan saja! “Pak Ketua Yayasan ingin mengumpulkan orang yang terlambat di hari pertama. Itu sebabnya saya memanggil Anda, karena tadinya saya berharap tidak ada yang terlambat untuk guru-guru SMA.” Apa yang dikatakan oleh Pak Kepala Sekolah barusan membuat aku mendongak menatapnya. Biji mataku bergetar seolah memohon ampun padanya. “Pak, saya bersedia diberi poin pelanggaran saja, Pak!” Kali ini aku mencoba memohon sambil mendongak padanya. “Itu nanti tergantung kebijakan Pak Ketua! Silakan Anda tinggalkan ruangan saya!” Mampus! Ketika ucapan sang kepala sekolah tak bisa ditawar lagi, akhirnya aku terpaksa balik kanan dan meninggalkan ruangan ini. ** Empat orang. Satu orang guru SD, dua orang guru SMP dan seorang guru SMA, yaitu aku. Kami berada di ruangan yang sama, bukan ruang kepala sekolah seperti tadi, tapi ruangan ketua yayasan. Ini sungguh memalukan. Tapi yang lebih memalukannya lagi, di depanku adalah si ketua yayasan yang baru ini. Ya, dia adalah Rasya Nareswara. Si mantan suami yang menjadi alasan kenapa aku menunduk untuk membenamkan pandanganku. Kenapa pertemuan pertama kami setelah sekian lama tak bertemu seperti ini? Tidak, aku bukan mempermasalahkan pertemuan pertama ini. Aku hanya ... tidak berharap untuk bertemu dia lagi. “Tapi jika dilihat dari data guru terlambat sebelumnya. Jumlah ini sangat menurun. Dari mulai guru TK sampai SMA, ini yang paling sedikit. Sepertinya sistem poin yang saya terapkan benar-benar memberi dampak yang baik!” Dia memakai kacamata dan membaca laporan di tangannya. Sekali lagi ingin aku tegaskan, aku tidak pernah terlambat! Tapi hari ini aku sedang apes! “Anda bertiga ini memang sering sekali terlambat. Apa yang menjadi kendala kalian?” tanyanya kepada tiga orang di sampingku. Karena yang ditanya bukan termasuk aku, maka aku masih menenggelamkan wajah dan menunduk. Sebaiknya dia tidak menyadari siapa aku! Tapi namaku sudah terpampang dalam laporannya! “Maaf, Pak. Rumah saya jauh.” Salah seorang dari kami menjawab dan membuat alasan. Sementara dua yang lain terdiam sama seperti diriku. “Kalau yang lain?” Tidak ada yang menjawab. Dua lainnya adalah guru SMP perempuan. Setahuku keduanya sudah menikah, mungkin mereka sibuk di pagi hari karena mengurus keluarga. Biasanya seperti itu! “Baiklah karena tidak menjawab, saya beralih pada Bu ... siapa ini, guru SMA, ya? Bu Shanum, apa yang membuat Anda terlambat?” Dia lupa padaku? Dia sedang berpura-pura atau memang tidak ingat? Oh, iya! Dia sedang menjadi profesional di sini. “Selama ini Anda tidak pernah terlambat, tapi kenapa di hari pertama peraturan baru diterapkan, Anda malah terlambat?” tanyanya sambil berjalan ke arah kami. Dia berdiri tepat di depanku dengan jarak kurang dari satu meter. “Di mana ... hari ini bertepatan dengan hari pertama saya menjadi ketua yayasan. Apa Anda sengaja?” Jari-jariku meremas satu sama lain. Apa maksud ucapannya? Aku sengaja? Di hari pertamanya? Aroma parfum maskulin yang familiar dengan hidung ini mulai terhirup, perlahan semakin menyeruak dalam indra penciuman seiring dengan langkah kakinya yang semakin mendekat. Dia berdiri tegak dan aku dapat melihat sepatunya yang kini berada di lantai granit yang sama dengan sepatuku. “Jika ada orang yang bertanya kepada Anda, lihatlah ke arahnya, Bu Shanum!” Aku menelan ludah. Telapak tanganku semakin berkeringat dan jari-jari yang kumainkan terasa semakin dingin juga basah. Apa mungkin yang sengaja adalah dia? Apa lebih baik aku resign saja? Aku tidak sanggup seperti ini. Apalagi ketika bariton itu berucap lebih keras di depanku. “Lihat saya dan jawab saya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD