Semilir angin menerpa rambutku, hari berjalan seperti biasanya dengan rutinitas menyembuhkan luka di hati yang sepenuhnya belum kering. Perlahan tapi pasti ku bisa melupakan segalanya tentang Irgan.
Bersama selama tiga bulan memang waktu yang singkat, tetapi tiga bulan tersebut selalu memberikan kenangan yang mematikan. Sulit untuk menghapusnya walau secuil kenangan.
Beberapa hari telah berlalu, semenjak Irgan memutuskanku tak terlihat sendu lagi diwajahku. Mungkin Irgan memang menganggapku w************n tetapi ia selalu melupakan jika dirinya yang membuatku menjadi murahan. Kadang aku marah, sedih mengingat semuanya tetapi bukan begitu caranya menghadapi dunia kejam ini.
Bangkit dan berjalan melalui semuanya adalah cara yang tepat, langit yang cerah seakan menyemangatiku untuk menjalani hari ini. Dengan semangat penuh aku memasuki pekarangan sekolah yang akan kutinggalkan beberapa bulan kemudian.
Tempat menempuh pendidikan ku ini sangatlah luar biasa, mengedepankan kedisiplinan bagi setiap siswa-siswinya. Aku cukup apresiatif kepada kepala sekolahku dalam mengurus dan mengatur segala hal mengenai sekolahan ini. Terbukti dengan banyaknya siswanya yang mendapat juara dalam perlombaan.
Walau tak begitu pintar, tetapi aku menjadi salah satu murid yang berprestasi. Menempati kelas dengan barisan murid-murid pintar adalah kebanggan tersendiri bagiku. Setidaknya kedua orang tuaku bisa berbangga diri atas prestasi kedua putrinya.
Memasuki kelas yang selalu ramai juga menjadi energi bagiku, teman-teman dengan semangatnya menjalani pagi mengulas senyum menyapa para sahabatku. Kebiasaan bagi mereka apabila aku dan Kirana telah memasuki kelas adalah menyabut kami berdua dengan memanggil nama kami
"Kirana, Karina." Sapa mereka. aku tersenyum menanggapi Kirana hanya tersenyum dengan gaya coolnya. Kami berjalan menuju bangku yang terletak paling di belakang sembari memeriksa tugas sekolah yang akan kami kumpul nanti.
"Boleh aku melihat tugas mu?" tanya Pricilia, dia adalah sahabat dekatku semua keluh kesah selalu ku ceritakan padanya , begitupun dengannya
"Boleh." Jawabku lalu memberikannya buku. Pricilia sebenarnya pintar hanya malasnya lebih mendominasi dibandingkan rasa semangatnya. Tetapi aku tak pernah merasa di repotkan, toh kami saling membantu. Disampingnya Niluh yang juga sahabat dekatku ikut melihat tugasku
"Enak ya kalian,aku dengan susah payah mengerjakan kalian hanya menyalin saja." Gerutu Kirana
"Bukannya ini punya Karina?" Kata Pricilia , Karina melirikku aku hanya nyengir tanpa rasa bersalah
"Dia juga menyalin buku ku, mana mungkin dia mau mengerjakan tugas matematika sesusah ini."
Pricilia dan Niluh bersorak mengejek kearah ku tetapi itu hanya guyonan saja. Aku tertawa terbahak-bahak merespon kepolosan mereka.
"Bagi kami, tidak perlu tahu jawaban itu dari mana asalkan selesai kan?" Kataku, Pricilia dan nilu mengangguk menyetujui dengan tak lupa menertawai Kirana yang dengan gampangnya di mintai pertolongan.
Proses belajar mengajar berjalan seperti biasanya, setelah selesai kami berjalan menuju kantin. Seperti biasa di perjalanan Kamilah yang paling heboh sendiri saling bercanda kesana kemari seolah menularkan kegembiraan kepada siapapun yang lewat. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti mereka yang selalu asik dengan cara tersendiri.
Sesampainya di kantin, kami tak lupa memesan makanan yang menjadi favorit beserta minumannya. Setelah memesan kami memilih tempat duduk di area pojokan. Melangkah sembari membawa semangkuk bakso dan segelas minuman, fokus ku hanya kedepan karena takut terjatuh.
Tetapi tak sengaja mataku menangkap seseorang , dia adalah Irgan Kurniawan. Tengah menatapku penuh tanda tanya, kulihat bibirnya tersenyum tipis kearah ku dengan sorot mata yang menyiratkan kerinduan, gairah dan cinta. Aku bisa melihatnya, hingga hampir saja menubruk bangku kantin.
Niluh yang berada di sampingku menegur, tetapi aku berdalih terlalu fokus. Mengabaikan Irgan dengan tatapannya yang membuatku menegang dan kikuk akhirnya aku berjalan kearah teman-teman.
Tak ada yang lebih menyenangkan ketika berkumpul dengan sahabat, saling mengejek satu sama lain bercanda ria. Melempar candaan adalah sesuatu yang akan kami rindukan nantinya.
Beberapa menit menandaskan bakso beserta minuman membuat kami kekenyangan. Kalau sudah seperti ini, kami tak sempat mengeluarkan sepatah dua patah dan hanya fokus berjalan menuju kelas. tali sepatuku yang menganggu jalanku membuat aku tertinggal dari mereka. Namun hatiku berdesir lembut kala mataku menangkap sepatu cowok di depan kakiku. Mendongak mencoba memastikan seseorang itu, dan ternyata benar Irgan tengah berdiri menjulang di depanku dengan aku yang berjongkok.
Mataku sampai tak berkedip, menatap matanya yang selalu menatapku dengan lembutnya. Aku berdiri mensejajarkan posisi lalu mencoba pergi tetapi tangannya mencekal lenganku. Sontak aku berbalik menaikan alis seolah bertanya 'ada apa?'.
Bibirnya yang tipis tersenyum yang semakin membuatku gila. Sekeras mungkin aku mengolah otakku untuk berpikir bahwa sekarang aku bukanlah siapa-siapa dalam hidupnya. Tak ingin bodoh kedua kalinya.
"Apa kabar?" Suaranya menusuk gendang telingaku, membuat dadaku naik turun karena gelisah. Membasahi bibirku yang kering aku menjawab
"Baik." Singkat, karena aku mulai gugup perutku terasa melilit badanku panas dingin.
"Apa kau sibuk sore nanti?"
"Sepertinya tidak, ada apa?"
"Bisakah kita bertemu di tempat biasa?"
Aku terdiam. "Mungkin saja bisa. Tunggu saja jam lima sore aku sudah ada disana."
"Baiklah, aku akan menunggumu." Katanya, mata indahnya mengerling dengan nakal. Entah kenapa aku justru membalasnya dengan senyum malau-malu.
Kuputuskan untuk pergi dari hadapannya, dan berlalu menuju kelas yang ramai dengan teriakan teman kelasku. Aku duduk di kursiku, memikirkan segalanya yang terasa cepat.
Beberapa hari yang lalu aku memang mendengar kabar bahwa Irgan tak bisa melupakanku. Berusaha mengencani banyak cewek tetapi berakhir di tolak. Sejujurnya aku senang ketika mendengar kabar tersebut dan berharap aku masih bisa melanjutkan hubungan kami yang sempat terputus.
Aku memang rakus, menginginkan Irgan dan Kerel secara bersamaan. Tapi kedua lelaki tersebut memang berpengaruh dalam hidupku. Irgan tak bisa kulepaskan begitu saja dalam perasaan yang telah membabi buta bertahun-tahun lamanya. Sedangkan Kerel adalah anak remaja yang baik, dia membuatku bersemangat untuk menjalani hari menyalurkan perhatiannya yang lebih padaku.
Berhenti melamun, karena guru bahasa Inggris telah memasuki kelasku. Mencoba melupakan semua dan fokus pada pelajaran yang lumayan mengasikan.
_______
Dengan susah payah aku mencari alasan untuk bertemu Irgan, entahlah mungkin ini akan jadi pertemuan terakhirku dengannya atau justru awal segalanya. Untung saja ibu tak terlalu ingin tahu aku pergi dengan siapa, ibu menaruh kepercayaan penuh padaku walau kadang aku mengecewakannya.
Tiga puluh menit perjalanan dari rumah menuju danau tempat biasa aku bertemu dengannya. Lalu berjalan mencari-cari keberadaan Irgan, biasanya lelaki tersebut menungguku di pondok kecil yang di buat oleh penduduk sini. Karena bukan tempat wisata danau tersebut sangat sepi hanya ada aktivitas dari penduduk sekitar. Tetapi karena hari mulai sore para pencari nafkah mulai mengistirahatkan diri.
Kakiku melangkah mendekati gubuk, perlahan tapi pasti mataku mulai menangkap Irgan yang tengah duduk di teras gubuk sambil melamun. Kudekatkan diri, yang membuat Irgan menoleh ke arahku. Dia tersenyum membuat aku semakin kelimpungan tetapi tetap ku balas dengan senyum tipis.
"Sudah lama menunggu ku?" Tanyaku lalu mengambil posisi duduk disampingnya, Irgan menatapku, jujur saja aku ingin terjatuh karena tatapannya yang begitu lembut
"Tidak, sampai seharipun aku tak masalah."
"Jangan merayuku." Kataku memperingati, Irgan terkekeh dengan matanya yang masih tak berpaling menatapku membuatku semakin kikuk bergerak.
"Bagaimana kabar Kerel?" Pertanyaannya membuat tubuhku menegang gugup dan takut.
"Ba..ik." kataku terbata
"Kau masih berhubungan dengannya?" Tanyanya lagi, aku terdiam enggan menjawab. Sebenarnya aku juga tak tahu dengan hubunganku bersama Kerel, laki-laki tersebut kini mulai terasa menjauhiku dengan alasan ponsel genggamnya disita oleh kedua orang tuanya karena Kerel harus fokus belajar untuk ujian Nasional.
"Ada masalah dengan hubunganmu?" sepertinya Irgan membaca dari air mukaku. Karena berikutnya tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut.
"Sedikit, aku bahkan tak tahu hubungan kami seperti apa." Jawabku jujur, kudengar Irgan menghela napasnya berat. Lalu merubah posisinya benar-benar menghadapku, bahkan aku sampai susah bernapas karena wajahnya hampir dekat dengan wajahku.
"Andai saja, kita masih bisa merangkai semuanya. Memperbaiki sesuatu yang pernah rusak." katanya penuh harapan, kini giliran aku menghela napasku dengan berat penuh beban
"Aku tidak ingin sakit lagi Irgan, melihatmu tak peduli padaku setelah mendapati semuanya membuatku merasa tak dihargai." Tutur ku penuh kejelasan. Akhirnya keresahan yang selama ini mengangguku bisa terlepas dalam dadaku
Irgan memegang pundaku, meletakan tangannya disana dan menatapku penuh kelembutan dan kasih sayang. Matanya selalu saja mampu menghipnotis ku.
"Dengarkan aku, begitulah sifat dan sikapku Karina. Aku tak bisa berubah menjadi romantis seperti Kerel tetapi pecayalah hatiku untukmu." Irgan memegang dadanya meyakinkan aku untuk menerima hatinya. Terdiam dan hanya berkedip menatapnya membuat Irgan menunggu kata yang akan ku ucapkan
"Percayalah padaku Karina." Katanya penuh keyakinan.
Aku masih terdiam, karena memang sudut hati terkecilku masih merasakan kebencian. Susah payah aku mengontrol otaku untuk tidak percaya bualannya berbagai perbuatan buruknya padaku dengan paksa aku tampilkan di kepalaku.
"Aku berjanji Karina, tak akan pernah mengabaikanmu. Sungguh, sulit bagiku setelah kehilanganmu." hancur sudah temeng yang kubuat, kepalaku dengan refleksnya mengangguk menerima segala janjinya. Mengabaikan otakku yang merespon keburukannya. Aku memeluknya erat, mencurahkan segala kerinduan selama ini Irgan membalasnya pelukan kami begitu erat.
Entahlah, memang cinta itu mengalahkan segalanya. Aku yang seharusnya benci dan tak ingin.lagi mengulang hubungan dengannya justru sebaliknya. Karena memang aku masih menginginkannya menjadi bagian dari hidupku untuk selamanya. Aku selalu berharap seperti itu.