Andrenaya - 4

1514 Words
BAB 4 Tersenyumlah kalau itu membuatmu nyaman. Dan, menangislah kalau itu membuatmu tenang. ΔΔΔ Usai sarapan, Andre maupun Anaya sama-sama kembali ke kamar. Anaya mengambil posisi duduk di atas tempat tidur, bersandar pada kepala ranjang. Hari ini Anaya berniat mengisi waktu dengan membaca n****+ dan menonton drama Korea kesukaannya. "Nay, siapin pakaian gue. Hari ini gue ikut Papi ke kantor," ujar Andre yang baru saja keluar dari kamar mandi. Anaya mengalihkan pandangannya dari sebuah n****+ yang sedang dia baca, beralih menatap Andre yang juga tengah menatap dirinya. "Ambil sendiri, ish! Manja banget. Punya tangan dua itu digunain!" tolak Anaya lansung memutuskan kontak mata dengan Andre. "Apa-apa harus gue. Makan diambilin sama gue, ngeringin rambut juga sama gue, jangan-jangan besok minta dimandiin sama gue?" gerutunya pelan tetapi masih bisa didengar oleh Andre yang berada tidak jauh darinya tersebut. "Itu salah satu tugas istri," balas Andre santai. Tidak ada nada marah atau kesal sedikitpun dari ucapannya. Pria itu melangkah menghampiri Anaya, mengambil alih n****+ yang sedang dibaca oleh Anaya. "Kembaliin gak?!" bentak Anaya tidak terima bukunya diambil. Andre menghela napasnya. Dia menatap Anaya serius, tidak seperti biasanya. Selagi dia bisa sabar dan menggunakan cara halus, dia akan memperlakukan Anaya dengan baik. "Siapin baju gue dulu. Suami itu prioritas, yang lain bisa nanti." Ucapan Andre begitu halus, tanpa ada bentakan. Anaya berdecak kesal. Melangkah menuju lemari dengan sedikit menghentakkan kakinya. Andre yang melihat perilaku sang istri seperti itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran. Memakai cara halus pun wanita itu tetap membalasnya dengan decakan kesal, apa kabar kalau Andre menggunakan cara lelakinya? "Maunya diprioritasin, cih, basi! Bilang aja malas ngerjain sendiri!" omel Anaya. "Mimpi apa gue bisa menikah sana wanita bermulut mercon begini?" tanya Andre dalam hati. Menyikapi kelakuan bar-bar Anaya membutuhkan kesabaran yang ekstra. "Mau kemeja warna apa?" tanya Anaya dengan nada tidak bersahabat tetapi masih enak didengar. "Putih." Anaya mengambilkan kemeja putih sesuai keinginan Andre. Kemudian memilihkan stelan jas berwarna hitam, dan ikat pinggang berwarna cokelat. Anaya ingat kalau Andre mempunyai sepatu berwarna cokelat--pria itu pernah mengenakannya ketika acara prom night. "Ikat pinggangnya warna cokelat aja, ya? Nanti gue ambilin sepatu lo yang warna senada sama ikat pinggangnya." Andre mengangguk saja mengiyakan. Sementara Andre mengganti pakaiannya, Anaya mengambilkan sepatu yang berada di lantai bawah. Dengan waktu yang lumayan singkat, Andre keluar dari kamar mandi sudah rapih dengan pakaiannya. Anaya nampak terkesima melihat penampilan pria itu yang sangat berbeda dari biasanya. Ya, Anaya akui pria itu memanglah tampan. Sialnya, Anaya sampai tidak sadar dia tengah melamun hanya dengan memerhatikan penampilan pria itu. Lol! "Sudah bengongnya? Gue tampan, ya ...," ucap Andre begitu percaya diri, dan menunjukkan senyum khas dirinya. Senyuman itu yang membuat Anaya ingin sekali memukul wajah pria itu. "Hey! Kok bengong lagi?" Anaya langsung tersadar dari lamunannya ketika ujung hidungnya disentil. Wanita itu memutar bola matanya jengah. "Iya tampan kalau dilihat pakai sodotan!" balasnya sebal. Andre terkekeh. Beres mengenakan sepatunya, Andre kembali mematut penampilannya pada cermin besar. Dia rasa penampilannya sudah cukup rapih. "Gue berangkat," pamitnya pada Anaya yang hanya diam memperhatikan dirinya. Anaya diam, tidak menunjukkan reaksi apapun ketika Andre berpamitan. Mungkin lebih tepatnya Anaya tidak mendengar ucapan pamit tersebut. Andre maju beberapa langkah mendekati Anaya. Menyentuh puncak kepala wanita itu, lantas mengusapnya pelan. "Gue berangkat, Anaya," ulangnya. Anaya terkesiap. "Eh, sekarang?" "Bulan depan," balas Andre mencibir. "Ya sekaranglah!" lanjutnya kemudian beranjak meninggalkan Anaya yang kelihatan aneh menurutnya. "Ah, ya, hati-hati." Andre masih bisa mendengarnya. Ucapan singkat itu membuat kedua sudut bibir pria itu terangkat. Membentuk sebuah senyuman kecil. **** Anaya mematikan layar laptopnya. Menonton drama berjam-jam ternyata membuatnya bosan juga, begitupun dengan membaca n****+. Hidupnya selalu saja begini, tidak jauh-jauh dari menonton drama dan membaca n****+. Anaya mengubah posisinya terlentang, menatap langit-langit kamar. Senyumnya mengembang ketika ingat kebodohannya tadi pagi, melamun gara-gara penampilan Andre yang menurutnya sangat tampan. Hanya saja wajah datar dan sikap dingin pria itu yang selalu membuat Anaya jengkel dan benar-benar tidak berniat berteman dengannya. Anaya meraih ponselnya, dia membuka aplikasi hijau miliknya. Bella mengirimkan pesan untuknya. Bella: Kangen sama pengantin baru. Ngumpul di rumah gue, yuk! Anaya tertawa kecil membaca pesan Bella yang menyebut dirinya pengantin baru. Terdengar lucu tapi itulah kenyataannya, dia memang baru saja menikah. Kedua jari jempol Anaya menari dengan lincah di atas papan keyboard ponselnya, membalas pesan Bella segera. Anaya: Pengantin baru ganti baju sebentar. Setelah mengirim pesan tersebut, Anaya mencari kontak bernama Rara, yang tak lain adalah sahabatnya juga. Anaya: Ra siap-siap, gue jemput. Kita ke rumah Bella sekarang. **** "Pak Arman," panggil Anaya setibanya di teras. Pak Arman menghampiri Anaya dengan sopan. "Anterin Naya ke rumah Bella, ya, tapi sebelumnya kita jemput teman Naya dulu di perumahan Permata." "Maaf sebelumnya, Neng Naya, apa sudah mendapat izin dari Den Andre?" tanya pak Arman sebelum mengiyakan keinginan Anaya. Anaya terdiam beberapa saat, memikirkan sesuatu. "Bohong sekali gak pa-pa, kan ya?" batinnya. Anaya tersenyum kecil, kemudian mengangguk. "Sudah, pak Arman, Naya sudah kirim pesan ke Andre tadi. Ayo, Pak!" Pak Arman mengangguk, kemudian membukakan pintu mobil untuk Anaya. Setibanya di rumah Bella, Anaya menyuruh pak Arman pulang, tidak perlu menunggunya karena mungkin Anaya akan pulang malam. "Pengantin baru datang ...," ucap Anaya setengah berteriak ketika asisten rumah tangga keluarga Bella membukakan pintu untuknya dan Rara. Bella yang sedang berada di ruang keluarga mencibir mendengarnya. "Iyain yang lagi bahagia." Anaya mengambil posisi senyaman mungkin di atas sofa, begitupun dengan Rara. "Bell sosis bakar gak ada? Gue laper, belum makan." Anaya mengusap perutnya yang tiba-tiba berbunyi, lapar. Rara memutar bola matanya. "Yang bener aja lo, ke rumah orang minta makan, ck, gak tau malu!" cibirnya kemudian. Anaya mendesis. "Bibi Siti kesayangan Naya, buatin Naya sosis bakar, ya ...," pinta Anaya pada asisten rumah tangga Bella yang bernama Siti tersebut, setengah berteriak. "Oke siap, Neng Anaya!" sahut bi Siti lantang dari arah dapur. Anaya mengacungkan jempolnya, kemudian terkekeh. "Ck! Belagak tuan rumah lo!" Bella melempar kacang ke arah Anaya, yang dibalas kekehan oleh Anaya. "Ngomong-ngomong, gimana pernikahan lo? Seru nikah sama musuh bebuyutan, huh?" ledek Bella. Yang benar saja, sahabat yang satu ini menikah dengan seorang pria yang menjadi musuhnya sejak mereka duduk dibangku sekolah menengah pertama. Siapa yang mengira, mereka berjodoh. Bella dan Rara adalah dua orang yang tahu segala hal tentang Anaya. Kedua gadis itu orang pertama yang tahu perihal perjodohan Andre dan Anaya, mereka pula yang tega tertawa di atas kesedihan Anaya. "Seru apanya! Nyebelin yang ada. Tuh cowok bener-bener nguji kesabaran gue," balas Anaya. Rara dan Bella tertawa mendengarnya. "Udah buka segel?" goda Rara menaik-turunkan alisnya. "Enak, kagak?" lanjutnya kemudian dengan senyum menggoda. Otak mesumnya tiba-tiba bergejolak! Anaya melebarkan matanya. "Sembarangan kalau ngomong! Ya gak maulah gue dicoblos sama dia." Anaya bergidik takut. "Masih tersegel, tanpa lecet sedikitpun." "Yha rugi, rugi ...." Bella menggelengkan kepalanya. "Si Teguh aja udah ngoblos, padahal belum nikah. Apa namanya kalau bukan enak?" Bella teringat pada si Teguh, anak kelas sebelah yang 'kecelakaan' sebelum menikah. Untung saja beritanya tersebar ketika mereka sudah dinyatakan lulus oleh pihak sekolah. Anaya menggeleng-gelengkan kepala, heran. "Otak lo berdua ini emang minta di upgrade. Error, gak pernah bener!" Bantal kecil yang berada di dekat Anaya melayang mengenai Bella. Obrolan ketiganya terhenti ketika bi Siti datang, membawakan sosis bakar yang Anaya inginkan tadi. Mata Anaya berbinar, sosis bakar buatan bi Siti yang paling enak menurut Anaya. **** Anaya membelalakkan matanya ketika membukakan pintu rumah Bella. Seorang pria yang sangat dia kenal tengah berdiri di hadapannya, masih dengan pakaian yang dia kenakan tadi pagi. "A-andre, ngapain ke sini?" tanya Anaya terbata-bata. Ada perasaan takut, namun berusaha tetap santai. "Ngejemput istri," balas Andre datar. Anaya menggigit bibir bagian bawahnya, semakin takut. Dia meringis dalam hati. "Nay, siapa yang dat--ang ...?" Bella mengantup bibirnya rapat-rapat ketika melihat siapa tengah berdiri di depan pintu utama rumahnya. "Eh ... Andre, mari masuk, Ndre," ucap Bella kemudian. Wanita itu merasa suasana di antara mereka seketika tidak nyaman. "Gak usah repot. Gue ke sini cuman mau jemput Anaya." Anaya mengangguk mengiyakan. "Gue ambil tas dulu, tunggu aja dalam mobil." Kemudian beranjak menuju ruang keluarga, segera meraih tas miliknya. "Bell gue pulang." Yang dibalas anggukan oleh Bella. "Ra, lo pulang bareng gue kan?" tanya Anaya beralih pada Rara. Rara menggeleng cepat. "Kagak, gue naik taksi aja. Takut gue liat wajah suami lo." Gadis itu bergidik, sedangkan Anaya berdecak kesal. "Sudahlah, gue balik." Sesampainya di rumah, Anaya melangkah lebih dulu masuk ke dalam kamar, menghindari Andre yang nampak sedang marah padanya. Selama dalam perjalanan tadi Andre maupun Anaya sama-sama diam, tidak ada yang berniat membuka suara. "Kenapa gak bilang mau main ke rumah Bella?" tanya Andre ketika masuk ke dalam kamar. Anaya menghela napasnya. "Harus, ya? Terserah gue dong mau ke mana. Jangan membatasi gue deh!" bentak Anaya kesal. Andre menaikkan sebelah alisnya menatap Anaya yang sedang kesal. Yang salah siapa, yang kesal siapa? "Gue suami, dan lo istri. Di mana-mana kalau istri mau bepergian itu harus mendapat izin suami dulu!" Anaya memutar bola matanya jengah. "Jangan mengatur-atur gue! Gue gak suka!" "Suka gak suka, lo harus lakuin peraturan itu. Hargai gue sebagai suami lo." "Terserah! Terserah!" Andre menutup kedua matanya mendapati pintu kamar mandi yang ditutup dengan keras. Anaya membantingnya, marah. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD