3. Marah

1021 Words
"Hmm ... gimana kalo kita main di luar, Nggi? Zyan juga kangen sama Mbak Anggi 'kan?" Prabu tampak membujuk sang adik agar suasana tidak panas karena baru saja Kenanga mengeluarkan kata-kata pedas untuk Ayudia. Prabu paham bagaimana sikap Kenanga pada Ayudia. Ia juga tidak menyukai ibu tirinya, tetapi tidak sefrontal Kenanga. Kenanga bahkan memutuskan meninggalkan rumah ketika papa mereka memutuskan menikahi Ayudia. Kenanga sangat kecewa kala itu. "Bermain? Saya nggak salah dengar? Saya bukan pengasuhnya." Kenanga kembali mengucapkan kata-kata pedas di depan semua anggota keluarganya. Kenanga tersenyum sinis lalu berjalan menuju ke kamarnya. Seperti biasanya, Kenanga akan mengunci diri di dalam kamar hingga malam. Ia sudah lupa dengan rasa lapar. Ayudia tampak menunduk karena menyesali ucapannya. Prabu mengajak sang adik bungsu bermain di halaman. Zyan anak laki-laki berusia lima tahun adalah anak dari Seno dan Ayudia. Kehadiran Zyan semakin menambah luka Kenanga. Sang papa dituding hanya mementingkan kesenangan pribadinya. Tidak. Bukan seperti itu, Ayudia bukan orang lain. Ia adalah sosok lemah lembut yang dulu pernah diamanahi oleh Arsyanti--mendiang mama Prabu dan Kenanga untuk menikahi Seno. Sayang, Kenanga tidak bisa menerima itu. Arsyanti meninggal karena penyakit kanker yang sudah lama dideritanya. "Mas, apa aku pulang saja ke Jakarta? Kenanga tidak suka jika aku di sini." Ayudia menahan air matanya agar tidak jatuh ke pipi. Sejujurnya, Ayudia tidak mau masuk dalam keluarga Seno. Seno dan mendiang istrinya dulu adalah orang yang menolong keluarganya. Sayang, Seno tidak bisa menahan perasaannya pada Ayudia. Seno memaksa Ayudia agar mau menikah dengannya. Kenanga memang sangat dingin pada Ayudia. Kebencian pada Ayudia sangat jelas di mata wanita muda itu. Ayudia bukan tidak berusaha mendekati anak sambungnya. Penolakan demi penolakan terus diterima hingga Kenanga memutuskan pergi dari rumah dan memilih tinggal di kota ini. "Tidak perlu begitu, besok jika Syafira datang, dia pasti akan kembali ceria. Tenanglah, jangan menangis. Kenangga hanya butuh waktu saja menerima semua ini." Seno tidak bisa memberikan banyak kata yang menangkan untuk sang istri. Kenanga tidak tahu, Ayudia bahkan meminta pada Seno agar Zyan tidak masuk dalam daftar warisan demi menjaga hati Kenanga. Prabu tidak bisa berbuat banyak karena sulit juga memberikan pengertian pada sang adik. Sama halnya dengan Kenanga, setelah sang papa menikah lagi, ia memilih tinggal di mansion pribadinya. Bukan karena sakit hati pada pernikahan itu, hanya saja merasa asing dengan kehadiran orang baru. "Fir, kamu kapan sih sampai ke sini? Stres aku nungguin kamu." Prabu sedang menghubungi sang kekasih sambil berjalan masuk ke rumah. Sontak, Ayudia mencari keberadaan Zyan. Ia segera keluar dan mencari anaknya. Benar saja, Zyan sedang bermain sendiri di luar. "Besok, Bu. Ini aku lembur sampai malam juga kuliah aku nanti ada tes. Aku langsung ke Jogjakarta kalo udah beres semua. Kamu, mah, enak. Anak bos dan bebas kapan aja libur. Lah aku? Aku harus kerja rodi!" "Ck! Makanya kita nikah, kamu nggak perlu kerja lagi. Cukup tinggal di rumah dan shoping bareng Anggi." "Nikah-nikah! Emang segampang itu?" "Buat aja jadi gampang. Kamu yang sangat mempersulit diri." "Udah dulu, aku mau rapat. Ntar aku telepon, jam makan siang." "Bye." Panggilan itu akhirnya terputus karena Syafira harus rapat. Hubungan mereka sangat baik meski berbeda agama. Mereka belum tahu mau dibawa ke mana hubungan selama belasan tahun itu. Syafira tidak mungkin mengikuti keyakinan Prabu. "Bu, kamu kalo mau jadi seperti adikmu, Papa tidak masalah. Selama ini, Papa akan membebaskan keyakinan anak-anak Papa." Ucapan itu membuat Prabu terkejut. Prabu menoleh ke arah sang papa. Tidak semudah membalikkan telapak tangan jika tentang keyakinan. Kenanga menjadi mualaf itu pasti keputusan yang luar biasa berat. Akan tetapi, Prabu yakin, semua bukan karena Sabiantama. "Aku belum memikirkannya, Pa. Lagi pula, alasan aku dan Kenanga juga akan beda." Prabu malas berdebat dengan sang papa meski hanya perdebatan kecil. Benar, tepatnya dua tahun lalu saat Kenanga memutuskan menjadi mualaf, sang papa tidak marah. Agama adalah hak asasi bagi setiap manusia. Hidayah bisa datang kapan saja tanpa bisa diduga. Semua itu kuasa-Nya dan manusia hanya menjalani saja. "Hai, itu hak kamu. Papa nggak akan melarang, ini serius. Papa tidak mau, kalo anak-anak Papa justru terbebani karena masalah perbedaan keyakinan," kata Seno yang memutuskan legowo ketika anak-anaknya berbeda keyakinan dengannya. Seno sadar, kedua anaknya menjauhinya. Ia tidak punya pilihan, rasa cinta pada Ayudia sama besar seperti kepada mendiang istrinya. Hanya saja, mungkin waktunya yang tidak tepat. Kenanga kala itu masih butuh pelukannya dan justru mendapatkan luka. "Belum tahu juga." Prabu memang selalu bersikap dingin pada sang papa. Prabu pun berjalan meninggalkan sang papa yang saat ini duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Saat datang ke Kota Gudeg ini, Prabu datang sendiri tidak bersama dengan Seno. Hal ini cukup membuat Ayudia merasa sakit hati. Sangat sulit mendapatkan hati kedua anak sambungnya itu. Hari semakin sore, Kenanga tidak juga keluar dari kamarnya. Padmi terbiasa memasukkan makanan dari bagian bawah pintu kamar Kenanga. Kadang, makanan itu akan dimakan oleh adik Prabu itu, tetapi tak jarang, makanan itu sama sekali tidak disentuh oleh Kenanga. Ayudia merasa sangat risih melihat makanan diletakkan di bawah. "Mbok, apa nggak sebaiknya diketuk saja pintunya? Takutnya makanannya jadi kotor nanti," kata Ayudia tidak bermaksud jahat pada Kenanga. "Nggak, Nyonya. Mbak Anggi tidak suka kalo pintu kamarnya ada yang ketuk. Tidak apa-apa, kamar Mbak Kenanga selalu saya bersihkan kok." Jawaban Padmi tidak serta merta membuat Ayudia puas. Ayudia justru dengan lancangnya mengetuk pintu kamar Kenanga. Rupanya, Kenanga sudah ada di depan pintu. Ia membuka pintu dan menatap ibu sambungnya dengan tatapan tajam. Mata itu syarat dengan kebencian mendalam. "Tidak ada perempuan yang akan menikahi laki-laki yang sudah beristri kecuali seorang w************n yang mengincar harta Papaku." Ucapan tajam itu sontak membuat banyak orang sangat terkejut. "Kamu suka bukan dengan semua kemewahan dari Papaku? Tidak perlu lagi bekerja untuk menafkahi semua anggota keluargamu itu. Licik dan luar biasa kamu!" bentak Kenanga sambil mengambil makanan yang ada di lantai. Kenanga kali ini sangat emosi. Ia menyiramkan semua makanan di depan wajah Ayudia. Sontak Padmi sangat terkejut. Ia panik karena sup itu masih sangat panas. Wajah Ayudia pun memerah karena terkena kuah sup panas itu. "Adikku tidak suka jika pintu kamarnya diketuk, patuhilah. Jangan mendadak menjelma menjadi seorang Ibu yang sudah melahirkan kami berdua." Prabu sama sekali tidak membantu kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD