7. Acara Lamaran Naina

2047 Words
Sesampainya di rumah, Rion menceritakan bahwa dia mengenalkan Naina pada salah seorang temannya. Dia menunjukkan CV juga, bak melamar kerja, tentang data diri dan foto pria bernama Agus itu serta usaha yang dia jalankan. Wisnu dan istrinya mendengarkan seksama kata putra sulungnya ini. “Kurang ganteng, Pa! Anaknya juga kalem banget,” gerutu Naina, menyender di lengan ibunya. Wisnu belum bicara, masih mengamati sejak tadi tumpukan kertas di atas meja. Rion bersemangat menyodorkan temannya itu untuk dijodohkan dengan Naina. Agenda perjodohan tentu akan berimbas pada masa depannya. “Sebenarnya aku sering ngobrol dan ketemu sama dia pas Jum’atan, trus mampir ke rumah bapaknya, ngeliat usahanya. Anaknya ramah, Pa. Baik juga. Kayaknya pas banget bisa jagain Naina.” “Tapi dia tua, Bang! Kayak bocah sama om-om.” Ranti dan Wisnu tersenyum. Mulailah keduanya adu pendapat. “Bocah? Kamu itu udah 25 tahun, Nai. Udah bukan bocah lagi,” ejek Rion. “Tapi-” “Nai, nggak ada salahnya dicoba. Nanti ketemu dulu, papa mau liat orangnya. Kalau rasa papa cocok, kamu bisa terima perjodohan ini,” pinta Wisnu. “Papa, ih!” Naina merengut, ngeloyor pergi meninggalkan ruang tengah untuk masuk ke kamarnya. Ranti mengambil foto itu, mengamati lagi. “Kamu yakin, Rion? Dia baik?” “Baik, Ma. Orangnya memang pemalu gitu, sopan, alim juga. Cuma kalau nurutin si Nai, ya nggak bakal ketemu." Wisnu mengamati kembai foto Agus. Masih menimbang dengan saksama. "Dia, mah, obses banget sama cowok ganteng. Tau, lah, tontonannya drakor mulu. Pengen cari yang kayak oppa Lee Min Ho, katanya,” tutur Rion, panjang lebar. “Ya karena dia cantik,” sela Ranti membela Naina, “Wajar, kan? Pengen cari yang ganteng? Apa karena dia penyakitan, dia nggak berhak memilih tipenya?” Suara Ranti terdengar dingin, seperti marah pada putraanya ini. Pria itu kehilangan antusiasnya tadi, semakin menunduk dalam karena takut. Wisnu menatap Rion sejenak, lalu pergi untuk menemui putrinya. Lama suasana hening antara Ranti dan Rion, akhirnya pria itu lebih memilih pergi untuk ikut menemui adiknya. “Kamu nggak kasian sama Rion?” Rion terhenti di sisi pintu saat mendengar Wisnu menyebut namanya ketika mengusap kepala Naina. Adiknya itu duduk sambil memeluk boneka. “Kamu bilang pengen nikah, pengen hidup normal dan ketemu cowok yang sayang sama kamu. Tapi ini ada yang bagus, malah ditolak.” Naina belum menyahut. Sebentar Rion memandang ke sisi dinding kamar Naina. Ada banyak poster aktor favoritnya. Siapa namanya, Rion lupa. Tapi mamanya benar, hanya karena Naina kekurangan, apakah dia tak berhak memilih? ‘Tapi dia benar cowok yang baik buat kamu, Nai. Abang takut Nai nanti terjebak ketemu cowok jahat kayak Alvin itu,’ kata Rion, dalam hati. Wisnu tersenyum, menghapus air mata Naina sebab tangisan kecilnya. “Kasihan sama abang, Nai. Sejak kematian Fira kemarin, apa kamu nggak liat, Rion cepat sekali menyembuhkan hatinya? Itu karena dia hanya memikirkan kamu.” Rion berbalik, menyandarkan punggungnya di sisi dinding. Masih dia dengar bujuk rayu Wisnu agar si cantik Naina luluh. “Rion yakin Agus itu pria yang baik untuk kamu. Tolong, Nai, seenggaknya biar beban di pundak abang kamu bisa lebih ringan.” “Pa.” “Enggak, kamu bukan beban, Nai. Tapi rasa takut Rion kalau kamu nantinya tertarik sama pria jahat, itu yang jadi beban buat abangmu. Kamu nggak pengen, liat dia sedikit bernapas lega dan mulai jatuh cinta?” Pertanyaan Wisnu membuat Naina terisak. “Bang Rion sayang banget sama Nai, Pa.” “Ya, kamu tau itu. Karena itu, kamu coba mulai buka hati sama Agus, ya! Nanti kalau memang dia cocok dan pas, kita bisa mulai mengurus persiapan pernikahan.” Naina mulai merenung. Air matanya menggenangi pelupuk mata. “Abangmu juga udah berumur. Tahun ini dia 28 tahun. Pernah liat abang pacaran, nggak? Dulu pas SMU, papa marahin dia karena suka ninggalin kamu pergi sama pacarnya. Lalu dia selama ini suka sama Fira, tapi cuma diam aja. Sampai akhirnya Fira manfaatin perasaan dia sampai dia nggak berpikir panjang waktu itu mau nikah aja sama Fira dan bikin kamu sakit.” Naina semakin beringsut ke pelukan Wisnu. Anggukan putrinya itu membuatnya lega, lalu dia pergi. Sempat bersembunyi ketika papanya keluar, lalu giliran Rion masuk ke kamar adiknya. Naina mengusap air matanya, Rion masih berdiri di sisi dinding, dekat poster-poster itu. “Nanti kita suruh Agus operasi plastik biar mirip Oppa Cha Eun Woo-mu ini,” kekeh Rion. Naina merengut, melemparkan bonekanya ke arah Rion sebab candaannya. Lantas, pria itu duduk mendekati Naina, mengusap kepalanya dengan kasih. “Jarang, Nai, cowok ganteng yang baik. Cuma satu-satu, langka banget,” kata Rion. “Abang ganteng, baik juga!” “Ya karena aku ini abangmu. Nggak tau juga, gimana abang nantinya ke perempuan yang abang sukai. Bisa baik, atau justru brengsek.” Naina masih mengingat perkataan ayahnya tadi, lalu semakin dekat pada Rion untuk bisa memeluk dan bersandar di d**a bidangnya. Aroma cologne bercampur keringat itu terasa sangat maskulin, candu di indera penciuman Naina. “Lagian, papa kenapa, ya, semangat banget pengen cari jodoh buat Nai?” “Karena papa pengen nimang cucu, katanya,” jawab Rion. “Ya kalau pengen cucu, harusnya Abang yang disuruh nikah. Abang, kan, anak cowok. Nanti darah keturunan alias gen Abang yang diturunkan ke anak Abang nanti, jadi cucu kandung. Kenapa ngarep dariku?” Rion melepaskan pelukannya, lalu tersenyum pada si kecilnya ini. Ya, Naina sudah berusia 25 tahun, tapi bagi Rion, dia tetap baby kesayangannya yang takkan dia lepaskan ke sembarang pria. “Mungkin takut kalau abang yang nikah duluan, abang jadi nggak jagain kamu. Makanya harus kamu yang nikah dulu, baru nanti abang yang nikah.” Usia keduanya memang sudah matang untuk menikah. Rion dan Naina, keturunan keluarga Kharisma yang diharapkan bisa meneruskan nama dan darah keturunan keluarga itu. * Naina mengalah demi kebahagiaan Rion. Mereka melakukan pertemuan keluarga dengan Agus dan orangtuanya. Wisnu menyambut hangat, memperhatikan bahwa memang pria yang dikenalkan Rion itu memiliki pribadi yang baik. Pun, kedua orangtuanya adalah pemuka agama dan cukup alim. Rion memakaikan selendang untuk menutupi rambut legam adiknya itu. “Nanti pelan-pelan juga jatuh cinta,” bisik Rion. Sambutan berlangsung hampir satu jam. Memang, Agus yang sudah berumur itu lebih menginginkan pernikahan dibanding hanya perkenalan semata. Ayahnya yang seorang ustadz itu menanyakan langsung pendapatnya. “Jadi bagaimana, Pak Wisnu? Ini positif, berlanjut?” tanya Arifin, ayah dari Agus yang sudah cukup tua. “Saya tanya anaknya dulu,” kata Wisnu, menoleh pada putrinya. “Bagaimana, Nai?” Tak ada pilihan baginya selain mengangguk, lalu mengisi ruangan dengan rasa syukur hamdallah. Walau terpaksa, demi kebahagiaan Rion, Naina menyetujuinya. Setelah hari itu, rancangan menuju pernikahan pun disusun. Hanya berselang seminggu setelah pernikahan, diadakan proses lamaran dan pria itu akan datang sebentar lagi dengan seserahannya. Rion menatap adiknya dari sisi pintu. Naina sedang dirias oleh MUA dan tampak cantik dengan tampilannya. Kebaya modern maroon berbahan dasar satin dan juga bordiran payet yang memenuhi setengah bagian atas. Lalu di bagian bawah sedikit melebar. Hijab cantik itu tak tertinggal, semakin membuat tampilan Naina lebih ayu. Saat melihat Rion masuk, MUA itu pergi keluar untuk membiarkan keduanya berbincang. “Masya Allah cantiknya, Dinda,” kata Rion, menarik kursi di sisi kasur untuk duduk di samping Naina. Walau awalnya menolak, tapi Naina tampak gugup ketika hari bahagia itu akan tiba. Rion mengusap kepalanya, tersenyum. Pria itu juga sangat tampan dengan gaya rambut undercut barunya itu. “Nai udah makan tadi?” tanya Rion. Naina mengangguk, sedikit menarik napas dalam dan menghelanya. "Kenapa, Nai?" Naina menggeleng, tak nyaman. Dia memegang sisi badannya, lalu berkata, “Agak sempit, Bang. d**a Nai sesak,” kata Naina. Rion terkejut. Terburu dia mengambil kipas kecil dengan foto idol favorit Naina itu, lalu mengipas pelan sisi wajahnya. Tatapannya beralih ke sisi meja di mana ada bekas piring di sana. “Itu udah makan, minum obatnya udah, belum? Kan, jadi sesak gitu dadanya. Kalau nanti asma kamu kambuh, gimana?” cemas Rion, menggerutu. Saat dia beranjak hendak mengambil obat, Naina menahan lengannya. Gadis itu tertawa kecil, meminta Rion kembali duduk. Gemas, dicubitnya kedua pipi kakaknya itu. “Bukan itu, Bang. Maksudnya, bajunya sempit. Dadaku gede, sesak.” Mata Rion membeliak, lalu menurunkan pandangan ke arah d**a Naina. Rion terkejut saat Naina menyentil hidungnya. Gadis itu pun beranjak dari duduknya, lalu mendekati laci meja di dekat kasur. “Nanti kalau Nai udah nikah, Abang harus cari perempuan yang baik, yang sabar dan nggak pelit juga.” Rion bergerak bangkit, mendekati Naina dan berdiri di belakangnya. “Kenapa gitu?” Naina mendekati, lalu memeluk abangnya penuh kasih. “Karena nanti meskipun udah nikah, Nai bakal sering nemui Abang, minta bantuan Abang, sering kangen. Jadi, istri Abang nanti harus pengertian, jangan pelit dan nggak boleh ngambekan.” Lama Rion tak menjawab, lalu melepaskan pelukan Naina. Lebih mendekat hanya untuk mencium dalam di dahi itu. “Nanti kalau Nai udah nikah, abang juga nggak bisa cium begini, kan? Udah jadi jatah si Agus,” rengek Rion, cemberut. Naina tertawa kecil, menanti waktu sampai Agus dan keluarganya berdatangan. Menit berlalu, Naina mendengar bahwa keluarga Agus sudah sampai dan siap dijamu untuk proses lamaran. Ada banyak seserahan yang dibawanya. Mulai dari seperangkat alat sholat, satu stelan kebaya putih dan heels cantik, produk skincare dan make up, produk yang dipakai Naina saat mandi, beberapa pakaian yang bersifat pribadi, tak lupa pula dengan cake dan juga boneka besar teddy bear cokelat. Acara dimulai. Naina menunduk dan memperhatikan acara berjalan khidmat. Sejak tadi, dia juga mencuri pandang ke arah Agus. Rion melihat adiknya itu akan mulai menapaki hari menjadi seorang istri hanya dalam waktu dekat ini. Lima belas menit berlalu dengan wejangan dan sambutan dari pihak lelaki untuk memulai lamaran, seorang ustadz yang menjadi pembicara mewakili keluarga Kharisma pun memberikan persetujuan untuk lamaran ini. “Baiklah kalau begitu. Ayo, Bu Marini memakaikan cincin untuk calon menantunya.” Ibunda Agus itu mendekati Naina dengan kotak merah di tangannya. Cincin sebagai simbolis untuk mengikat hubungan kedepan nantinya. Saat tersenyum memandang acara sakral itu, Rion terkejut karena melihat Naina jatuh ke sisi kiri sambil memegang dadanya. Terlihat dia susah bernapas. “Nai!” Rion menyerobot masuk, memegang Naina yang hampir jatuh karena lemas. Suasana mendadak riuh. Pihak keluarga Agus sedikit menjauh untuk memberi ruang bernapas pada Naina. Ranti pergi untuk mencari inhealer di kamar, Wisnu menelpon dokter untuk segera tiba. “Ini kayaknya asmanya kambuh, deh!” "Iya, dari kecil nggak sembuh-sembuh." Dua orang yang diyakini sebagai keluarga jauh Naina itu bergumam hingga didengar oleh Keluarga Agus. Bias wajah mereka berubah, seolah kecewa dengan kondisi calon menantunya ini. “Pak, ini-" Arifin mulai bertanya santun pada Wisnu. “Udah, Pa! Ndak usah. Mama ndak mau kalau begini. Mereka menutupi keadaan putri mereka.” Si Agus menurut saja ketika keluarganya pergi dari ruang tengah. Acara lamaran mendadak kacau. Hilang sudah kesempatan mendapatkan calon menantu. Rion membawa Naina ke sofa sudut untuk disandarkan. “Rion, ini!” Ranti kembali dengan inhealer di tangannya, Rion mengambilnya untuk diletakkan di sela mulut Naina agar asma itu cepat mereda. Ranti pun melonggarkan lilitan hijab di leher Naina, melepasnya. Pun beliau membuka resleting kebaya di punggung Naina agar badan dan napasnya terasa lebih longgar. “Ma!” Naina melepas inhealer-nya, lalu tersenyum untuk memperbaiki duduknya. Bias wajahnya kembali ceria, tak peduli dengan raut takut di wajah keluarganya. Orang-orang di sekitar juga sudah berhamburan keluar tadinya ketika Wisnu meminta ruang agar Naina lebih bebas bernapas. “Bercanda.” “Nai!” Rion memekik marah. “Liat, kan? Mereka nggak siap punya istri dan menantu yang sakit kayak Nai.” Wisnu dan Ranti terhenyak. Putrinya tadi melakukan drama hanya agar menunjukkan keluarga itu pantas menjadi keluarga baru Naina atau tidak. Bukannya tak baik, hanya saja, tak semua orang bisa menerima orang baru yang akan dianggap sebagai beban. Naina tak mau jika harus pergi ke tempat itu dan akan membuat hidupnya lebih sulit. “Nai baik-baik aja, Bang!” kata Naina, masih mengusap pipi Rion yang wajahnya tampak pias. “Kamu ini!” Meski menggerutu kesal, Rion tetap memeluk erat adiknya itu. Rasa takut jika memang tadinya, Naina collaps karena asmanya. “Abang sayang sama Nai. Jangan gitu lagi!” kata Rion, mengusap bahu dan punggung Naina. Wisnu tak bicara, memperhatikan keduanya, lalu beranjak pergi. Satu menit keduanya menyampaikan haru dan kasih, hingga akhirnya mata Naina membeliak saat sadar sepenuhnya dengan sentuh dan usapan pelan Rion di punggungnya. “Kenapa Abang pelintir tali be-ha-ku?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD