Dua orang yang pernah berbagi kehidupan di satu tubuh itu hanyut dalam potongan puzzle yang sama.
“Buuuuuuuuk ...”
JEDUG!!
Sepasang suami istri itu sama-sama menggapai udara dari dua arah mata angin, menyaksikan si buah hati yang baru saja diturunkan dari boncengan tergopoh gopoh menyongsong ke seberang.
"Kenapa ..."
Pertanyaan itu tak diselesaikan oleh sang ibu yang sudah dalam posisi berjongkok, terlebih ketika matanya menangkap sebuah kertas dengan angka 100 merah melambai-lambai diikuti ... aliran merah yang mengaliri tulang kering sang anak.
“Bahaya, Nak. Nyebrang ndag liat-liat. Hampir saja kamu bikin jantung bapak sama ibu copot.” Seru bapak seraya mengurut-urut d**a.
Namun ia bergeming. Malah lebih sibuk membenamkan kertas di genggamannya ke wajah sang ibu. Setelahnya, ibu dan anak itu sibuk dengan dunia mereka berdua, tanpa memberi ruang pada tokoh sampingan.
Sadar akan situasi yang tidak berpihak padanya, si bapak langsung mengeluarkan jurus andalan sehingga sekejap saja kertas kebanggaan si anak tadi berpindah tangan. Jadilah ketiganya berebutan tanpa alasan dengan raut wajah silih berganti musim.
***
"Suamimu masih dinas luar yo, Nduk?" tanya Mbok Rahima seraya mengelap meja dan menghidangkan sepiring ubi rebus.
Bukannya kepo, hanya saja ...
Angin yang tak ramah membelai wajah Rahmah dingin. Matanya tak lagi mau memicing, takut dicap tak sopan oleh dunia di belakang wanita yang sudah ia anggap ibu itu.
“Hmm …” hanya desah napas yang tertangkap telinga.
Tangan Mbok Rahima bergeming. Ia biarkan saja ubi yang sudah setengah mengelupas itu bernapas sejenak.
Tubuh itu meluruh dalam dekapan Mbok Rahimah. Sudah lama sekali rasanya ia tak menerima kehangatan yang sehangat ini.
"Gusti Allah sayang Ndok sama kamu. Yang kuat yo." Diremasnya lengan Rahmah, menguatkan.
Semenjak berstatus sebagai istri, izin untuk bepergian sungguh sulit Rahmah dapatkan karena memiliki seorang suami dengan tipikal manja, yang bahkan bisa merengek jika ditinggal terlalu lama. Apalah daya, ketika gebrakan coba dilakukan, dalil-dalil shahih tentang tiket mudah masuk surga serta merta disodorkan. Bagaimana pula hendak melancarkan serangan balasan!
“Kapanpun mau cerita, Mbok siap dengarkan. Jangan lupa ke sebelah ae, toh dari dulu hobi kamu memang gangguin Mbok, kan.” Kekeh Mbok sengaja, berharap sedikit tawa terbit dari timur sana.
***
“Kasian. Nggak anak kandung, anak pungut, sama saja. Untung kuat aja itu mah si Ibu. Kalau saya, pasti udah milih mengakhiri hidup.” Celetuk salah seorang ibu-ibu bercelemek bunga-bunga yang tengah sibuk mengulek sambal.
“Iya, Bu, kok mau maunya jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali!” sambar ibu-ibu dengan masker mulut yang tak lagi bening. Tangannya yang cuek tetap lincah memarut kelapa.
“Iya. Kalah pinter daripada keledai." Sahut si ibu jilbab lilitan ular yang tengah menyusun garnish di atas piring.
DUAARR!!
Terlambat. Maria tak sempat menyelamatkan diri. Bulir bening lebih dulu curi start daripada inisiatif tungkainya, yang tetiba melemah terkena gelombang bunyi yang barusan merambat.
"Baik, ibu-ibu, sebentar lagi kita akan mengetahui siapa pemenangnya ya. Semangat semuanya." Sorak panitia yang memegang mic. "Maaf, Dek, di sini hanya khusus panitia ya. Penonton silakan ke sebelah sana." Ucapnya pada sosok bercadar yang dianggap memasuki wilayah verboden.
“Bu Zu! Ayo, udah mau mateng ini.” Seru sebuah tangan yang melambai-lambai dari bench kelompok lima.
"Ini piringnya, Bu." Timpal Zulaikha yang baru saja melarikan langkah dari pantry.
Astaghfirullah. Ibuk?
Cepat-cepat punggung Maria membalik.
BUKK!!
"Maaf, Bu. Permisi." Lirih Maria tertunduk. Ia tak lagi memerhatikan raut apa yang ditunjukkan seseorang yang bertabrakan dengannya. Tak ada waktu lagi. Jangan sampai ...
***
Ketika sepasang langkah datang, saat itu pula sepasang yang lain memilih pergi. Hanya supaya bahagia itu tetap pada tempatnya.
"Assalamualaikum. Nak."
Tok tok tok!
"Selamat Bu Zu."
"Ntar bagi bagi ya, Bu."
Beberapa tetangga yang lewat turut bersuka cita, pasalnya piala bermerk lomba PKK antar kecamatan yang tadi bertengger di meja panitia dengan angkuh itu akhirnya menemukan jodohnya. Bagaimana tidak bangga!
" Terima kasih, Bu, Pak." Balas Zulaikha seraya membungkukkan badan.
CEKLAKK!
Tidak terkunci! Maria?
Hati hati, Zulaikha meletakkan tanda kemenangan itu di atas meja lantas bergerilya sembari menyerukan satu nama.
TIDAK ADA.
TIDAK ADA.
DI SINI JUGA.
Kamar tidur yang kembali diberikan kehidupan oleh sang empunya itu beranjak lesu. Cahayanya memudar seiring kepergian sang penghuni.
"Kau bahkan meninggalkan mereka, Nak ..."
Zulaikha menatap buku KIA, sebuah foto USG, dan beberapa pasang pakaian bayi di atas tempat tidur. Masih terekam jelas di benaknya bagaimana antusias gadis belia itu ketika memperdebatkan antara biru atau merah jambu.
Lutut Zulaikha memeluk lantai marmer erat. Ia rubuh dengan riak memenuhi lembah pipinya yang ranum.
Maafkan Maria, Bu. Terima kasih untuk segalanya. Maaf, Bu. Maria sayang ibu.
***
"Bu Zu ..."
"Assalamualaikum ..."
Zulaikha mendelik sebal.
Teng tong teng!
Enggan menjawab, Zulaikha sengaja memberikan petunjuk keberadaan dengan bantuan beberapa spatula.
"Di dapur toh, Bu, tak kirain lagi mengurung diri lhooo ..."
"Iya, Bu Zu, soalnya subuhan tadi nggak keliatan di masjid, jamaah pada khawatir, makanya kami inisiatif menjenguk, takut ibu kenapa kenapa gitu ..."
HAHAHAHA.
Tanpa dicari pun, ternyata sumber masalah malah menampakkan dirinya sendiri. Bukannya buruk sangka, hanya saja banyak 'bisa terselip' dari untaian kata manis kartu lebaran yang dibacakan gerombolan ibu ibu barusan.
Mengurung diri? Khawatir? Sejak kapan masyarakat ini se-bermasyarakat itu? Bahkan beberapa kepala pernah berharap tak saling bertemu apalagi kalau sudah masalah hutang menghutangi.
"Kebetulan saya baru abis masak, udah feeling mungkin ibu ibu pada mau ke sini, monggo ..." Sembari mondar mandir, Zulaikha lantas memersilakan para ibu-ibu untuk ...
HAHAHAHAHA.
"Meja makannya kayu gaharu juga ya. Awet ini."
Yang satu membahas perabotan. Yang satunya mengetuk ngetuk memastikan kebenaran. Selebihnya mengecek taplak dan peralatan makan. Bagian penataan piring dan hidangan, tentu ... si empunya rumah. 4 orang tamu terhormatnya? Ya, sedang mengaplikasikan dalil dalil kebanyakan 'tamu adalah raja'.
"Silakan dicicipi, Bu."
Tidak habis sampai di sana, Zulaikha belum juga menghenyakkan p****t ke kursi. Beliau sibuk menata berbagai macam jus dan penganan sesuai kesukaan masing masing.
Saking lahapnya, tanpa jeda, tamu tamu tersayang (yang tak diundang) itu bahkan tak berbasa basi dengan si pemilik rumah yang belum mengisi perut barang sesendok pun.
Salah dua dari mereka bersendawa, namun begitu, tetap menyempatkan diri mengorek ngorek apa yang bisa dijadikan penganan pagi bersama secangkir teh.
"Si anak gadis ..."
Zulaikha yang memerhatikan kepala di sebarang sana celingak celinguk nyaris saja menyemburkan tawa. Tampak sekali berusaha membuatnya terlihat sealami mungkin.
... ke mana, Bu?"
Yang lain ikut mengangguk menimpali, biar disangka menyimak.
"Oooh ..." Sengaja, Zulaikha memberi jeda.
Glek glek glek!
Brakk!
Sekeliling meja makan itu terlonjak kaget, menyaksikan pemandangan yang terbilang langka.
"Maria ... was wes wos ..."
Semua kepala berkumpul ke titik pusat peredaran.
Berhasil.
Umpan cacing melaksanakan tugas dengan baik. Cukup dengan satu kali lemparan saja, hiu-hiu dan paus-pausnya langsung menyerahkan diri. Macam orang mabuk, segala rahasia mengalir begitu saja, tanpa filter. Saling tertawa dan menabok lengan.
***
CEKLAK!
Zulaikha membatu. Punggung dan daun pintu itu saling menguatkan.
Tubuhnya bergetar demi mengingat potongan potongan lakonan yang sebentar ini ia mainkan.