SELAMAT JALAN PAK ARDIAN, SEMOGA CITA-CITAMU TERCAPAI DI LUAR SANA. TERIMA KASIH UNTUK SEMUA JASAMU SELAMA BERSAMA KAMI.
SELAMAT DATANG KETUA YAYASAN BARU, BERSAMA KAMI KITA BERGERAK UNTUK LEBIH MAJU LAGI
Aku melongo menatap pada banner yang terpampang di gedung serbaguna. Kata-kata klasik yang tertulis di sana, mengucapkan perpisahan untuk ketua yayasan yang lama. Lalu ... ucapan selamat datang untuk ketua yayasan baru yang ditulis tanpa nama.
Seperti yang dikatakan Pak Kepala kemarin, mungkin ketua yayasan kali ini ingin merahasiakan identitas sebelum dia benar-benar datang kemari.
Semoga kejutan itu tidak membuat aku sampai jantungan.
Potret Pak Ardian, pria dengan usia kepala tiga tersenyum lebar di sisi tulisan tersebut. Dalam foto itu, dia tampak sangat bahagia dengan perpisahan ini. Sementara untuk ketua yang baru, jangan harap ada fotonya karena namanya sendiri pun ia rahasiakan.
"Punten, Bu Shanum. Minggir dulu!"
Spontan aku melangkah mundur saat ada panitia yang masuk membawa dekorasi ruangan.
"Anak SMA nanti perwakilan berapa orang, Bu?" Salah satu panitia itu bertanya kepadaku.
"Anak OSIS sama beberapa dari perwakilan angkatan. Berapa, ya, jumlahnya?" Senyum dengan mata menyipit kuberikan sebagai permintaan maaf karena aku tak tahu jumlah tepatnya.
"Anak OSIS sekitar 45 orang, perwakilan angkatan paling cuma 15 orang saja. Per angkatan hanya 15 orang, kan?"
Aku menoleh pada seseorang yang bicara di belakang.
"Bu Anita? Kirain siapa."
"Sekitar 60 orang ya, SMP juga sama segitu kayaknya." Panitia itu menimpali kami.
"Setiap sekolah 60 orang mungkin, kecuali dari TK. Anak TK nggak ada yang ikut." Bu Anita menimpali lagi.
Sebagian guru dari SMA yang sudah tidak ada jam pelajaran datang ke gedung ini. Kami membantu sedikit-sedikit persiapan untuk acara perpisahan dan penyambutan ketua yayasan.
**
"Terima kasih atas kebersamaan dan kekompakan yang kalian tunjukkan selama ini. Semuanya akan saya kenang dan saya jadikan pelajaran dalam hidup saya. Akhir kata Wassalamu'alaikum warramatullahi wabarakaatuh."
Ketua Yayasan lama itu pun turun dari podium.
Semua jajaran petinggi yayasan menyalami beliau diiringi dengan riuh tepuk tangan dari para siswa dan guru yang menghadiri acara ini.
"Ketua yayasan yang baru belum kelihatan, ya?"
"Ini, kan, sekaligus dengan acara penyambutan, kan?"
"Iya, mungkin masih di belakang."
Bisik-bisik para hadirin di sekitarku menanyakan sang ketua yayasan baru. Sampai detik, pengganti dari Pak Ardian itu masih belum terlihat.
Hingga akhirnya riuh ini bersambung karena seseorang datang dari arah pintu masuk. Dia tidak sendiri, melainkan diiringi dengan beberapa orang lain, salah satunya adalah Kepala Sekola botak yang memimpin SMA.
Para hadirin menjadi semakin ribut membicarakan kehadiran orang tersebut. Sementara itu guru-guru dan wakil kepala sekolah yang berada di jajaran depan, semua berdiri memberi penyambutan.
Apakah dia ketua yayasan yang baru?
Tentu, bukan!
Aku di sini masih bisa tersenyum meski tidak terlalu lebar untuk menyambut kedatangannya.
"Bu Laura yang datang, mana anaknya?"
"Katanya yang jadi ketua yayasan baru itu anak Bu Laura."
"Iya, tapi kenapa hanya Bu Laura yang di sini."
Desas-desus terdengar dari belakang membicarakan orang yang baru datang.
Perempuan yang menjadi pimpinan utama yayasan pusat itu kini melempar senyum pada para hadirin. Kemudian dia pun duduk di samping ketua yayasan lama.
"Terima kasih kepada Pak Ardian selaku ketua yayasan Nareswara Education Centre cabang Bandung kita yang telah memberikan ucapan perpisahan. Semoga amal bakti beliau selama bekerja di sini dinilai sebagai ibadah oleh Tuhan Yang Maha Esa. Prakata selanjutnya, akan disampaikan oleh ketua yayasan dari pusat Nareswara Education Centre. Kepada Ibu Laura yang telah hadir kami persilakan."
Seorang ibu yang duduk di depan dengan setelan formal berwarna biru dongker itu pun berdiri.
Perempuan paruh baya yang dulunya sering kujumpai, tapi sekarang menjadi jarang karena jarak yang memisahkan kami.
Jika ditanya, apakah aku dan dia masih membicarakan pasal Rasya bila bertemu? Jelas jawabannya tidak!
Kali terakhir aku berkata jika aku menolak lamaran resmi dari anaknya. Bahkan aku memilih berpisah karena tak ingin membuat mantan suamiku itu durhaka pada ibunya.
Ya, setelah itu, tidak ada lagi percakapan tentang Rasya di antara kami.
Tapi meski begitu, aku sangat bersyukur karena bisa tetap bekerja di yayasannya. Bahkan sampai aku lulus Pascasarjana.
"Tadi saya mendengar selentingan, di sudut sana ada yang bertanya, kok ibunya yang datang? Bukankah ketua yayasan baru kita adalah anaknya? Hayo ngaku, tadi ada bertanya seperti itu waktu saya datang."
Kami memperhatikan Bu Laura yang memberikan sambutan. Beberapa orang ada yang tertawa karena pertanyaan yang dilontarkan oleh pendiri yayasan tersebut.
"Jadi, Pak Rasya memang akan menggantikan Pak Ardian. Tapi yang berdiri di sini sekarang memang harusnya saya. Karena yang dipanggil oleh pembawa acara tadi adalah pimpinan pusat, benar? Ayo fokus, dong! Jangan cari yang tidak ada."
Semua mendadak tertawa lagi membenarkan ucapan Bu Laura. Semakin lama, apa yang dia ucapkan semakin menegaskan jika yang menjadi ketua yayasan baru memang benar, Rasya.
"Pak Rasya akan datang ke Bandung hari ini, tapi beliau sedang ada urusan yang mungkin akan membuat terlambat datang."
Sekarang keringatku semakin banjir di dahi. Seakan pori-pori di kepala ini semakin terbuka dan menguapkan setiap tetes cairan yang ada dalam otak.
"Wah, jadi bener Pak Rasya, anak Bu Laura." Orang di sampingku memulai gosipnya.
Bisik-bisik ini begitu menggelitik, aku tidak tahan lagi, aku akan keluar sebentar untuk mencari udara segar.
"Bu An, aku keluar dulu."
Kutepuk bahu guru di sampingku ini, Bu Anita.
"Ke mana? Ikutlah, ikut! Mau ke kamar mandi juga." Dia akhirnya mengekor padaku.
Bukan aku tak menghargai orang yang sedang di podium, tapi ... aku benar-benar merasa tidak baik-baik saja di sini.
Bukan pula karena melihat Bu Laura lantas aku mengingat pada anaknya yang telah memberi luka. Tidak, bukan seperti itu. Bertahun-tahun aku bekerja dengannya dan berusaha sangat profesional. Tidak mungkin hanya karena ibunya berdiri di podium sekarang, lantas aku jadi terbawa perasaan.
Hanya saja, untuk saat ini aku belum memiliki persiapan matang.
Ibunya berbeda dengan anaknya. Aku masih belum siap bertemu dengan Rasya.
Apa yang harus aku katakan bila kita bertemu lagi?
Bagaimana seharusnya aku bereaksi bila sampai kita berpapasan lagi?
"Bu Shanum, tunggu, ya! Kamu nggak mau ke kamar mandi dulu?" Bu Anita langsung terburu-buru masuk.
Sementara aku masih berdiri di depan cermin. Aku tidak terlalu ingin ke kamar mandi. Di sini aku hanya ingin menghirup udara segar dan menghilangkan rasa gemetar yang sejak tadi menyiksa.
"Kok nggak ke kamar mandi?" tanya Bu Anita yang keluar dari salah satu bilik. Dia langsung menghampiri cermin dan menarik-narik tepian kerudung dari bagian dalam.
"Enggak, cuma pengen keluar sebentar saja."
Bu Anita membulatkan bibirnya sembari membentuk ulang bagian ujung atas kerudungnya.
"Dulu pas Bu Shanum di Jakarta, berarti ketemu terus sama Bu Laura, ya?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Tidak sering. Ya sama seperti kita kalau di sini, memang kita sering bertemu dengan Pak Ardian?"
Dia pun menganggukkan kepala.
Setelah membereskan penampilan, kami pun berjalan keluar dari tempat ini. Akan tetapi, suara langkah kaki terdengar bergemuruh dari arah yang berlawanan.
Bu Anita berjalan terlebih dahulu, tapi dia tiba-tiba melangkah mundur.
"Aduh!"
Punggungnya mengenai wajahku.
"Sorry! Sorry! Di sana ada orang!"
Tidak biasanya dia bersembunyi karena ada orang yang lewat. Gedung ini memang sudah lumrah dilalui banyak orang.
"Memang siapa?" tanyaku.
"Lihat saja!" Dia menyuruhku berjalan terlebih dahulu untuk melihat siapa orang-orang yang suara langkah sepatunya ini memenuhi lorong gedung.
Tanpa tedeng aling, dia mendorongku dan membuat aku menoleh pada sumber suara.
Lima orang pria bertubuh tegap berjalan dari arah berlawanan.
Seseorang yang berada di paling tengah tampak mendominasi. Dia yang paling tampan dari lainnya. Wajahnya paling cerah dengan tatapan yang begitu familiar di mataku.
"Yang tengah itu anak Bu Laura! Itu Pak Rasya! Ganteng banget, Maasha Allah!"
Ucapan dari Bu Anita terdengar melewati telinga.
Otakku kembali penuh.
Apa yang harus kuucapkan?
Bagaimana harus bersikap?
Aku ... belum siap.
"Silakan masuk, Pak!"
Salah seorang pria yang berdiri di sampingnya membukakan pintu ruang serbaguna yang ada dalam gedung ini.
Dia masuk ruangan tanpa melihatku. Mungkin dia tidak sadar akan keberadaanku atau memang sengaja mengabaikan aku.
Haha, Shanum! Dia yang meninggalkanmu. Mana mungkin dia datang kemari lalu sengaja mencariku?
Seharusnya yang kupikirkan bukan "Apa yang harus kuucapkan?" atau "Bagaimanna harus bersikap?"
Melainkan "Apa dia akan menyapa?" atau "Bagaimana dia akan bersikap saat melihatku?"
Tapi sekarang aku sudah tahu jawabannya.
Aku terlalu takut untuk terkejut.
Padahal sebenarnya, orang yang aku takutkan sama sekali tak akan memberi kejutan apa-apa padaku.
Baiklah!
Kuhirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan.
"Bu Shanum, sudah melongonya!"
"Ah, iya! Ayo kembali!"