Andrenaya - 1
BAB 1
Tuhan telah menakdirkanku bersamamu.
ΔΔΔ
Seorang gadis duduk santai di atas sofa sambil menonton salah satu acara pada telivisi, dan tentu saja dengan memeluk kaleng cemilan kesukaannya. Gadis itu nampak tak lelah mengunyah makanan yang sedari tadi tak henti dia masukkan ke dalam mulutnya. Gadis itu sering makan, tetapi tak banyak, mungkin hanya beberapa sendok makan saja. Tidak suka keramaian, tetapi selalu merasa takut dalam kesunyian. Tidak senang menghias wajahnya, tetapi sering kali menonton tutorial make-up di salah satu aplikasi berwarna merah miliknya. Gadis itu bernama Princess Anaya, nama yang sengaja dia buat sendiri untuk menyenangkan hati. Gadis yang selalu ingin dimanja, tetapi merasa geli ketika melihat orang lain mempunyai kesamaan seperti dirinya--manja. Gadis itu tak mudah marah, tetapi jika sudah marah tak ada satu orangpun yang diberi ampun olehnya.
"Anaya Kyra ...?" panggil seorang wanita paruh baya yang barusaja keluar dari dalam kamarnya. Berjalan menghampiri Anaya.
Anaya memajukan bibir, tidak senang dipanggil dengan nama asli dirinya. "Princess Anaya, Mama!" ralatnya sedikit menegaskan. Anaya Kyra, itulah nama asli gadis itu. Nama yang hanya tertera pada akta kelahiran, kartu keluarga, kartu identitas, dan sampul buku miliknya.
Wanita paruh baya itu adalah ibu Anaya. Anita, itulah namanya. Wanita hebat yang selalu mengerti, menyayangi, dan mengasihi Anaya. Anita adalah tempat Anaya berkeluh kesah, menangis, maupun menceritakan segala kebahagiaan yang dia rasakan.
Anita memutar bola matanya malas. "Iya, Princess Anaya. Duduknya yang benar dong, Sayang, masa anak gadis kakinya dinaikkan kayak gitu?" ucap wanita itu, memukul pelan kaki Anaya yang berada di atas meja. Anaya malah terkekeh.
"Tumben Mama gak nganter makanan ke kantor Papa, lagi berantem, ya?" Anaya bertanya santai, memasukkan lagi cemilan ke dalam mulutnya.
"Huts ... mulutnya!" geram Anita. "Gak pa-pa, sih, Mama lagi malas aja," balasnya kemudian, lalu meraih remote dan mengganti channel televisi.
"Pantas aja Naya ini malesan, orang mamanya juga gitu," timpal Anaya sekenanya. Terlebih lagi dengan raut wajah gadis itu, tidak merasa bersalah sedikitpun. Anita menatap tajam Anaya.
Memang benar adanya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
"Makin ke sini mulutnya makin gak benar. Siapa yang ngajarin?"
"Mama-lah, memangnya siapa lagi?" Anaya menjawab dengan menaikkan sebelah alisnya. Melihat Anita mencebikkan bibir, gadis itu tertawa kecil.
Menggoda Anita adalah salah satu hobi Anaya. Setiap hari pasti ada saja ulah Anaya yang membuat wanita paruh baya tersebut jengkel dan ingin sekali memukul kepala putrinya tersebut. Namun tidak pernah terjadi, Anita takkan tega menyakiti anaknya sendiri. Ya ... paling tidak hanya memberikan cubitan ala dirinya pada lengan Anaya-- itu saja.
"Setelah ini kamu mau lanjut ke mana, Sayang?" tanya Anita mengalihkan topik pembicaraan mereka. Seminggu yang lalu, Anaya telah dinyatakan lulus dari sekolah menengah atas dengan nilai yang sangat memuaskan. Walaupun bar-bar, prestasi gadis itu tidak diragukan lagi.
Anaya diam beberapa saat, nampak berpikir. "Kuliah dong, Ma. Tapi kayaknya jadi pengangguran begini lebih enak deh. Bisa santai-santai, dan jam tidur Naya juga lebih panjang."
Anita menggelengkan kepalanya, heran. "Enggak kepikiran buat menikah?"
Anaya lantas menoleh dengan melebarkan matanya. "Enggak! Sama sekali enggak, Mama!" balasnya mulai kesal. "Naya gak mau nikah muda. Titik!"
Anita mengangkat sebelah alis, kemudian tertawa kecil. "Gak usah nge-gas gitu dong, Sayang. Mama kan cuman nanya, siapa tahu kamu mau. Kalau gak mau juga gak apa-apa."
"Pasti ini idenya Papa kan, Ma? Naya kesel banget sama Papa yang ngotot mau jodohin Naya sama anak temennya. Naya kan bisa pilih calon suami sendiri, lagipula gak sekarang waktunya. Naya masih pengin menghabiskan masa muda dengan bersenang-senang ala anak remaja jaman sekarang. Umur Naya juga masih delapanbelas tahun. Masih bayik, Mama. Gak tau apa-apa soal nikah-nikahan."
"Pokoknya ya, Ma, kalau Papa ngomongin tentang perjodohan konyol ini lagi, Mama harus belain Naya. Bilang aja kalau Naya masih bayik, gak cukup umur membangun rumah tangga. Lebih lagi Naya gak siap jadi janda kalau misalkan bercerai nanti," lanjutnya ketus. Kedua tangannya dilipat di depan d**a dan bibir sedikit maju ke depan.
Anita menghela napasnya. Membujuk gadisnya tak semudah yang dia bayangkan. "Bukan begitu, Sayang. Tapi Papa sudah terikat janji--"
"Kan bisa dibatalin, Ma. Janji apa sih itu, Naya gak suka, ya, kalau janjinya soal perjodohan kayak begini," potong Anaya cepat. Mood-nya seketika buruk. Anaya benci perjodohan ini, dan tidak akan mungkin menyetujuinya.
Satu minggu yang lalu, ketika Anaya baru saja pulang dari rumah salah satu temannya, Dendy sang ayah mengajak Anaya berbicara. Anaya nampak bingung, tidak seperti biasanya sang ayah mengajaknya berbicara seperti ini. Anaya sudah dapat menebaknya kalau yang dibicarakan ini sesuatu yang begitu penting.
Anaya terkejut bukan main ketika mendengar penjelasan Dendy yang ingin menjodohkannya dengan salah satu putra sahabatnya. Tentu saja Anaya menolak, dan merasa kesal saat itu juga. Terlebih lagi ketika sang ayah yang sudah menyetujui janji itu, janji yang terjadi sekitar belasan tahun yang lalu. Lebih tepatnya perjanjian yang telah mereka sepakati saat awal mula merintis usaha bersama.
"Kita bicarakan masalah ini nanti malam ketika ada Papa. Mama gak bisa mengiyakan keinginan kamu sekarang, Sayang, kalau menurut Papa ini yang terbaik buat kamu--"
"Naya kecewa sama Mama! Mama gak lagi berpihak sama Naya! Mama gak sayang Naya lagi!" potongnya, kemudian beranjak menuju kamar. Anita hanya bisa menghela napas dengan raut sedih yang nampak dari wajahnya.
****
Anaya menutup kedua matanya, kemudian menangis sekeras-kerasnya. Kedua kakinya dia hentakkan pada lantai, pertanda kalau gadis yang manjanya luar biasa itu benar-benar kesal dan sakit hati. Bagaimana bisa Anaya bersikap biasa saja ketika orang tuanya mengatakan ingin segera menikahkannya. Perjodohan macam apa yang sudah disepakati oleh sang ayah?
"Dia anak yang baik dan juga tampan. Kamu pasti menyukainya," ucap Dendy terdengar begitu santai.
Anaya membuka kedua telapak tangannya. Menatap kesal sang ayah. "Bagaimana Papa bisa seyakin itu kalau Naya bakal suka sama dia? Naya gak suka dia, dan gak akan pernah suka!"
"Kita lihat saja nanti, siapa yang akan jatuh cinta duluan, kamu apa dia."
"Papa!" rengek Anaya. "Ini bukan permainan. Naya gak mau menikah."
Tatapan Anaya beralih pada Anita yang sedari tadi mengusap lengannya. Menunjukkan tatapan meminta pembelaan. Namun nihil, Anita malah mengangguk menyetujui apa yang diucapkan oleh sang suami.
Mata Anaya kembali menetesan air mata. "Ma, Naya gak mau." Anaya berusaha meyakinkan Anita kalau ini bukanlah pilihan yang dia mau. Menikah muda tidak ada dalam kamus kehidupannya.
"Papa tahu yang terbaik untuk kamu, Sayang." Anita tersenyum, kemudian mengangguk seolah semuanya akan baik-baik saja.
Anaya menjauhkan tangan Anita dari tubuhnya. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Anaya beranjak dengan segala rasa kesal dan kecewanya pada Dendy dan Anita.
Kecewa Anaya pada Anita dua kali lipat. Mana sosok seorang ibu yang selalu membelanya selama ini? Ke mana perginya sikap penyayang Anita pada Anaya selama ini?
Anaya mengunci kamarnya dan menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Gadis itu kembali menangis, meluapkan segala rasa yang tengah dia rasakan. Kalau sudah seperti ini, apa Anaya mempunyai pilihan lain selain mengatakan 'iya'?
Semalaman penuh Anaya terjaga, tidak bisa tertidur karena kepalanya terus saja memikirkan perihal perjodohan konyol itu. Sarung bantal dan gulingnya sudah basah oleh air mata, serta banyaknya tisu yang berserakan di lantai. Anaya tidak peduli sejelek apa dirinya saat ini, yang dapat dilakukannya hanyalah menangis. Mencoba kaburpun bukan hal yang benar dan bisa menyelamatkan dirinya, malah akan semakin mempersulit keadaannya saja.
Anita mengetuk kamar Anaya, tetapi sang empu kamar tak berniat bangun dan membuka kuncian pintunya.
"Sayang, buka pintunya. Mama mau bicara sebentar sama kamu."
"Enggak! Gak ada yang dibicarain lagi. Mama mau bujuk Naya supaya mengiyakan keinginan Papa, iyakan? Naya gak mau, Mama. Gak akan pernah mau!" balas Anaya dengan berteriak. Anita yang masih bisa mendengar suara putrinya tersebut hanya bisa menghela napas.
"Mama ada di kamar kalau kamu mencari Mama. Jangan menangis terus, mandi dan makan. Menangis juga perlu tenaga, Sayang."
Anaya memukul kasur dengan kedua telapak tangan yang terkepal. "Sebel! Naya Sebel sama Mama! Biarin Naya gak makan, biarin Naya sakit. Mama gak sayang Naya lagi!"
Tidak ada sahutan lagi dari luar sana. Anaya menghentakkan kakinya. "Sebel!"
Setelah mandi dan merapikan penampilannya, Anaya keluar kamar menuju dapur. Perutnya memang tidak bisa diajak berteman dalam situasi apapun. Selalu saja meminta diberi asupan.
Usai makan, Anaya melipat kedua tangannya di atas meja, menengkulupkan kepala, dan kembali menangis.
Kalau saja bisa menolaknya pasti Anaya akan lebih senang karena dapat melanjutkan rencana hidup seperti apa yang telah dia rencanakan sebelumnya. Tapi, apalah daya. Saat ini pilihan tidak berpihak padanya. Anaya hanya menguatkan hati, dan meyakinkan diri kalau ini adalah rencana Tuhan yang telah mempersiapkan sejuta kejutan dan keajaiban untuknya setelah ini. Tuhan tidak menjanjikan kekekalan akan sebuah kebahagiaan dan tidakpula akan sebuah kesedihan. Semua sudah dalam porsinya masing-masing. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya hanya bisa berdoa.
Tidak ada yang lebih baik selain menyadarkan diri sendiri kalau memang hidup ini tidak selamanya selalu berada dalam kesedihan, begitupula sebaliknya. Mungkin inilah takdirnya.
Jika Anaya sudah menyusun rencana untuk masa depannya dengan bayangan yang begitu indah--sesuai keinginannya. Tetapi sesungguhnya Tuhan Maha Tahu lagi Maha Penyayang. Dia mempunyai seribu cara dalam membentuk kebahagiaan Anaya yang sesuangguhnya. Bukan dengan apa yang Anaya inginkan, tetapi dengan apa yang Anaya butuhkan.
"Anaya, Sayang?" Anita duduk menarik kursi meja makan, di samping Anaya. "Masih saja menangis, hm?" tanyanya kemudian, mencoba mencairkan suasana hati sang putri tercinta.
Anaya mengangkat kepalanya, yang pertama kali dilihatnya adalah senyum manis sang ibu. Anaya lantas memeluk Anita dengan erat.
"Hiks .... Naya gak pengin nikah. Tapi Naya juga gak pengin Papa sama Mama sedih gara-gara Naya," adunya disela-sela isak tangisnya.
Anita pengusap punggung Anaya. "Mama mengerti, Sayang. Nanti kita coba bicara pelan-pelan sama Papa kalau memang kamu gak mau menerima perjodohan ini."
Anaya menggeleng. "Nanti Papa marah. Naya takut kalau nanti Papa dan gak sayang lagi sama Naya."
"Kalau Naya menerima perjodohan ini, lalu menikah. Apa Anaya bakal tinggal satu rumah sama suami dan mertua Naya, Ma?"
Anita menangkup wajah Anaya. "Tentu saja, Sayang. Tapi gak ada larangan juga kalau kamu mau menginap di rumah sini sesekali."
Anaya memajukan bibirnya. "Naya gak siap pisah sama Mama sama Papa."
Anita mengerutkan dahi. "Apa ini berarti kamu menerima perjodohan itu?"
Anaya terdiam. Kemudian melipat kedua tangannya di depan d**a, menunjukkan ekspresi merajuk. "Memangnya Naya punya pilihan lain selain bilang 'iya'?" balasnya dengan membuat muka.
Anita terkekeh. Dia mengacak-acak rambut Anaya gemas.
Ketika malam tiba, Anaya melangkah pelan menuju ruang kerja sang ayah. Anaya tahu kalau Dendy sedang berada di sana. Anaya membuka sedikit pintu cokelat di hadapannya tersebut, memasukkan sebagian kepalanya. Setelah meminta izin dan dipersilakan oleh sang ayah untuk masuk, Anaya menghela napasnya terlebih dahulu sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Dendy sedang duduk di kursinya, menatap sang putri dengan tersenyum. Anaya membalas dengan senyuman kecil.
"Tumben masuk ke ruangan Papa pakai izin segala, gak kayak biasanya yang langsung nyelonong aja," goda sekaligus menyindir sang putri yang memang terlihat berbeda malam ini.
Anaya melipat-lipat ujung roknya. Bingung harus memulai pembicaraan mereka dari mana.
Dendy tersenyum melihat tingkah Anaya. Dia tahu betul mengapa putrinya tersebut menemuinya malam ini. Tentu saja soal perjodohan itu. Jika kemarin Dendy terkesan seperti memaksakan kehendaknya, tetapi tidak dengan malam ini. Dendy sudah memikirkannya, dia akan menyerahkan semua keputusan kepada Anaya. Apapun nanti yang Anaya pilih Dendy akan menerima. Dendy tidak mau menyakiti hati putri sematawayangnya demi sebuah perjanjian yang tak ada nilainya. Kebahagiaan Anaya adalah nomor satu baginya.
"Hm ... Naya menerima perjodohan itu, Papa," katanya dengan lancar. Kemudian menghela napasnya lega telah berhasil mengatakannya.
Anita yang berada di balik pintu ruang kerja sang suami, sedari tadi menguping pembicaraan antara anak dan ayah itu ikut tersenyum bahagia mendengarnya.
"Apa kamu yakin, Sayang?" tanya Dendy kemudian. "Kalau kamu ingin menolaknya--"
"Naya menerimanya, Papa. Anaya mau menikah sama anak teman Papa," potongnya kembali meyakinkan. Anaya sudah yakin ini adalah pilihan yang terbaik untuknya maupun kedua orang tuanya.
"Baiklah. Terimakasih, Sayang." Dendy membawa Anaya ke dalam pelukannya dengan rasa yang tak kalah bahagia dari sang istri--Anita.
****
Ketika menginjakkan kaki di rumah yang jauh lebih mewah dari rumahnya itu, mata Anaya berbinar. Rumah ini seperti istana. Terlihat rapi, bersih, sejuk, dan wangi. Anaya sangat menyukai suasananya.
Anaya dan keluarga dipersilakan duduk di ruang keluarga. Ruang yang tak kalah rapi dan bersih dari ruang depan.
"Bagaimana dengan putrimu, apa dia menerima perjodohan ini?" tanya Herry, tuan rumah. Seorang pria paruh baya, berumur tidak jauh beda dengan Dendy.
"Ya, putri kami menerima perjodohan ini. Iyakan, Sayang?" tanya Dendy kepada Anaya dan dibalas anggukan oleh Anaya.
Wanita lanjut usia yang berada di hadapan Anaya menghela napas lega, kemudian melempar senyum yang begitu manis pada Anaya. "Syukurlah. Segerakan saja pernikahan mereka," ucapnya begitu bahagia. Wanita lanjut usia tersebut adalah orang tua dari Herry, bernama Suci.
Herry membisikkan sesuatu pada seorang lelaki yang sedari tadi berdiri tidak terlalu jauh di belakangnya. "Pak Arman, tolong panggilkan Andre."
Pak Arman adalah orang kepercayaan Herry. Dia mengangguk, kemudian beranjak menuju kamar Andre.
Dalam waktu yang cukup singkat, pria yang yang bernama Arman tadi kembali, diikuti seseorang yang melangkah di belakangnya.
"Hmm," dehem Andre.
"Den, Nit, ini anak kami. Namanya Andre," ucap Maya, ibu Andre. Sedangkan Anaya langsung terbelalak setelah melihat siapa yang akan menjadi suaminya nanti.
"Andre, Om, Tante. Senang berkenalan dengan kalian," ucap Andre sopan sambil menundukkan kepalanya. Tatapannya kemudian beralih pada Anaya.
Kedua insan tersebut sama-sama menunjukkan tatapan tak mengenakkan jika dipandang.
Herry menyuruh Andre membawa Anaya berkeliling area rumah mereka, sambil mengobrol untuk pendekatan diri. Sedangkan kedua orangtua akan membicarakan beberapa hal untuk pelaksanaan dan persiapan pernikahan mereka--Andre dan Anaya.
"Kenapa harus elo yang jadi suami gue?!" kesal Anaya. Dia memalingkan wajahnya, tak ingin menatap ke arah Andre.
Andre mengangkat kedua bahunya, tidak peduli. Pria itu lebih memilih duduk di salah satu bangku yang berada di halaman belakang rumahnya.
Anaya mendesis, berbicara dengan pria itu sama saja seperti berbicara dengan tembok. Tidak berguna.
Anaya mengusap dahinya. Kenapa bisa Andre yang akan menjadi suaminya? Tidak adakah pria lain selain pria menyebalkan itu?
Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk seorang Anaya bersabar menghadapi sikap menyebalkan Andre. Pria itu selalu saja satu sekolah bahkan satu kelas yang sama dengan Anaya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan tentu saja satu sama lain dari mereka sudah mengetahui sikap dan watak masing-masing.
"Udah, terima aja!" balas Andre terdengar begitu enteng.
Tatapan Anaya menajam pada pria itu. "Lo pikir menerima perjodohan ini segampang membalik telapak tangan, huh? Apalagi calon suaminya manusia kayak lo begini! Ya Tuhan ... mimpi apa gue semalam!"
"Apa kata orang nanti kalau gue nikah sama lo? Gue gak mau!" kesalnya lagi. Gadis itu tak habis pikir, kenapa pria yang menjadi suaminya nanti harus Andre? Pria ini begitu datar dan tak memiliki perasaan. Selama enam tahun, tak pernah ada kata damai di antara mereka. Selalu saja beradu mulut dan tak jarang Anaya memukul Andre ketika gadis itu kelewat kesal.
"Gak ada cara lain. Lo terima aja. Inikan yang orangtua kita mau?" tanyanya balik. Andre mengeluarkan ponselnya, dan memilih bermain games daripada membahas hal yang tidak penting seperti ini--menurutnya.
Anaya memutar bola matanya jengah, kemudian merebut kasar ponsel itu dari pemiliknya. "Lo denger, ya, hidup lo gak akan bahagia sama gue!"
Andre menaikkan sebelah alisnya. "Lalu?"
Lalu? Sesantai itu? Anaya mengepalkan tangannya, geram. "Gue benci sama lo! Benci ...!" teriak Anaya di hadapan Andre.
"Gue gak menyuruh lo menyukai gue."
Andre tidak ambil pusing apa yang dibenci dan disukai Anaya. Dia mengambil kembali ponselnya dan beranjak pergi meninggalkan Anaya.
"Benar-benar menyebalkan!"
Kalau saja pria itu masih di hadapannya, Anaya tidak akan berpikir dua kali untuk melayangkan pukulannya hingga pria itu babak belur, dan mengaduh ampun padanya. Tidak di sekolah, tidak di sini. Pria itu sama saja, sama-sama menyebalkan. Sama-sama membuatnya darah tinggi.
****
Beberapa minggu kemudian ....
Anaya tengah duduk di depan meja rias. Gadis itu sudah siap dengan gaun pengantinnya. Gaun yang sangat indah dan mewah. Sama seperti gaun impian Anaya dan teman-temannya ketika nanti mereka menjadi seorang pengantin--menikah. Sangat pas ditubuhnya, dan Anaya tak segan mengakui dirinya hari ini benar-benar cantik.
Anaya menghela napasnya, sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri dari pria menyebalkan sedunia.
Ketukan pada pintu kamar menyadarkan Anaya dari lamunannya. Anita masuk dan mengatakan bahwa dirinya harus segera ke luar untuk melaksakan janji pernikahan. Anaya hanya mengangguk.
Anaya menggenggam erat gaunnya, dia sangat takut dan belum siap. Itulah yang sangan mendominasi perasaan Anaya saat ini.
Anaya terkejut bukan main saat melihat seorang pria yang tengah berdiri di hadapannya. Sosok seorang pria yang sangat dia kenal sebagai musuh bebuyutannya di sekolah, kini tengah berdiri di hadapannya dengan begitu gagah dan tampan.
Tidak hanya Anaya yang terkejut. Andre pun nampak takjub melihat gadis dengan balutan gaun putih itu. Disertai hiasan yang berada di kepala dengan warna senada. Membuat gadis bar-bar itu jauh lebih cantik dari biasanya bahkan sangat cantik.
Pernikahan berlangsung dengan hikmat. Hingga tiba waktunya untuk Andre dan Anaya melakukan ritual pertama mereka sebagai sepasang suami dan istri--sang mempelai pria mencium sang mempelai wanita.
Anaya menatap horor Andre, seolah memberikan isyarat kalau dia tidak ingin Andre melakukan hal itu. Namun dengan senyum menjengkelkannya, Andre malah mendekatkan wajahnya.
Cup.
Hanya kecupan.
Anaya terbelalak, tubuhnya seketika kaku. Jangankan untuk menggerakan anggota tubuhnya, mengedipkan matanya saja terasa sangat sulit baginya. Dengan waktu yang bersamaan, jantungnya juga terasa seperti akan melompat dari tempatnya.
Segera Anaya mengatur napas untuk mengontrol detak jantungnya.
Pernikahan yang begitu tak diinginkan, sudah terjadi. Dia resmi dipersunting oleh seorang Andre. Tidak begitu menyesal, karena sebagian kesedihannya sudah terbayar dengan senyuman lebar penuh kebahagiaan yang tercetak di bibir kedua orangtuanya.
Andre menggenggam tangan Anaya, membuat sang empunya terkesiap dan langsung menoleh.
"Tersenyum. Berpura-pura dengan baik. Kalau mau membahagiakan kedua orangtua lo jangan nanggung-nanggung." Andre mengedipkan sebelah matanya. Anaya berteriak dalam hati 'dasar buaya kelas kakap'. "Jangan menolaknya!" Andre menunjuk ke arah genggaman tangan mereka menggunakan lirikan mata. "Mungkin kelihatannya aneh kalau kita gak saling berpegangan tangan kayak gini kan?"
Anaya menghela napasnya, mencoba mengerti. Apa yang dikatakan Andre ada benarnya. Baiklah, tidak masalah kalau hanya bergenggaman tangan seperti ini.
Para tamu undangan satu persatu bersalaman seraya memberikan doa untuk kebahagiaan pengantin baru itu.
Anaya menoleh pada Andre yang terlihat begitu santai menghadapi orang-orang, tak seperti dirinya yang nampak begitu kaku, canggung, dan terkesan terpaksa.
****
Usai makan malam bersama keluarga besar, dan melepas kepergian Suci kembali Bandung, Andre dan Anaya pamit ke kamar mereka. Anaya hanya mengikuti langkah Andre, menuju lantai dua yang tak lain adalah kamar pria itu. Entah apa yang sedang Anaya rasakan, saat ini telapak tangan dan kakinya berkeringat dingin. Anaya tidak dapat menutupi rasa gugup dan canggungnya.
Tidak ada yang berbicara di antara mereka. Andre maupun Anaya masih setia mengantup bibir mereka masing-masing. Anaya sudah selesai membersihkan diri, dan sekarang berada di depan meja rias. Sesekali melirik ke arah Andre yang hanya fokus pada layar laptopnya.
Hampir satu jam Anaya berada dalam satu kamar yang sama dengan sang suami, tetapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, sekedar berbasa-basi.
Jangankan mengajaknya mengobrol, menatap Anaya pun tidak. Anaya menghela napas, inilah sikap asli pria itu. Tidak terlalu memperdulikan orang lain, dia hanya mementingkan dirinya sendiri.
Dengan rasa kesal, Anaya berbaring. Mengambil posisi membelakangi Andre, kemudian menutup tubuhnya dengan selimut hingga d**a.
****