6. Abang Super Protektif

2138 Words
Mungkin karena setidaknya tampilan fisik Alvin lebih baik dibanding beberapa calon sebelumnya, Naina menyambut perkenalan itu. "Kamu mau nggak, jalan keluar sebentar, Nai? Aku pengen ngobrol banyak sama kamu," pinta Alvin dengan tutur santun. Kedua keluarga itu mempersilakan Alvin membawa Naina keluar dari suasana keakraban, mengambil beberapa waktu menyendiri untuk setidaknya saling bertukar cerita. Merasa takut sebab ini pertama kalinya Naina 'berkencan', Rion membuntutinya. Keduanya duduk santai di bangku taman luar, angin terasa dingin menyapu permukaan kulitnya. Rion memperhatikan sejak tadi, Naina terlihat malu, gugup. Sesekali si cantik itu menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh ke sisi balik telinga. "Nggak kedengeran!" gerutu Rion. Mengambil jarak yang lebih dekat, Rion berhasil menyembunyikan diri di balik pilar yang berjarak tiga meter dari bangku mereka. Apakah Alvin serius menyukai adiknya? Rion merasa khawatir dengan sinyal protektif yang mulai menggaungi. "Jadi sekarang, kegiatan kamu apa, Nai?" tanya Alvin. "Belakangan ini lagi ikut kursus bahasa Inggris, sih. Pengen juga kerja di luar, tapi nggak dibolehin sama papa. Disuruh di rumah aja." Alvin mengangguk, menyamankan duduk sambil melebarkan satu lengannya ke sandaran kursi belakang pundak Naina. "Iya, sih, perempuan di rumah aja, lah, nanti menikah juga harus ngurus anak sama masak. Lagian ngapain kerja juga, kan? Papa kamu tajir banget." Naina tersenyum malu, hanya mengangguk. "Tapi aku nggak bisa masak." "Ya gampang, sih, nanti beli aja kalau kita nikah." Menikah. Secepat itu? Naina sangat gugup ketika jemari Alvin mulai menyentuh bahunya, sesekali mengelus lengannya yang lembut dan halus. Naina meneguk ludah, canggung sebab sentuhan pria tampan ini. Sementara itu, Rion menggeram di sana melihat tak sopan pria itu terhadap adik kesayangannya. 'Gila tuh orang, ya! m***m banget. Baru kenal sedetik, udah main elus-elus aja!' geramnya. Rion menggerutu karena sepertinya, adiknya terjerat dalam pesona tampan pria itu begitu mudahnya. Pun sebab memang Naina yang terlalu lama mendambakan hubungan serius dengan seorang pria. Adiknya tengah kasmaran. "Si Nai diam aja, sih? Itu takut atau keenakan?" geramnya, lagi. Alvin menyentuh dagu Naina yang sedari tadi menunduk sebab malu dan berdebar-debar. Gadis anggun dan ayu ini, pun ditambah kecantikan alaminya, Alvin tak menolak jika diajak menikah. "Kamu kenapa? Malu?" tanya Alvin, lalu sedikit menggeser duduknya agar berhadapan dengan Naina. "Memangnya kita beneran akan nikah?" "Kamu nggak setuju?" "Bukan." Naina menggeleng, menyilangkan jarinya membentuk huruf X. "Bukan aku. Mungkin kamunya yang nggak mau." "Masa aku nggak mau, sih?" Rion menggeram saat Alvin semakin mendekati Naina. Kepalanya seakan berasap. Kali ini dia memegang pipi gadis itu, berniat meninggalkan kecupan di bibir merah delima Naina. Rion semakin mendidih geram. Pasti Naina takkan menolak, mengingat adiknya itu terlihat ingin sekali merasakan sensasi ciuman itu. Beberapa hari ini Naina terus mengungkit itu padanya. Apalagi agenda pernikahan, telah diurai manis oleh pria ini. Sontak, Rion keluar dari persembunyian. Hampir seinchi bibir Alvin mencium bibir Naina, Rion merusak lapak cinta mereka dengan entengnya. "Ada nyamuk, Nai!" keluh Rion, sambil memegang kepala Nain dari belakang, memiringkan ke sisi kiri. Keduanya terkejut melihat tingkah Rion. Dia mengambil duduk di tengah-tengah hingga Alvin merasa kesal. Bak satpam penjaga jik. sewaktu keduanya mulai di luar batas. "Ngapain nebeng di sini? Kayak naik angkot aja!" gerutu Alvin. Rion tersenyum, membuka blazer kasualnya yang berwarna dark brown itu untuk memakaikan ke badan Naina. Bibir wanita itu mencebik, sedikit memberi kode bahwa sang kakak harus menyingkir. "Nai baru aja sehat. Nggak boleh di luar, kena angin malam lama-lama," keluh Rion, posesif sambil merangkul bahu adiknya itu. Sebab tak nyaman, Alvin pergi meninggalkan mereka. Tertinggal Naina yang menggerutu sambil menarik telinga kakaknya ini. "Abang apaan, sih?!" geramnya. "Sakit, Nai!" Naina bersidekap, merajuk pada sikap over protektif kakaknya ini. "Nanti dia ilfeel sama aku, Kak! Ini udah pas banget, loh, mukanya udah kayak Oppa Korea, malah dia juga kayaknya setuju mau nikah sama aku." Rion belum menjawab, memipihkan sedikit pupil matanya. "Nggak liat, tadi, dia mau nyosor kamu gitu aja? Nggak sopan banget!" "Ya, kan, aku ini calon istrinya." "Ndasmu!" gerutu Rion, menjitak pelan dahi Naina. "Baperan banget, sih, digituin langsung nurut." "Ya kan-" Naina menunduk, menyatukan dua telunjuknya. "Itu tadi-" "Abang tau. Ini pasti kamu masih mikirin soal ciuman itu, kan? Dasar, anak gila!" Naina terlalu lama terkurung dengan segala aturan papanya. Walau dia tahu tubuhnya juga tak selemah yang dipikirkan beliau, tetap saja Naina tak bisa menentang ketika dia ingin mencicipi dunia luar. Jangankan berkencan, teman wanita saja dia tak punya. Dulu pernah punya, saat dia masih menjadi siswi nyata di sekolah. Tapi semenjak mulai home schooling, teman-teman lamanya seolah melupakannya. "Abang nggak tau rasanya jadi, Nai." Rion mendecak kesal, pun kasihan mengingat liku hidup Naina. Naina terkejut saat Rion menarik tengkuknya untuk lebih dekat, mencium tipis bibirnya. Bahkan tak sampai satu detik. Naina terkejut, pelupuk matanya berulang kali mengerjap. Otaknya mendadak blank. "Udah, kan?" seru Rion. Rion berguling ke sisi bangku saat adiknya itu menggerutu setelah menepuk keras bibirnya. "Apaan, sih, Nai! Abang, kan, cuma bantu doang. Lagian sama Abang sendiri, nggak ada rasanya juga." Naina mencak-mencak kesal. Kali ini dia menarik rambut kakaknya itu. "Jahat Abang, mah! Main nyamber aja." Apakah dia salah bertindak? Sepertinya sang adik tengah merajuk. Beberapa detik dia bungkam, lalu melirik Rion. "Yang tadi itu bukan ciuman, pokoknya! Itu matok! Kek ayam. Ciuman itu nggak kek gitu. Dasar! Abang sendiri aja nggak pernah ciuman, kan?" Naina melenggang santai meninggalkan Rion sendiri yang terbodoh. Setidaknya dia bersyukur telah menjauhkan adiknya dari perilaku pria yang baru dikenalnya itu. 'Ah! Adik kesayanganku. Penasaran juga, siapa jodohnya nanti,' gumamnya. Rion berjalan santai di lobi untuk kembali ke dalam resto. Sengaja dia putar ke sisi timur karena harus ke toilet untuk melonggarkan sensasi dingin yang dirasa. Langkahnya terhenti saat melihat Alvin berbicara dengan ayahnya. Kembali, Rion bersembunyi sebab tingkah keduanya begitu mencurigakan. "Udah, lah! Kamu tenang aja." Pria bernama Aryo, ayah dari Alvin itu menepuk pundak putranya. "Kamu pepet aja terus si Nai. Bayangin aja kalau kamu bisa nikahi Naina, nanti kamu bisa bujuk dia untuk ambil alih Kharisma Advertising." Raut Rion berubah dingin, mulai menyadari bahwa Alvin bukanlah jodoh yang pantas untuk Naina, adik kesayangannya. Mereka hanya memanfaatkan demi kepentingan bisnis. "Lagian bonus, Pa. Naina cantik banget!" "Iya, tapi dia itu penyakitan." "Eh?" Alvin terkejut, lantas wajahnya berubah menjadi meremehkan. "Karena itu, bayangin aja kalau dia lebih cepat mati, hartanya bisa buat kamu. Kan?" Rion merasa muak mendengar dua orang ini tertawa merendahkan Naina, juga kebodohan papanya yang begitu cepat terjerat hanya demi membahagiakan putrinya. Mereka kembali ke dalam resto, memasang wajah malaikat untuk melanjutkan sisa pertemuan. Rion