Aku? Namaku Hana Asyima.

1675 Words
   “Hah?” Tak percaya ketika mendengar Ratna selesai dengan ceritanya. Bahwa buku pelajarannya hilang, atau mungkin diambil teman sekelasnya. Yang mana?   “Kenapa bisa?” tanyaku perlu alasan sebabnya.   “Terakhir kemarin ada ada di mejaku.” Ratna menyahut taku-takut. Bukan takut padaku, tapi pada mama yang akan marah jika ia tahu.   “Kita anggap hilang saja,” sahutku, membuat anggapan yang akan lebih baik daripada membuat tuduhan. Ini bukan sejenis pasrah yang tanpa usaha. Dengan keluarga di tingkat ekonomi menengah ke bawah, buku yang tidak mahal itu berharga untuk dua orang sekaligus, aku dan Ratna. Berbagi buku di antara kami dalam menjalani pelajaran. Ratna segera menyerahkan buku tersebut bila pelajaran di kelasnya sudah selesai. Dengan perantara jendelalah kami berinteraksi. Itu juga salah satu alasanku yang menyukai duduk di sisi jendela. Tanpa berharap jendela juga balik menyukaiku. Akan aneh nantinya. Menghela napas berat. Menatap langit sambil terus berpikir dan berpikir. Namun, tetap saja tidak menghasilkan uang. Tentu saja, Hana!   “Nanti pasti ketemu atau kembali sendiri,” tegasku dengan berlimpah yakin. Ini bukan dari hati, hanya sekedar berucap saja. Membuat Ratna memamerkan raut kektidakyakinannya. “Kun fayakun,” kataku lagi. Ratna pun melanjutkan kegiatannya menyapu halaman rumah tanpa merespon. Ia seorang saudara yang lebih rajin daripadaku. Perihal membereskan rumah pun selalu dia yang mengerjakannya. Bukan berarti aku adik pemalas. Hanya saja, setiap kali kubersihkan atau mengerjakan apapun, setelahnya, selalu dan pasti ia kerjakan lagi. Sia-sia bukan?   “Hana~” Sebuah gelombang suara berasal dari luar rumah. Suara yang sangat kukenal tanpa melihat sekalipun. Segera melangkahkan kakiku keluar menujunya. Mera dan sepedanya terlihat berdiri di jalan setapak yang ada di depan rumahku. Menampakkan cengirannya ketika melihat aku sudah di ambang pintu. Ia adalah teman pertama atau mungkin keduaku ketika pindah ke sini sekitar lima tahun yang lalu. Hampir setiap hari ke rumahnya untuk menghabiskan waktu dengan bermain. Jika tidak Mera, maka Meri-lah yang akan menjemputku bergantian. Mereka berdua adalah kembar dengan selisih umur sekitar dua tahun di atasku. Ingat saat sebelum pergi, memberitahu mama untuk pamit. Mama pasti sedang membantu ayah membuat gula merah di Palangan. Palangan adalah sebuah sauh tanpa dinding. Keseharian abah hanyalah membuat gula merah. Dengan pagi dan sore untuk mengumpulkan air La’ang sebagai bahan dasarnya. Jika masanya tiba, orangtuaku akan menanam padi di lahan berair. Bukan sawah seperti tanah perbukitan pada umumnya. Daerahku adalah dataran rendah. La’ang adalah cairan dari kuntum buah kelapa yang belum mekar. Kakiku sudah menjuntai saat dibonceng Mera. Ia mengayuh sepedanya menuju ke arah hilir dengan satu pedal padaku dan satu lagi padanya untuk dikayuh. Cukup menghemat tenaga dengan sedikit konsep berbagi. Aku kagum pada mereka yang menemukan ide ini. Tak cukup lama, kami berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sedikit tua, dengan dinding kayunya yang mulai lapuk. Ini tidak jauh dari rumah Mera.   “Ilva!” teriakku memanggil. Tenang saja, tenagaku masih berlimpah. Tak lama, seorang perempuan yang sebayaku keluar dari pintu yang berlubang kecil itu. Wajah lesu dan rambut acak pertanda bahwa ia baru bangun tidur. Seolah mengerti dengan kedatangan kami, ia menyahut, “Iya, bentar.” Lemas dan kembali lenyap ia dari jangkauan pandangku. Dan tentu tak membuat kami menunggu lama sebelum sampai di rumah si kembar. Menyapa mama Mera. Wanita yang tengah mencungkil pinang itu tersenyum dan mulai bertanya beberapa hal tentang keseharian. Masih seperti biasa.   “Meri.” Mera memanggil saudarinya sampai sesaat kemudian muncul seorang yang menyerupainya, membawa plastik hitam. Walaupun mereka mirip, tapi aku bisa dengan mudah membedakannya. Suatu ketika, pernah aku mengagumi bakatku yang mengagumkan ini.   “Kalau buahnya nggak ada?” Meri memastikan kedua kalinya semenjak ia muncul. Walaupun bukan masanya memetik jambu hari ini. Hanya ingin mememeriksanya saja setelah cukup lama. Aku sendiri tak tahu kapan waktunya berbuah.   “Kita ‘kan bisa minta jambu Nek Las.” Ilva yang menyahut. Riuh semangat dan ketidaksabaran ingin segera pergi bisa kurasakan darinya. Sudah diputuskan saat mengambil langkah pertama. Pohon jambu di balik rimbunnya rumput liar menjadi destinasi kami hari ini. Sedikit diperlukan usaha menuju tempat itu saat pertama kali dulu. Akan tetapi, sekarang tidak lagi. Kami sudah menyingkirkan rumput yang menghalangi jalan akses ke sana. Pohon jambu yang berbuah lebat ini tak sengaja kami temukan beberapa bulan lalu. Kulihat saat sedang memetik buah jambu Nek Las.   “Syim! Yang itu punyaku, jangan diambil!” Berseru Mera padaku yang di sampingnya. Kami berdua yang memanjat, Meri dan Ilva menjadi pihak pemungut di bawah. Sendiri itu baik, berdua justru ebih baik.   “Jangan nguluh.” Kusahuti dengan menanamkan rasa berbagi padanya. Tidak ada yang namanya individu dalam kebersamaan. Nguluh: rakus.   “Nanti, kita makannya sama-sama. Jadi, ini milik bersama,” sahut Meri di bawah sana. Saudaranya itu lebih waras daripada Mera sendiri.   “Nah, itu betul.” Olga ikut menyelam dalam sesi nasihat-menaseihati ini.   “Iya, iya.” Padahal, cukup sekali saja ia menjawab ‘iya’nya. Mera seolah menekankan bahwa ia sudah mengerti dan tak ingin dinasihati lagi. Pun setelah menjawab, ia yang bermuka sedikit tertindas itu, membuat banyak buah jambu berdesakan di dalam kantong plastikku. Ia menjejalkannya paksa. Setelah kulirik, ternyata plastik miliknya sudah penuh. Saat semua plastik yang kami bawa terisi, pulang adalah pilihan terakhir sebagai tujuan akhir pula. Menikmati hasil jarahan sore. Dengan begitu, soreku kali ini juga sama jingganya seperti kemarin. ***   “Aku tidak!” Teriakan yang teredam sekat, mencemari pendengaran dan udara di sekitarku. Membuat jeda dari setiap yang dilakukan semua orang di kelas. Hening menguar di udara seketika setelahnya. Ada hal terjadi yang tak kuketahui pada kelas Ratna sepertinya. Berlarian para laki-laki untuk mengintip di sela sekat yang memiliki lubang kecil dan celah. Saling berdempetan demi memperjuangkan rasa ingin tahunya. Kelas yang tanpa guru ini mungkin alasan mereka berani. Yah, nyali juga butuh kondisi untuk ditunjukkan.   “Ada apa?” tanya laki-laki yang duduk di depan kursi Ari. Ia sama penasarannya denganku. Setidaknya, pertanyaan itu mewakili aku, anggap saja begitu.   “Biasa, cewek,” jawab Ari yang ikut berhimpitan di sekat tadi. Rasa minatnya sepertinya sudah berkurang setelah tahu apa yang terjadi.   “Yang menang?” Dengan antusias ia bertanya lagi. Coba kupikir, kalau tidak salah namanya Haza. Kalaupun salah, siapa yang berani memprotes?   “Nanti, kalau aku udah kenalan sama dia, aku kasih tahu.” Jawaban yang tidak salah itu membuat laki-laki tadi kurang berminat lagi. Walaupun tahu namanya Haza, tapi aku lebih suka menyebutnya begitu. Agar tidak ada kesan akrab antara dia dan aku. Ari juga sepertinya tak ingin menjelaskan lebih jauh, apalagi sampai tersesat. Bahkan, jika hal itu sampai mengganggu Rin. Teman sebangkunya itu hanya direbut perhatiannya oleh para rangkaian huruf Hijaiyah yang tak berbaris pada lembaran kertas kuning sebuah kitab. Anak yang malang, pikirku meratapi nasib orang lain. Aku tahu hal itu karena dia terlirik mataku. Begitu saja anggapannya. Kalau boleh jujur, aku tak ingin ada sebuah kebetulan yang mempertemukan tatapan kami lagi. Terlalu mengerikan jika kupikirkan. Mata Rin sesekali bergerak ke arah Ari yang sedang berbicara di sampingnya. Ia tidak ikut dalam obrolan mereka. Pesona kitabnya itu tak tertandingi apapun, sepertinya. Juga, ia menampakkan sikap tak terganggu dengan keributan yang dibuat Ari. Entah karena terbiasa atau memang dasar dari sifatnya sudah seperti itu. Ari yang suka berceloteh dan Rin yang paling ... entahlah. Aktifitas anehku selalu kuamalkan, memerhatian setiap pergerakan mayoritas penghuni kelas. Mu gkin kebiasaan baruku di tempat asing. Dan anehnya pun, Rin juga termasuk. Untuk seorang Rin yang berlebih deskripsi, membuat pertanyaan bermunculan. Dan tentu, cepat atau lambat akan dipertanyakan juga. Jelas karena dia adalah objek dari sang tokoh utama sepertiku dalam kisah klasik ini. Karena dialah nantinya yang men–   “Hana!” Suara Alsa memotong deskripsiku dalam narasi penting tadi. Untung saja tidak sempat kudialogkan. Lalu, yang dikatakannya hanyalah waktu istirahat yang sudah tiba. Sangat cepat, aku bahkan tak sempat mengejar waktu yang berlalu. Kemudian berdiri dan merentangkan kedua tanganku. Dengan sedikit menggeliat, membenarkan susunan tulangku setelah pelajaran aneh tadi menggerogoti otakku. Tak mengerti sama dua kali juga sama sekali. Untung Alsa membantu. Dia teman sebangku yang berlebihan baik. Betapa beruntungnya aku.bdi lain kesempatan, akan kubuatkan piagam penghargaan untuk kategori tokoh pendamping terbaik. Baiklah, aku terlalu alay untuk ini.   “Ke mana?” Ia mengikuti arah gerakku lalu bertanya.   “Ngambil buku di kelas Ratna. Ikut?” Mengajaknya juga. Rin tidak ada di kelas. Ia pulang ke asrama setiap saat ketika istirahat. Aku dan Alsa akhirnya pergi. Tidak sampai seratus langkah, kami sudah berdiri di depan meja Ratna. Ia tengah berbicara dengan temannya. Wajah mereka menunjukkan raut serius.   “Tadi kenapa?” Melupakan niat awal, aku bertanya perihal teriakan tadi. Alsa beserta wajah ingin tahunya, berada tak jauh dariku. Namun, Ratna tak menjawab, melainkan mengajakku kembali ke kelas bersama temannya tadi, Dija. Apakah tingkat mengingatku ini bisa dibilang bakat? Entahlah. Aku membawa kitab Dardir yang sudah kuambil sebum kembali ke kelas bersama mereka yang langkahnya besar itu. Mulailah cerita diperuntukkan padaku.   “Jadi, dia balikin habis nulis namanya sendiri?” tanyaku mengoreksi penjelasan Dija. Semuanya kumengerti dengan mudah saat cerita singkatnya berakhir. Nama Zahira masih jelas terbaca pada buku milikku dan Ratna di bagian belakang. Entah bagaimana semua itu berawal dan berakhir. Singkatnya, Ara—yang berteriak tadi— menemukan buku Ratna di mejanya. Ia yang tidak tahu kepemilikan buku tersebut lalu menulis namanya. Pertengkaran pun terjadi. Teriakan tadi adalah bukti perseteruan mereka. Ah, teriakannya menunjukkan seolah masalah itu besar. Aku, ‘kan jadi ngeri.   “Ara dari dulu memang jahil. Dia juga keras kepala orangnya,” timpal Alsa ikut menjelaskan seorang yang bernama Zahira. Alsa tahu karena dia teman satu kelasnya dulu. Hal itu juga ia jelaskan setelahnya.   “Yang penting udah baikan.” Dan begitulah aku mengatakannya. Bukan hal yang bagus jika berkesinabungan, bukan? Sama sekali tak memberi manfaat.   “Gimana kalau kutulis saja nama kalian?” Dija menunjukkan kepeduliannya. Untuk seukuran manusia, dia teman yang baik.   “Boleh.” Kusambut kepeduliannya dengan anggukkan. Dija melakukannya dengan mengambil pulpen milikku. Ia menulis nama Ratna yang kemudian terjeda saat ia menghentikannya. Melihat padaku dan bertanya, “Namamu?”   “Aku?” Sudah kuduga. “Namaku Hana Asyima.” To be Continued SyL Selasa, 3 Maret 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD