"Sandra!" teriak Andreas saat ia datang menghampiri gadis itu di ruang kerjanya.
Sandra tersentak kaget, dan merasa gugup melihat bosnya sudah berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Sandra menggumamkan sesuatu tetapi tidak begitu jelas di telinga Andreas.
"Lima hari Allea tidak masuk kerja, kemana dia?" tanya Andreas, satu alisnya terangkat. Ia butuh penjelasan sekarang. Matanya berkilat-kilat menatap wajah Sandra. "Lima hari." Kelima jari Andreas terangkat.
Sandra terdiam, ia berusaha menenangkan degub jantung beradu tak beraturan. Andreas menakutinya dengan memasang tampang marah dan terlihat kusut.
"Saya tidak tahu, Pak. Allea tidak mengabari sama sekali. Tetapi saya akan segera mencari informasi," kata Sandra berkata pelan. Ia takut bila sampai salah kata, Andreas makin murka.
Sandra merasa bersalah, harusnya ia cepat tanggap sejak awal Allea tidak masuk kerja, dan gegas mencari tahu sebelum Andreas menyadari Allea tidak ada. Sayangnya, Sandra terlalu asik dengan pekerjaannya sendiri.
"Saya janji, akan segera melapor jika sudah mendapat kabar," janji Sandra pada Andreas.
"Saya ingin, hari Senin nanti Allea sudah masuk kerja lagi. Meeting jangan sampai ditunda." Mata Andreas menancap tajam ke arah Sandra. Laki-laki itu sudah sangat gemas Sandra mulai tidak bisa diandalkan.
Sandra mengangguk cepat, ia melihat ke arah Andreas takut-takut. Andreas menyapu ruangan, ia baru sadar ruang kerja Sandra sudah berubah dari sebelumnya, tampak lebih manis menurutnya. Sticker dinding berwarna toska garis-garis putih membuat suasa terasa lebih terang dan hangat, di jendela sebelah kiri terpasang tirai bermotif kupu-kupu transparan. Meja, kursi, dan sofa tertata rapi, membuat kesan agak lebih luas. Tidak lupa Andreas melihat rak buku mini di sudut ruangan. Matanya mendelik ke arah Sandra, gadis itu masih menundukkan kepala.
"Saya baru memperhatikan, ternyata selera kamu dalam mendekorasi ruangan bagus juga," puji Andreas, kakinya kini melangkah menuju sofa dan menghempaskan bokongnya di sana. "Saya suka." Ia menganguk-angguk kecil.
Sandra merasa tersanjung dipuji Andreas, bibirnya mengukir tersenyum kecil. "Hanya perubahan kecil, saya butuh suasana baru agar lebih fresh dalam bekerja." Sandra ikut duduk di ujung sofa sambil melipat kaki jenjangnya. "Sebenarnya saya menyukai warna gelap, entah kenapa kali ini saya ingin sedikit terlihat ceria."
Sandra jadi lebih rileks, itu karena Andreas pandai membawa suasana. Sandra tidak sekadar karyawan biasa, ia orang kepercayaan bagi Andreas dan sebagai fatner kerja yang solid. Sandra sudah banyak menghabiskan waktu dan tenaganya demi perusahaan. Sekiranya Andreas memarahinya, bukan berarti benci, ia ingin menunjukkan sikap profesionalisme dalam hal pekerjaan. Sejauh ini, Sandra tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan fatal.
"Itu bagus. Buat dirimu senyaman mungkin dan lakukan hal-hal yang membuat semangatmu terus mengalir," tutur Andreas, mencoba memberi rasa nyaman pada Sandra. "O, ya, ada pertanyaan yang ingin saya tanyakan sama kamu," ungkap Andreas secara tiba-tiba.
Kening Sandra melipat, ia lihat raut wajah Andreas berubah serius. Sandra menautkan jari-jari tangannya di atas lutut. Ia tidak sabar menunggu pertanyaan yang Andreas lontarkan padanya. Sedikit ada rasa cemas, terapi Sandra cukup pandai menguasai diri.
Beberapa detik, Sandra masih mendapati Andreas diam. Namun, sejurus kemudian, tatapan Andreas sangat mencekam.
"Apa yang kamu pikirkan saat menyebarkan gosip, soal ... saya dan Allea waktu itu?" Dengan nada dan sikap santai Andreas melontarkan pertanyaan pada Sandra.
Satu pertanyaan pertama dari Andreas yang membuat jantung Sandra seakan berenti berdetak. Gadis berusia 28 tahun itu sudah menyangka, suatu saat ia akan diserang oleh Andreas. Benar saja, Sandra kembali gugup dan merasa bersalah.
"Apa kamu ikut membenci Allea seperti Thalita?" tanya Andreas lagi dengan sikap dinginnya.
Sandra menelan ludah. Bingung harus menjawab apa. Ketahuan sekali bahwa dirinya tidak jauh beda dengan para penggosip lainnya.
Sandra mengatur napas dan menegakkan punggungnya. "Saya minta maaf soal itu, Pak. Sungguh. Saya tidak sengaja melihatnya saat hendak masuk ruangan, sayangnya pintu ruangan sedikit terbuka. Sa ... sayaa ...," ucapan Sandra terputus putus, ia tidak ingin mengatakannya.
"Jadi?" desak Andreas.
"Jadii ... yah, saya awalnya memang agak tidak menyukai Allea," kata Sandra bicara jujur, tetapi ia segera melanjutkan ucapannya, "tapi sekarang kami sudah berteman, saya menyadari Allea gadis yang baik."
Andreas menghela napas berat, namun ia merasa yakin dengan ucapan Sandra. Andreas melihat ada kejujuran dalam diri sekretarisnya. Lagi pula, Sandra adalah salah satu orang yang ikut mempromosikan Allea sebagai karyawan tetap.
"Saya tak ada keraguan dengan apa yang kamu katakan, Sandra. Selanjutnya, bersikaplah profesional. Berhasil karena kelicikan, tentu saja berbeda dengan keberhasilan yang didapat memeras keringat."
"Saya akan berusaha."
"Harus. Saya banyak berharap dari kamu. Kamu memiliki potensi yang bagus, percaya diri, dan tidak gampang putus asa. Klien baru kita, Wiranto Putra pernah mengatakan saat ia menghubungi saya, dia begitu memujimu." Andreas melihat senyum di bibir Sandra mengembang. "Kerja bagus, tetapi tetap waspada. Saat ini, banyak perusahaan gulung tikar karena kalah bersaing, jangan sampai ada cela untuk perusahaan lain menjadi duri dalam daging."
Sandra terkesiap, ia tidak berpikir sampai kesitu. Ia bersyukur, Andreas mengingatkannya hari ini.
Sandra merasa malu, ia cerna pelan-pelan ucapan Andreas soal pujian tadi, tidak mungkin bosnya tidak tahu bahwa ia memiliki hubungan pribadi dengan klien baru mereka. Hanya saja, Andreas menyampaikannya secara tersirat.
Banyak hal yang Andreas katakan pada Sandra, tentang pandangan bisnis, mengelola perusahaan, serta pengalaman-pengalaman dan motivasi penting dalam dunia kerja. Tentu saja Sandra merasa beruntung, ia dapat belajar banyak dari Andreas. Kemajuan perusahaan adalah prioritas, bukan mengedepankan perasaan atau ego diri semata.
***
Minggu pagi, Sandra datang ke rumah Vino. Mantan kekasihnya itu kini tinggal di rumah orang tuanya semenjak hubungan mereka berakhir.
Kedua orang tua Vino sangat baik, walaupun mereka tahu Sandra sudah menjadi mantan kekasih bagi sang anak, tetapi mereka tetap bersikap hangat. Sandra selalu menyukai keluarga Vino, mereka tampak harmonis dan bahagia.
Ketika dulu, saat ia menjadi kekasih Vino, rumah Vino-lah tempat Sandra merasa nyaman. Ia diperlakukan seperti anak sendiri oleh orang tua Vino, sampai segala sesuatunya Sandra selalu dinomorsatukan. Mungkin, karena mereka terlalu senang anak laki-laki mereka memiliki kekasih, mengingat Vino tidak mempunyai saudara. Vino anak semata wayang yang sangat dibanggakan.
"Kami senang bisa melihatmu lagi, Nak," ucap ibu Vino ramah pada Sandra.
Wanita itu masih sangat cantik meski sudah berusia 45 tahun lebih, postur tubuhnya tetap ideal dan segar. Menurutnya, wanita harus tetap menjaga penampilan dan kesehatan agar tetap menarik dan awet muda.
"Aku rindu kalian," ucap Sandra, "tapi urusan kantor seakan tak ada habisnya. Padahal ingin sekali aku mengunjungi kalian dan minum teh bersama." Sandra mendesah seakan ia benar-benar menyayangkan kesibukannya. Kalau bukan ada hal penting, Sandra merasa malu bertemu dengan orang tua Vino, ia pasti merasa buruk di mata mereka.
"Apa kau juga merindukan Vino?" timpal ayah Vino yang sibuk membersihkan koleksi miniatur mobil klasik miliknya.
Sandra tertawa renyah, ayah Vino tidak berubah, tetap dengan gaya blak-blakannya.
"Mana mungkin aku tidak, Pak, dia sangat pandai membuat para gadis jatuh hati," jawab Sandra bersemangat.
"Benarkah?"
"Ya, aku rasa tidak lama lagi Vino akan mengenalkan seorang gadis pada kalian. Tentu saja gadis itu lebih baik dariku." Suara Sandra terdengar lirih di akhir kalimat, membuat kedua orang tua Vino menatapnya dengan perasaan sedih.
"Tidak ada manusia yang tak pernah salah, Nak. Kami menyayangimu walau kalian tidak bersama. Kamu tetap kami anggap keluarga di sini, siapapun gadis pilihan Vino, itulah jodoh yang Tuhan berikan." Tangan wanita itu menyentuh punggung tangan Sandra, ia menggenggamnya kuat.
"Setidaknya, tidak ada permusuhan di antara kalian. Setiap orang berhak menjadi lebih baik, kami mendoakan agar kalian berdua tetap saling menyayangi sebagai teman baik," ucapnya lagi.
"Aku bahagia memiliki kalian," kata Sandra, saking senangnya ia ingin menangis. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, karir, cinta, masa depan, semuanya.
"Aku sudah tampan sekarang, ke mana kita pergi?" Tiba-tiba Vino nongol. Ia sudah rapi dengan dalaman kaos dan Hoodie berwarna hitam serta memakai celana jins membuat penampilannya sangat friendly. Ditambah aroma parfumnya yang segar.
"Aku sudah berakar menunggumu." Sandra memutar bola mata, dan melanjutkan ucapannya, "Ayo, waktu kita tak banyak, Vin."
"Wanita selalu ingin buru-buru dan sok misterius. Bisakah kamu katakan ke mana kita akan pergi?" Vino menekan.
Ia merasa Sandra membuatnya bingung hari ini. Tidak biasanya gadis itu datang di pagi buta bahkan di saat dirinya masih nyenyak di kasur empuknya. Mimpi indah harus segera berakhir melihat Sandra memaksanya bangkit dari kasur, dan segera mandi. Sementara Vino, mandi dalam keadaan setengah sadar dan Sandra asik berbincang di teras rumah sambil minum teh dengan kedua orang tuanya.
Sandra terdiam sesaat, ia menatap ke arah kedua orang tua Vino secara bergantian, ternyata mereka pun menatap Sandra menunggu jawaban.
"Kita ke rumah Allea," jawab Sandra tegas.