BAB 3. Janji tak tertulis

920 Words
Sayup-sayup semilir angin menari riang dan ringan di halaman kediaman Husein. Menyapa lembut dua insan yang tengah bersama, menjalin kedekatan demi tercapainya sebuah kata ‘Pernikahan’. Hembusan angin yang kadang bertiup kencang, tanpa sadar menyibakkan jilbab biru muda milik  sang hawa bernama Zahra. Keduanya nampak saling terdiam beberapa saat. Tenggelam dalam pikiran masing-masing setelah melalui pembicaraan kecil namun penuh akan serat makna dan harapan di masa depan. Mencoba menerima Takdir yang di rasa terlalu cepat dan tiba-tiba. Namun, inilah hidup. Selalu penuh misteri dengan alur yang tidak mudah di tebak dan di prediksi oleh pemain di dalamnya. Hanya penggerak drama kehidupan yaitu Sang Maha Kuasa yang mampu mengatur alur kehidupan. Layaknya sebuah plot dalam naskah drama atau n****+. Di mana hanya sang pembuat cerita yang tahu akan perjalanan dan akhir dari kisah karakter di dalamnya. ‘Belum juga selesai kuliah, ternyata sekarang aku sudah berstatus menjadi tunangan orang. Betapa cepatnya jalan hidupku berubah. Sebenarnya, apa yang Engkau rencanakan Yaa Rabb..’ batin Zahra. Pandangannya tidak lepas dari taman mini di depannya, tidak ingin menoleh ke arah Azka. Mungkin ia terlalu malu dan gelisah jika sampai melihat wajah tampan pria yang kini menyandang status tunangannya. Bagaimana tidak, selain ketampanan yang sempurna untuk mahluk ciptaan Tuhan. Wajah dan tatapan mata teduh Azka juga menyejukkan siapa saja yang melihatnya. Dan itu meyakinkan Zahra bahwa pasti banyak di luar sana wanita yang mengidam-idamkan seorang Azka. Pertanyaannya adalah.. ‘Apakah Azka pernah menambatkan hatinya pada seorang wanita?’ Deg! Segelintir perasaan gelisah merayap menyelusup ke relung perasaan terdalam dan mendasar Zahra. Tanpa di sadari, pria yang menyita pikiran sesaat Zahra, tengah diam-diam mencuri pandang tanpa berani berkata. Melihat betapa seriusnya Zahra menatap taman mini di depannya. “Zahra, apa yang sedang kamu pikirkan sampai terlihat begitu serius? Hmmz.. jangan bilang kamu sedang memikirkan tentang ku?” Celetuk Azka seraya melihat Zahra dengan senyum cengirnya yang terlihat tanpa berdosa. Zahra menoleh ke arah Azka dengan sedikit mengembungkan pipinya. Kedua alisnya mengerut mendengar perkataan gamblang Azka yang tampak sangat tenang saat mengatakannya. Zahra terdiam beberapa saat sebelum berkata : “PEDE sekali kamu. Tapi jujur, aku kaget loh. Seorang Azka yang menjadi pangeran kampus yang katanya terkenal cuek bisa se-narsis ini. Kalau para penggemar mu tahu, kira-kira bagaimana ekspresi mereka, ya?” Zahra menyangga dagunya sembari mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya seakan sedang berpikir alih-alih meledek pria di sampingnya. Dengan senyum usil yang menenangkan, Azka menyentil kening Zahra di lanjutkan dengan tawa lirih darinya. “Augh … kau menyentil keningku. Sakit tahu.” rintih Zahra seraya mengusap-usap keningnya. Sejenak Zahra diam menangkap manik teduh Azka. “Hahaha ... aku baru tahu kalau aku se-terkenal itu. Kalau mereka tahu, ya biarkan saja. Lagi pula aku bukan orang yang merepotkan pemikiran orang lain. Apalagi pemikiran wanita itu rumit. Bagiku, cukup menyimpan hati ini untuk diriku sendiri sebelum calon yang Allah swt berikan hadir dalam hidupku. Dan wanita itu adalah kamu, Zahra.” Kata Azka dengan sungguh. Tidak ada raut canda atau gombalan alay di kedua manik teduhnya. Deg! Sudut hati Zahra bergetar. Dalam diam hatinya tergerak dengan kesungguhan dari perkataan Azka. Ia tidak tahu mengapa hatinya bisa menjadi begitu rumit secara tiba-tiba? Zahra bahkan tidak mengerti arah hatinya melangkah. Mungkin ini karena efek pertunangan mereka. Tapi mengapa begitu terasa menenangkan dan penuh harap? ‘Inikah yang di namakan : Cinta pada Pandangan Pertama? Atau aku tengah mengalami puber di masa muda yang sebenarnya sudah terlambat untuk mengalami puber pertama kalinya?’ batin Zahra bertanya dengan wajah yang tampak menggemaskan. “Narsis..” ujar Zahra beberapa detik setelah ia kembali dalam kesadarannya. “Apa salahnya narsis untuk tunangan sendiri. Lagi pula, mungkin setelah pertemuan kali ini, kita tidak akan bertemu dalam waktu yang cukup lama.” Kata Azka dengan tenang, mencoba menjelaskan dengan sangat hati-hati pada Zahra, tunangannya. Seketika pias wajah Zahra yang tadinya cerah berubah muram meski tidak begitu terlihat. Tapi itu nampak jelas di pandangan Azka. “Mengapa? Apakah kamu akan pergi untuk suatu hal?” tanya Zahra yang terlihat kecewa. ‘Melihat wajahmu yang tampak kecewa. Tahukah kamu betapa itu menyiksa perasaanku, Zahra. Kamu yang menampakkan kesedihan seperti itu, bagaimana bisa aku pergi dengan perasaan tenang? Karena pada dasarnya, aku telah mencintaimu dan memilihmu, bahkan sebelum kita di jodohkan.’ Batin Azka. Semua kata-katanya tertahan di dalam hati, tidak mampu mengungkapkan isi hatinya. Baginya, Zahra sudah bisa menerimanya untuk saat ini saja itu lebih dari cukup. Tangan Azka menggapai pucuk kepala Zahra dan mengusapnya pelan untuk menenangkan perasaan Zahra sembari memberikan seulas senyum, “Dalam beberapa hari, aku akan terbang ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan S3 ku. Alasan kenapa aku tidak jadi mengambil S3 di Kairo adalah karena aku akan mulai bekerja dan mengurus kantor cabang milik Ayah yang berada di Inggris. Sudah saatnya untukku mengambil keputusan besar sebelum aku menikahi mu, Zahra.” Perlahan Zahra menutup mata, mengambil napas panjang dan menghembuskan nya perlahan. ia membuka matanya sebelum berbicara, “Baiklah, aku tidak akan menghalangi niat baikmu. Kamu mengatakan ini pasti sudah memikirkannya secara matang,” Zahra terdiam sejenak, menyiapkan kata untuk di katakan selanjutnya. Dengan senyum simpul ia melanjutkan, “Meski aku belum bisa mengerti dengan perasaan ini yang tiba-tiba di jodohkan. Tapi yakinlah, aku tidak menolak perjodohan ini.” “Syukurlah. Aku bisa berangkat dengan tenang,” balas Azka dengan perasaan lega. “Setelah ini, aku juga harus melanjutkan aktivitas harianku kembali di kampus dan menyelesaikan S1 secepatnya. Kita akan menjalani hidup masing-masing tanpa meninggalkan ikatan yang di miliki,” sahut Zahra mengiyakan. “Dan menyerahkan sisanya kepada Allah swt.” Kata keduanya secara bersamaan di akhir kalimat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD