Obrolan Pagi.

1547 Words
Insiden yang terjadi beberapa hari yang lalu, tak membatku begitu terpengaruh. Apa yang terjadi pada Ara dan Ratna sudah berakhir dengan damai. Entah apa yang —masing-masing dari mereka— rasakan sesudahnya, aku tak tahu dan berniat tidak ingin tahu. Selama itu tidak penting, aku tidak akan memedulikannya. Pagi yang masih sama seperti biasa, aku lewati dengan duduk di belakang Ratna yang yang sedang mengendarai sepeda motor. Sebelum bersekolah di Riadhul Ulum ini, Ratna sudah diajari mengendarai kendaraan roda dua itu. Untuk sekarang, hal tu tidak penting lagi jika dibahas. Saat ini, aku harus menikmati lima belas menit waktu perjalanan menuju sekolah. Dimulai dari jalan yang dikelilingi banyak pohon tinggi, jembatan panjang yang menghubungkan dua desa. Lalu, jalan yang di sekelilingnya ditumbuhi banyak tanaman dan juga rumah warga. Kadang, aku dan Ratna juga melewati gumpalan embun yang sedikit menutupi pandangan. Kadang lagi, ada beberapa pelepah kelapa yang sudah kering menjuntai dari tepi jalan. Bagiku, itulah yang lebih mengganggu, karena selain menghalangi jalan, juga aku kaget saat tiba-tiba ada yang menampar wajahku di jalan. Ratna memang sengaja tidak mengatakannya, ia juga smenunduk dengan penuh gaya untuk menuju momen menyebalkan itu. Karenanya juga, aku ingin marah dengan penuh gaya, tapi kuurungkan karena hal itu tidak ada gunanya dan tidak bisa mencegah si pelepah menampar wajahku. Jika begitu, aku tak bisa menikmati pagi yang indah ini. Hm. Coba kuulangi sekali lagi, pagi yang indah. Ketika sampai, aku langsung turun dari motor dan menuju kelas, akutidak ingin menungguk Ratna yang bertele-tele, apalagi ia menyempatkan diri untuk bercermin pada kaca spion motor. Hal itu menyebalkan jika terus kuperhatikan. Pagi ini saja, mari kulupakan hal tak menyenangkan itu. Aku berjalan pada jalan di samping lapangan. Sepagi apa pun aku datang, pintu kelas selalu terbuka. Mungkin sang penjaga melakukannya seusai sholat subuh, begitulah yan kupikirkan sebagai solusi. Lingkungan sekolah masih sepi. Hanya terlihat beberapa anak asrama yang berkeliaran di aula depan asrama yang tanpa dinding. Apa, sih, yang mereka lakukan? Sebagai prasangka buruk, aku menganggapnya bergosip. Sembari menunggu kelas ramai, aku memilih untuk membuka jendela dan duduk. Tidak ada hal menarik yang ingin kulakukan. Lagi pula, setelah kulakukan pun, belum tentu hal itu akan menarik. Yang ada, akan merepotkan saja jadinya jika itu dipaksakan. Tak lama, suara pintu yang terbuka terdengar dari kelas sebelah. Ratna ternyata baru saja tiba. Karena Alsa belum datang ditambah kelas sepi, aku memilih ke koridor untuk memerhatikan tanaman yang ada di depan kelas. Sepertinya tidak terawat. Apakah tanaman harus berperiketanaman dulu sehingga manusia bisa berperikemanusiaan. Apa, sih, yang kupikirkan? Sepuluh menit kulalui dengan memerhatikan tanaman asing yang tak kutahu namanya. Dibilang bunga, tidak ada benda yang memiliki mahkota dan putik, serta apa pun yang menyertainya. Jika tanaman liar, kenapa ditanam di dalam pot? Selain manusia, tanaman juga susah dimengerti. Untuk itulah, aku tidak pernah ingin terlibat dari salah satu keduanya. Tak lama, suara sol sepatu yang bergesekan dengan lantai papan koridor terdengar nyaring. Tanpa kulihat pun, pasti ada seseorang yang datang. Dengan itu, ia akan kunobatkan menjadi Si Rajin nomor dua. Si Rajin dua semakin mendekat, melihat dari celananya, ia adalah seorang laki-laki. Ia melihat ke arahku yang sedang berjongkok. Aku kenal orang ini. Lalu, dengan sedikit tersenyum, laki-laki itu menyapaku,”Syim.” Sebentar lagi, pasti kami akan terlibat obrolan. Ya, setidaknya itu lebih baik darpada sendiri saja. di manapun, dialog itu lebih berarti daripada monolog. Hal itu membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang sesungguhnya. Aku dan si rajin dua tidak membahas sesuatu yang rumit. Ia mengawalinya dengan menanyakan kabar, lalu disusul dengan pertanyaan, “Apa yang sedang kau lakukan?” Mendengar pertanyaannya, aku jadi terpikir sesuatu. Kadang, seserorang berrtanya itu adalah untuk mengetahui sesuatu. Tapi, jika seseuatu itu sudah diketahui, untuk apa ia menanyakannya, Fin?” Jawabanyang sempurna untuk pagi yang setengah sempurna. Ah, aku menyukaiku. Kecintaan terhadap diri sendiri memanglah sesuatu. Si Rajin yang bernama Alfin itu menunjukkan raut tidak setuju dan keberatan. Ia buru-buru menjawab, “Aku hanya basa-basi saja, Syim.” Sebenarnya, ia keberatan denganku atau pekataanku, ya? Apakah itu penting jika kutanyakan sekarang? Sepertinya tidak. Aku memilih untuk tidak memperpanjang topik itu lagi. Dan menggantinya dengan mendengarkan Alfin yang memberitakan bahwa Aran—teman sekelasku saat SD—sekarang menjadi anak asrama. “Aran tinggal di asrama?” Masih setengah percaya saat aku bertanya. Bahkan, Alfin juga masih menjawab sama. Ada apa dengan kesamaan ini. Aku tidak membencinya, juga tidak menyukainya. Jika semula kami berada di koridor, kini sudah berganti ke kelas saat satu persatu penghuni kelas ini berdatangan. “Iya. Kenapa?” Jawaban yang masih sama, hanya bertambah kata ‘kenapa’ saja. Tidak memberikan perubahan yang signifikan dan berarti. Tidak bisa kusebut sebuah masalah karena tidak merepotkan. “Enggak ikut Aran juga?” Antara bertanya dan membuatnya agar terlibat. Alfin menyilangkan tangannya sebagai tanda dari jawaban tidaknya. Kombinasi dari perkataan dan gerak tubuh yang lumayan. Kira-kira apa, ya, namanya. Sinkronisasi? Penyesuain? Entahlah. Kenapa aku jadi sering mempermasalahkan hal kecil seperti ini? Karena Alsa belum datang juga, aku memilih pindah ke kelas Ratna untuk meneruskan obrolan dengan Alfin. Jika topiknya menarik, maka latar tempatnya juga harus menarik. “Tuh, orangnya.” Ratna yang sebagai pengamat, menyela saat dua orang memasuki kelas. Saat ini, aku dan Alfin sudah berada di kelas Ratna. Selain itu, aku juga menyempatkan diri untuk menanyakan perihal uang jajan. Rata-rata anak sekolah, penghasilan terbesar mereka bersumber dari uang jajan. Menurutku, tidak ada yang bisa dibanggakan dari hal tersebut, walaupun aku merupkan salah satu darinya. Ngomong-ngomong, tadi Ratna menunjuk siapa, ya. Saat aku menoleh, seorang yang juga kukenal menyapa, “Hai, Syim, Fin.” Ia menyapaku terlebih dulu. Tentu saja, hampir semua orang mungkin pernah mendengar istilah lady first. Entah ini semacam kutukan atau kebanggaan. Aku tak tahu dari mana asalnya. “Hai.” Bersamaan kami menyahutnya saat Aran dan temannya meletakkan buku dan menempati kursi. Sebagai laki-laki yang pendek, Aran dan temannya memiliki tinggi dibawah rata-rata. Tak lama, teman Aran terlihat mencari sesuatu lalu pergi keluar. Ada yang tertinggal sepertinya. Alfin juga beralih duduk di samping Aran yang baru datang. Mungkin untuk menambah anggota untuk mengobrol. Mendekat sedikit, pada mereka yang menikmati obrolan tanpa berniat melibatkanku. Aku lalu meraih satu buku tebal milik Aran dan beralasan membacanya. Setidaknya, kehadiranku diakui di sini. Buku yang akhirnya benar-benar k****a ini, mengingatkanku pada seseorang. Apa ini yang disukai ... Rin? Benar bukan, namamua Rin? Bukan berlagak sepertinya, aku hanya ingin tahu saja buku dengan jenis ini. Buku yang bertuliskan banyak ayat dan juga terjemah. Terlalu sulit untuk kumengerti. Sepertinya merepotkan. Lebih baik kututup saja. “Seru nggak, di asrama?” Ikut menyelip dalam arus bincang mereka. Agar keberadaanku tidak benar-benar tenggelam. Memangnya, sedari tadi apa yang mereka bahas? “Serunya karena banyak teman,” jawab Aran menampakkan sedikit beban. Menurutku, dia tidak berbohong. Aran hanya menutupi perasaannya, walau sangat terbaca jelas. Membayangkan ia yang seumuran denganku harus belajar mandiri. Mungkin jika aku tidak lupa, tahun ini umurku dua belas tahun. Tiga tahun menjelang aku merasakan perasaan itu. “Pasti enggak enak juga pisah sama keluarga.” Alfin menimpali dan disertai anggukan oleh Aran. Bertanya lagi aku, seraya membuka kembali buku tebal tadi, “Makannya gimana?” “Di piring, kemudian ditelan,” jawab Aran sangat logis, dan mengabaikan wajahku yang refleks cemberut. Tubuh Alfin yang berlemak, gempa pada setiap sendinya saat tertawa. Ia dan Aran berlawanan ekspresi denganku. Mereka melakukan hal yang tak perlu. “Kalian!” Aku mengumpati dua temanku ini. Seperti kembali pada sikapku saat bersama mereka. Asal kalian tahu saja, selain dihina, seseorang juga akan tersindir saat ditertawakan. Jadi, cukupkan sampai di situ saja tertawanya. Terlalu berlebihan menyikapai sesuatu juga termasuk hal yang menyebalkan dam tidak berguna. Seperti mendengar perkataan tak langsungku, Aran meralat, “Enggak kok, aku masak.” Ia akhirnya memberikan jawaban lain yang lebih bermutu tanpa ada menimbulkan rasa marah. Setidaknya rasa kesalku teredam. “Cie, yang bisa masak.” Alisku naik-turun saat menggodanya. Kali ini, Alfin pun berganti dengan memihakku. Menurutku, dia bukan teman yang setia, dilihat dari kecepatan perubahan suasana hatinya itu. Rasanya melelahkan menyikapi sesuatu yang seperti itu. Itu juga berlaku untuk diriku sendiri. Selain itu, ada tiga hal yang harus kusampaikan perihal mereka. Pertama, Alfin yang memiliki berat badan di atas rata-rata, adalah temanku. Aran juga temanku. Mereka berdua menjalani SD yang sama denganku beberapa bulan yang lalu. Untuk itulah,aku mengenal dan tidak canggung saat berada di dekat mereka. Sesama teman memang harus seperti itu, bukan? Kedua, tinggi badanku adalah sekitar seratus lima puluh senti meter. Untuk poin kedua ini mungkin tidak penting, tapi bagiku, seseorang kadang menghabiskan banyak waktu untuk hal yan seperti itu. Jadi, heranlah aku dibuatnya. Kadang, selain membenci orang lain, aku juga membenci diriku sendiri. Membahas perihal ketidaksukaan terhadap seseuatu, jika aku melakukannya pasa seseorang, maka apa pun yang orang itu lakukan tetap tidak akan kusukai. “Itu lebih bai daripada kau yang tidak bisa masak.” Jawaban Alfin terlalu benar, hingga aku sangat tak tak menyukainya. “Bisa tidak, kalau ngomong itu jangan benar, gitu?” Kekesalanku meluncur dalam menegurnya. Mungkin jika diukur, akan sama besarnya dengan tubuh Alfin yang besar itu. Gema tawa sedikit memenuhi udara kelas. Pagi yang cerah tanpa tersisa sedikitpun celah waktu ini, kami habiskan dengan sepotong obrolan mengenai diri masing-masing. Alfin yang selalu beralih pihak dan sama-sama menjengkelkan jika sudah menjawab setiap perkataan dariku dan Aran. Pagi yangindah untuk memudarkan masa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD