Kedekatanku dengan ustaz Ali menyebar ke seluruh pelosok sekolah. Tiga minggu sudah berlalu begitu saja, dengan keadaan yang tidak pernah berubah, yakni, rasa kesal yang sulit diungkapi, rasa penasaran, dan tentunya rasa kehilangan sosok ibu tercinta.
Keluargaku sudah membicarai perihal pernikahanku dengan ustaz Ali. Demi apapun, aku benci situasi ini. Di mana aku harus berusaha menerima sesuatu yang aku benci. Aku pun tidak tahu, mengapa aku lama-kelamaan tambah membenci ustaz Ali. Rasanya untuk melihat mukanya saja aku sudah muak. Ternyata ustaz favorit di sekolah ini tidak seindah wajahnya. Banyak hal-hal yang tidak semua orang tahu tentang sosok ustaz Ali.
Dan ada satu hal yang hingga saat ini membuatku penasaran. Kak Farhah, dia sangat berbeda dari sebelumnya, aku merasa dia menjauhiku. Aku tidak tahu apa kesalahanku, di saat aku bertanya, hanya kata 'tidak apa' yang aku dapati.
"Kita putuskan acara akad akan diselenggarakan di hari Senin tujuh Rabiul Awal 1441H. Dan acara resepsi dilaksanakan setelah Hafshah lulus sekolah," ucap Abi, Ayah Ustaz Ali.
"Mohon maaf sebelumnya, berarti setelah menikah Hafshah masih diijinkan untuk sekolah?" tanya Ayah.
"Ya, saya tidak akan merusak cita-cita Nak Hafshah. Dia sangat cerdas, saya tidak akan menyia-nyiakan siswi cerdas seperti Hafshah, apalagi sebentar lagi dia akan menjadi anak saya juga," jawab Abi diiringi senyuman.
"Kamu tidak usah risau Hafshah, biarlah jangan kamu dengar ucapan orang lain. Kamu yang terbaik, kamu rela melakukan hal yang kamu tidak suka demi ibumu.
"Lagi pula anakku tidak terlihat buruk, semoga kamu tidak akan merasa malu atau segala hal lain yang membuatmu minder. Kamu akan menjadi anak Kepala Yayasan, jangan takut, Nak, kamu kami lindungi, Abi yakin, kamu tidak akan masuk ke zona bullying."
Sedaritadi aku hanya menunduk, aku sedang berusaha menjaga airmataku agar tidak turun saat ini. Aku merasa semua ini tidak adil. Semua hanya ingin diuntungkan, tapi semua ini tidak menguntungkan bagiku. Aku tidak ingin menikah dengan ustaz Ali, dan prihal ucapan abi, dia hanya bisa berucap, sementara akulah yang akan menjalani semuanya. Sudah pasti aku akan di-bully dengan teman-temanku. Aku benar-benar tidak ingin ....
Setelahnya Abi dan Ustaz Ali izin pulang. Dengan wajah datarnya Ustaz Ali mendorong kursi roda Abi ke arah pintu keluar setelah berpamitan. Tanpa menunggu lama, aku langsung berlari menuju kamarku, aku ingin segera menumpahkan airmataku. Ibu, seandainya ibu masih ada, aku yakin, ibu tidak akan memaksaku seperti orang-orang memaksaku.
***
Benar dugaanku, kini namaku sudah trending, banyak orang yang membicaraiku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan tentangku, aku hanya bisa menunduk, aku lebih banyak diam, aku juga lebih suka menyendiri.
Aku sudah tidak b*******h untuk ke kantin maupun ke perpus. Selama istirahat tiba aku hanya diam di kelas, menikmati segala keruwetan yang ada di otakku. Menyerapi segala masalah yang menimpaku. Aku berusaha untuk belajar ikhlas, walaupun kenyataannya sangat sulit sekali, aku bisa mengatakan dalam lisan dan hati kalau aku ikhlas dengan semua ini meski sebenarnya itu bertubrukan dengan apa yang aku rasakan sebenarnya.
"Ekhem."
Aku terperanjat, suara berat yang khas di telingaku. Sejak kapan dia berani menggangguku. Dia ini benar-benar membuat kebencianku kian bertambah.
"Dimakan!" Setelah mengucapkan satu kata itu ia pergi menyisakan satu kotak bubur ayam.
Ustadz Ali ... bisakah kamu membuatku mengagumimu kembali seperti pertama aku melihatmu? Sungguh ... saat ini kebencianku padamu begitu besar.
Berpapasan saat Ustadz Ali keluar dari ruangan kelasku, Mala dan teman-temanku yang lainnya masuk ke dalam kelas. Aku yakin setelah sampai di bangkunya masing-masing yang jaraknya dekat denganku, mereka pasti langsung mencecarku dengan beribu pertanyaan.
"So sweet banget sih ... tadi ustadz Ali ngapain ke kelas?" tanya Mala seraya menaik-turunkan alisnya.
Kini aku pun merasa Mala juga tidak suka dengan kedekatanku dengan ustadz Ali. Padahal selama aku sekolah di sini, dialah teman yang aku anggap paling baik, aku juga sering berbagi kisah dengannya. Dan sekarang, ia seakan menjauh, mana mungkin dia mau mendengarkan curhatanku. Mungkin dia sudah lebih dulu termakan omongan orang lain tentangku.
"Enggak ngapa-ngapain kok," ucapku pelan seraya bangkit mengambil bubur ayam yang ada di hadapanku. Aku akan membuangnya, lebih baik aku lapar daripada harus memakan makanan dari orang angkuh itu.
"Eh-eh, kok dibuang? Mubazir lho, kan, kamu yang pernah bilang ke aku?"
Langkahku terhenti. Ya aku memang pernah menceramahi Mala kala itu saat dia hendak membuang bekal yang lauknya tidak seselera dengan apa yang ia inginkan.
"Kamu juga bakal lakuin hal yang sama kalau ada di posisi aku, La." Aku menunduk lesu seraya meneruskan langkahku yang sempat terhenti.
Saat aku membuang makanan itu, aku dapati sang pemberi makanan menatapku dari arah TU yang jaraknya tidak terlalu jauh. Tatapannya bak elang yang siap menerkam mangsanya. Dia mulai bangkit dari duduknya, dan bodohnya aku, aku malah memperhatikannya hingga ia kini sudah berada di hadapanku.
"Kenapa dibuang?"
Aku menunduk.
"Kenapa?!"
Suara gentakan yang tidak terlalu keras itu membuatku terkejut. Belum menjadi suamiku saja dia sudah berani membentak, entah bagaimana kehidupanku setelahnya. Sejak kecil aku sangat tidak suka dibentak, aku sering menangis tanpa disadari karena aku terkejut, sama seperti sekarang.
"Saya nanya sama kamu kenapa dibuang? Kenapa kamu malah menangis?"
Tangisku semakin menjadi, dia benar-benar menyakitiku, dialah laki-laki pertama yang membuatku menangis menahan takut sekaligus kesal yang sulit diungkapkan.
Dia menghembuskan napasnya kasar, dia menarik lengan baju muslim padangku. Aku tidak bergerak sedikit pun.
"Kamu mau jalan atau lengan baju kamu sobek?"
Dan untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa menurut, memendam segalanya yang ingin aku ungkapkan, membela diriku yang seakan-akan mengalami penindasan ini.
Dia membawaku ke ruangan pribadinya. Di ruangan guru pun aku menjadi tatapan utama seperti di sepanjang perjalanan tadi. Aku rasa mereka pun tidak menyukaiku.
Dia melepaskan tarikanya. "Duduk!"
Aku menurut.
Sempat hening beberapa saat, aku lihat dia menundukkan kepala dengan tumpuan telapak tangan, dia seperti memendam banyak masalah.
"Kamu tahu, Hafshah?"
Aku yang tadinya menunduk kini mendongakkan wajah ke arahnya yang juga sedang menatapku.
"Aku tahu kamu sangat tertekan dengan semua ini .... Aku pun merasakannya, Hafshah.
"Aku selalu belajar memperbaiki diriku, aku ingin memperlakukanmu dengan baik, tapi kamu selalu membuatku kesal.
"Aku tidak suka kamu membuang makanan pemberianku, aku membelinya pun harus bertanya lebih dulu ke ayahmu, sampai aku beli di tempat yang biasa kamu beli. Apa kamu menyadari itu? Jelas tidak! Yang ada di hatimu ini, pasti hanya pikiran negatif tentangku. Iya, kan?
"Perlahan aku sudah mulai mengikhlaskan, tapi kamu membuat rasa ikhlasku pudar. Apa yang harus aku lakukan?
"Belajarlah dewasa, Hafshah."
Aku tidak percaya dia menasihatiku.
"Jadi mulai sekarang, ayo kita sama-sama belajar ikhlas dengan semua ini."