Lemah..

1509 Words
Sampai dikamarnya Jingga menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Ingatannya melayang pada apa yang dikatakan Ray di apartemen lelaki itu. Jingga lantas mendudukan diri dan bersandar dikepala ranjang.  "Nggak buruk nyoba sama Rayi. Gue pasti bisa.”   Ya, bukan sebuah status bohongan yang Ray inginkan dengannya. Sore tadi Ray benar-benar meminta Jingga belajar untuk menjadi pacar yang sebenarnya. Bukan Jingga namanya jika tidak menerima. Ia tentu harus mencoba membuka hati sedikit demi sedikit untuk orang lain, meski sisanya tetap ditempati oleh Ditto. Drttt Drtttt Jingga merasakan ponselnya bergetar. Dengan sedikit malas dia melihat siapakah gerangan yang meneleponya. Ketika melihat Dittolah yang menghubunginya, Jingga mengangkat panggilan Line tersebut. "Gimana to?" tanya Jingga langsung to the point.  "Jadi sekarang sama Ray? Bukannya lo baru putus?" Jingga menyerngit tidak suka. Bukankah itu urusannya mau dengan siapa. Ini dia lakukan juga karena Ditto memintanya melupakan rasa cinta pada laki-laki itu. Ia bahkan sempat sampai berganti-ganti pacar. "Ayolah to, apa masalahnya sih." Ucap Jingga pada Ditto tidak bersahabat. "Lo berubah Ngga, Ngga kaya dulu lagi." Ucap Ditto jujur diseberang sana. "Nggak usah bahas ini deh, lo nggak lucu ah. Kenapa sih?!” gas, Jingga mulai terusik. "Mau sampai kapan?" tanya Ditto sedikit mengambang. Pertanyaan itu sebenarnya meluncur begitu saja dari bibir Ditto. Sejenak Jingga diam. Sampai kapan? Apakah sampai Ditto mau membuka hati pada dirinya? Atau sampai dia benar-benar bisa melupakan sahabatnya itu? Ah, benar-benar memang! Ditto selalu saja membuat Jingga pusing. "Sampai gue bisa berhenti." Jawab Jingga pelan, namun masih bisa di dengar oleh Ditto. "Kalau gitu berhenti sekarang!” "Oke." Jawab Jingga lalu mematikkan sambungan teleponmya dengan Ditto. Jika kalian bertanya apa yang kedua sahabat itu sedang bicarakan. Jawabanya adalah perasaanya pada Ditto. Perasaan cinta pada Ditto yang harus dia hentikan. Ya, Ditto memintanya untuk berhenti, dia tahu jelas berhenti untuk apa. Dan ketika dia berkata oke, maka saat itulah semuanya akan kembali ke tempat semula. Jika mencintai akan sesakit ini, Jingga tidak akan memilih mencintai lebih dulu. Terlebih itu dengan manusia sepeti Arnanditto Haryo. Laki-laki yang dia cintai karena kekonyolannya, namun harus berubah hanya padanya setelah rasa yang ia miliki terbongkar. Jahat! Tenang saja. Kalau jodoh pasti tidak akan kemana. Bukankah seperti itu pepatah berkata. Berhenti, ya berhenti! Maka besok dia akan berhenti! Jingga lantas kembali merebahkan diri.  Menutup matanya perlahan, mencoba untuk mengistirahatkan diri. Sedangkan di balkon kamar, Ditto memandang lurus ke arah redupnya kamar Jingga.  "Karena lo bukan tipe gue Ngga, makanya lo harus berhenti. Gue nggak mau kehilangan lo, tapi gue juga nggak mau lo sama Ray.” *** "Mel, ayo. Kakak ada kuliah pagi ini." teriak Ditto pada Melia yang sedari tadi masih asik memoles wajah dengan bedak. Melia mendengus, kesal. Ia lantas meletakkan bedak padat ke atas meja rias, dan bangkit begitu saja. "Ish, sebel sama lo Kak." Katanya cemberut lalu berjalan meninggalkan sang kakak lebih dulu. Seperti pagi-pagi sebelumnya Melia akan menuju rumah sang sahabat. Setiap pagi memang Melia menjemput Jingga terlebih dulu. Mereka bertiga akan berangkat bersama menuju kampus tercinta. "Jingga, Jingga! Ayo berangkat." Teriak Mel gaduh di depan gerbang rumah Jingga. Jingga terkekeh di teras rumahnya. Memang dasar Mel, sudah lihat loh padahal dia di depan tapi mulut toak-nya benar-benar tidak bisa menganggur barang sedetikpun. "Berisik lo ah, gue udah di depan juga." Kata Jingga, sedangkan Mel hanya bisa cengengesan sendiri. Tin.. Tin... Ditto menekan klakson, lalu menurunkan kaca mobilnya pada dua gadis yang sedang asik bercanda. "Masuk, ibab-ibab gue." Ujar Ditto sambil terkekeh pada kedua gadis di samping mobilnya.  Mel lantas masuk ke kursi belakang, namun tidak dengan Jingga yang masih diam mematung ditempat. "Woy, masuk! Aelah telat ntar Ngga." Kata Ditto lucu. Jingga hanya tersenyum pepsodent. "Hehe lo duluan deh, tuh gue dijemput." Jingga menunjuk ke arah Ferrari merah yang tepat terpakir di depan mobil Navara hitam milik Ditto. "Oh...." Jawab Ditto reflek. Jingga mengangguk, lalu berjalan ke arah Mobil Ray. Berhenti kan? Gue saat ini lagi berjuang berhenti To- Ucapnya dalam hati, sambil membuka pintu mobil Ray. "Lo pindah depan." Kata Ditto datar pada sang adik. Mel hanya memandang sengit sang Kakak. "Lo aneh ih, nggak suka tapi kaya gitu tampangnya tiap dia punya cowok baru. Urusin gebetan lo aja sana."  Ditto melotot tajam, lalu menarik rambut Melia yang melompat dari jok belakang ke depan. "Woy mobil gue Ibab, kotor sepatu lo." Teriak Ditto membuat Merliana menutup kuping karena suara nyaring sang Kakak. "Ya, Allah. Buta mata sahabat gue cinta sama orang kaya lo Kak. Mau gue rukiyah itu si Jingga." Kata Mer sambil geleng-geleng. Begitu juga dengan Ditto. Ditto juga menggelengkan kepalanya lalu menjalankan mobil menuju ke arah kampus. Sampai dikampus Ditto dibuat tercengang dengan ulah sang sahabat yang menurutnya bego tingkat dewa. Michell Darmawan saat ii tengah menyatakan cinta pada seorang gadis yang merupakan adik tingkat mereka. Gilanya, Michell membawa sebuah lingeri yang dihanger dan spanduk upin-ipin yang dipegangi oleh dua anak laki-laki di sisi kanan dan kiri Michell. Dan, yang lebih membuatnya syok berat, bagaimana cara Michell menembak Shella, sang adik tingkat. "Shell, mau Ngakk lo jadi pacar gue biar gue bisa belajar ena-ena."  PLakkkk "Buahahahaaa." Ditto tertawa terbahak-bahak saat sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kanan sang sahabat karib. "Wuanjir, ditampar si Mich." Katanya sambil tertawa kencang. "Woy, cewek aneh. Gue kurang apa? Ganteng keren, kurang apa gue." Teriak Michell garang, membuat Ditto berjalan mendekati sang sahabat yang ditinggal oleh gadis pujaanya. "Kurang lo satu, otak lo kurang sekilo." Kata gadis itu berbalik ke arah mereka. Dan, Glodak. Mata Ditto melotot melihat tiba-tiba saja sahabatnya itu tejatuh begitu saja. "Mich, Mich lo nggak papa?" tanyanya panik pada Michell sambil menahan tawanya, lantas Ditto membantu Michell bangkit. Ditto ngeri sendiri melihat Michell yang malah senyum-senyum. Gila batinnya. "Gila lo senyum-senyum sendiri." Kata Ditto sambil bergidik. Selesai acara yang memalukan sang sahabat itu, oh, belum lagi pikiran nyleneh sahabatnya yang mau memperkosa si gadis pujaan. Ditto mengikuti langkah Michell ke kelas mereka. Michell meninggalkannya karena dirinya yang mengejek Michell. Sampai di kelas, Ditto tidak melihat batang hidung Jingga. Membuatnya bertanya dimana sahabat wanitanya itu. "Lo nyari siapa sih?" tanya Michell pada Ditto. "Jingga." Jawabnya singkat. Michell memandang penuh tanya pada sosok Ditto. Nolak, tapi perhatian. Kalau ditanya pasti jawabnya, "Kan Jingga sahabat gue dari kecil.", laki-laki bodoh memang. Masih dengan mata yang mengitari kelas, tiba-tiba saja Ditto merasakan ada sebuah pesan masuk ke dalam ponsel laki-laki itu. Jinggabel To, TAin gue dong. Gue laki nyoba casting nih sama Ray, siapa tahu gue bisa jadi model. Thanks Kakak Ditto. Ditto meremas ponselnya setelah membaca pesan yang masuk atas nama Jingga tersebut. Bukankah dulu Ditto pernah berkata bahwa dia benci kalau Jingga menjadi seorang model?! Apa-apaan Jingga sekarang?! **** Jam perkuliahan telah usai. Ditto menarik paksa Michell  untuk mengunjungi kantin. Di otaknya sudah berputar wajah cantik Vena, sang pujaan hati yang belum kunjung menerima pernyataan cintanya. Jelas saja Ditto senang, hari ini sang dosen alias papa dari Vena tidak akan ada di kampus membuatnya lebih leluasa mendekati Vena nanti. "Ayaaang Vena." Teriak Ditto kencang. Membuat Vena yang melihatnya terkekeh melihat kelucuan Ditto. Ditto langsung berlari ke arah Vena yang duduk sendirian menunggunya. Namun matanya tak luput pada seseorang yang duduk di pojokan kantin, sosok itu kini sedang tertawa bahagia dengan laki-laki yang juga dikenalnya. "Ayaang Vena, Ditto kangen." Kata Ditto duduk di depan Vena, lalu mencolek dagu Vena. Michell yang melihat itu lantas mengeplak kepala Ditto kencang. "Ibab, kepala gue Mich." Ditto memekik sambil menatap sengit Michell. "Nggak ada bapaknya aja lo berani, ada bapaknya lo cuman berani liatin dari jauh. Dasar kecebong." Ejek Michel membuat gadis pujaan hatinya terbahak. "Ish rese lo, iya nggak Ven?" tanya Ditto menoel-noel pipi Vena. Di pojokan sana, Jingga melihat adegan itu dengan hati yang perih. Ditto yang tidak bisa seperti itu lagi padanya. Pemandangan yang sangat menyayat hati, membuat Jingga akhirnya memilih memutar posisi duduk untuk membelakangi Ditto.  Sesekali dalam canda tawanya Ditto juga melirik ke arah Jingga. Kedua matanya mengawasi interaksi Jingga dan Ray. Rahangnya sedikit mengeras, kala melihat Ray yang tadinya duduk di depan Jingga, mengambil sebuah kursi dan menggeser sedikit meja.  Jemarinya juga terkepal, kala melihat Ray duduk tepat dibelakang Jingga memeluk gadis itu. Masih dengan bercanda dengan Vena, Ditto mengumpat dalam dan menyembunyikan kepalan tangannya di bawah meja kantin. Jingga merasakan sebuah tangan kokoh memeluknya dari belakang kala air matanya menetes begitu saja. Sangat sakit rasanya melihat laki-laki yang dicintainya, begitu bahagia bersama wanita yang laki-laki itu cintai. Jingga menyadarkan kepalanya di d**a bidang Ray. Air matanya tanpa malu terus menetes, bahkan turun membasahi lengan Ray. Tangan Ray terulur lantas menghapus air mata Jingga. "Sttt, ada gue. Ada gue disisi lo. Jangan nangis please." Ucap Ray lalu mencium kening Jingga, membuat sepasang mata yang mengintai mereka memerah, menahan marah. "Gue, gue, lemah Ray. Gue gue sakit." Kata Jingga parau, sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan, membuat Ray semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Jingga. ‘Dan pada akhirnya gue lemah To, Gue lemah karena terlalu mencintai lo. Gue lemah karena pada nyatanya gue nggak bisa berhenti mencintai lo. Gue terlalu lemah buat berhenti To, gue harus gimana To?!’ Ratapnya pilu dalam hati, memeluk lengan Ray yang memeluknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD