Padahal wafatnya ibu sudah berlalu satu minggu, tapi rasa sedih tidak kunjung menghilang. Aku masih tidak terima dengan semua ini, aku merasa kesepian tanpa ibu. Masih banyak yang ingin aku buktikan kepada ibu, kalau aku anaknya sudah menjadi anak yang jauh lebih baik.
"Sudahlah, jangan terus kamu tangisi, kasihan ibu. Kamu sudah besar Hafshah, bukan anak kecil lagi, kamu harus berkaca, pantas tidak kamu berlaku seperti itu sekarang?" ucap Kak Farhah seraya melempar pakaianku yang baru kering ke kasur.
"Lihat! Satu minggu ini kamu hanya tidur, menangis, makan, begitu terus, disuruh sekolah alasannya banyak banget. Hafshah, sadar hey! Merenung mending, benar tidak kamu harus seperti itu?" Sudah aku bilang, Kakakku ini jarang sekali ngomel, sekalinya ngomel kata-katanya itu benar-benar bisa membuatku skak dan langsung merenung di saat itu juga.
Setelah mengeluarkan kata-katanya yang ampuh mujarab dia langsung melesat tanpa aku sadari. Rasanya beruntung sekali nanti laki-laki yang akan menjadi suami kakakku. Tidak sepertiku, ah lagi-lagi bayangan wajah ustaz Ali memenuhi pikiranku.
Keluargaku belum ada yang membicarai prihal ini, semoga saja apa yang dibicarakan ustaz Ali tidak benar. Aku tidak sudi menjadi istrinya, dan aku pun tidak mau menikah di usia muda. Aku masih mau menggapai cita-citaku.
Daripada aku terus mengalir ke arah yang salah lebih baik aku putar balik arahku ke arah yang lebih baik. Di saat itu juga aku bangkit dari keterpurukanku yang tidak sewajarnya. Aku berjalan menuju kamar mandi, aku basuh wajahku dengan air wudu, di hati timbul kerinduan, rindu akan kedekatan dengan Allah yang sebelumnya aku cap sebagai Tuhan yang tidak adil. Astaghfirullah.
Setelah selesai menunaikan salat Isya aku memilih untuk ke dapur terlebih dahulu. Perutku terasa sangat lapar, sejak tadi pagi aku mogok makan.
"Sudah mau makan?"
Seketika aku terkejut, gelas pelastik yang sebelumnya kugenggam sudah terjatuh ke lantai.
"Ya Allah, Ayah, Hafshah kira siapa," ucapku pelan seraya mengambil gelas pelastik yang terjatuh ke lantai.
"Alhamdulillah ... kamu sudah mau makan, sudah mau keluar, sudah mulai sadar, ya, kalau apa yang kamu lakukan itu tidak benar?" Ucapan Ayah diakhiri suara batuk berdahak yang membuat sekujur tubuhku menegang.
"Maafin Hafshah, Ayah." Aku hanya bisa menunduk, hanya penyesalanlah yang bisa aku lontarkan dalam benakku saat ini.
"Tidak apa-apa, kamu besok sekolah, ya? Ayah mau kamu seperti sebelumnya, jangan buat Ayah kecewa, ya?" Lagi-lagi ucapan Ayah diakhiri dengan batuk berdahak.
"Iya, Ayah, Hafshah janji bakal bangkit dari keterpurukan ini."
Aku lihat Ayah tersenyum sendu.
"Maaf, karena kami orangtuamu ini, kamu harus mengalami banyak masalah yang tidak seharusnya kamu alami Hafshah."
Aku terdiam. Terkadang Ayah selalu mengatakan hal yang sulit dimengerti tapi memiliki arti yang berarti.
"Ayah ke kamar, ya."
***
Ke esokan harinya aku sudah mulai sekolah. Terbit kembali api semangat di jiwaku, aku yakin setelah gelap terbitlah terang. Dengan senyuman aku awali pagi yang penuh berkah ini.
"Kamu berangkat bareng Jindan, ya, dia sudah menunggumu di teras depan."
Berpapasan saat itu aku mendengar suara gelas terjatuh, tepat di belakangku. Saat aku menoleh, aku dapati wajah Kak Farhah nampak sendu, ia langsung memunguti pecahan gelas itu.
"Sudah sekarang juga berangkat, nanti keburu siang." Ayah menarik tanganku paksa tapi tidak kasar.
Aku mematung, bahkan lebih dari kata mematung. Tubuhku bergetar, aku ingin menangis saja rasanya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warrahmatullah, mau minum dulu, Nak? Atau mau langsung ke sekolah saja?" tanya Ayah.
Laki-laki yang disebut Jindan tepatnya Muhammad Ali Jindan itu tersenyum. Senyuman yang dapat menghipnotis banyak kaum hawa. Senyuman palsu yang ia tampakkan di hadapan Ayahku ini membuatku geram. Baru saja beberapa hari lalu ia menyakiti hatiku.
"Langsung berangkat saja, saya juga masih ada koreksian yang belum tuntas."
"Ooo ... yaudah. Hafshah jangan nakal ya di sekolah, belajar yang benar, selalu ingat ucapan Ayah, jangan kecewain Ayah, ya."
Aku bisa merasakan ada hal-hal tersembunyi di balik semua kata-kata Ayah, di balik jatuhnya gelas yang kak Farhah genggam, dan senyuman palsu ustaz sombong itu.
"Aku, kan, bisa naik angkot, kenapa mesti dijemput gini?" tanyaku datar.
Aku dengar Ayah menghembuskan napasnya pelan.
"Kamu pasti sudah mengetahui semuanya dari kakakmu, kan? Dan tentunya dari Jindan yang kamu panggil ustaz Ali ini?"
Aku menggeleng. "Kak Farhah tidak pernah cerita perihal apapun."
"Dan aku berharap apa yang diucapkan Ustaz ini." Aku menghentikan ucapanku, aku tatap sekilas wajah Ustaz Ali yang ternyata bola matanya menuju ke arahku. "Semua tidak akan pernah terjadi."
Berpapasan saat itu aku langsung berjalan tanpa pamit, aku melangkahkan kakiku dengan cepat. Entah mengapa airmataku mengalir begitu saja, seraya berjalan aku hapus dengan kasar airmata itu.
Aku membencinya, aku tidak ingin menikah dengannya, aku masih mau menggapai cita-citaku, aku tidak mau jadi topik pergibahan orang lain dengan tema putus sekolah demi menikah.
Langkahku terhenti saat sebuah mobil berwarna silver menghalangi jalanku. Aku tahu betul siapa pemilik mobil ini. Aku langsung menundukkan pandangan saat pemiliki mobil itu menghampiriku.
Aku lihat sepatu kulitnya berada di depan sepatuku, itu tandanya jarak kami sangat dekat, aku tidak akan mau mendongakkan wajah, sudah pasti wajahnya akan terpampang jelas di indera penghilahatanku. Lama kami saling diam, hingga akhirnya ia mundur beberapa langkah dariku.
"Masuk ke mobilku atau ...." Aku langsung mendongakkan wajah dan memotong ucapannya.
"Atau apa? Siapa kamu berani mengancamku?"
Dia menatapku datar, kacamatanya ia taikkan lebih ke atas, aku tidak bisa berbohong kalau laki-laki yang ada di hadapanku ini memang benar-benar tampan, tapi sayang, ketampanannya itu hilang dihapus oleh sikap angkuhnya.
"Calon suamimu, dan kamu calon istriku, dalam hitungan minggu kita resmi menjadi pasangan. Dan kamu, ayahmu sudah memberikan kewajiban dirimu kepadaku, aku berhak mengaturmu sekarang."
"Sudah aku katakan, aku tidak mau menikah dengan kamu, laki-laki angkuh!"
"Sudahlah, mau seperti apapun kita mengelak, takdir sudah menentukan semua ini. Cepat naik, atau kamu masuk BK karena telat masuk sekolah. Dan ayahmu, ingat pesannya, jangan mengecewakan dia!"
Aku terdiam.
"Cepat!"
***
Keluar dari mobil guru favorit menjadikanku artis mendadak. Aku benar-benar malu. Aku yakin, setelah ini aku pasti akan menjadi topik pembicaraan mereka yang tidak ada habisnya itu.
"Pulang temui saya, saya akan mengantar kamu pulang."
Baru saja aku mau mengelak, Ustaz angkuh itu sudah menjauh beberapa langkah dariku. Ah! Aku benci dia!