pun kembali ke kursinya, belum menyahut. "Jadi bagaimana, Pak Wisnu? Kapan saya bisa datang secara resmi membawa seserahan untuk melamar Naina?" tanya Aryo, antusias. Naina semakin tertunduk dalam. Angannya untuk menikah mungkin akan tercapai di usianya yang ke-25 tahun ini. Ranti memegang lengan Naina, sesekali mencium puncak kepalanya. "Saya akan tanya Naina kapan dia siapnya," jawab Wisnu. Mereka terkejut saat Rion tiba-tiba menggebrak meja. Pandangan dingin tertuju pada ayahnya. "Papa nggak tanya apa aku setuju atau enggak?!" Lama Wisnu membungkam, Rion terlihat tak suka pada calon iparnya ini. Wisnu diam saja, membiarkan Rion mengambil alih pembicaraan. "Maaf! Saya menolak rencana pernikahan ini. Saya nggak mau, punya hubungan dengan bapak-anak turunan Dajjal seperti kalian." Aryo marah dengan sikap kurang ajar Rion. Sempat dia memakai kasar, merasa dipermalukan. Wisnu belum menjawab, hanya istrinya yang berusaha menenangkan keluarga Aryodinata itu. "Kurang ajar sekali putramu ini, Wisnu! Apa haknya mencampuri masa depan adiknya?!" Naina tak menyahut. Walau kecewa, dia sama sekali dia tak meragukan pilihan Rion. "Pak Wisnu! Kenapa Anda diam saja?!" bentak Aryo. "Nai! Ini gimana? Kamu mau nikah sama aku, kan?" tanya Alvin, menatap serius Naina. Pertemuan yang merencanakan pernikahan itu akhirnya kacau dan mengundang perhatian orang-orang di sekitar. "Kalau memang itu pendapat putra saya, ya sudah, itu akan jadi keputusan saya juga." Merek tak menyangka, bahkan tanpa bertanya apa pun, Wisnu menuruti pendapat putranya itu. Rion terkejut saat istri Aryo menyiram segelas air dengan keras ke wajahnya. "Perjodohan ini batal!" pekiknya, lalu mereka pergi dengan gaya congkak. Wisnu tersenyum melihat Rion basah kuyup, sementara Ranti masih mengira-ngira kenapa suaminya menyetujui pendapat Rion. "Ini kenapa, sih? Rion! Kenapa kamu nggak setuju dengan rencana pernikahan ini?" tuntut Ranti, sedikit emosi. "Alvin itu cowok jahat, Ma. Aku nggak mau, lah, adikku kukirim ke sarang neraka gitu." Wisnu mengangguk pasti, lalu beranjak dari duduknya. "Kalau gitu, ya sudah! Kita cari yang lain saja nanti." Naina melengos kesal, berjalan di sisi Rion yang masih menjahilinya. Tak marah, hanya sebal karena dia gagal menikah. "Pokoknya nanti Nai pasti ketemu cowok baik," kata Rion, menyenderkan pipinya ke puncak kepala Naina saat mereka berjalan menuju parkiran. "Abang jahat, pokoknya!" * "Itu tadi kenapa Papa nurut aja sama Rion? Dapetin mantu ganteng gitu, susah, kan, Pa? Apalagi yang mau terima keadaan Naina." Ruang tengah rumah itu terasa bising oleh pertengkaran. Ranti tak suka karena gagal mendapatkan menantu. Sejak tadi, Naina tak menanggapi. Ditolak baginya hal biasa, hanya merasa sayang saja. Kedua orangtuanya ini yang mungkin lelah mencari jodoh untuknya. "Rion nggak setuju, jadi ya ngikut dia aja," tandas Wisnu. "Ma, tadi aku denger sendiri kalau mereka itu cuma manfaatin perjodohan ini. Cuma buat bisnis dan harta doang. Lagian Nai juga cantik, kan? Ntar bisa cari lagi," tandas Rion, menyakinkan. Wisnu tersenyum, kembali memegang ponsel untuk memeriksa pesan masuk di sana. Tentu pria ini yang mendapatkan banyak ajakan perjodohan sebab kekuasaan bisnisnya tak main-main. Meski tahu pasti akan ada indikasi asas manfaat nantinya, dia tetap yakin akan menemukan jodoh yang benar-benar baik untuk Naina. "Minggu ini ada yang ngajak ketemu lagi," tandasnya. Ranti mendecak kesal. Sementara Naina masih sibuk memukuli lengan kekar kakaknya itu. Rion tak henti tertawa, sesekali menjepit leher Naina karena gemas. "Rumah udah kayak biro jodoh aja," keluh Rion. "Tapi nanti aku juga bantu cariin, deh." "Dih! Biar bisa bebas, trus gantian Abang yang merit, kan?" Rion tersenyum, mengangguk sambil mengusap kepala Naina, lalu pergi. * "E-eh!" Spontan, Rion menyilangkan lengannya di d**a saat Naina seenaknya masuk ke kamarnya. Tadinya, dia baru saja selesai mandi sore sepulang dari kantor, lalu keluar hanya dengan menggunakan handuk saja yang melilit di pinggangnya. "Ngapain masuk, Bang! Sana keluar!" keluh Rion sambil menarik kemeja dari gantungan. Naina hanya usil, masuk tanpa mengetuk hanya untuk membawa dua dress cantik untuk dicocokkan ke badannya. "Cantik yang mana?" tanya Naina. Rion masih memunggungi, memakai lebih dulu kemeja itu agar merasa nyaman mendekati Naina. "Yang biru." "Oke. Tapi ini, Abang mau ngajak Nai ke mana, sih?" tanya Naina. Rion tersenyum, mendorong Naina untuk pergi meninggalkan kamarnya. Kali ini, dia yang mengatur perjodohan Naina. Setelah berdandan rapi, Rion mengajak adiknya itu pergi ke sebuah cafe untuk janji temu dengan seseorang. Seorang pria dengan kumis tipis, yang wajahnya memang tidak terlalu tampan juga, menyambut kehadiran Naina dan Rion. Senyumnya sangat manis, setidaknya itu nilai plus untuknya. "Ini Agus, Nai, temen Abang." Naina mengangguk tipis, menyambut jabat tangan pria pemalu itu. Dilihat dari wajahnya, dia lumayan berumur. "Abang ketemu pas sholat Jumat kemarin. Ngobrol-ngobrol sebentar, eh nyambung. Katanya beliau cari jodoh. Umurnya 37 tahun sekarang." Garis senyum Naina tertarik ke kiri. Rion sedikit menggeliat saat Naina melancarkan cubitan di pahanya. "Adow!" "Kenapa?" tanya pria bernama Agus itu. Rion menggeleng, mempersilakan mereka bicara untuk saling bertukar pikiran. Tuturnya terlihat dewasa, setidaknya Naina menghargai pria yang disodorkan kakaknya ini. Wajar, Rion sendiri juga tak memiliki banyak teman. Ada yang dibawanya bertemu Naina saja, sudah seperti kemajuan. "Mas Agus kegiatannya apa? Bang Rion bilang, Mas cari jodoh, ya?" "Oh, itu-" Agus sedikit gemetar saat meraih cangkir itu. Pelan-pelan disesapinya sebelum menjawab pertanyaan Naina. "Oh, saya punya usaha tambak udang, sama bisnis travel, baru buka juga. Dan kalau Dek Naina menolak, Ndak apa-apa. Tapi kalau mau, ya Alhamdulillah. Saya Ndak mau pacaran juga, mau langsung nikah aja. Udah terburu-buru juga." Naina tak menyahut. Berpaling dia ke sisi kiri, abangnya itu tersenyum sambil menunjukkan jempol padanya. Pertemuan berakhir setengah jam berikutnya. Naina belum memberi jawaban, Rion menyetir santai untuk melajukan mobil itu menuju rumahnya. "Beneran, dia orang baik?" tanya Naina. "Iya. Sebenarnya abang kenal sama bapaknya juga. Baik orangnya, juragan tanah. Banyak banget tanahnya di daerah Malang. Tajir, lah, pokoknya." "Tapi tua banget." Naina menggerutu, meletakkan kepalanya di sandaran jok. "Sama aku, beda dua belas tahun." "Liat nanti aja, papa sama mama setuju atau enggak. Tapi kayaknya dia cocok buat kamu, bisa ngemong juga." Naina belum menyahut, melipat tangannya di d**a. Diliriknya sebentar wajah bahagia Rion, sesekali dia bersiul. "Apa Nai beneran harus nikah? Kenapa?" "Ya biar Abang bisa nikah juga!" ujarnya, tergelak tawa. Naina cemberut. Setidaknya dia berhasil menarik dua helai rambut Rion ketika menjambaknya. Perbedaan usia mereka hanya tiga tahun. Rion adalah satu-satunya sahabat yang dia punya. "Udah nggak mau jaga Nai, ya! Nai sumpahin, deh, bakalan terus gentayangin hidup Abang walau nantinya Abang nikah! Pokoknya Nai pepet terus kayak bajaj!" Rion hanya tertawa kecil, lalu mobilnya berhenti di halaman rumah kediaman Kharisma. Hanya usap lembut sebelum dia mencium puncak kepala gadis cantik itu. Sangat melindungi. "Pokoknya Nai harus bahagia, biar abang bisa bahagia juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD