Semakin hari kian merasa nyaman dengan Kerel. Remaja laki-laki tersebut dapat menyembuhkan sedikit luka batinku. Walau tiap hari hanya bersua melalui obrolan di ponsel tak ayal membuat duniaku jungkir balik karena bahagia.
Setidaknya aku bisa melupakan Irgan dan hubunganku yang semakin tak ada kepastian.
Ku tutup pintu lemari kayu, setelah selesai memakai pakaian lalu beranjak ke dapur untuk mencari suasana. Di sana ibu tengah memasak untuk makan malam, ku coba untuk berbasa-basi dengan menanyakan apa yang tengah di masaknya.
Ternyata ibu tengah memasak ikan nila bumbu pedas, lidahku meronta-ronta ingin mencicipi. Dengan segera ku cicipi sedikit masakan ibu yang membuat lidahku ketagihan. Mengabaikan ibu yang menegurku dengan decakan.
Siapapun itu, masakan ibu adalah yang paling enak. Dimana pun seorang anak berada pasti akan merindukan masakan ibu. Bersyukur memiliki ibu yang sabar dan selalu memanjakan anak-anaknya.
"Dimana Kirana?" Perempuan yang selalu menjadi pelindungku itu meniriskan ikan yang telah masak dari wajan.
"Di depan." Jawabku, dengan mulut penuh makanan. Sebenarnya enggan menjawab tetapi ibu akan terus-menerus bertanya padaku.
Ibu tak menanggapi lagi, karena memang ia hanya ingin sekedar berbasa-basi. Sekarang ia tengah menyiapkan beberapa piring dengan sendok di atasnya untuk makan malam kami. Walau sederhana tetapi selalu menimbulkan keharmonisan di keluarga kecil ayah.
Sejujurnya sudut terkecil di hatiku merasa bersalah kepada mereka. Menyembunyikan sesuatu yang sangat buruk membuat kadang tidurku tak nyenyak. Rasanya ingin menceritakan segala kegelisahan yang mendera, rasa hancur dan penyesalan ku tetapi ketakutanku lebih berperan dari semuanya. Takut jika ayah dan ibu akan marah besar padaku.
Mencicipi masakan ibu sejujurnya membuatku ketagihan dan enggan untuk berpindah. Namun keringat di badanku sudah sangat lengket mengganggu kenikmatan yang menjelajahi lidahku. Ku putuskan untuk mengguyur tubuh dengan air hangat, mengusir keringat-keringat yang sedari tadi meronta-ronta untuk disiram air.
Mengguyur badan dengan air hangat seolah memberikan energi tersendiri bagi tubuhku. Setelah mandi, kupilih berjalan-jalan di sekitar perkara gan rumah. Beberapa saat menghirup udara segar sembari mengamati langit yang mulai menggelap.
Pandanganku beralih pada ponsel yang ku genggam, desiran dalam dadaku ta tertahan kala melihat nama seseorang yang muncul di layar benda pipih tersebut. Hingga tak sadar tanganku menggenggam begitu erat ponsel berwarna putih itu. Melihat nama Irgan membuat luka di d**a mencuat kembali, aku dengan sedikit memberanikan diri menjawab panggilannya.
Berharap ini adalah awal yang baik hubunganku dengannya.
"Hallo." Suaraku lirih terdengar, mencoba membiasakan suasana
"Hallo." suara berat yang kurindukan beberapa pekan memasuki gendang telingaku, membaut hatiku menghangat.
"Ada apa?" kataku langsung pada intinya, jujur aku senang sekali sore ini, seperti mendapati sesuatu yang telah hilang dariku.
"Aku sudah tau semuanya, kau berselingkuh dengan Kerel." Katanya cepat penuh penekanan, aku mencelos, bunga yang baru saja ingin mekar gugur kembali
Ku coba menjelaskan semuanya walau terbata-bata, "ini bukan seperti yang kau kira Irgan, aku selingkuh ada alasannya." Tutur ku dengan kejujuran
Kudengar dia berdecak, seperti meremehkan alasanku
"Terserah, aku ingin kita sudahi saja semuanya." Tukasnya
"Tapi irgan.. Tut." Ponsel yang tergenggam erat, lirih bersamaan kakiku yang sulit untuk menegak, tak sanggup menahan semua beban di hidupku. Walau berkabung, tetapi aku masih sadar tempat untuk meluapkan segalanya.
Berjalan menyusuri tangga, menuju kamarku. Disana biar kuluapkan segalanya, rasa penyesalan yang teramat dalam membekas di jiwa. Segalanya telah terlambat tetapi asali masih menanti di depan. Entah mengapa walau sakit atas keputusan Irgan kini aku lebih bisa kuat tanpa ingin terlalu meratapi. Walau jujur, tak henti-hentinya air mata mengalir deras bukan karena tak ingin Irgan pergi tetapi keperawanan yang telah menghilang di nikmati orang yang salah.
Ku usap air mata, berdehem menyetabilkan suara senduku. Bersamaan dengan ponselku yang berbunyi, menampilkan nama Kerel.
"Iya ada apa?"
"Aku merindukanmu." Katanya sangat bersemangat, aku hanya terkekeh menjawabnya
"Sedang apa?"
"Tidak ada, hanya menunggu malam."
"Em, sudah belajar untuk besok?" aku menggeleng dengan bodoh, Kerel pun tak akan melihat gelengan kepalaku. Tetapi berikutnya aku menjawab "belum."
"Pergilah belajar, aku tak ingin kau mengulang pelajaranmu lagi."
"Iya, ya sudah." Jawabku lalu memutus telfonnya.
Kerel berbeda, dia mempunyai sisi positif yang ditularkan padaku. Rasa mencintainya berbeda dari kebanyakan lelaki, dia peduli dari berbagai hal dalam diriku. Cowok itu pintar bahkan selalu mendapatkan juara di berbagai kegiatan. Tak salah jika dia selalu menyemangatiku untuk belajar lebih giat, jujur aku menjadi termotivasi karenanya. Dari itulah aku bersyukur bisa berselingkuh dengannya walau Kerel tak pernah tahu jika dia menjadi yang kedua.
Cowok remaja itu berbeda dengan Irgan yang justru selalu membuatku harus bersabar menghadapi sikapnya. Irgan bahkan jarang peduli mengenai hidupku, yang ada di otaknya hanya berhubungan badan. Lelaki itu bahkan tak pernah menanyaiku tentang pelajaran. Tapi kuakui perlakuannya ketika bertemu sangatlah manis. Walau Irgan pendiam tetapi justru melalui perbuatan ia menunjukan perhatiannya
Ini adalah kesalahan, menyelingkuhi Irgan bukanlah jalan untuk memperbaiki hubungan. Justru kini semuanya telah hancur. Tetapi memang tak ada jalan lain untuk memulihkan hatiku yang berantakan, aku butuh semangat dari seseorang salahkah aku?
Mencoba menghirup udara lalu menghembuskannya kuyakin ini adalah awal hidupku. Walau berat kutapaki tapi dengan keyakinan semua bisa mudah kulalui
Biarlah aku berjalan dengan penuh kekurangan. Berharap esok ada seseorang yang ingin memungut ku dan menerima segalanya dari yang kupunya.
Aku selalu yakin, di dunia ini pasti ada orang yang berhati baik.
_____________________________________